Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Guru besar kajian Islam di Asia Tenggara, yaitu Prof. Nico J.G Captain memaparkan materi pada acara diskusi yang bertajuk “Research on Islam in Indonesia” di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atau Untirta (Selasa, 2/7/2019). “Penelitian tentang studi Indonesia dan keislaman masih didominasi oleh peneliti-peneliti Belanda,” tutur guru besar kajian Islam di Asia Tenggara pada Universitas Leiden, Belanda, Prof. Nico J.G Captain, di acara diskusi publik yang bertemakan “Research on Islam in Indonesia” di Aula Untirta, Serang-Banten (Radar Banten, 2/7/2019). Acara diskusi yang diinisiasi oleh Perkumpulan Urang Banten (PUB), Prof. Nico lalu menyebut beberapa nama peneliti Belanda, salah satunya adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Sosok peneliti yang dinilainya paling berpengaruh pada masanya. “Snouck Hurgronje merupakan tokoh penting yang telah mencatat berbagai peristiwa di Indonesia pada masa kolonial,” kata Prof Nico. Sosok yang meraih gelar doktor pada usianya baru 23 tahun itu, dinilai Prof. Nico, memang penuh insfiratif sekaligus kontroversial. Penelitian yang dilakukan Snouck Hurgronje tentang Islam di Indonesia (dulu Hindia Belanda) juga Aceh, tak hanya sekadar untuk kepentingan akademik. Ia juga melakukan peran ganda, yaitu sebagai agen rahasia atau spionase Belanda. Peran itu dilakukan tidak terlepas dari tugasnya sebagai penasihat khusus pemerintah kolonial Belanda untuk wilayah jajahan. Peran tersebut diakui Snouck Hurgronje dalam surat-suratnya kepada sahabatnya yang dikutip Prof Nico.

Sementara dalam paparan makalahnya, Prof. Nico dengan gamblang ia menulis sepenggal tulisan yang menjadi bukti peran spionase dari Snouck Hurgronje. “Penelitian Snouck tidak hanya pendekatan wacana pengetahuan an sich, namun lebih praktis sebagai laporan untuk bahan pertimbangan kolonial di bumi jajahan,” kata Prof Nico. Selama di Indonesia, hampir 1.400 makalah tentang situasi dan posisi Islam di Hindia Belanda serta pada layanan sipil kolonial yang ditulis oleh Snouck Hurgronje. Catatan tersebut di dalamnya terekam pandangan hidup, praktik ibadah, strata sosial hingga lokal kultur masyarakat Banten. Baik yang ada di dalam Banten maupun yang berdiaspora di luar Banten. Lebih dari itu, pria kelahiran tanggal 8 Februari tahun 1857 itu mampu membangun kedekatan khusus dengan para ulama. Karena, sekitar tahun 1809 M, ia hampir 10 hari tinggal di Menes-Pandeglang, Cilegon, dan di beberapa daerah lainnya untuk menulis tentang kehidupan pesantren. Catatannya kelak dikenal dengan buku berjudul “Pesantren Report”. Buku itu hasil catatannya yang berkolaborasi dengan tokoh agama dan petinggi agama setempat. Hampir setiap hari tak kurang 10 halaman Snouck Hurgronje menulis pengamatannya.

Sementara salah seorang ulama Banten yang menjadi pengawasan khusus dari Snouck Hurgronje adalah Syekh Nawawi Albantani. Snouck pun melakukan pengawasan sekaligus penelitian khusus tentang sosok Ulama Kharismatik asal Kecamatan Tanara, Serang-Banten, yang menjadi guru para ulama di Nusantara. Bahkan, saat memantau Syaikh Nawawi waktu di Mekah, ia juga menyamar dengan nama Haji Abdul Ghofur, ia tinggal berseberangan dengan rumah Syekh Nawawi di Suq al-Lail, Syi’ib Ali. Rumah yang sekira, 500 meter dari kompleks Masjidil Haram yang menjadi tempat tinggal sekaligus tempat 200 murid-murid Syekh Nawawi belajar. Selama mengintai Syaikh Nawawi, Snouck Hurgronhe, ia malah berhasil membukukan dan menjadi buku paling fenomenal dengan judul “Mekka In The Latter Part of The 19th Century: Daily Life, Customs and Learning The Moeslims of the East Indian Archepelago”. Tidak hanya mengulas pribadi Syekh Nawawi, pada buku yang diterbitkan Leyden: Late E.J. Brill itu juga mengulas gelombang haji dari Banten dan daerah Hindia Belanda lainnya. Berangkat dari rangkaian itu, Prof. Nico menyebut, permulaan studi Islam di Indonesia tidak terlepas dari praktik kolonialisme. Literaturnya seringkali menjadi acuan dalam studi Islam di tanah air. Padahal, studi itu juga kompilasi dari catatan spionase dan intelijen Belanda mengenai kondisi masyarakat jajahan. Menurut peneliti senior dari KITLV itu, karya monumental Snouck Hurgronje dan peneliti orientalis lainnya, dianggap berjasa bagi perkembangan studi Islam di Indonesia, juga Banten sebagai salah satu basis ulama dan pesantren di Indonesia.

Selaku panitia penyelenggara acara diskusi, Taufiequrachman Ruki menegaskan, bahwa keberadaan orang Belanda zaman dulu di Banten, yakni melalui praktik kolonialismenya, memang tidak hanya menjadi masa lalu yang kelam. Pendudukan Belanda di tanah air juga telah mendokumentasikan khazanah pengetahuan, khususnya di bidang kajian Islam. Kejayaan Banten di masa lalu, menurutnya, bukan semata-mata untuk dikenang. Tapi bagaimana agar generasi muda di Banten saat ini punya tanggung jawab moral, yakni untuk mengembalikan kejayaan Banten dalam konteks kekinian. “Jangan bicara lagi soal kejayaan Banten di masa lalu. Tapi kita saat ini harus mengembalikan masa kejayaan Banten zaman dulu itu dalam konteks kinian,” kata Taufiqurachman Ruki (Radar Banten, 2/7/2019).

II. Para Ulama Yang Nyantri di Mekah di Era Tahun 1634-an

Banten adalah salah satu daerah di kepulauan Nusantara yang memiliki kesinambungan tradisi keilmuan Islam tertua. Tercatat dalam sejarah sejak tahun 1634-an, orang-orang Banten sudah menuntut ilmu (nyantri) di Makkah. Mereka adalah para bangsawan dari Kesultanan Banten yang diutus Sultan Banten masa itu, yakni Sultan Abul Mufakhir. Dengan diberi tugas untuk menerima gelar Sultan dari Syarif Makkah. Selain tugas tersebut kesempatan itu digunakan untuk nyantri dan berhaji. Mereka adalah Aria Wangsakara, Aria Jaya Santika dan Labe Panji. Di Makkah mereka mengaji kepada Ibnu Allan dan berhasil menyalin kitab-kitab karya Ibnu Allan untuk diajarkan di Banten. Pada masa itu pula Syekh abdul Syukur Kasunyatan mesantren di Makkah.

Tradisi nyantri di Makkah juga dilanjutkan pada zaman Sulthan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) dengan mengirim rombongan yang dipimpin Santri Betot tahun 1651. Sultan Ageng Tirtayasa pula mengambil menantu santri Makkah yang bernama Syekh Yusuf Taaj al Khalwati. Sedangkan Syekh Yusuf berasal dari Makassar (Sulawesi) yang waktu itu ketika ia ingin mesantren ke Makkah memang harus melalui pelabuhan Banten. Di sana ia bertemu dengan Pangeran Surya dan terjalin pertemanan sangat dekat antara keduanya. Kelak ketika Syekh Yusuf pulang dari Makkah, Pangeran Surya itu telah menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian pada tahun 1675, putra mahkota Banten, Pangeran Abdul Qahhar juga berhaji sambil nyantri di Makkah. Sultan Zainul Asyiqin yang memerintah Banten pada tahun 1753-1773 adalah seorang santri dari ulama asal Syuriah yang bernama Syarif Musa bin Abdullah al Hamawi. Keterangan itu didapatkan dari kitab yang berisi Tarekat Qadiriyah Al Rifa’iyyah milik Sultan yang terdapat di koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Sezaman dengan Sulthan Zainul Asyiqin, tercatat pula ulama Banten di Makkah yang kepakarannya dalam mengarang kitab menyamai Syekh Nawawi Tanara. Ia adalah Syekh Abdullah bin Abdul Qohhar Al Bantani (kemungkinan besar ia putra dari Pangeran Abdul Qahhar/Sultan Haji). Bahkan menurut Brockelman dalam karyanya berjudul “Geschicter der Arabischen Literatur”, ia mencatat nama Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al Bantani itu sebagai ulama besar pada zamannya yang memiliki banyak tulisan. Sedangkan karyanya yang monumental sekaligus banyak dikenal dunia berjudul “Risalat Syuruth al Hajj dan kitab Al Masail” (Brockelman, 1949:422).

Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar, selain ulama fiqih, juga seorang tokoh besar dalam Tarekat Syatariyah dari Nusantara, selain Syekh Abdurrauf Singkil dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya). Sementara dalam kajian Tarekat ia mengarang kitab: “Fath al Muluk li Yashila ila Malik al Muluk ala Qoidah Ahl al Suluk”. Sementara Guru-guru Syekh Abdul Abdullah bin Abdul Qahhar al Bantani di Makkah di antaranya adalah : Imam Muhammad bin Ali Al Thabari (guru yang sama dengan Syekh Abdurrauf Singkil). Sementara di abad 19 M dan di awal abad 20 M, yaitu abad yang paling ramai ulama-ulama Banten yang mesantren di Makkah. Tentu saja Syekh Nawawi al-Bantani, Tanara-Banten sebagai bintang dari banyaknya ulama Banten yang menuntut ilmu di Makkah. Di antara mereka selain Syekh Nawawi al-Bantani adalah Syekh Abdul Karim al Bantani, Syekh Arsyad Thawil Tanara, Syekh Arsyad Qoshir Tanara, Syekh Muhammad Ali Kresek (wafat di Madinah) Syekh Muhammad Ramli (Kresek, kakek KH Ma’ruf Amin) Syekh Abdul Haq Tanara, Syekh Sahal (Kresek, pindah ke Lopang, guru Syekh Nawawi di Banten), Syekh Husen Carita (Guru/Kakek guru KH Thohir Pelamunan), Syekh Yusuf Mandalawangi, Syekh Makmun Kaloran, Syekh Sufyan Laes, Syekh Asnawi Lengkong, Syekh Azhari lengkong, Syekh Siddiq Cengkudu, Syekh Muqri Abdul Hamid Labuan, Syekh Asnawi, KH Wasid Bojonegara, Tubagus Ismail, Gulancir, Tubagus Marzuki Tanara dan lain sebagainya.

Tradisi mesantren di Makkah kemudian surut sejalan dengan kemerdekaan Indonesia dan ketatnya faham Wahabi di Saudi Arabia saat itu. Sedangkan santri-santri Banten pada angkatan berikutnya mesantren kepada murid-murid Syekh Nawawi Tanara baik yang ada di Banten maupun di luar Banten. Tapi, walaupun demikian sistem dan tahapan kajian para santri Banten secara kualitas, tidak mengalami penurunan besar dari yang diajarkan para ulama-ulama pendahulunya yang belajar di Makkah. Ketika murid Syekh Nawawi dari Tebuireng, yaitu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, para ulama murid-murid dari Syekh Nawawi yang berada di Banten-pun mayoritas mengamini dan bergabung dalam NU.

Sementara pesantren-pesantren di Banten, begitu juga seluruh pesantren dalam tradisi NU, mengkaji tuntas fan-fan ilmu yang dibutuhkan dalam penggalian hukum, bahkan setiap tahunnya melahirkan para mutafannin (ahli dalam disiplin ilmu tertentu) dalam berbagai disiplin ilmu yang kemudian mereka disebut “Mutafaqqih Fi al Diin” (seorang yang faham agama) dan dalam tahapan selanjutnya dengan kemampuan tertentu, mereka juga mempunyai kemampuan istinbath atau ijtihad. Sedangkan seluruh syarat-syarat pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mustanbith (mujtahid; penggali hukum Islam) dipelajari dengan teliti di pondok-pondok yang berbasis NU. Dalam tradisi NU, maka syarat seorang wa’idz (penceramah) tidak seketat dan serumit sarat seorang mutafaqqih apalagi mustanbith. Seorang wa’idz, ia hanya cukup memiliki kemampuan metodologi mengajak (dakwah) manusia menuju jalan Allah SWT. Dengan menghafal ayat-ayat al Qur’an atau hadits hadits Nabi, sementara seorang mutafaqqih dan mustanbith, ia harus memiliki interdisiplin ilmu.

Kapabilitas dalam ilmu nahwu dan shorof adalah syarat paling dominan, sebelum syarat yang lain, dalam mengukur seseorang, apakah memenuhi sarat awal untuk mampu beristinbath atau tidak. Hal itu dapat ditengarai dengan mudah dari apakah ia mampu membaca kitab kuning (gundul; tanpa harokat) dengan baik atau tidak. Bila syarat pertama itu tidak terpenuhi, maka syarat berikutnya not accepted (tidak dapat diterima). Walaupun ia mampu berargumen dengan banyaknya hafalan ayat al-Qur’an, Hadist, maupun kaidah-kaidah hukum. Karena dapat dipastikan, bahwa orang yang tidak memahami ilmu nahwu dan shorof secara detail, dihawatirkan akan terperoksok ke dalam salahnya memahami purpose dari lafadz-lafadz bahasa Arab yang unik.

Syarat yang berikutnya adalah ia telah mengkaji berbagai kitab-kitab fiqih furu’ dalam satu madzhab tertentu. Dalam tradisi pesantren NU, reperensi kitab-kitabnya, yaitu dimulai dari kitab fikih mukhtashar (ringkasan) seperti kitab Matan al Taqrib, Safinah, Minhaj al Tholibin dan lain sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai kitab syarah dari kitab-kitab “mukhtashar”, seperti kitab “Fath al Qoriib” dan Syarah “Riyadl al Badii’ah” karya Syekh Nawawi Tanara. Dilanjutkan dengan kitab-kitab fikih fatwa tingkat menengah seperti kitab “Fath al Mu’in, Bugyat al Mustarsyidin, Qalyubi wa Umairah, Nihayat al zain” dan seterusnya. Setelah itu ia juga perlu memperkaya bacaan dengan mengkaji kitab-kitab fikih utama seperti “Tuhfat al muhtaj, Nihayat al Muhtaj, Mugni al Muhtaj, Muhadzab, al Majmu, Raudat al Thalibin” dan lain sebagainya. Kemudian ia juga harus memahami “Fiqh al Muqaranah” (ilmu fikih perbandingan) dengan mengkaji kitab-kitab seperti “Bidayat al Mujtahid, Mizan al Kubro, al Fiqh ala al Madzahb al ar ba’ah” dan lain sebagainya.

Selain mengkaji kitab-kitab tersebut kemudian ia juga harus mengkaji dan memahami kitab-kitab ilmu ushul fiqih seperti: “al Waraqat, Talkhis al Hushul, Jam’ al Jawami’, al Ihkam, al Mustasyfa, Al Talkhis” Imam Juwaini dan lain sebagainya. Selanjutnya, terus memperkaya pengetahuan fikih dengan mengkaji kitab-kitab kaidah-kaidah fikih seperti: “al Asybah wa al Nadza’ir, Al Jalaliyah, al Lahaji” dan lain-lain. Kemudian ia juga harus mengkaji kitab-kitab hadis seperti: “Sohih al Bukhari, Sohih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Mustadrak Al Hakim, Musnad al Imam al Syafi’i, Musnad Ahmad” dan seterusnya. Dan kitab ilmu hadits seperti “Al Baiquniyyah, Al Muhimmah, Al Muqaddimah, Nuzhat al nadzar”. Selain kitab hadits dan ilmu hadits, ia juga harus mengkaji interpretasi-interpretasi ulama yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir seperti: “al Jlalain, Marah Labid (tafsir Munir), Ibnu Katsir, al Qurtubi, al Baghawi, al Thabari, al Alusi” dan seterusnya. Dilanjutkan kitab ilmu tafsir seperti: “Nadzam al Tafsir Zamzami, Al Fath al munir, al Itqon, al Burhan” dan seterusnya. Penting juga mengkaji kitab yang khusus membahas tentang asbab al nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al Qur’an) seperti: “al Wahidi, al Ujaab fi bayan al Asbab, Lubab al Nuqul” dan lain sebagainya. Sebagaimana penting juga mengkaji kitab-kitab yang khusus membahas tentang nasikh-mansukh dalam al Qur’an seperti: “al Sanqiti, al Nahhas, Al iidlaah, Ibn al Jauzi” dan lain sebagainya.

Seorang ulama juga mesti memahami Ilmu Ma’ani dan Ilmu Bayan yang terdapat dalam kitab semisal: “Matan al Jauhar al Maknun, Uqud al Juman, Al Syarh al Maimun, Nahj al Balaghah, Asrar al Balaghah, Al Miftah, Bugyat al Iidlaah” dan lain senagainya. Setelah disiplin-disiplin ilmu diatas dikuasai, maka ia juga harus mengetahui adab seorang mufti juga dapat membedakan mana qoul ulama yang dapat difatwakan dan mana yang tidak. Untuk itu ia harus memahami “Ulum al Ifta” yang terdapat misalnya dalam kitab: “Fawaid al Makiyyah, Ushul al Ifta wa Adabuhu” dan lain sebagainya. Dengan sempurnanya disiplin ilmu-ilmu tersebut barulah ia dapat berfatwa baik fatwa manshus (yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih) maupun fatwa mustanbath (masalah hukum yang digali dari nash al-Qur’an dan al Hadits serta ijma, namun belum ada pendapat ulama tentang itu). Demikianlah sekilas sejarah tradisi keilmuan Islam di Banten yang begitu mempuni dan bersimultan dengan awal-awal perkembangan Islam di Nusantara. Melalui tulisan ini diharapkan tradisi ilmu pengetahuan keislaman di Banten akan terus berkesinambungan untuk masa-masa selanjutnya. Lebih dari itu, proses standarisasi materi pengajaran yang harus tetap dijaga agar para ulama ke depan terus bisa menjawab tantangan sesuai dengan zamannya.

III. Sejarah Dan Kebudayaan Banten Dari Masa ke Masa

Secara historis Banten dikenal karena di daerah ini pernah berdiri sebuah kesultanan Islam Banten yang berdiri tegak dan kharismatiknya. Namun sebetulnya jauh sebelum berdiri kesultanan Islam, wilayah Banten sudah memiliki kebudayaan yang cukup melimpah. Investarisasi dan penelitian peninggalan purbakala yang dimulai sejak abad ke-19 M, di daerah Banten membuktikan akan hal tersebut. J.W.G.J Prive, seorang kontrolir Belanda pada tahun 1896 misalnya, ia melaporkan adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek, Bayah, yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden berundak, yang hingga saat ini disebut cagar budaya “Lebak Sibedug”. (Van Der Hoop, 1932 : 63 – 64). Kemudian dalam bukunya berjudul “Rapporten van der Oudheikundingen Dienst in Nederlansch Indie” tahun 1914, ia menyatakan bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa kapak batu dari hasil penggalian arkeolog di pamarayan (Kolelet) dan patung tipe Polinesia di wilayah Mandalawangi “Sanghyang Dengdek”. Pendirian monumen-monumen Megalitikum dengan beragam bentuk seperti Punden Berundak, arca, menhir, dolmen, dan batu bergores turut memperkaya budaya dan tradisi masyarakat Banten pada masa lalu. Tradisi megalitik itu, mulai ada sekitar 4500 Tahun ketika manusia mulai hidup menetap dengan mata pencaharian bercocok tanam dan beternak. Sampai hari ini tradisi megalitik itu oleh sebagian masyarakat adat masih ditaati dan dipatuhi secara konsisten dan berkesinambungan. Kebudayaan Banten kemudian semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayaan luar. Pengaruh budaya luar itu datang dari India yang membawa agama Hindu dan Budha.

Disamping membawa pengaruh agama Hindu dan Budha masuknya pengaruh India juga berdampak pada sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan, dan termasuk kerajaan Salakanagara dan kerajaan Tarumanegarau. Sementara salah satu kerajaan Hindu yang terkosentratif di sekitar Sersng-Bantrn ialah kerajaan Banten Girang yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-10 M sampai dengan abad ke-16 M. Masuknya pengaruh Islam kemudian berdampak pada mundurnya pengaruh Hindu-Budha di Banten. Kerajaan Banten Girang berada dibawah penguasa Islam yang kemudian mendirikan kerajaan di sekitar Teluk Banten. Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan, yang kini disebut Banten Lama. Kerajaan Islam Banten ada sejak abad ke-16 M sampai dengan abad ke-19 M. Kemudian secara historis, kota Banten Lama yang terletak 10 Kilo Meter dari Kota Serang, dahulu ramai dikunjungi oleh kapal dan pedagang asing seperti dari Arab, Portugis, Cina, Persia, Suriah, India, Turki, Jepang, Filipina, Inggris, Belanda, Perancis serta Demark. Selain pedagang asing, pedagang-pedagang Nusantara seperti dari Maluku, Solor, Makassar, Sumbawa, Gresik, Juwana, dan Sumatera ikut berdagang di Banten Lama.

Kini masa lalu Kesultanan Banten itu hanya tinggal menyisakan bukti-buktinya. Bukti peninggalan tersebut antara lain berupa bekas kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin, Mesjid Agung Banten, Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Mesjid Pecinan Tinggi, Kompleks Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, Kelenteng Cina, Watu Gilang, Danau Tasikardi, dan Makam Sultan Kenari, Jembatan Rante dan lain sebagainya.

Selain peninggalan berbentuk bangunan, peninggalan dari Banten Lama juga berupa keramik dari Cina, Jepang, Thailand, dan Eropa, serta mata uang dan Tembikar. Kemudian Kerajaan Islam Banten yang berbentuk Kesultanan mengalami kemunduran setelah masuknya pengaruh VOC (Vereniging Oost-Indie Compagnie) yaitu perkumpulan dagang Belanda di Indonesia tahun 1602-1799) dan penjajahan kolonial Belanda. Belanda kemudian menghancurkan pusat kota kesultanan Banten dan memindahkan pusat pemerintahan ke Serang. Namun, kekuasaan Belanda’pun di Banten berakhir, yakni setelah mengalami kekalahan oleh kolonial Jepang pada tahun 1942. Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah dan budaya yang panjang, kini merupakan salah satu wilayah Provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama dalam perjalanannya, Banten telah mewariskan berbagai peninggalan yang tak ternilai harganya.

Karena keberadaan kekayaan dari beragam pusaka budaya Banten yang tinggi nilainya itu, saat ini tentunya perlu dijunjung tinggi, hal itu sebagai bukti tentang perjalanan sejarah dan budaya yang dapat memberi sumbangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan melalui penggalian nilai-nilai luhur yang tercermin di dalamnya. Disamping itu pula pusaka budaya tersebut dapat menjadi dasar dalam konteks untuk memupuk kepribadian dan jati diri bangsa kita khususnya bagi masyarakat Banten.

IV. Upaya Merekontruksi Kembali Masa Kejayaan Banten, Dalam Upaya Menghadapi Globalisasi Saat Ini

Penelitian arkeologi di situs Banten Girang pada tahun 1994 misalnya, telah memberi bukti bukti konkrit, yaitu tentang struktur kota sebagai pusat pemerintahan pra-Islam. Fakta arkeologis yang ditemukan pada penelitian di tahun 1994 itu, berupa sejumlah besar artefak ‘mewah’ dari negeri Cina sejak abad 10 M. Hal itu menunjukkan tentang jejak awal perdagangan lintas benua, dimana penduduk Banten saat itu telah melakukan hubungan intensif dengan masyarakat di luar lingkar budayanya. Jika elemen eksternal harus dianggap sebagai unsur dominan dalam modernitas Banten, sesungguhnya kemoderenan Banten juga telah lama ada, bahkan berkali-kali mengalami era ‘globalisasi’. Berbagai jejak arkeologisnya telah membuktikan bahwa penduduk Banten telah memiliki local genius, sehingga mampu menunjukkan kapasitas adaptasi yang dibutuhkan dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Oleh karena itu, mengkaji warisan budaya (arkeologi, sejarah dan etnografi) bukan saja karena korelasi yang kuat dengan entitas geopolitik Banten, tetapi yang lebih penting adalah karena entitas budaya Banten memang mengandung nilai-nilai kearifan lokal, tempat kita menemukan kembali jatidiri dalam kerangka membangkitkan “self-awareness”. Kepentingannya terletak pada proposisi bahwa jauh sebelum modernisasi Barat menapak, namun di bumi Banten sejak awal abad ke 19 M, ternyata orang Banten telah mengalami dan sekaligus melewati berbagai perubahan global dalam tradisi budaya sendiri. Dengan kata lain, mengkaji masa lampau Banten merupakan suatu keharusan saat ini, dan apalagi saat ini kita menghadapi gempuran globalisasi, dengan segala eksersis geopolitik dan ekonominya, yang konon katanya membawa nilai-nilai universal, tetapi faktanya universalisme saat ini hanya ‘pembaratan semata’ dan terkesan telah mengaborsi kearifan lokal itu sendiri. Maka, mengungkapkan elemen kearifan lokal saat ini menurut hemat penulis, merupakan suatu upaya untuk memahami apakah masyarakat Banten telah melakukan pembaharuan sendiri pada setiap periode sejarahnya? Lalu, mempertanyakan kembali, apakah cermin sejarah itu memantulkan berbagai “local genius” (gagasan, perilaku dan karya) yang bernilai positif dalam konteks menghadapi berbagai tantangan global saat ini?

A. Kearifan Lokal Dalam Konteks Global

Dari beberapa fakta dan gejala masa lalu Banten, sebagaimana pernah diformulasikan oleh Christian Pelras untuk masyarakat Bugis melalui pendekatan antropologi-sejarah (The Bugis, 1998), elemen-elemen modernitas itu tampak pada episode perkembangan masyarakat Banten. Secara tentatif, sekurang-kurangnya ada tujuh elemen yang dapat digali dari seluruh “fase arkeo-historis” Banten diantaranya :

  1. Pemikiran Rasional

Jika ilmu pengetahuan merupakan unsur yang bisa menjadi tolok ukur kemajuan peradaban sebuah bangsa, maka itu bisa dilihat dari teori transisional penjamanan prasejarah dan sejarah sebagai masa peralihan dari zaman ‘jahiliyah’ menuju zaman ‘pencerahan’. Dalam peralihan zaman itu, pengenalan tulisan menjadi indikator utama pemikiran rasional, dimana pengetahuan dapat ditransfer melalui simbol-simbol bunyi yang terstruktur. Kelahiran para cendekiawan di masa lalu terutama dimulai dari semangat kepujanggaan, sebagai hasil dari penguasaan teks dan sastra suci “Indic civilization”. Sementara budaya literasi pertama di Banten diberikan oleh pengenalan berupa huruf palawa bahasa Sanskerta. Keberadaan Prasasti Raja Purnawarman di Cidanghyang (Munjul, Pandeglang), hal itu menjadi bukti betapa luasnya penggunaan bahasa itu di luar pusat kekuasaan kerajaan Tarumanegara, yang menurut para ahli sejarah, bahwa Ibukota kerajaan Tarumanegara itu berpusat di Bekasi-Karawang. Kendati belum jelas tingkat absorpsinya di Banten, tetapi hal itu telah memberikan kemungkinan adanya kepatuhan pada dominasi kerajaan Tarumanegara melalui media Batu Prasasti Cidanghyang itu.

Namun setelah itu, memang ada kekosongan peristiwa dalam sejarah Banten hingga awal masuknya Islam. Kendati amat sangat terlambat, Banten baru benar-benar memasuki jaman ‘tulisan’ itu setelah difusi kebudayaan Islam melalui aksara Arab yang belakangan dibumikan menjadi Jawi atau huruf “Pegon” (bahasa lokal menggunakan tulisan Arab kundul). Pengetahuan aksara Arab gundul itulah atau melalui huruf pegon itulah yang telah membuat masyarakat Banten terbuka untuk mempelajari ilmu dan berbagai kemajuan yang dicapai bangsa lain, dan kemudian mentransmisikan pengetahuan itu ke dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda dari generasi ke generasi sebelum dikenalnya alphabet Latin.

  1. Keluasan Komunikasi Sejak Abad Ke 10 M

Sekurang-kurangnya, Banten telah melakukan hubungan dengan negeri India dan Cina yang kemudian lebih intensif dengan dunia Timur Tengah. Jauh sebelum kedatangan orang Portugis, para pelaut India dan Cina telah menyinggahi perairan Banten, dan memasukkan daerah ini ke dalam mata rantai perjalanan niaga timur jauh. Peta Laut Shun Feng Hsiang Shung (1500) telah menempatkan Banten sebagai salah satu pelabuhan penting di Asia Tenggara. Maka sejak awal abad ke 10 M, hingga memasuki abad ke 15 M, masuknya Banten ke dalam jaringan maritim lintas benua itu memungkinkan terjadinya difusi budaya. Dengan dukungan teknologi ekonomi dan sistem pemerintahan sebelum dan semasa kesultanan Banten, rejim baru yang menguatkan otoritas di delta Cibanten, dan masyarakat Banten kemudian meninggalkan era ‘ketertutupan’ untuk terus maju dan ‘terbuka’ terhadap elemen-elemen budaya asing yang mengharuskannya menjadi bagian dari warga dunia. Dengan semangat itu, maka berbagai sistem kemasyarakatan di kesultanan Banten-pun secara gradual terus mengalami transformasi, baik dalam pola pikir, gaya hidup maupun dalam proses interaksi antar-budaya, terutama dalam konteks ekonomi politik. Dua pelabuhan (Pabean sebagai emperium Karangantu-Banten) yang mengapit pusat kota menjadi sayap yang membuka lebar perjalanan ke berbagai tujuan dimana pusat peradaban dunia : Barat dan Timur menjadi “benchmark” yang referensial.

  1. Peningkatan Produktivitas

Dipertengahan paru kedua abad Ke 20 M, Indonesia mengalami oil boom, yang memicu pertumbuhan ekonomi luar biasa dan berdampak langsung pada perubahan sosial dan tentu saja “life style”. Dalam sejarah ekonomi, Banten pernah mengalami “pepper boom” (masa kejayaan), yang membawa perubahan radikal dalam sistem ekonomi perdagangan di Asia Tenggara, karena substitusi sumber-sumber ekonomi dari yang berbasis hasil hutan (mencari-mengumpul) ke hasil kebun (budidaya). Sementara faktor demand dalam perdagangan rempah-rempah internasional telah menggantikan popularitas “silk route” dengan tantangan ekonomi baru, yakni “spice route” antara Dunia Barat dan Timur. Sementara reorientasi ekonomi itu dipicu oleh proses peningkatan konsumsi yang berselera dari rejim feodal Eropa menjelang era industri. Sementara permintaan pasar dunia telah membangkitkan gairah supply di sektor hulu dengan mengadopsi teknologi pertanian (budidaya) lada atau merica, dari hanya sekadar rempah tradisional, menjadi salah satu produk eksotik dan bernilai tinggi dalam agribisnis internasional. Saat itu Banten menjadi negeri pengekspor utama lada hitam. Fenomena sejarah tersebut harus dipandang sebagai bukti adanya transformasi dalam aspek ekonomi, dari “self-sufficiency” ke “exchange-oriented”. Kompleksitas ekonomi-kebun ini membawa implikasi pada sistem ekonomi uang, terutama setelah dikenalnya teknik penanaman lada (round pepper) sekurang-kurangnya sejak abad ke 10 M. Produk itu terbukti telah membawa perubahan politik dan sosial yang luas bagi kesultanan Banten, dimana otoritas Banten saat itu terpaksa harus melakukan ekspansi lahan perkebunan ke daerah Lampung dan Bengkulu, dan sistem pertukaran harus ditentukan oleh “size and price”. Pada gilirannya, otoritas lokal memastikan tentang perlunya “moneterisasi” perdagangan dengan menetapkan mata uang lokal yang berlaku resmi di Banten (dan saat itu ada indikasi percobaan untuk pasar Eropa). Prinsip ekonomi uang lokal itu berkorelasi kuat dengan modernisasi perdagangan yang telah lama dikenal di dunia Barat dan Timur (Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur), yang pada akhirnya memberi jalan bagi partisipasi masyarakat Banten dalam kegiatan transaksi ekonomi internasional.

  1. Spesialisasi Keahlian

Data arkeologi dari situs Banten Girang dan terutama Banten Lama merefleksikan sebuah masyarakat urban pernah terbangun antara abad ke 10 M dan ke 17 M, yakni sebelum berdirinya kota kolonial di Banten Baru (Serang sekarang) di bawah otoritas seorang Residen. Kota Banten telah menyisakan banyak toponim yang mengacu pada tempat-tempat yang mengindikasikan jenis pekerjaan penduduk. Karena, banyak pula artefak sejarah yang telah menunjukkan sisa-sisa kegiatan pertukangan, seperti metalurgi (keranggen), kerajinan tanah liat bakar atau gerabah (panjunan), perdagangan merica (pamarican) dan lain sebagainya. Di bidang lain, ada kelompok masyarakat yang mengkhususkan keahlian di bidang pendidikan dan pengajaran (kepakihan, kasunyatan), keprajuritan (kasatryan) dan yang paling menonjol adalah pusat distribusi Pabean, yang sangat melekat dengan fungsi kesyahbandaran Banten (douane). Elemen modernitas jenis itu pastilah mengacu pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan keahlian khusus dalam kapasitas individual ataupun mandat dari pemegang otoritas politik. Keahlian itu menjadi ukuran pencapaian sebuah masyarakat yang mengutamakan profesionalisme dalam tatanan “urban society”. Sejumlah toponim typique itu dapat diinterpretasikan bahwa struktur kota Banten saat itu dibentuk oleh banyak klaster spesifik, yaitu administrasi pemerintahan, daerah sumberdaya, pusat produksi dan distribusi serta pemukiman kelompok etnik-ras dan profesi yang dihubungkan dengan sistem komunikasi darat dan sungai dalam keseluruhan jaringan kota. Dalam tradisi kota di Asia Tenggara, struktur ruang itu memberi ciri “metropolitan” pada rancang bangun kota Banten.

  1. Keterbukaan Kultural

Sejak berdirinya kesultanan, Banten merepresentasikan diri sebagai “city-state” (negara-kota) yang berorientasi pada perdagangan internasional. Kota Banten dengan penduduknya saat itu sudah heterogen, akhirnya menjadi “potpourie ethnique” atau ‘wadah pelebur’ kelompok pembawa identitas budaya dari berbagai peradaban besar. Interaksi antar-etnik bahkan antar-ras mengharuskan tumbuhnya ‘budaya terbuka’ bagi berbagai kemajuan, dan perkembangan kebudayaan. Karakter “open culture” itu, misalnya tampak pada penggunaan bahasa. Bahasa Melayu memang telah lama menjadi lingua-franca di Nusantara termasuk juga di Banten. Tetapi karena ikatan budaya yang kuat dengan pusat-pusat kekuasaan pesisir utara Jawa, maka Banten kemudian menjadi pewaris jauh dari bahasa Jawa pesisiran. Selain bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada awalnya, di pusat kota Banten, bahasa Melayu dan Jawa juga telah menjadi bahasa umum baik dalam domain pemerintahan maupun ranah kehidupan sosial, agama dan ekonomi perdagangan. Namun harus dicatat, banyak penduduk kota Banten juga menguasai aksara dan bahasa asing, terutama Arab. Hal itu bisa dilihat dari berbagai karya keagamaan hasil pemikiran masyarakat Banten yang dipusatkan di Kasunyatan. Belakangan lebih kuat lagi pada figur Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, dan Kiai Asnawi Caringin, di luar pusat kota Banten. Bahkan, aksara Arab juga digunakan secara resmi dalam pemerintahan, sebelum dikombinasikan dengan aksara Jawa dan Latin pada periode kolonial. Dengan demikian, penguasaan bahasa-bahasa yang umum pada masa itu, menjadikan Banten mampu mendobrak kebekuan hubungan antar-etnik dan antar-ras sekaligus membuat kebudayaan dapat berkembang dalam dinamika kontemporenitas yang diperlukan.

Di sisi lain, berbagai wujud kebudayaan menampakkan heterogenitasnya, baik dalam aspek arsitektur, sastra, seni pertunjukkan, seni krya dan juga busana. Demikian lama proses difusi budaya itu sehingga menyulitkan kita untuk menemukan kembali wujud asli dari kebudayaan itu serta bagaimana proses transformasinya dari satu periode ke periode berikutnya. Sebuah generalisasi mungkin perlu diajukan sebagai hipotesis bahwa kebudayaan Banten merupakan hasil perpaduan berbagai unsur lokal dan asing yang telah terbina dalam proses waktu yang cukup panjang.

  1. Hubungan Kekerabatan

Elemen kearifan lokal lain perlu dilihat dari sudut pandang antropologi sosial, berkenaan dengan transformasi dalam ‘hubungan kekerabatan’. Ketika feodalisme berlaku fungsi politik dan ekonomi tidak terlalu penting dalam kehidupan keraton. Gelar warisan (hight birth) pun memainkan peran penting dalam hubungan sosial penduduk kota. Namun, dalam interaksi sosial yang lebih luas (terutama pada lingkar extra-muros), kapasitas profesional menjadi lebih penting, karena kewibawaan personal tidak semata-mata dibentuk oleh keterkaitan pada faktor keturunan, tetapi prestasi seseorang dalam fungsi sosial tertentu menjadi pilihan. Banyak fakta menunjukkan bahwa tidak semua ‘pangeran’ bisa menduduki status tinggi dalam kerajaan, tetapi hanya mereka yang dipandang cakap dalam keahlian tertentu. Oleh karena itu ‘penduduk biasa’ pun, bahkan orang asing ‘keturunan’ Tamil, Arab atau Cina sekalipun, bisa mencapai status tinggi, karena mampu menunjukkan keahlian dan pengabdian pada negara. Maka gelar ‘pangeran’ dalam tradisi kesultanan Banten bukan semata-mata diperoleh karena hubungan darah, tetapi juga status dan kedudukan seseorang dalam fungsi sosial tertentu. Sebagai contoh misalnya Kiai Dukuh (seorang Arab?), guru agama yang memberikan pengajaran agama kepada Maulana Muhammad, akhirnya ia mendapat gelar kehormatan: ‘Pangeran Kasunyatan’. Demikian pula Syahbandar Kaytsu (seorang Cina) yang digelari Kiai Ngabehi, ia telah mendapat penghormatan besar untuk dimakamkan di kompleks pekuburan kesultanan Banten (nekropolis) di samping Masjid Agung. Di sinilah Banten mengalami apa yang disebut transformasi dalam hubungan kekerabatan, yang memberi karakter pada masyarakat modern. Sangat tepat, jika Banten juga bersifat “kosmopolitan” ketika bandar itu banyak didiami para pedagang mancanegara.

  1. Keutamaan Individual

Sementara aspek kearifan lokal ketujuh, bersumber dari fakta bahwa masyarakat Banten pernah mengalami era kejayaan ketika dimasa kepemimpinan/pemerintahan Sultan Abdul Qadir dan Sultan Ageng Tirtayasa. Lazimnya, dalam sistem feodal, keutamaan individual sangat ditentukan oleh “trend-setters” pemegang otoritas warisan (para sentana). Namun eksistensi setiap warga tetap berada dalam pranata sosial yang berlaku umum pada masanya. Demikian pula, tanggung jawab menjadi bersifat pribadi dan tidak ditanggung oleh kelompok besar seperti halnya ditemukan pada masyarakat komunal (communal society) dengan “ritual purification” (‘bersih desa’).

Bahkan, dalam sejarah Banten dikenal adanya acuan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama berdasarkan syariat Islam dan tradisi turun-temurun di bawah pimpinan seorang Qadi (Pakih Najamuddin). Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum negara seperti tertuang dalam “Undang-Undang Banten” dengan berbagai sanksi hukum baik perdata maupun pidana (Perlu baca disertasi Ayang Utrisa di EHESS Paris tentang Undang-Undang Banten dari pendekatan filologi). Banyak kasus menunjukkan bahwa beberapa keluarga dekat raja juga tidak luput mendapat sanksi hukum karena tindakannya yang merugikan negara. Tetapi, disamping sanksi hukum juga ada pemberian reward terhadap penduduk Banten. Beberapa orang biasa, karena prestasinya dalam menghasilkan karya-karya yang bersifat individual, baik dalam karya keagamaan, kesusastraan, arsitektur maupun perdagangan dan juga dalam politik pemerintahan, telah diberikan mandat memegang jabatan penting. Sebaliknya, Pangeran Kidul (adik Sultan Ageng Tirtsya) terpaksa ia harus dilengserkan dari jabatannya, karena tidak cakap untul menjalankan tugas kesyahbandaran sepeninggal Kaytsu. Dalam struktur jabatan birokrasi modern, gejala seperri itu merupakan indikasi dari konsep pemerintahan legal-rasional.

  1. Epilog

Dari ketujuh elemen modernitas itu beberapa terbukti telah menjadi faktor yang amat penting dalam menghadapi dominasi budaya asing setelah jatuhnya kesultanan di bawah tekanan VOC dan kemudian lebih tegas lagi pada era kolonial. Sayangnya, elemen-elemen “local genius” itu sekarang hampir membeku, bahkan nyaris terlupakan. Ibarat sebuah permata, ia adalah intan yang perlu diasah kembali jika kita ingin melihat kualitasnya saat ini.

Di sini, kearifan lokal Banten harus terus ditemu-kenali dan dikaji ulang dalam konteks global. Dan sampai hari ini, belum ada kajian yang mendalam tentang aspek-aspek “local wisdom” dalam sejarah dan tradisi Banten. Banyak sumber informasi (tangible dan intangible) bisa dieksplorasi untuk berbagai pendekatan yang multidimensional dan interdisipliner, banyak pula kesaksian-kesaksian material seperti naskah naskah kuno atau manuskrip, karya arsitektural, dan artefaktual belum menjadi sumber acuan yang komprehensif. Lagi pula, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya telah ditetapkan dengan paradigma baru, yang meniscayakan perlunya partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Lalu, bagaimana orang Banten dapat mengenal sejarahnya? Bagaimana orang Banten dapat membangun kesadaran untuk menemukan jati dirinya kembali? Dan terakhir bagaimana pula kita bisa mentransfer semangat kebudayaan Banten dari generasi ke generasi?. Hal itu demi menghadapi berbagai tantangan global: geopolitik, teknologi-ekonomi, dan sosial budaya. Semua pertanyaan itu mestinya menjadi bahan renungan kita ke depan. Di sini kita memerlukan analisis antropologi budaya untuk mengungkapkan dasar-dasar “local genius” ataupun “local wisdom and technology” pada entitas budaya dari keseluruhan fase sejarah Banten.

Dari sinopsis masa lalu kota Banten, sebagaimana telah diungkapkan diatas, tampaklah bahwa unsur-unsur budaya lokal Banten terbentuk sebagai hasil proses sejarah yang panjang. Jika elemen modernitas itu dipandang sebagai sintesis dari kearifan lokal yang mendapat sentuhan budaya luar, maka tugas kita sekarang adalah bagaimana menemukan akarnya kembali. Bagaimanapun wujud dari entitas budaya lokal itu, sumber utamanya berasal dari masa lalu, kendati era global telah melanda hampir seluruh pelosok Banten, namun masa lalu selalu dipandang sebagai “a living component of present-day life”, yaitu komponen hidup yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari kehidupan kontemporer. Ketika sekarang, kita dihadapkan pada pertanyaan, mengapa warisan budaya harus dilestarikan, jawabannya adalah karena manusia memiliki kesadaran akan hidup dan eksistensinya. Maka untuk menunjang kehidupan dan eksistensi itu, maka manusia selalu memiliki “awareness of the past” yang selalu mengandung kearifan lokal. Maka tugas kita yang kedua adalah bahwa abstraksi nilai dan norma, serta sistem sosial yang melatari terbentuknya “local wisdom itu”, perlu tindakan konstruktif, dan untuk bukan sekedar merevitalisasi, tetapi juga melalui langkah-langkah reformulasi dan reaktualisasi, yaitu sejalan dengan tantangan global saat ini yang terus berjalan secara dinamis dan masif.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *