
Oleh Najullah
Pengajar Di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan
Kasus-kasus amoral yang melibatkan oknum bergelar ustadz atau kiai telah menjadi pukulan telak bagi citra agama Islam di Indonesia. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan justru melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan moralitas. Fenomena ini, meski tidak dapat digeneralisasi dan tidak mewakili ajaran Islam secara keseluruhan, secara praktis telah menodai citra Islam dan para pemuka agamanya di mata masyarakat.
Dampak paling berbahaya dari kejadian ini adalah potensi pudarnya kepercayaan umat terhadap ulama dan, pada gilirannya, menjauhnya mereka dari ajaran Islam itu sendiri. Sungguh memprihatinkan bahwa perbuatan amoral oleh segelintir oknum ini tidak bisa dianggap sebagai kejahatan biasa. Imbasnya jauh lebih besar, yakni hilangnya keyakinan umat Islam kepada figur panutan dan bahkan kepada agama itu sendiri.
Gelar ustadz atau kiai disematkan oleh masyarakat tanpa melalui proses formal atau penilaian kompetensi yang ketat. Sebetulnya, banyak individu yang merasa belum pantas menyandang gelar tersebut, namun karena tuntutan sosial, label itu melekat pada mereka. Misalnya, seorang yang baru lulus dari pesantren tiba-tiba dipanggil ustadz.
Kondisi ini menimbulkan dilema. Ketika individu yang belum sepenuhnya siap ini terjerumus dalam perbuatan amoral, tentunya, secara tidak langsung masyarakat ikut berkontribusi dalam merusak citra Islam. Mengapa demikian? Karena, mereka yang dituding merusak citra tersebut tidak pernah meminta gelar itu. Masyarakatlah yang menyematkannya, dan ketika pemegang gelar itu melakukan kesalahan, label keagamaan yang melekat padanya turut tercoreng.
Penyematan gelar tokoh agama Islam seperti ustadz atau kiai tidak didapatkan melalui proses formal layaknya gelar akademik. Meskipun ada lembaga pendidikan Islam formal maupun nonformal, alumni-alumninya tidak serta merta disebut ustadz atau kiai. Gelar-gelar ini umumnya diberikan oleh masyarakat berdasarkan persepsi kolektif terhadap individu yang dianggap memiliki ilmu agama yang mumpuni di lingkungannya.
Sering kali individu yang disebut kiai atau ustadz tidak memiliki kompetensi ilmu keislaman yang memadai. Di beberapa masyarakat, seseorang dengan penampilan bersarung, baju koko, berpeci, mampu membaca Al-Quran, menjadi imam sholat, dan memimpin doa, ditambah dengan penampilan bersorban sudah otomatis disebut ustadz. Kriteria ini, meskipun tidak salah, namun tidak cukup untuk menjamin integritas moral dan kedalaman ilmu agama seseorang.
Di satu sisi, ada ustadz dan kiai yang dengan sungguh-sungguh berdakwah, bahkan perjuangan mereka seringkali diwarnai dengan gangguan dan intimidasi. Tentu ini tidak adil jika para ustadz atau kiai yang berjuang tulus harus menanggung imbas negatif dari perilaku para oknum tersebut. Kepercayaan yang telah mereka bangun dengan susah payah terancam runtuh karena ulah segelintir orang.
Tersebutlah cerita yang patut dijadikan pelajaran berharga. Kisah seorang alim bernama Barsisha/Barshesa yang dikenal karena kesalehan dan ketakwaannya yang luar biasa, bahkan membuat malaikat kagum, menjadi pengingat bagi kita semua. Konon, ia memiliki banyak murid berilmu tinggi dan kemampuan spiritual yang bisa menyembuhkan orang gila. Namun, ia tergelincir ke dalam perbuatan nista, menzinahi seorang putri raja yang menjadi pasiennya. Kisah ini dicatat dalam kitab Mukhtashar Tadzkiratul Qurtubi karya Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’roni dan Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi.
Meskipun kisah Barsisha tidak spesifik disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun hadits, namun harus menjadi pelajaran bagi para ulama, kiai, guru ngaji, dan seluruh umat Islam. Tidak ada seorang pun yang luput dari bisikan setan, bahkan seorang alim sekalipun bisa terjerat.
Maka dari itu, selayaknya kita sebagai masyarakat harus lebih berhati-hati dalam menyematkan gelar ustadz atau kiai terhadap seseorang yang belum diketahui dedikasi, integritas, dan kedalaman ilmunya. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menjaga marwah agama dan melindungi kepercayaan umat. Dengan bersikap lebih kritis dan tidak mudah memberikan gelar kehormatan keagamaan, kita turut berperan dalam menjaga kemuliaan Islam dan menjauhkan para pejuang dakwah sejati dari tudingan tak berdasar akibat ulah segelintir oknum.
Lah.. kalau semua orang bersikap hati-hati memberikan gelar ustadz, artinya mereka paham kriteria ustadz, dan bisa dipastikan meraka adalah ustdaznya. Faktanya, mayoritas masyarakat yang mudah memberikan gelar ustadz adalah masyarakat awam. Jadi, apakah untuk memberikan gelar ustadz kepada seseorang harus menjadi ustadz? Tulisan apa ini, Bikin bingung aja.