
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Hari ini (Minggu, 13 Juli 2025) terutama seusai penutupan acara diklat (penelusuran sejarah dan seni budaya nusantara) yang dilaksanakan mulai tanggal 10-13 Juli 2025. Diacara diklat tersebut menyuguhkan berbagai materi penting terutama dibidang sejarah dan seni budaya nusantara. Demikian juga para nara sumber, cukup antusias untuk menginfiltrasi para peserta diklat. Namun yang lebih istimewa, karena ruang materi penyampaian materi diklat tersebut bertempat (di Gedung Nusantara III Gedung DPR-RI). Alhasil, seusai acara diklat dan pemberian materi, seluruh peserta dari berbagai Provinsi (kurang lebih sekitar 20 perwakilan Provinsi yang ikut diklat) termasuk penulis sendiri yang tergabung dengan Provinsi Banten, mengucapkan ribuan terima kasih kepada panitia penyelenggara diklat, karena telah diberikan informasi keilmuan yang baru, mensejarah, dan aktual.
Setelah terjun ke lapangan, terutama ketika menelusuri berbagai cagar budaya, lokasi bersejarah dan menganalisis berbagai artefak sejarah yang berbentuk fisik, terutama yang ada kaitannya dengan keberadaan etnis Betawi. Dan penulis sendiri demikian antusias untuk menelusuri destinasi wisata sejarah (lokasi musium cagar budaya Betawi, Situ Babakan, Jakarta Selatan). Ternyata di musium itu memang ada fakta yang lebih menarik, yaitu terkait eksistensi suku Betawi. Lebih dari itu, berbagai fakta arkeologis yang bersifat tertulis (yang ada di musim Situ Babakan), nampaknya secara kronologis telah menunjukan, bahwa di sekitar tahun 1815 M, ketika itu telah dilakukan sensus penduduk yang pertama kali di Batavia. Bahkan, saat masa kekuasaan Belanda, belum ada juga catatan yang lebih detail, yaitu soal keberadaan suku/etnis Betawi (sebagai etnis yang tinggal di kota Batavia). Lebih-lebih saat sensus penduduk di tahun berikutnya (tahun 1893 M), konon katanya sebagian suku pribumi di Batavia malah hilang atau dihilangkan hingga muncul istilah “Inlander” atau suku pribumi, yang nota bene menjadi cikal bakal suku Betawi itu sendiri dikemudian hari. Namun menurut para ahli sejarah, bahwa pertama kali Betawi dianggap sebagai suku (etnis), yaitu pada tahun 1930 M, terutama ketika dilakukan sensus penduduk kembali. Berdasarkan sensus penduduk saat itu (1930), populasi suku Betawi kurang lebih sekitar 778.955 orang dan mendiami Batavia. Sedangkan sebutan suku, orang, kaum dan Betawi itu sendiri, hal itu muncul seiring dengan berdirinya suatu perkumpulan “Kaum Betawi”, yang diinisiasi oleh Mohammad Husni Tamrin, pada tahun 1918 M. Meski saat itu “penduduk asli Betawi belum disebut Betawi, tapi keberadaan kota Batavia saat itu sudah disebut “Negeri Betawi”, hal itu sebagai kategori “suku” yang muncul dan sekaligus dikuatkan pada pelaksanaan sensus penduduk di tahun 1930 itu.
Sedangkan asal-mula atau filosofi tentang Betawi juga dihapus dari berbagai pendapat, terutama sebelum adanya penyebutan “Kaum Betawi” di tahun 1918, yang digagas oleh Muhammad Husni Tamrin. Sementara banyak juga versi lain yang menyebutkan, bahwa asal-mula atau filosofi dari kata Betawi, konon katanya berasal dari kesalahan penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam catatan “Dinas Kebudayaan DKI Jakarta”, terutama ketika terjadi penyerangan tentara Belanda di Batavia kepada tentara Mataram. Bahkan, menurut versi lainnya yang lebih seronok dan terkesan agak fulgar, bahwa saat tentara Belanda kekurangan peluru, konon katanya mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka sendiri dan kemudian menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram hingga menyebarkan bau yang tidak enak, alias bau yang tidak sedap. Akhirnya, para tentara Mataram mereka berteriak-teriak : “Mambu tai!!..Mambu tai!”. Artinya bau tahi! bau tahi!. Maka, dari kata mambu tai itulah, akhirnya muncul asal-mula atau asal-muasal nama Betawi itu.
Sementara keberadaan suku Betawi itu sendiri, hal itu sebsgaimana dijelaskan di dalam buku berjudul “Jaarboek van Batavia” (Vries, 1927). Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa awalnya penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan terus berasimilatif (bercampur) dengan suku-suku lain seperti dari berbagai wilayah Nusantara, Eropa, Cina, Arab, India, dan Jepang. Sedangkan keturunan mereka disebut Inlander, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas. Sementara menurut sejarawan Betawi (alm) Ridwan Saidi, bahwa suku Betawi muncul terkait erat dengan penemuan kapak batu di hampir semua wilayah yang keberadaan etnis Betawi, seperti Sunter, Cilincing, Rawa Belong, Tanah Abang, Kebon Sirih, hingga ke Serpong Tangerang.Temuan itu sekaligus telah membuktikan bahwa sejak 3000 hingga 4000 tahun lalu tingkat penyebaran penduduk di Kalapa (kerajaan Sunda) telah ada jauh sebelum kedatangan Portugis. Penduduk itu, kata Ridwan Saidi disebut dengan penduduk “Proto Betawi” atau “Tua Betawi”.
Sementara kota Jakarta sendiri secara geografis memang lekat dengan wilayah pesisir. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul “Etnik Betawi” (2013), yakni sejak awal kota Jakarta terbentuk, memang lekat dengan daerah pesisir, tepatnya di muara Sungai Ciliwung. Selanjutnya terus berkembang mengikuti pergerakan penduduk dari pesisir ke tengah. Namun, hampir sulit untuk membedakan kebudayaan penduduk pesisir dan penduduk tengah kecuali dari karakteristik mata pencahariannya. Sementara penduduk wilayah pesisir, mereka hidup dari berdagang dan menangkap ikan atau sebagai nelayan, sedangkan penduduk daerah tengah kota hingga selatan hidup dengan bertani. Sementara dalam bidang kebudayaan, daerah pinggiran mempunyai hubungan yang kuat dengan kebudayaan daerah Pajajaran di Bogor. Ini berbeda dengan organisasi kebudayaan penduduk pesisir dan tengah yang cenderung terbuka. Karena, pengenalan masyarakat pesisir dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Internasional saat itu, dan sekaligus keragaman pusat suku budaya dari berbagai negara.
II. Kebudayaan Betawi Pesisir Dan Pinggiran
Pebedaan yang mencolok antara budaya pesisir dan budaya pedalaman, hal itu yang menjadikan pengaruh kebudayaan pada penduduk pesisir dan tengah cukup melekat dan kentara sangat egaliter, terutama dengan budaya Melayu. Sementara pada masyarakat pinggiran dan udik terkait dengan pengaruh kebudayaan Sunda. Kendati demikian, keempat sub-wilayah budaya Betawi ini menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu. Sedangkan awal persebaran bahasa Melayu ke wilayah pinggiran dan udik karena adanya sungai Ciliwung sebagai salah satu sentra transportasi ketika di zaman itu, sekaligus menjadikan daerah pinggiran dan udik menjadi daerah penyangga untuk keperluan daerah pesisir dan tengah.
Dengan adanya sungai Ciliwung, maka empat sub-wilayah Betawi dapat terhubung. Nah, kenapa penduduk pinggiran dan udik Betawi lebih terpengaruh bahasa Melayu daripada bahasa Sunda? Mengingat kawasan tersebut secara budaya lebih lekat dengan budaya Sunda, namun secara ekonomi penduduknya malah lebih banyak berkumpul dengan orang-orang di ilir. Bahkan, peran kerajaan Sunda Pajajaran saat itu hanya sebatas pemungut bea dan tidak berpengaruh langsung dengan penyebaran budaya Sunda itu sendiri.
A. Filosofi Suku Betawi, Jejak Sejarah Dan Budaya Yang Mengitarinya
Sebagaimana telah dikemukakan di sub judul bagian atas, bahwa suku (etnis) Betawi merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki peranan penting dalam sejarah dan budaya Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta. Sedangkan keunikan budaya dan tradisi etnis Betawi, membuat suku ini (Betawi) menyimpan berbagai cerita yang terus menarik mengenai asal-usul dan perkembangan budaya mereka.
- Sejarah Awal Etnis Betawi
Suku Betawi adalah penduduk asli Jakarta, yang sekarang dikenal sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia. Pada abad ke-17 M, Nyai Inqua yang merupakan seorang janda Tuan Tanah Kapiten Tionghoa, Souw Beng Kong, menyebutkan bahwa ia memiliki seorang pembantu perempuan dengan suku Betawi. Hal itu sebagaimana tertulis dalam testamen, yaitu salah satu dokumen pada tahun 1644 M. Sedangkan munculnya istilah Betawi itu sendiri berasal dari nama kota Jakarta yang pada masa kolonial Belanda disebut Batavia. Saat itu, orang Betawi dipakai untuk menyebut masyarakat yang tinggal di daerah Jakarta. Karena sulitnya pengucapan kata Batavia bagi orang Sunda yang tinggal wilayah sekitar Jakarta, maka lambat-laun proses pengucapannya berubah menjadi Betawi. Sedangkan secara realitas faktual, yakni sebagaimana telah disinggung di bagian atas, bahwa suku Betawi merupakan hasil percampuran berbagai kelompok etnis dari berbagai wilayah Nusantara yang datang ke Jakarta pada masa lalu, termasuk Portugis, India, Cina, Arab dan Belanda. Percampuran itu terjadi karena Jakarta yang menjadi pelabuhan penting saat itu, dan sekaligus merupakan tempat bertemunya berbagai budaya dan bangsa dari berbagai belahan dunia.
- Filosofi Suku Betawi
Proses pembentukan identitas suku Betawi dimulai pada masa kolonial ketika Jakarta menjadi pusat perdagangan dan kegiatan ekonomi. Berbagai kelompok etnis yang berbeda saat itu terus berasimilasi dan mulai menetap dan berbaur, untuk menciptakan masyarakat yang heterogen. Orang Jayakarta, yang sebelumnya merupakan orang Sunda Kalapa, adalah unsur utama pembentuknya suku Betawi. Penguasaan Sriwijaya atas Nusa Jawa, termasuk Sunda Kalapa, akhirnya melahirkan masyarakat Sunda yang berbicara dalam bahasa Kawi dan bahasa Melayu sebagai “lingua franca”, dan umumnya mereka tinggal di Sunda Kalapa dan sekitarnya, sehingga bahasa inilah yang menjadi identitas suku/etnis Betawi.
Sementara Sunda Kalapa saat itu, merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda, dan bahkan mengalami perkembangan pesat setelah jatuh ke tangan Faletehan dan menjadi awal mula kekuasaan Islam. Periode ini berhasil mengislamkan penduduk Sunda Kalapa, yang kemudian menjadi bagian dari identitas etnis Betawi. Dari tiga periode, yaitu priode Sriwijaya, Kerajaan Sunda (Tarumanegara dan Pajajaran), dan kerajaan Islam. Seja keberadaan ketiga kerajaan tersebut, maka dasar-dasar etnis Betawi sudah terbentuk, meski istilah “Betawi” saat itu belum ada. Tapi, saat VOC menguasai Jayakarta, penduduk pergi meninggalkan Jayakarta yang saat itu diubah namanya menjadi Batavia. Mereka menghuni wilayah kosong di sekitar Batavia dan kelompok etnik inilah yang menjadi wadah bagi pendatang dari seluruh Nusantara dan luar Nusantara, seperti Inggris, Belanda, Portugis, Cina, dan India. Suku Betawi diyakini memiliki jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan pendatang, karena mereka dapat mempertahankan identitasnya yaitu bahasa Melayu dan agama Islam. Komunitas Jayakarta yang dominan menerima pendatang dari berbagai suku, dan kemudian membentuk suku Betawi dengan kebudayaan gado-gado di bawah pengaruh nilai-nilai agama Islam. Saat itu agama Islam berfungsi sebagai perekat berbagai suku karena mengakui kesetaraan derajat manusia.
- Budaya Dan Tradisi Suku Betawi
Suku Betawi memiliki kekayaan budaya yang beragam dan unik. Beberapa aspek budaya dan tradisi Betawi yang mencolok antara lain : (1). Bahasa. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh berbagai bahasa lokal lainnya. Meskipun banyak orang Betawi sekarang menggunakan bahasa Indonesia, namun dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Betawi masih digunakan dalam konteks tertentu dan dikenal karena kekhasan dialeknya. (2). Kesenian. Kesenian Betawi mencakup berbagai bentuk, seperti tari topeng Betawi, gambang kromong, tanjidor, dan lain sebagainya. Sementara tari topeng Betawi, merupakan tarian tradisional yang diiringi dengan musik tradisional. Selain itu, terdapat juga seni palang pintu, yang merupakan pertunjukan seni bela diri. (3). Kuliner. Makanan khas Betawi termasuk soto Betawi, kerak telor, dan nasi uduk Betawi merupakan khas kuliner Betawi. Sementara kuliner Betawi terkenal dengan rasa yang kaya dan penggunaan bumbu-bumbu tradisional. (4). Upacara Adat. Suku Betawi memiliki berbagai upacara adat, seperti perayaan Lebaran Betawi dan pesta pernikahan yang diwarnai dengan tradisi dan ritual khas. Suku Betawi merupakan contoh nyata dari kekayaan budaya Indonesia yang dihasilkan dari percampuran berbagai etnis dan budaya. Dengan sejarah panjang dan tradisi yang beragam, suku Betawi memainkan peran penting dalam membentuk identitas Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap asal-usul masyarakat Betawi, akhirnya kita dapat lebih menghargai keanekaragaman budaya yang ada di tanah air kita tercinta ini.
III. Suku Betawi, Akulturasi Budaya, Dan Sejarah Betawi Sebelum Masehi
Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki kekerabatan etnis dengan Melayu, Sunda, dan Jawa. Sejarah telah membuktikan bahwa suku Betawi merupakan percampuran antar etnis dan bangsa dimasa silam, suku Betawi merupakan masyarakat multi etnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru. Produk seni budaya Betawi menjadi saksi betapa budaya Betawi telah berkembang sedemikian rupa, yaitu setelah adanya percampuran budaya, adat-istiadat, tradisi, bahasa, dan lain sebagainya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia. Komunitas itu lama kelamaan melebur menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi. Sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, memang diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Pemoeda Kaoem Betawi” yang lahir pada tahun 1923 M.
A. Asal Kata Betawi
Nama “Betawi” secara etimologis berasal dari kata “Batavia” yang lama kelamaan berubah menjadi “Batavi”, dari kata “Batawi” lalu berubah menjadi “Betawi” (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal). Menurut penuturan sejarawan Betawi (alm) Ridwan Saidi, ada beberapa acuan mengenai asal mula kata Betawi. Salah satunya adalah “Pitawi” (bahasa Melayu-Polinesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan itu menurut (alm) Ridwan Saidi, memang mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batujaya (Karawang). Lebih dari itu menurut sejarawan Ridwan Saidi, ia juga mengaitkan bahwa kompleks bangunan Candi Batujaya di Karawang merupakan sebuah kota suci yang tertutup, sementara Karawang merupakan kota yang terbuka. Sementara “Betawi” (bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang. Nama tersebut mengacu pada ekskavasi (penggalian arkeologis) yang berlokasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, dimana saat dilakulan ekskavansi ketika itu banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M. Merujuk pada nama sebuah tumbuhan yang bernama Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Bahkan ketika zaman dulu, bahwa jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut “Kayu Bekawi”. Ada perbedaan pengucapan kata “Betawi” dan “Bekawi” pada penggunaan kosakata “k” dan “t” antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
B. Sejarah Betawi Sebelum Masehi
Menurut sejarawan (Sagiman MD) dan sang arkeolog (Uka Tjandarasasmita) bahwa sejarah penduduk asli Jakarta (dahulu bernama Sunda Kalapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut sejarahnya memang sudah ada sejak zaman neolitikum (3.500–3.000 tahun yang lalu). Hal itu berdasarkan temuan alat-alat yang ditemukan di situs-situs, seperti ditemukannya kapak, beliung, pahat, cangkul/pacul yang sudah halus dan lain sebagainya. Sementara menurut pendapat Yahya Andi Saputra (seorang alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia), ia berpendapat bahwa penduduk asli Jakarta adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya, bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Ia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri. Dahulu, penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno. Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda.
C. Sejarah Betawi Setelah Masehi
- Periode Awal Abad Ke-2 M
Pada abad ke-2 M, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara, yaitu yang terletak di kaki Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten.
- Abad Ke-5 M
Pada akhir abad ke-5 M, saat itu berdiri kerajaan Hindu, yaitu kerajaan Tarumanegara di tepi sungai Citarum. Bahkan sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa kerajaan Tarumanegara merupakan kelanjutan dari kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibu kota kerajaannya saat itu dipindahkan dari kaki Gunung Pulosari ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi saat itu menjadi rakyat dari kerajaan Tarumanegara. Sementara letak ibu kota kerajaan Tarumanegara berada di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah Timur pinggiran kota Jakarta.
- Abad Ke-7 M
Pada abad ke-7 M, kerajaan Tarumanagara, akhirnya ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Dan akhirnya mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta. Kemudian menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan. Hal itu disebabkan terjadinya asimilasi (perkawinan) antara penduduk asli dengan pendatang dari Melayu.
- Abad Ke-10 M
Pada sekitar abad ke-10 M, terutama ketika terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu dari kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah dari kerajaan Kediri. Maka persaingan itu kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok untuk ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka merasa terganggu. Perdamaian tercapai, namun kendali lautan akhirnya dibagi dua. Yakni, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan oleh kerajaan Sriwijaya, sedangkan sebelah timur, yaitu mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri. Artinya pelabuhan Kelapa termasuk dibawah kendali kerajaan Sriwijaya.
D. Priode Hubungan Betawi Dengan Bangsa Eropa
- Abad Ke-16 M
Diawali dari pertemuan antara Kerajaan Pajajaran dengan pihak Portugis pada tahun 1512 M dan 1521 M, Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) mengutus sang putra mahkotanya, yaitu Surawisesa, untuk pergi ke Malaka, untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di wilayah Sunda Kelapa. Mengetahui kerjasama tersebut, Kesultanan Demak akhirnya berhasil merebut Sunda Kalapa dari koalisi Pajajaran dan Portugis, dan kemudian derah tersebut diubah namanya menjadi Jakarta (Jakarta). Sejak saat itu dimulailah proses Islamisasi masyarakat Sunda Kelapa. Sementara keberadaan masyarakat Sunda Kelapa saat itu akhirnya berbudaya dan berbahasa jawa sama seperti wilayah pesisir lainnya, yaitu seperti Serang, Indramayu dan Cirebon. Itulah sebabnya hingga kini masih tersisa kosakata dan budaya jawa pada suku Betawi. Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, saat itu Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota Batavia. Ketika itu VOC memaksa penduduk menggunakan bahasa melayu pasar. Selain itu VOC juga banyak mendatangkan bawahan dari luar pulau. Sejak saat itulah pula bahasa Betawi menjadi kreol melayu. Ketika Malaka (yang dikuasai Portugis saat itu) jatuh ke tangan Belanda (tahun 1641 M), akhirnya sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia. Dari tawanan tersebut, tepatnya pada tahun 1661 M, kurang lebih sebanyak 23 keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di Kampung Tugu, dengan persyaratan berpindah keyakinan, yakni dari Katolik ke Kristen Protestan. Dari keturunan Portugis inilah sejarah Keroncong Tugu akhirnya tercipta. Bahkan, VOC juga banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan. Dari situlah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini. Bahkan, setelah itu kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara dan dunia, yakni mulai dari Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Bahkan, berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia. Seperti; adanya nama Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Sementara rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690 M.
- Abad Ke-19 M
Antropolog dari Universitas Indonesia, yaitu Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar satu setengah abad lalu, antara tahun 1815 – 1893 M. Bahkan, ketika di zaman kolonial Belanda, (pemerintah kolonial Belanda) saat itu selalu melakukan sensus penduduk, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta pada tahun 1615 M dan1815 M misalnya, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan detail mengenai golongan etnis Betawi. Sementara hasil sensus penduduk pada tahun 1893 M, menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya, orang Arab dan Moor, Tionghoa, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor itu dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: Inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
- Abad Ke-20 M
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930 M, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus penduduk di tahun 1930. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923 M, saat (alm) Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi, dan saat itu pula segenap orang Betawi sadar bahwa mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat “Proto Betawi”. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang sudah umum digunakan di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
D. Betawi Setelah Kemerdekaan
Sejak kemerdekaan (tahun 1945), akhirnya Jakarta populasi penduduknya dibanjiri para imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi dalam arti apapun juga realitanya tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961M misalnya, “Suku Betawi” mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Malah mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.
- Seni Dan Budaya Betawi
Keberadaan kebudayaan Betawi saat ini terjadi dari proses campuran (asimilasi) budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan Sunda Kelapa, Batavia dan sekarang Jakarta, merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, suku/etnis Betawi, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Bugis, dan lain sebagainya. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti dari budaya Arab, Tiongkok, Belanda, dan Portugis. Sementara untuk melestarikan budaya Betawi, maka didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan (Jakarta-Selatan).
- Bahasa Betawi
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, tapi bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir (Betawi Ilir). Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi “é” sedangkan dialek Betawi pinggir adalah “a”. Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Cengkareng, Ciputat, Ciledug hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi dialek Tengahan, Bahasa Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
- Seni Musik
Seni musik Betawi merupakan seni hasil akulturasi berbagai suku yang ada di Betawi. Gambang Kromong merupakan perpaduan seni musik Betawi dengan Tionghoa, Rebana yang berakar dari tradisi musik Arab, orkes Samrah yang berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana, Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti “Kicir-kicir”. Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang dan lain sebagainya.
- Seni Tari Dan Drama
Ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan seni khas Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta rakyat. Sementara musik yang mengiringi ondel-ondel tersebut, tidak menentu, tetapi biasanya diiringi dengan irama gambang kromong dan tanjidor. Ada juga yang di iringi dengan silat pencak betawi, marawis, hadroh dan rebana ketimpring. Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Sedangkan drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka lainnya. Kadang-kadang pemeran Lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton. Sedangkan Festival Lenong Betawi itu sendiri secara rutin digelar atau dilaksanakan oleh pihak Ikatan Drama Jakarta, atau INDRAJA, dan termasuk oleh Indraja wilayah Jakarta Barat.
Hal itu sebagaimana penulis sendiri pernah terlibat langsung dengan aktifitas “Festival Lenong” itu, yakni untuk mengikuti lomba/festival Drama Lenong, yaitu dengan menampilkan Grup Lenong asuhan penulis sendiri, yaitu bernama “Grup Lenong Ampera 12″. Sedangkan keberadaan sangar dan sekaligus sekretariat Lenong tersebut berada di Gang Ampera, RT. 0012/011 Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kotamadya Jakarta Barat. Sementara sejarah keberadasn Gruf Lenong Ampera 12, memang penulis sendiri yang membidani atsu yang mendirikan Grup Lenong tersebut, yaitu sejak tahun 1993. Bahkan, satu tahun kemudian, yakni sejak tahun 1994, 1995, 1996, dan 1997 (empat tahun berturut-turut), Grup Lenong Ampera 12, telah berhasil dan memboyong piala Festival Lenong Se-Jakarta Barat, dan sekaligus menjadi juara pertama dan kedua setiap tahunnya, yakni diacara Lomba Lenong atau Festifal Lenong Se-Jakarta Barat saat itu. Sementara kegiatan Festival Lenong tersbut secara rutin digelar di Gedung Olah Raga (GOR) Jakarta Barat, tepatnya di GOR daerah Grogol. Sementara Grup Lenong Ampera 12, saat itu di bawah asuhan penulis dan sekaligus disutradai oleh Saudara Ganda Saputra. Ketika itu, Grup Lenong Ampera 12, kerapkali menampilkan judul cerita Lenong seperti;”Si Ronda” (berhasil menjadi juara satu pada Festival Lenong tahun 1994). Kemudian “Si Pitung” (berhasil menjadi juara satu pada Festival Lenong tahun 1995). “Si Jampang (menjadi juara II pada Festival Lenong tahun 1996). Dan judul lenong “Mat Item”, berhasil menjadi juara II pada Festival Lenong tahun 1997. Sementara kegiatan Festival Lenong tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Drama Jakarta (INDRAJA) dan termasuk dilakukan oleh INDRAJA Jakarta Barat. Bahkan saat itu, INDRAJA Jakarta Barat, betul-betul pro aktif dan tiap tahun menyelenggarakan Festival Lenong se Jakarta Barat. Dan INDRAJA Jakarta Barat bekerjasama dengan pihak Pemda Jakarta Barat, saat itu betul-betul mercusuar dan bisa menghidupkan dunia atau sanggar-sangar Lenong serta kantong-kantong seni budaya yang ada di wilayah Jakarta Barat.
- Cerita Rakyat
Banyak Cerita rakyat yang berkembang di Betawi diantaranya sebagaimana penulis telah tampilkan di acara festival lenong se-Jakarta Barat, yakni di era tahun 1995-an, yaknk seperti sudah dikenal oleh komunitas masyarakat Betawi seperti : Si Pitung, Si Jampang, Si Ronda, Mat Item, Si Ji’ih, Sabeni dan lain sebagainya, yakni yang mengisahkan jawara-jawara Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal “keras tapi demi untuk membela kepentingan rakyat”. Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lain sebagainya.
- Senjata Tradisional
Senjata khas Jakarta (Betawi) adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
- Rumah Tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya. Terdapat pula rumah tradisional lain seperti rumah panggung Betawi. Suku Betawi di Jakarta mengenal tradisi “Bikin Rume” yang dilakukan ketika hendak membangun rumah.
- Agama Dan Kepercayaan
Sebagian besar orang Betawi menganut agama Islam. Sedangkan menurut salah seorang angropolog (Dr. Fachry Ali dari UIN), ia menyatakan bahwa Islam sebagai salah satu sumber identitas dan budaya Betawi, sehingga tidak bisa dipisahkan. Sementara keberadaan Ormas (Forum Betawi Rempug atau FBR), ternyata di dalam AD/ART organisasinya, memang menyatakan, bahwa salah satu etos organisasi mereka ada tiga S : Sholat, Silat dan Sekolah. Ada pula komunitas kecil Betawi yang menganut Kekristenan yakni Katolik dan Protestan. Salah satu komunitas itu adalah dari Kampung Tugu, Jakarta Utara. Mereka menyatakan keturunan campuran antara penduduk lokal dengan Mardijkers, bangsa Portugis ataupun Belanda. Selain itu ada pula komunitas Kristen Kampung Sawah dan lain sebagainya.
- Perilaku Dan Sifat
Ada beberapa hal yang positif dari etnis Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal itu terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dengan pendatang dari luar Jakarta. Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Dan itu terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang masih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
- Profesi
Sebelum era Orde Baru, profesi orang Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Sunda, Jawa, Belanda, Portugis, dan lain-lain). Sementara profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan pembauran etnis dasar masing-masing. Daerah Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong misalnya, memang banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum di wilayah tersebut banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh etnis Betawi saat ini. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Bahkan, konon dulunya wilayah Kuningan (Jakarta Pusat) adalah tempat para peternak sapi perah. Sementara wilayah Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur di wilayah Kemanggisan. Maka munculah sosok seorang Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Si Ji’ih, yaitu salah seorang teman seperjuangan Si Pitung dari Rawabelong. Sementara di Kampung Paseban banyak warga yang merupakan kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda. Bahkan, kemampuan pencak silat (terutama pencak silat yang beraliran Beksi dan Sliwa) memang ciri khas dari etnis Betawi, dan hingga saat ini sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, yang lebih menonjol saat ini adalah dengan bermunculannya Grup Palang Pintu, yang kerapkali dibumbui adegan pencak silat (Beksi) dan berbagai pantun Betawinya yang ngocoy dan menghibur. Bahkan hingga saat ini, etnis Betawi juga banyak yang berprofesi sebagai Guru, pengajar, ustaz, dan profesi pedagang yang handal juga dilakoni. Sedangkan warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk “terpaksa” demi memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang dikenal saat ini.