
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Menghadapi era globalisasi, dengan situasi semakin mudahnya mengakses sebuah informasi, dari segi media maupun waktu, pengguna media sangat membutuhkan kemampuan analisis sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, jelas tidak bisa bertahan hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain. Dalam dinamika sosial secara makro, setiap kegiatan akan mengandung aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Sedangkan memahami analisis sosial secara sederhana adalah, kita mencoba melihat sebuah fenomena sosial secara mendalam, lengkap dan detail. Faktor internal dan eksternal di pahami secara medalam dan dikupas secara tuntas. Situasi sosial dengan latar belakang sejarah, hubungan secara struktural, budaya yang mempengaruhi dinamika sosial itu sendiri, hal itu harus diperhatikan sedemikian rupa, sehingga mendapatkan sebuah kesimpulan yang lebih kritis dan mendalam. Sementara upaya untuk mempelajari analisis sosial bukan hanya sekedar mempertajam pemikiran kritis semata, namun mempelajari analisis sosial itu harus sambil melatih pemikiran kita untuk melihat suatu situasi sosial dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi maupun penyebab terjadinya sesuatu. Hal itu sangat penting untuk dipahami karena akan membantu kita untuk menyusun strategi dan tanggapan yang lebih tepat dalam menanggapi situasi sosial.
Banyak benefit yang bisa didapatkan ketika kita telah mampu memahami konsep analisis sosial. Antara lain adalah mampu mengidentifikasi masalah dari gambaran yang lebih besar, hal itu akan menyebabkan meminimalisir tindakan gegabah kita dalam menanggapi suatu fenomena/informasi maupun kejadian. Oleh karena itu, meminimalisir penyebaran dan masyarakat yang percaya akan informasi palsu harus dilatih dengan kemampuan analisis sosial itu.
Selain menanggapi informasi, fenomena atau kejadian, ilmu analisis sosial juga akan membantu kita dalam melihat potensi dari berbagai hal dan berbagai segi. Sementara potensi juga tidak selamanya berupa potensi positif, namun kerapkali juga banyak yang negatif. Oleh karena itu, dengan berpikir secara analisis sosial, maka potensi ancaman, kelemahan, kekuatan serta peluang dapat kita dipahami dengan mendalam. Hal itu akan membantu kita dalam mengambil suatu keputusan dalam menyelesaikan masalah maupun untuk mengurai dinamika hidup kita. Berangkat dari kemampuan melihat potensi, hal itu akan berdampak pada pemikiran prediksi akan hal yang akan datang, karena pada dasaranya dinamika sosial akan membentuk sebuah pola, walaupun tidak pasti, namun dengan analisis sosial yang tajam, hal itu akan membentuk sebuah prediksi yang akan datang menuju ke arah prediksi yang lebih tepat dan akurat.
Lebih dari itu, ilmu analisis sosial dapat dimanfaatkan untuk mengkategorikan peristiwa, fenomena, situasi sosial hingga gerakan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat, baik peristiwa, fenomena, situasi hingga gerakan sosial yang terjadi secara sadar (dirancang) maupun hanya terjadi karena adanya dorongan emosional yang semata-mata tejadi karena adanya pengaruh emosi dan bersifat sementara.
Sedangkan kerangka berpikir yang dibangun dengan sudut pandang analisis sosial, hal itu akan membuat kita bisa melihat sebuah kejadian yang terlihat sederhana menjadi sebuah realitas yang kompleks. Selain itu, analisis sosial juga tidak memperkompleks situasi dengan asumsi-asumsi yang dangkal, namun diperlukannya sebuah data yang lebih valid untuk menjadi dasar asumsi, prespektif maupun prediksi, agar kesimpulan yang dihasilkan tidak mentah atau bahkan prematur.
Secara sinergis diharapkan analisis sosial akan membantu kita untuk merumuskan keprihatinan (concern) atas realita yang dialami oleh subyek pelaku analisis sosial. Keprihatinan itu, berdasar atau bersumber pada kesangsian mengenai tata-laku atau sistem sosial yang hidup di sekitar realita. Secara konkrit, keprihatinan itu “ditempatkan” sebagai sebuah alasan atau desakan untuk melakukan sebuah tindakan perbaikan realita yang terjadi.
II. Mengasah Pisau Analisa Sosial
“Mengasah atau menajamkan pisau analisa sosial” berarti kita untuk terus meningkatkan kemampuan berpikir kritis kita dan analitis kita dalam konteks untuk memahami isu-isu sosial. Hal itu melibatkan pengembangan keterampilan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai aspek dalam konteks sosial. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu masalah sosial dan mencoba untuk merumuskan solusi yang lebih tepat dan efektif, demi menyelesaian masalah yang kita hadapi. Sementara untuk menajamkan pisau analisa sosial, memang ada beberapa hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh kita diantaranya :
(1). Mempelajari Teori Dan Konsep Analisis Sosial. Memahami berbagai pendekatan dan kerangka berpikir dalam analisis sosial dapat memberikan landasan yang kuat dalam memahami fenomena sosial yang kompleks. (2). Memperluas Wawasan. Membaca berbagai sumber informasi, mengikuti perkembangan isu-isu sosial terkini, dan berinteraksi dengan berbagai perspektif dapat memperkaya pemahaman tentang berbagai aspek sosial. (3). Berlatih Menganalisis. Menerapkan analisis sosial dalam berbagai situasi, baik itu kasus nyata maupun studi kasus, dapat melatih keterampilan berpikir kritis dan analitis.
(4).Mempertimbangkan Berbagai Perspektif. Mengembangkan kemampuan untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, termasuk perspektif yang berbeda-beda, akan memperkaya analisis kita dan menghasilkan pemahaman kita yang lebih komprehensif. (5). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi. Mampu mengkomunikasikan hasil analisis sosial secara jelas dan efektif juga merupakan bagian penting dalam menajamkan pisau analisis. Dengan melakukan hal-hal tersebut, maka kita dapat meningkatkan kemampuan analisis sosialnya dan menjadi lebih efektif dalam memahami dan mengatasi berbagai tantangan sosial yang kita hadapi.
III. Menjadi Pribadi Yang Haus Akan Ilmu Pengetahuan
Untuk punya ketajaman dibidang analisa sosial, maka kita harus haus akan ilmu pengetahuan. Bahkan, setiap kita terlahir dalam keadaan lapar dan haus. Bukan semata pada makna lapar makanan dan haus minuman, tetapi juga dalam hal pengetahuan dan kebijaksanaan. Rasa lapar dan haus ilmu adalah dorongan alamiah yang mendorong kita untuk terus belajar, menjelajahi dunia, dan memperluas pemahaman tentang kehidupan. Lapar ilmu dapat dimaknai sebagai keinginan yang tidak terbatas untuk menyerap pengetahuan dari lingkungan sekitar kita. Ketika seseorang merasa lapar ilmu, ia akan menjadi penjelajah pengetahuan yang tidak kenal lelah. Mulai dari membaca buku, rajin berdiskusi dengan orang-orang berpengetahuan, dan lain sebagainya. Lapar ilmu menjadi pendorongan yang akan membawa kita ke arah pemahaman yang lebih dalam.
Sedangkan haus ilmu dimaknai sebagai keinginan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan berkelanjutan. Sama seperti seseorang yang haus akan minuman ketika merasa dahaga, haus ilmu membawa seseorang pada pencarian pengetahuan yang memuaskan. Haus ilmu mendorong kita untuk menggali lebih dalam, merenung, dan memahami konteks serta implikasi dari informasi yang diperoleh. Ketika rasa lapar dan haus ilmu bersatu, kita akan mengalami perjalanan yang membentuk kebijaksanaan. Pengetahuan yang diperoleh dari lapar ilmu memberikan dasar yang kuat, sementara haus ilmu memberikan semangat untuk menjelajahi sudut-sudut gelap pengetahuan yang belum terjamah. Kedua elemen ini saling melengkapi, membentuk individu yang bijaksana dan penuh wawasan.
Pribadi yang lapar dan haus ilmu terus melakukan pengembangan diri berkelanjutan. Terus belajar untuk memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan. Menjadi problem-solver yang handal dalam mengatasi masalah. Selain pengetahuan, ia juga berbekal keterampilan analitis dalam menghadapi tantangan. Ia terbuka terhadap pendapat dan pandangan yang berbeda. Menjadi pribadi yang inklusif dan toleran.
Di era digital dengan arus informasi melimpah, ada kecenderungan seseorang mengalami overwhelmed. Suatu kondisi psikologis yang menyebabkan seseorang tidak berpikir secara rasional untuk menyelesaikan aktivitas tertentu. Dalam bahasa Indonesia, overwhelmed artinya kewalahan. Pribadi yang lapar dan haus ilmu akan menghadapi tantangan tersendiri. Dalam kondisi demikian, maka ia harus mampu menyeimbangkan antara tahap mendapatkan ilmu, memilah dan menyaringnya, serta memahami cara menjadikannya bermanfaat. Lapar dan haus ilmu mengajarkan kita bahwa kehidupan adalah perjalanan tanpa akhir. Targetnya adalah menuju pemahaman yang lebih dalam. Melalui kombinasi keinginan untuk belajar dan rasa ingin tahu yang tak terbatas, maka kita dapat merasakan nikmatnya lapar dan haus ilmu. Tahapan yang akan mengantarkan kita menjadi individu yang bijaksana dan penuh wawasan. Menjadi pribadi sebaik-baik manusia, yaitu yang dapat memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi orang lain (khoirunnas, yanfa’uhum linnas).
Dalam perjalanan menikmati rasa lapar dan haus ilmu, keindahan sejati terletak pada proses belajar itu sendiri. Setiap tantangan, kegagalan, hal itu dimaknai sebagai tahapan membentuk fondasi pemahaman yang mendalam. Dalam perkembangannya, rasa lapar ilmu menjadi daya dorong bagi tumbuhnya kreativitas. Sedangkan “rasa haus ilmu akan memantik upaya untuk menemukan ide-ide baru”, menghubungkan konsep-konsep yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, dan menciptakan solusi inovatif. Pada tahap demikian, rasa haus ilmu akan terus menjadi katalisator bagi inovasi yang membawa perubahan positif dalam berbagai bidang kehidupan kita. Bermodalkan pemahaman keilmuan yang mendalam, maka seseorang akan tertantang untuk memberdayakan dirinya dan orang lain. Rasa lapar ilmu akan membuka pintu gagasan untuk memahami dunia sekitar, mengenali permasalahan, dan mencari solusi. Dengan pemahaman yang kuat, kita akan dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat kita.
Rasa haus ilmu akan berfungsi seperti kompas yang membimbing kita dalam melintasi lautan pengetahuan. Dengan tekad yang kuat, maka kita dapat menjelajahi bidang-bidang baru, mengeksplorasi budaya yang berbeda, dan memperluas wawasan kita. Haus ilmu akan memacu pertumbuhan pribadi dan menginspirasi keinginan untuk terus berpetualang ke dunia intelektual. Dalam perjalanan menikmati rasa lapar dan haus ilmu, figur inspiratif memiliki peran penting. Keberadaan mereka (orang yang menginsfirasi) menjadi sumber motivasi, memberikan contoh kesuksesan melalui dedikasi mereka pada ilmu. Dengan mengamati perjalanan mereka, kita dapat menemukan kekuatan untuk melanjutkan ketika kepenatan dan kebingungan datang dan menghantui kita.
Melalui lapar dan haus ilmu, kita berkontribusi pada penciptaan warisan pengetahuan. Pemahaman yang diperoleh tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Dengan cara ini, setiap individu menjadi bagian dari rantai panjang pembangunan ilmu dan kebijaksanaan umat manusia. Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, rasa lapar dan haus ilmu memainkan peran kunci dalam menanggapi perubahan. Kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi membantu kita untuk tetap relevan dan berkembang di tengah dinamika masyarakat dan teknologi yang semakin canggih. Lapar ilmu menjadi pendorong perubahan, sementara haus ilmu memastikan bahwa perubahan tersebut membawa dampak positif bagi kita.
IV. Tenggelam di Jalan Sufi, Sunyi, Dan Kematangan Diri
“Self maturity” (kematangan diri) adalah suatu keseimbangan otonom dimensi fisiologis, psikologis dan pedagogis sebagai hasil dari tumbuh dan berkembangnya diri kita. Dengan menggunakan analogi “product life cycle”, kematangan diri merupakan puncak kemapanan intelektual, emosional, dan spiritual diri kita. Sedangkan kemapanan intelektual adalah menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga bebas dari ketergantungan relasi dengan fenomena lainnya. Sementara kemapanan emosional diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk menerima, mengelola, serta mengontrol emosinya dengan orang lain disekitarnya. Sedangkan kemapanan spiritual merupakan keandalan dalam konteks memahami serta membaca nilai dan makna sebuah kejadian. Lebih jauh lagi menggeser paradigma eksistensi menjadi kontribusi.
A. Meng-Internalisasi Falsafah Sunda Dan Kearifan Lokal
Primordialisme (sifat kedaerahan) dalam konotasi yang positif menjadi isu publik yang kencang dikumandangkan akhir-akhir ini (terutama setelah munculnya fenomena sang Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi atau KDM). Sementara primodialisme yang positif, memang narasi besarnya adalah untuk mengembalikan jati diri atas pergeseran berlebih suatu proses akulturasi ke asimilasi, dari konvergensi ke divergensi. Mengembalikan makna kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam komunitas masyarakatnya, yang muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan sebagai suatu kepribadian menjadi identitas kultural masyarakat berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang teruji kemampuannya menjadikan kebiasaan, sehingga dapat bertahan terus-menerus.
Penulis merupakan bagian dari orang yang terus mensuport tentang falsafah dan budaya Sunda dari sisi yang positifnya. Karena, subtansi yang terkandung dalam kearifan lokal (budaya Sunda) dalam pandangan penulis merupakan sebuah nilai moral kebaikan sebagai suatu keunggulan budaya mengungkap pikiran, perasaan, dan pengetahuan yang mengandung kebijaksanaan (wisdom). Ia (primodialisme yang positif) tidak terjebak dalam arus utama yang cenderung simbolik dan atributif. Dikala orang lain memakai pangsi dan melakukan ziarah ke tempat yang memiliki kelindan dengan “legacy” kesundaan misalnya, penulis lebih memilih untuk membumikan “petatah-petitih” ajaran Sunda yang lebih positif, serta menggulirkan bahasa Sunda dalam komunikasi sosial yang positif, baik secara verbal maupun non-verbal, dikala penggunaan bahasa “indung” sudah mulai tenggelam dalam pusaran budaya metropolis. Penulis juga mencoba untuk mendayagunakan “otoritas penulis sendiri”, yakni untuk memperluas agenda literasi budaya komunitas Sunda ke dalam ranah (orang-orang) yang haus akan dunia literasi budaya dan kearifan lokal. Penulis, mungkin bagian orang yang bersikukuh untuk mempertahankan “adi-luhung” dan budaya Sunda dari sisi yang positifnya. Manifestasi kecintaan penulis terhadap budaya Sunda tidak sesederhana hanya pada dimensi bahasa (lisan) dan manuskrip (tulisan/naskah). Misi besar penulis adalah ingin menginternalisasikan nilai-nilai moral kebaikan budaya Sunda ke dalam kontruksi perilaku organ dan orang.
Dalam praksis keorganisasian di lingkungan sekitar penulis misalnya, penulis juga terus mencoba untuk mengaplikasikan falsafah Sunda itu, yaitu berupa “SILAS”. Sedangkan “SILAS” merupakan akronim dari silih asih, silih asah, dan silih asuh. Makna konsep silas dalam perspektif hermeneutik, ia memiliki keterkaitan dengan makna yang terkandung dalam kata pembentuknya, berupa kata silih dan kata asih, asah, asuh yang menjadi esensi kandungan nilainya.
Kata silih berarti saling, mengandung makna nilai transformasi yang bersifat resiprokal dan saling memberikan respon dengan penuh kesantunan. Sedangkan kata asih berarti cinta, hal itu mengandung makna nilai ontologis bahwa keberadaan ‘asih’ berasal dari Tuhan Yang Maha Pengasih (Qur’an, 55: 1,3), sehingga nilai asih menjadi landasan kehidupan dalam membangun keharmonisan hidup manusia. Sementara kata asah berarti menajamkan, mengandung makna nilai epistemologi bahwa kemampuan mengasah akal, rasa, dan karsa dalam diri manusia, hal itu akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya. Kata asuh berarti membimbing, mengandung makna nilai aksiologi bahwa dalam membangun hubungan silaturahmi didasari atas saling menghargai kewajiban dan hak asasi manusia berlandaskan pada nilai-nilai keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan. Sedangkan orientasi nilai yang terkandung dalam makna “SILAS” pada hakikatnya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga dapat dijadikan metode pemberdayaan manusia dalam kehidupan masyarakat sebagai landasan pendidikan masyarakat, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal dan non-formal maupun pendidikan di lingkungan masyarakat.
Implementasi silas dalam sistem kelembagaan diadumaniskan oleh penulis dengan gaya pendekatan transformasional profetik. Dalam interaksi sosial, penulis mencoba untuk lebih mendepankan adab daripada ilmu, sehingga komunikan merasa diayomi dan lebih percaya diri untuk berkomunikasi secara aktif. Proses ini dimaknai tahap penyadaran. Penulis sering membuka forum diskusi non-formal yang secara tidak langsung, hal itu untuk mengasah pisau analisis lawan bicara. Sehingga ruangan tamu di rumah penulis tidak pernah sepi oleh relasi, bahkan hanya untuk sekadar basa basi. Budaya diskusi itu tidak hanya dalam kerangka memenuhi kewajiban moral sebagai orang yang disepuhkan di lingkungan, bahkan di rumah penulis-pun, kerapkali disulap untuk menjadi pasar perdebatan rasional setiap seminggu sekali. Proses itu dimaknai sebagai tahap pengkapasitasan. Dalam hubungan interpersonal maupun organisasional, penulis mencoba untuk memposisikan diri sebagai edukator, serta terus membimbing perilaku yang positif, menjembatani ekspektasi dan realitas, serta mendorong pengembangan diri dibidang intelektualitas kawan seperjuangan. Proses itu dimaknai tahap pendayaan. Maka secara holistik, penulis telah mengaktualisasikan nilai-nilai dasar pendidikan, yaitu membangun kesadaran, meningkatkan kapasitas, dan memberdayakan.
B. Memilih Jalan Sunyi
Menela’ah jalan panjang pemikiran dan perjuangan yang dilalui penulis sebagaimana telah dideskripsilan diatas, pada kondisi tertentu, kata orang-orang (termasuk menurut pendapat teman seperjuangan penulis) idealnya penulis mulai menuai hasil olah pikir dan peras keringat, layaknya manusia (para pemikir) pada umumnya, selain ketiga indikator yang telah dipaparkan diatas, fase kematangan biasanya diikuti juga oleh dimensi pragmatisme, yaitu kemapanan finansial. Hal itu dapat diperoleh dengan cara “mencolek” jaringan yang telah dibangun, menawarkan konsep berbayar, melakukan transaksi politik dan lain sebagainya. Namun penulis hingga saat ini untuk terus memilih “bertapa” dan “memilih jalan sunyi” serta terus mewakafkan diri untuk pengembangan generasi muda. Sungguh pilihan yang sangat kontradiktif memang. Sebagai bentuk apresiasi diri, penulis berasumsi bahwa pilihan itu (tetap menjadi seorang idealis) merupakan keputusan transendental. Dan akhirnya, hingga saat ini penulis terus mencoba menempuh jalan sunyi, bak seorang sufi. Alih-alih membangun kedigdayaan (secara ekonomis), penulis saat ini terkesan memilih jalur asketis (zuhud). Keunikan tersebut makin nampak ketika penulis terus berjibaku untuk menulis buku tentang sufistik (tasawuf) dan sublimasi diri.
Akan tetapi, tidak seperti sufisme klasik yang meninggalkan hiruk pikuk duniawi untuk memperkuat romansa dengan Ilahi. Penulis mencoba memilih jalan kontemporer. Penulis mencoba mengelaborasi konsep kemanusiaan berdasarkan realitas sosial, yang diyakini oleh penulis terdapat nilai-nilai transendental Tuhan di dalamnya. Sifat Tuhan tentang rahman (pengasih) dan rahim (penyayang) harus hadir dalam individu dan hidup dalam dinamika sosial. Derivasi jalan sunyi dan sufi penulis, mudah-mudahan menjadi bagian dari akhlak universal, sosial humanistik, multikulturalisme, pluralitas, ketenangan lahir dan batin.