
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Untuk menguraikan isi tulisan sebagaimana judul diatas, penulus terpaksa harus merujuk pada kontekstualitas sejarah peradaban Islam. Mengingat, bobot tulisan kali ini, yaitu pada soal eksistensi kota Bagdad yang pernah mengalami “mercusuar” dan kerapkali diperbincangkan dalam konteks sejarah peradaban Islam di srantero dunia hingga saat ini. Lebih dari itu, kota Bagdad juga sangat melekat dengan proses perkembangan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Ibu Kota Irak itu. Bahkan, sejarah menyebutnya istilah “The Golden Age of Islam”, yaitu merujuk kembali ke sebuah kota dimana penguasa “Daulah Abbasiyah” ketika berkuasa di abad 12 M.
Sedangkan dalam konteks sejarahnya, bahwa Kota Bagdad didirikan oleh Khalifah Al-Mansur pada tahun 762 M, ia berkuasa selama 754-775 M. Kota Bagdad terletak di sekitaran Sungai Tigris di negara Irak, menjadi ibu kota dan merupakan tempat munculnya “para penjaga ilmu” yang gaungnya masih nyaring ke seantero dunia hingga saat ini. Menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2003, ternyata populasi penduduk di kota Bagdad kurang lebih sekitar 5.772.000 jiwa. Populasi itu menjadi nilai signifikan bahwa Kota Bagdad memang merupakan kota yang padat penduduk. Oleh sebab itu, Daulah Abassiyah pada masa kejayaannya, ia membuat kota Bagdad dengan desain “kota lingkaran” hal itu sebagai pusat pemerintahan yang menjadi mega proyek bagi struktur perkotaan yang unik dan menarik.
Lebih dari itu, kota Bagdad juga memiliki andil besar dalam perkembangan agama Islam terkhusus pada ghairah dunia intelektual yang melekat di sana. Menurut Philip K. Hitti, ketika di abad 12 M, Daulah Abbasiyah mendirikan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) sebagai tempat pengkajian ilmu pengetahuan. Dimana tempat itu menjadi wadah berkumpulnya para cendekiawan muslim untuk bertukar ide dan menggagas ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah menjadi perpustakaan, lembaga akademis, observasi, dan biro penerjemahan demi kebutuhan intelektual. Sedangkan sebutan “Kota Seribu Malam” itu sendiri, yakni untuk kota Bagdad, memang sangat pantas disandangnya. Karena Bagdad merupakan kota intelektual dan kota peradaban ilmu pengetahuan. Bagdad, pernah membawa kejayaan umat Islam, tepatnya ketika masa kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid (berkuasa selama 170-193 H/786-809 M). Pada saat itu perkembangan ilmu pengetahuan Islam yang maha luar biasa hebatnya. Bagdad seolah-olah menjadi “Intellectual Awakening” bagi peradaban Islam pada saat itu.
Sementara ada beberapa alasan mengapa Bagdad menjadi kota paling berperan dalam perkembangan intelektual keislaman. Pertama, letak kota Bagdad yang strategis karena masih di daerah Irak dimana pendukung Bani Abbasiyah banyak bermunculan di sana. Kedua, Bagdad terletak di tepian Sungai Tigris, sehingga membawa keuntungan tersendiri bagi penduduknya untuk mendapatkan irigasi yang baik. Ketiga, Bagdad merupakan “City of Trade” sehingga menjadi lalu-lalang bagi para pedagang lintas daerah untuk memberikan kemudahan bagi penduduk, yaitu untuk memperoleh komoditi sehari-hari. Jika Sillicon Valley di San Francisco (Amerika Serikat) menjadi pusat berkembangnya teknologi era modern bagi dunia saat ini. Maka Bagdad menjadi “Sillicon Valley-nya” Islam beberapa abad yang lalu dalam hal keilmuan. Artinya Kota Bagdad menjadi rujukan utama bagi peradaban ilmu pengetahuan bagi masyarakat dunia zaman dulu, yakni jauh sebelum zaman “Rennaisans” sebagai abad pencerahan bagi masyarakat Eropa. Hal itu sebagaimana dijelastkan di dalam buku berjudul “Untold Islamic History” karya Abdul Syukur Al-Azizi. Sementara beberapa ilmuwan jebolan Baitul Hikmah diantaranya seperti ; Al-Kawarizmi sebagai pakar Matematika, Al Fazari dan Al-Farghani pada bidang Astronomi, Ibnu Al-Haitam di bidang optik, Al-Razi dan Jabir bin Hayyan di bidang Kimia, Al-Biruni pada Fisika, Avicenna atau Ibnu Sina pada bidang kedokteran, Al-Farabi sang filsuf ulung Aristotelian, dan Averroes atau Ibnu Rusyd untuk melengkapi kemajuan Filsafat Islam pada saat itu. Nama-nama besar tersebut menjadi bukti bahwa lanskap kemajuan peradaban Islam memang berpusat di Baghdad.
Selain itu, Bagdad juga menjadi “Place of Knowledge”, yaitu pasca runtuhnya perpustakaan Alexandria pada abad ke 3 SM. Jika peradaban Yunani memiliki tempat ikonik berupa perpustakaan besar yang berisi papirus-papirus dari intelek “Ancient Greek”. Maka Baghdad sangat mentereng dengan Baitul Hikmahnya, yakni sebagai tempat pergolakan ilmu pengetahuan. Bahkan sejarah telah mencatat, bahwa khazanah intelektual yang berpusat di Baghdad zaman dulu, namun hingga saat ini tetap memberikan sinyal besar bagi peradaban Islam, yakni bagaimana agar umat Islam saat ini untuk bisa mengulang kembali (comeback), demi untuk meraih masa kejayaan yang pernah dialami umat Islam zaman dulu itu. Pesan penting bagi generasi muslim saat ini, yaitu untuk tetap “Tholabul Ilmi” disertai “Tauhidic Mindset” demi kebangkitan Islam yang seutuhnya dan selanjutnya. Karena realitanya saat ini, bahwa kemajuan peradaban suatu bangsa, memang diukur dari nilai-nilai kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dikuasainya. Oleh karena itu, Islam menjadi pondasi mendasar bagi generasi penerus umat Islam saat ini, agar tidak hanya membanggakan kejayaan Islam di masa lalu saja. Tapi, bagaimana agar terus melakukan langkah-langkah yang lebih kongkrit (khususnya bagi generasi muda Islam saat ini) demi terciptanya peradaban Islam yang baru dan bisa mendominasi (menguasai kedigjayaan ilmu pengetahuan) di era kekinian. Karena sejarah kota Baghdad ketika zaman dulu, merupakan kota ribuan kenangan, ribuan keilmuan, dan ribuan torehan sejarah yang pernah mengubah kiblat ilmu pengetahuan bagi peradaban masyarakat dunia.
II. Julukan Kota Seribu Satu Malam
Sejarah sebuah bangsa, agama, sebuah peradaban, bahkan sejarah hidup seorang manusia berperadaban perlu dilestarikan agar manusia yang hidup dimasa kini dapat memahami bagaimana generasi terdahulu itu mereka menjalani dinamika kehidupannya, serta mengetahui asal-usul kehidupan yang dijalaninya saat ini. Begitu juga di kehidupan masa depan, peristiwa yang berlangsung masa ini akan menjadi catatan bersejarah bagi anak cucu kita kelak dikemudian hari, yaitu untuk menelusuri (mengenal) jejak nenek moyangnya serta “menghargai” asal usulnya. Karena, generasi yang meneruskan peradaban bangsa, tidak auto tuntas setelah melihat, mempelajari, dan berfoto bersama dengan situs-situs bersejarah misalnya. Sementara orang yang tidak melupakan sejarah, yaitu orang yang memahami kemudian disertai dengan perasaan dan perlakuan menghargai sejarah. Seorang yang hidup disebuah kota misalnya, ia hendaknya mengetahui lebih jauh tentang kota yang ia diaminya itu, dan kemudian ia terus menelisik sejarah sejak sebelum berdirinya kota yang ia diaminya itu.
Namun, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang punya greget terhadap sejarah itu, tentu akan jauh berbeda dengan orang-orang yang hanya sekedar mengunjungi tempat bersejarah untuk menghargai sejarah, tapi ia hanya sekedar foto-foto dan kemudian hanya perlu tahu sedikut saja. Bahkan, para pengunjung ke tempat bersejarah (para wisatawan) yang tidak terlalu konsen terhadap sejarah, ia pasti akan memfokuskan tatapannya pada keunikan (semisal) ukiran batu nisan pada makam bersejarah lalu membaca catatan singkat pada pamflet disudut pagar makan, kemudian berfoto, dan selesai. Namun sebaliknya, bagi orang yang hidup dan betul-betul menghargai sejarah, ia akan memahami sejarah untuk menghargai dirinya dan kehidupannya. Setelah memahami dan mengambil intisari nilai sejarah, maka ia akan terus mengupayakan pada proses pelestarian sejarah dengan beragam upaya seperti ; Proses pemugaran situs sejarah, melakukan pemeliharaan tempat/objek sejarah, serta pembangunan akses terhadap situs sejarah untuk mecapai nilai sejarah. Sementara pembangunan akses kepada nilai sejarah merupakan jalan bagi sebuah bangsa untuk mengenali dirinya sendiri.
A. Bagdad Kota Seribu Satu Malam
Kota yang terkenal dengan julukan kota seribu satu malam adalah Kota Bagdad (Irak). Bagdad merupakan kota terbesar kedua di Timur Tengah setelah Kairo, yang terletak di antara jalur sungai Eufrat dan Tigris. Kota Bagdad pernah menjadi pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan pusat peradaban Islam. Bagdad menjadi kota penting Dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 580 tahun, sejak pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur (640-656 M) sampai Al-Mu’tashim (1241-1258 M). Bagdad yang dijuluki kota seribu satu malam, karena Bagdad adalah kota yang paling indah yang dikerjakan oleh 100 ribu pekerja yang dipimpin oleh Hajjah bin Arthal dan Amran bin Waddhah. Di kota ini, terdapat Istana di pusat kota yang disebut Al-Qasr Az-Zahabi (Istana Emas), dengan luas 160 ribu hasta persegi yang dibuat sangat indah. Istana dengan pola arsitektur Persia ini dikenal juga dengan nama Istana Khalifah.
Sejak awal berdiri, Kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pada masa Dinasti Abbasiyah, peradaban Islam mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid dan putranya, Khalifah al-Ma’mun (786-809 M). Kedua khalifah itu memiliki perhatian yang besar pada pendidikan dan ilmu pengetahuan, sehingga Bagdad disebut sebagai kota intelektual, karena di sana lahir banyak intelektual Muslim agung yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat di Bagdad dan terkumpul dalam ribuan buku, sehingga pada masa itu didirikan sebuah perpustakaan yang dinamakan Baitul Hikmah. Beberapa kemajuan peradaban Kota Bagdad adalah sebagai berikut :
- Bidang Perekonomian.
Dalam bidang perekonomian, Khalifah Al-Mahdi memperbaiki sistem pertanian dengan cara perbaikan irigasi, yang menyebabkan produksi gandum, beras, kurma, dan zaitun terus melimpah. - Bidang Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan.
Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, Harun ar-Rasyid memanfaatkan kemajuan ekonomi untuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Salah satu jasanya adalah mendirikan perpustakaan Baitul Hikmah. - Bidang Keperluan Sosial.
Dalam bidang keperluan sosial, Harun ar-Rasyid membangun rumah sakit umum, pendidikan dokter, dan mendirikan farmasi. - Bidang Sastra.
Dalam bidang sastra, Kota Bagdad terkenal dengan hasil karya yang indah dan digemari banyak orang. Salah satu karya sastra yang terkenal adalah “Alfu Lailah wa Lailah” (Kisah Seribu Satu Malam). Sedangkan julukan kota seribu satu malam untuk Kota Bagdad berasal dari karya sastra tersebut diatas. Kisah Seribu Satu Malam menceritakan tentang seorang ratu Wangsa Sasan, Syahrazad yang menceritakan rangkaian kisah-kisah yang menarik kepada suaminya, Raja Syahriar, untuk menunda hukuman mati atas dirinya. Kisah-kisah itu diceritakannya selama seribu satu malam. Setiap malam, Syahrazad mengakhiri kisahnya dengan akhir yang menegangkan sehingga sang raja pun selalu menangguhkan perintah hukuman mati agar dapat mendengar kelanjutan kisah yang diceritakan Syahrazad itu. Sedangkan sosok Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwas penyair terkemuka pada masa Dinasti Abbasiyah juga muncul dalam cerita rakyat yang begitu melegenda hingga saat ini.
III. Bagdad Sebagai Pusat Peradaban Islam Dan Perkembangan Intelektual
Dalam raingkaian sejarah Islam diketahui bahwa umat Islam pada masa abad klasik telah mempersembahkan pada dunia suatu kemajuan peradaban dan perkembangan intelektual yang cukup tinggi selama enam abad dari tahun (650 M -1250 M). Puncak kejayaan Islam ditandai dengan kepemimpinan pada masa Dinasti Abbasiyah berkuasa. Kemajuan peradaban Islam tersebut di atas tidak lepas dari peran kota Bagdad yang menjadi ibu kota pada era khalifah Abbasiyah kedua. Kota itu didirikan oleh Khalifah al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M.
Sementara kemajuan ilmu pengetahuan dimulai dengan adanya penerjemahan teks-teks asing khususnya bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, serta berdirinya Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Perpustakaan Baitul Hikmah. Pendirian sekolah-sekolah ilmiah sebagai hasil kebebasan berpikir. Munculnya para tokoh cendekiawan muslim yang banyak menuliskan kitab dalam bidang agama dan pengetahuan umum. Daulah Abbasiyah menjadikan Bagdad sebagai pusat peradaban Islam dan memunculkan berbagai perkembangan intelektual dan perkembangan fisik. Berbagai pengaruh asing menghasilkan karya dalam banyak bahasa, sehingga memunculkan ilmu pengetahuan, filsafat, dan banyak bidang lainnya. Khalifah Al-Manshur, ia tercatat membangun kota baru yang dapat memberi perlindungan dan sesuai untuk dijadikan ibukota kerajaan yang besar. Dengan demikian, Bagdad menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik.
Sedangkan sebutan nama kota lain dari kota Bagdad adalah kota “Madinah Assalam” yang merupakan nama resmi yang dipakai pada percetakan uang dinar maupun uang dirham saat itu, alat timbang, serta keperluan resmi lainnya. Namun masyarakat cenderung menggunakan istilah lama, yaitu kota “Baghdad” yang merujuk pada salah satu kampung Nasrani Aramaik (Nasrani Assyria). Kemajuan kota Bagdad saat itu, dipengaruhi oleh Khalifah Daulah Abassiyah terutama dalam masa kepemimpinan khalifah Harun Al-Rasyid. Karena, pada masa kepemimpinanya, keberadaan kota Bagdad menjadi pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran dan peradaban Islam, perdagangan, perekonomian, dan politik. Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan pada masa pemerintahannya, ia terus penerjemahan buku-buku asing ke bahasa Arab. Al-Ma’mun juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya terbesarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan megah. Khalifah Al-Ma’mun juga melengkapi Baitul Hikmah berbagai fasilitas untuk menunjang perannya sebagai pusat ilmu pengetahuan. Berkembangnya kemajuan intelektual diawali dengan penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sanssekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan, filsafat atau sastra. Ilmu pengetahuan dan kesusastraan yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab kemudian dikembangkan oleh para sarjana muslim. Dari Yunani banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan filsafat, mantiq, tatanegara (politik) dan astronomi, Dari India juga banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu obat-obatan, ilmu hisab (hitung), dan astronomi. Dari Persia, banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu astronomi, hukum, sejarah, kesenian musik, kaligrafi atau yang disebut seni menulis dan kesusteraan. Kemudian dari Mesir banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu kimia, dan anatomi (biologi), Dari Kaldani, banyak diterjemahkan buku-buku yang berhubungan dengan ilmu pertanian. Dalam berkembangya suatu peradaban pastilah ada tokoh -tokoh yang berperan besar di dalamnya. Adapun tokoh-tokoh yang berperan besar dalam pembangunan sebuah peradaban kota Bagdad diantaranya sebagai berikut :
- Ilmu Filsafat.
Al-Ghazali (1085-1101 M) dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya Al-Munqizh Minadh Dhalal, Tahafut Al-Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ullumuddin. Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dikenal dengan Averros, karangannya: Al-Kuliyah fi Ath-Thib, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah. Ibnu Shina (980-1037 M). Terkenal dengan Avicenna, yang menghidupkan filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. karangan-karangan yang terkenal antara lain: Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib. - Bidang Kedokteran.
Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). dikenal sebagai bapak kimia. Hurain bin Ishaq (810-878 M), ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing. Ar-Razi atau Razes (809-873 M). Penulis buku mengenai kedokteran anak. karangan bukunya yang terkenal berjudul Al Hawi yang berbicara tentang ilmu kedokteran. - Bidang Matematika.
Al-Khawarismi adalah pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar wal Muqabalah, ilmu hitung), penemu angka (0) Logaritma. Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998 M) terkenal sebagai ahli ilmu matematika. - Bidang Astronomi Dan Ilmu Kimia.
Jabir Al-Batani (w. 319) sebagai pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak. Raihan Al Biruni (w. 440 H). karyanya adalah At-Tafhim li Awal AsSina At-Tanjim. Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H) karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak. - Bidang Sastra.
An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah. - Illmu Tafsir.
Ibnu Jarir ath Tabari. Ibnu Athiyah. Muhammad bin Ishak (Syalabi,2003). - Bidang Ilmu Hadits.
Imam Bukhori (194-256 H) karyanya Shahih Al-Bukhari. Imam Muslim (wafat 231 H) karyanya Shahih Muslim. Ibnu Majah (wafat 273 H) karya Sunan Ibnu Majah. Abu Dawud (wafat 275 H), karya Sunan Abu Dawud. Imam An-Nasai, karya Sunan A-Nasai. At Tarmidzi, Imam Baihaqi. - Bidang Ilmu Bahasa.
Imam Sibawaih (w. 183). Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). - Ilmu Fiqih.
Imam Malik bin Anas (713-795 M). Imam Syafi‟I (767-820 M). Imam Abu Hanifah (700-767 M). Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).
Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan, bahwa kota Bagdad dalam kepemimpinan Daulah Abbasiyah memiliki pengaruh yang besar terhadap ilmu pengetahuan sebagai kemajuan peradaban Islam. Pada masa itu kota Bagdad menjadi kunci dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan pemikiran baru di dunia Islam, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Para cendekiawan, ilmuwan, dan filsuf dari berbagai latar belakang budaya yang berkumpul di kota itu untuk menyebarkan gagasan dan menyumbangkan karya-karya mereka, yang pada akhirnya memberikan kontribusi besar terhadap peradaban Islam.
IV. Kehancuran Ilmu Pengetahuan di Bagdad
Petaka jatuhnya Bagdad ke tangan pasukan tentara Mongol pada tahun 656 H, yang dikenal sebagai sejarah kehancuran ilmu pengetahuan Islam sejak saat itu. Serbuan tentara Mongol ke kota Bagdad saat itu, merupakan salah satu petaka besar dan paling keras yang pernah terjadi pada umat Islam. Musibah tersebut telah menghancurkan segala hal yang ada, mulai dari pembantain kaum muslimin, terutama para khalifah Abbasiyah beserta keturunannya dan para ulama Islam saat itu. Korban jiwa yang meningggal mencapai lebih dari satu juta jiwa, perampasan harta yang begitu banyak, hingga perusakan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan karya-karya ilmiah umat islam yang dibakar dan sebagian besar dihanyutkan di sunagi Dajlah dan Eufrat, agar mereka bisa melintasi kedua sungai tersebut di atasnya. Dalam tulisan pada sub judul ini, kita akan mencoba mengulas bagaimana kehancuran Bagdad pada abad ke-13 M itu, yang telah menandai kemunduran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam di dunia.
Sebagaimana telah diungkapkan di bagian atas, kota Bagdad yang sekarang menjadi ibu kota Negara Irak awalnya didirikan oleh Khalifah al-Manshur yaitu khalifah Abbasiyah kedua (754-775 M) pada tahun 762 M. Kota tersebut terletak di pinggir Sungai Trigis dipilih oleh Al-Manshur sebagai ibukotanya pada saat itu. Kota itu kemudian dibangun oleh sekitar 100.000 orang ahli bangunan arsitektur, tukang kayu, ahli Lukis, ahli pahat dan masih banyak lagi yang berasal dari Syiria, Mosul, Basrah dan Kufah, Kota tersebut kemudian dibangun berbentuk bundar yang dikelilingi oleh dinding tembok yang besar dan tinggi. Dibagian luar dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus sebagai benteng. Untuk memasuki kota terdapat empat pintu gerbang diseputar kota, yaitu bab al-kufah dibagian barat daya, bab al-Syam di barat laut, bab al-Bashrah di Tenggara, dan bab al-Khurasan di timur laut. Sejak awal berdirinya, kota Bagdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Keberadaan kota Baghdad bahkan disebut sebagai kota intelektual dan kota profesor masyarakat Islam oleh Philip K. Hitti. Setelah masa kepemimpinan Al-manshur, kota bagdad menjadi lebih mashur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam.
Banyak para ilmuan dari berbagai daerah datang ke kota itu untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (786-808 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang pesat. Banyak buku filsafat dan buku pengetahuan lainnya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Pada masa itu juga berdirinya perpustakaan Islam pertama di bagdad yang Bernama Baitul Hikmah. Baitul Hikmah dirintis oleh Harun ar-Rasyid yang saat itu Bernama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di Lembaga ini para ahli baik muslim maupun non muslim bekerja sama untuk menerjemahkan naskah kuno dan Menyusun penjelasannya.
Kemudian pada tahun 815 M yaitu pada masa ke khalifahan al-Makmun Khizanah al-Hikmah dikembangkan dan diubah nama menjadi Baitul Hikmah. Pada masa al-Makmun inilah kemudian ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa itu Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India. Di bawah kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga 103 sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan. Dan seperti kerajaan atau kekhalifahan lainnya, peradaban kota baghdad kemudian mengalami fase kehancuran. Fase ini berakhir pada masa khalifah al-Mu’tashim pada tahun 1258 M yang dilatarbelakangi oleh invasi bangsa Mongolia yang datang ke kota Baghdad. Bangsa Mongolia adalah kelompok etnis yang tinggal di wilayah pegunungan antara gurun Gobi dan Danau Baikal.
Nama “Mongolia” berasal dari kawasan tempat mereka bermukim. Mereka hidup secara nomaden, berpindah-pindah dan tinggal di tenda-tenda sementara. Bangsa Mongol dikenal karena keberanian dan sifat liar mereka, yang dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan di wilayah pegunungan, dengan kegiatan berburu dan mengembala sebagai bagian dari rutinitas mereka. Kehadiran mereka dalam sejarah dunia mulai dikenal luas ketika dipimpin oleh Jengis Khan dan kemudian diteruskan oleh putranya, Hulagu Khan.
Beberapa faktor penyebab runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah yaitu munculnya beberapa negara baru yang merupakan pecahan dari daulah Abbasiyah dan pengepungan langsung terhadap kota Bagdad. Terdapat beberapa faktor lainnya yang menjadi penyebab runtuhnya dinastinya tersebut diantaranya : Faktor internal, Musibah yang dihadapi oleh para Khalifah di bagdad, seperti perang mazhab yang terjadi di kalangan kaum muslimin sendiri yang pada saat itu yang paling banyak secara umum yaitu perang antar mazhab Sunni dan Syiah. Carut-marutnya manajemen pemerintahan akibat dari perpecahan yang muncul dikalangan pejabat dan pemimpin negara. Faktor Eksteral, yaitu serangan militer yang dilakukan oleh pasukan Mongol. Dimana mereka memiliki serangan yang sangat kuat, tertata dan akurat sehinnga serangan militer mereka menuai hasil yang gemilang. Salah satu ciri khas serangan militer pasukan Mongol dan tidak dimiliki oleh pasukan Abbasiyah yaitu adanya pasukan spionase canggih. Pasukan Mongol memiliki trik yaitu pasukan mereka menyamar menjadi pedagang yang berpenampilan seperti para pedagang kaum muslimin sehingga tidak dapat diketahui dan dibedakan dengan yang lainya. Pasukan inilah yang memberikan pengaruh besar dalam kemenangan pasukan Mongol dalam menaklukkan bagdad pada waktu yang sangat cepat.
Setelah kota Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M, Daulah Abbasiyah juga berakhir. Kehancuran itu tidak hanya menandai berakhirnya pemerintahan pada masa itu, tetapi juga menjadi awal dari kemunduran besar peradaban Islam. Seluruh kemegahan peradaban di Baghdad, yang dikenal sebagai pusat literatur Islam dan kekayaan ilmu pengetahuan, turut musnah oleh serangan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Banyak intelektual, sejarawan, dan ribuan orang tewas dengan cara dipenggal lehernya, untuk memastikan tidak ada yang berpura-pura mati. Berbagai institusi seperti perpustakaan, sekolah, rumah sakit, Masjid, serta bangunan-bangunan megah lainnya dihancurkan hingga rata dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah, khalifah al-Mu’tashim dan keluarganya dibunuh, seluruh buku-buku yang terdapat di Baitul Hikmah di lenyapkan dengan cara dibakar dan dibuang ke sungai Tigris, hingga pada saat itu air sungai menjadi hitam akibat lunturan tinta yang ada pada buku-buku tersebut. Dengan demikian, hancurlah pusat peradaban dan literatur Islam di kota Baghdad seiring lenyapnya masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam konteks melahirkan peradaban Islam di mata dunia.