Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Ilmu sosial menghadapi berbagai problematika, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Aktualitas ilmu sosial ditandai dengan kemampuannya untuk terus relevan dan memberikan solusi terhadap isu-isu sosial yang kompleks, terutama di era disrupsi dan transformasi yang terjadi saat ini. Namun, ilmu sosial juga kerapkali menghadapi tantangan dalam hal relevansi, pendanaan, dan penerapan hasil penelitian. Sementara problematika ilmu sosial yang bersifat internal diantaranya : Pertama, kurangnya relevansi ilmu sosial. Mengingat, beberapa konsep dari teori ilmu sosial, terutama yang berasal dari Barat, mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks sosial budaya di negara lain, terutama di negara berkembang dan termasuk di negara kita sendiri. Kedua, keterbatasan dana. Penelitian ilmu sosial seringkali membutuhkan dana yang cukup besar, akhirnya seringkali pula menghadapi kendala dalam hal pendanaan. Ketiga, keterbatasan penerapan. Hasil penelitian ilmu sosial seringkali sulit untuk diimplementasikan dalam konteks kebijakan publik atau praktik sosial karena berbagai faktor, termasuk birokrasi dan kurangnya dukungan politik. Keempat, kurangnya kerjasama. Terdapat kecenderungan kurangnya kerjasama antar disiplin ilmu sosial, yang akhirnya dapat menghambat pemahaman holistik terhadap masalah sosial. Kelima, stigma terhadap ilmu sosial. Di beberapa kalangan, ilmu sosial dianggap kurang penting atau kurang relevan dibandingkan dengan ilmu alam, ilmu eksak dan ilmu teknik lainnya.

Sedangkang problem yang bersifat eksternal diantaranya : Pertama, perubahan sosial yang demikian cepat. Perubahan sosial yang sangat cepat, seperti revolusi industri 4.0, pandemi, dan perubahan iklim, menuntut ilmu sosial untuk beradaptasi dan mengembangkan pemahaman baru tentang dunia. Kedua, penyebaran disinformasi. Di era digital saat ini, memungkinkan penyebaran disinformasi dan hoaks yang dapat mempengaruhi pemahaman masyarakat tentang isu-isu sosial. Ketiga, polarisasi politik dan sosial. Polarisasi politik dan sosial dapat memperburuk masalah sosial dan menghambat upaya-upaya penyelesaian masalah. Sedangkan masalah aktualitas dari ilmu sosial diantaranya : Pertama, agar ilmu dosial bisa memberikan pemahaman mendalam. Ilmu sosial memberikan pemahaman yang mendalam tentang berbagai isu sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan, keadilan sosial, dan perubahan iklim. Kedua, agar ilmu sosial membantu mengatasi masalah-masalah sosial. Ilmu sosial, seyogyanya dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah sosial melalui penelitian, analisis, dan pengembangan kebijakan yang tepat. Ketiga, ilmu sosial seyogyanya bisa meningkatkan kesadaran masyarakat. Karena sejatinya dari ilmu sosial, yaitu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu sosial dan mendorong partisipasi aktif dalam upaya perbaikan sosial. Keempat, memperkuat demokrasi. Ilmu sosial dapat membantu memperkuat demokrasi dengan meningkatkan pemahaman tentang hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, dan partisipasi warga negara. Kelima, ilmu sosial seyogyanya menjadi landasan pembangunan berkelanjutan. Yakni, agar ilmu sosial dapat menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Sedangkan tantangan dan peluang bagi ilmu sosial misalnya, bahwa ilmuwan sosial perlu terus berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan sosial yang cepat, serta mengatasi berbagai tantangan internal dan eksternal. Sedangkan peluang dari ilmu sosoal itu sendiri, ilmu sosial memiliki peluang besar untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, terutama dalam konteks untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang kompleks. Dengan mengatasi berbagai problematika dan memanfaatkan aktualitasnya, ilmu sosial dapat terus berperan penting dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan.

II. Stagnasi Ilmu Sosial Kita

Jangan pernah membandingkan perkembangan ilmu sosial di negara kita dengan negara tetangga karena kita tidak akan bisa menyamai proses pencapaian mereka dalam ilmu sosial. Negara Singapura misalnya, sudah menjadi simpang pertemuan penting antara alam akademis Barat dan alam akademis Asia. Di Singapura bercokol peneliti bereputasi internasional dari berbagai negara sehingga kita mudah menemukan pemikiran-pemikiran sosial politik terutama terkait Asia Tenggara. Sementara di negeri ini, para peneliti sosial masih berjuang untuk menemukan pengertian apa itu “penelitian berkualitas”. Apakah masalah ini merupakan masalah individu? Saya kira tidak. Ilmuwan sosial Indonesia banyak yang memiliki prestasi akademik yang baik ketika mereka berada di luar negeri: entah menempuh pendidikan atau berkarier. Namun, prestasi itu seolah-olah tenggelam ketika mereka kembali ke negeri ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya bagus ketika mereka berada dalam negeri dan hanya besar di meja televisi sebagai pengamat sosial politik. Saya berasumsi bahwa kenyataan itu bukanlah masalah individu. Sebaliknya, saya menduga, memang ada masalah yang lebih besar dalam manajemen ilmu pengetahuan di negeri ini, yang nota bene payung besarnya adalah pihak Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

A. Masalah Struktural

Jika kita coba seriusi, hal itu nampaknya bermuara pada masalah struktural, masalah birokrasi, dan masalah moral. Masalah ketiga inilah yang terakumulasi mengakibatkan ilmuwan sosial kita menjadi tidak mampu mendayagunakan kreativitasnya dalam pengembangan ilmu sosial. Masalah pertama adalah masalah struktural. Telah menjadi rahasia umum bahwa ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa ilmu sosial seolah-olah “dianaktirikan” dibandingkan dengan ilmu pasti (ilmu eksak). Ilmu sosial seringkali dianggap ilmu abstrak, yang kontribusinya terhadap masyarakat acapkali dipertanyakan. Jika dibandingkan dengan rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi, produk-produk temuan dari ilmu sosial tidaklah terlihat. Alih-alih menghasilkan produk, ilmu sosial justru dinilai hanya menghasilkan sebuah pemikiran yang banyak mengundang kontroversi. Tentu saja jadi tidak adil membandingkan sebuah robot dengan sebuah pemikiran jika diukur kontribusinya saat ini, tetapi tidak dalam jangka panjang. Kita seharusnya tidak lupa bahwa ancaman perang, perubahan zaman, sampai sistem politik merupakan buah dari pemikiran ilmu sosial. Sayangnya memang, bahwa pemikiran tersebut banyak yang lahir dari kacamata Barat. Sarjana kita baru sebatas meminjam teori dan konsep dari Barat untuk diterapkan ke konteks Indonesia: ada yang berhasil, ada juga yang belum berhasil. Namun, tantangan utama ilmu sosial, yaitu menghasilkan pemikiran yang lahir dari konteks Indonesia dengan memakai kacamata Indonesia sebagai solusi masalah-masalah sosial di negara ini. Alih-alih menempatkan ilmu sosial dan ilmu pasti dalam posisi yang sejajar, kebijakan-kebijakan para pemangku kepentingan, justru mengebiri perkembangan ilmu sosial. Yang terakhir adalah kebijakan para pemangku kepentingan, yang konon katanya untuk memotong jatah beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk pascasarjana ilmu sosial-humaniora atas alasan yang tidak bisa dipahami: sudah banyak dan prioritas pada sains dan teknologi. Tentu hal itu adalah kurang pati baik, dan itu merupakan satu dari ratusan contoh bagaimana ilmu sosial tidak diletakkan sejajar dengan sains dan teknologi saat ini.

B. Masalah Birokrasi

Masalah kedua adalah masalah birokrasi. Masalah ini tidak hanya terbatas pada ilmu sosial saja, tetapi juga masalah umum pada sistem pendidikan tinggi di negara ini. Beban kerja yang besar pada pekerjaan-pekerjaan administratif non riset membuat banyak ilmuwan menjadi tidak produktif. Seorang dosen bergelar doktor ilmu sosial di sebuah universitas swasta di Yogyakarta pernah menunjukkan kepada penulis betapa waktunya tersita pada pekerjaan non akademis. Sebagai seorang dosen profesional, ia mendapat beban mengajar yang cukup tinggi.

Sebanyak 16-20 SKS harus dia penuhi dalam satu semester, berikut pekerjaan tambahan lainnya sebagai tim di dalam universitas, semisal tim akreditasi program studi, tim persiapan pembukaan program studi, sampai pekerjaan administratif kecil yang memakan waktu (laporan kinerja, laporan pengabdian masyarakat, permohonan pengajuan pangkat, hingga undangan menjadi pembicara di banyak tempat). Sulit mengharapkan produktivitas berkualitas dari seorang akademisi yang hanya memiliki waktu membaca dan menulis paling banyak satu hari dalam satu minggu bekerja. Hal itu merupakan sebuah hambatan birokratis yang semestinya dapat diatasi bersama, terutama oleh pemangku kepentingan (Kemenristek dan Dikti) yang memiliki otoritas membuat aturan soal beban administratif.

C. Masalah Moral

Masalah ketiga adalah masalah moral dalam ilmu sosial. Sejak tahun 1965 (bahkan mungkin sebelum itu) ada fenomena anti-intelektualitas dalam masyarakat kita. Yaitu, dimulai dari masa pelarangan mempelajari teori-teori ilmu sosial tertentu (ideologi kekirian) hingga ketidaksiapan masyarakat pada umumnya dalam melihat obyektivitas dan relativitas ilmu sosial. Di masa itu (zaman refresif), teori-teori ilmu sosial kekirian (Marxis), saat itu terkesan dipandang sebagai teori terlarang. Hal itu juga mendorong masyarakat untuk ikut serta melarang pembelajaran teori kekirian itu (Marxisme), baik sebagai teori sosial dan apalagi sebagai ideologisasi. Para sarjana yang memiliki pemikiran kekirian (Marxis) terkesan dilabeli anti kemapanam, radikalistik, dan bahkan dikonotasikan ateistik. Tidak heran jika dijadikan sebagai metode utama perkembangan ilmu sosial menjadi lesu. Masyarakat tidak bisa menerima bahwa obyektivitas ilmu sosial adalah sebuah hal yang seharusnya terjadi. Bahkan, dalam obyektivitas ilmu sejarah misalnya, masyarakat sulit menerima narasi alternatif sejarah yang dihasilkan dari penelitian yang obyektif, terutama dalam tema-tema yang sensitif. Dalam situasi seperti itu, sangat sulit diharapkan tanaman ilmu sosial dapat tumbuh subur di tanah yang kering, terutama keterbukaan kering. Alih-alih menghasilkan pemikiran alternatif, ilmuwan sosial kita saat itu (zaman refresif) malah terus menghindarinya atau bahkan menyembunyikannya. Jika sudah begitu, bermimpi untuk menjadi Singapura pun, seolah-olah kita akan takut.

III. Ilmu Sosial di Era Disrupsi : (Inovasi atau Basi)

Manusia terus berubah, masyarakat terus berkembang dan ilmu sosial seyogyanya pula terus berinovasi. Karena, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Dimanapun kita berada dan kapan pun itu, maka perubahan selalu membayangi dan mengintai kita layaknya sebuah kematian. Sekalipun kita berada di masyarakat tertutup yang terisolir (teralienasi) dari dunia luar. Tapi, perubahan niscaya akan terjadi. Francis Fukuyama menyebut di era disrupsi saat ini perubahan mengandung dua makna yaitu gangguan dan inovasi. Perubahan bermakna sebagai sebuah gangguan bagi mereka yang konservatif atau yang selama ini dianggap menempati “zona nyaman” dalam berbagai hal. Akan tetapi perubahan akan bermakna sebagai inovasi, terutama bagi mereka yang menganggap bahwa perubahan adalah sebuah peluang atau kesempatan untuk menghasilkan karya ataupun mengasah jati diri yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sayangnya di era disrupsi saat ini masih banyak orang yang menganggap bahwa perubahan adalah sebuah gangguan bagi kenyamanan mereka saat ini.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang signifikan dan masif terjadi saat ini, mempengaruhi berbagai perubahan dalam segi kehidupan termasuk di dalam kehidupan sosial dan budaya. Salah satu pengaruh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah berubahnya hubungan sosial dan interaksi sosial yang dikaji dalam ilmu sosial. Di dalam Revolusi Industri 4.0 bukan hanya ilmu eksakta saja yang berubah akan tetapi juga ilmu sosial. Salah satunya adalah perubahan pada struktur sosial masyarakat, yakni munculnya new society 5.0 yang dimulai di Jepang. Masyarakat baru 5.0 tersebut mengandalkan “big data” di dalam hubungan sosial dan interaksi sosial antar individu sehingga kolaborasi antar disiplin ilmu menjadi lebih urgen dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, inovasi ilmu sosial adalah sebuah keniscayaan. Inovasi itu diperlukan untuk merubah paradigma keilmuan sosial dari teks menjadi konteks. Selain itu inovasi yang harus dilakukan pada ilmu sosial saat ini adalah menjadikan ilmu sosial bukan hanya mampu menafsirkan atau mendefinisikan tentang keadaan sosial dan ekonomi masyarakat, akan tetapi ilmu sosial juga harus mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat atau menjadi salah satu pemecah masalah yang ada di dalam masyarakat.

Dengan kata lain, menciptakan sebuah inovasi yang nyata dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Dikotomi bahkan diskriminasi yang terjadi antara ilmu sosial dan ilmu eksakta di masyarakat terutama ilmu sosial. Ilmu sosial yang dianggap subordinatif salah satunya dipengaruhi oleh lambatnya kreatifitas dan inovasi pada ilmu sosial. Sudut pandang itu tentunya ada akarnya yang telah dikaji dan diteliti oleh salah satu ilmuwan Rognvaldur D. Ingthrosson. Rognvaldur D. Ingthrosson lewat kajiannya telah mengungkapkan beberapa penyebab mengapa ilmu masyarakat atau ilmu sosial ini secara metodologi dianggap terbelakang dibandingkan dengan ilmu alam atau ilmu eksakta . Beberapa penyebab atau alasan menurut temuan Ingthrosson yaitu bahwa ilmu eksakta selalu menjadi landasan dan acuan bagi perkembangan ilmu sosial karena metodologi dalam ilmu eksakta dianggap lebih pasti dan tidak ada spekulasi-spekulasi di dalamnya. Singkatnya, ilmu eksakta dengan metodologinya yang demikian ketat dianggap lebih empiris dan ilmiah sehingga dilihat mempunyai kedudukan atau strata yang lebh tinggi dibandingkan dengan kedudukan ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi. Dari sisi pragmatis, kesempatan yang luas dalam hal peluang mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang menekuni bidang ilmu eksakta lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu sosial, yang nota bene semakin memperlebar jurang diskriminasi pada kedua ilmu tersebut. Ditambah stereotype masyarakat awam (terutama di internal keluarga dan orang tua), yang cenderung ingin anaknya menekuni bidang eksakta dibandingkan ilmu sosial maupun ilmu humaniora lainnya.

Oleh karena itu sangat penting inovasi terhadap ilmu sosial untuk menghilangkan jurang diskriminasi antara kedua ilmu tersebut. Inovasi ilmu sosial sangat penting dilakukan karena ilmu sosial adalah salah satu ilmu dalam pembentukan karakter dan sikap empati dalam kehidupan sosial. Fungsi lain dari inovasi ilmu sosial adalah meningkatkan literasi manusia. Revolusi Industri 4.0 menuntut manusia untuk mengembangkan berbagai literasi antara lain literasi manusia, literasi teknologi dan literasi data. Dedangkam efek dari inovasi ilmu sosial terhadap literasi manusia adalah meningkatkan kepekaan sosial dan kepedulian sosial di tengah-tengah semakin individualisnya dan menipisnya rasa kolektifitas manusia sebagai akibat dari Revolusi Industri 4.0 yang cenderung berpola mekanik seperti robot dalam berbagai perusahaan modern. Bahkan, menurut Steve Jobs, yaitu pendiri sekaligus pemilik perusahaan besar Apple. Ia mengatakan bahwa teknologi saja tidak cukup, karena teknologi harus dikawinkan dengan liberal arts dan humaniora yang bertujuan untuk membahagiakan hati manusia itu sendiri, teknologi membutuhkan seni, sastra maupun sejarah serta ilmu sosial humaniora lainnya. Teknologi tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan kolaborasi dengan ilmu lainnya termasuk ilmu sosial.

Oleh karena itu, di era yang tidak lagi monodisiplin tetapi interdisiplin ini bahwa stereotip humanis, seolah-olah sudah tidak lagi relevan sebagai sosok yang terasingkan di sebuah pojok ruangan remang-remang dalam sebuah kehidupan. Pekerjaan yang berkolaborasi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan pekerjaan yang berkompetisi. Begitu juga inovasi dalam inovasi ilmu sosial tentunya membutuhkan kolaborasi dengan ilmu lainnya termasuk ilmu eksakta misalnya dalam hal “social engineering” atau “rekayasa sosial” dalam proyek literasi digital. Manusia dengan proyek humaniora digital, para humanis bisa terlibat dalam era digital. Dengan menggunakan humaniora digital, para humanis atau mereka yang ahli dalam bidang ilmu sosial dan humaniora bisa dilatih dalam pengaplikasian teknologi informasi dan komunikasi untuk literasi digital dalam kehidupan manusia.

Sebagai contoh yang paling mudah adalah dalam bidang pengarsipan atau dokumentasi. Mereka yang ahli dalam bidang teknologi dan informasi lah yang memahami perangkat untuk mengarsipkan. Akan tetapi siapa yang lebih mengerti dan memahami konten-konten untuk tujuan dan manfaat literasi ? Tidak ada yang lebih percaya dan meyakinkan daripada mereka yang sudah terlatih dan terbiasa dalam membaca dan menekuni dokumen sejarah, teks filsafat, naskah sastra serta menekuni seni dan lain-lain yang semuanya itu tentunya dimiliki oleh mereka yang ahli dibidang sosial dan humaniora. Dengan kolaborasi antar ilmu pengetahuan atau interdisiplin ini lah dikotomi antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta akan hilang karena kedua ilmu itu saling membutuhkan dalam membangun sebuah peradaban manusia tentunya dengan inovasi pada ilmu sosial terlebih dahulu.

IV. Membangkitkan Spirit Keilmuan Sosial Yang Saat Ini Terus Meredup Dan Memudar

Banyak dari kita yang mungkin sering mendengar pertanyaan-pertanyaan khas yang biasa dilontarkan mahasiswa kita di kelas (di tempat kuliah), misalnya apa solusi terkait topik yang sedang dibahas, soal fenomena sosial, seringnya terjadi gesekan sosial, pembangunan yang holistik, atau seputar masalah interaksi sosial lainnya. Hal itu juga sering muncul ketika diskusi panjang di luar kampus. Bahkan, di ilmu sosial, kita juga akan menghadapi atau menemukan diri sendiri dan orang lain pada persimpangan yang membuat perasaan menjadi tidak tenang. Pertanyaan tentang “apa manfaat dari ilmu yang dipelajari dan akan jadi apa kita nanti”, hal itu kerap bermunculan. Di ilmu sosial atau filsafat, kita sudah biasa melihat mahasiswa kita saat ini memang sudah jago-jago berdebat dengan retorika yang tinggi. Namun, rupanya tidak semua menyukai hal yang serupa. Beberapa lebih senang dengan sesuatu yang praktis, pragmatis dan bermanfaat. Adakalanya, ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang pekerjaan apa yang cocok untuk mereka, mereka (orang yang jago-jago berdebat dengan landasan teoritis yang mempuni itu) kerapkali juga ciut dan kehabisan kata-kata, ketika dihadapan pada tataran yang bersifat praktis pragmatis (setelah selesai kuliah maju jadi apa? Dan mau kerja dimana? Dan lain sebagainya).

Pertanyaan dan kegalauan yang menggerogoti mahasiswa kita saat ini terkadang merepresentasikan apa yang dipahami dari ilmu yang dipelajari. Mereka yang menekuni ilmu sosial humaniora tentu bakal akrab dengan teori klasik, modern, dan kontemporer. Para mahasiswanya dituntut menguasai semua dengan baik. Mereka wajib memiliki kemampuan penerapan teori yang baik, metodologi penelitian yang tajam meskipun tidak semua biasa dikuasai, dan lain sebagainya. Contohnya, penelitian kuantitatif, banyak yang tidak terlalu menyukai sesuatu yang dianggap bersifat positivistik. Singkatnya, orang-orang dibidang ilmu sosial humaniora harus pandai menggunakan teori, menganalisis dan mengidentifikasi masalah, hingga mendeskripsikan fenomena. Selayaknya ilmu murni, ilmu sosial memiliki tugas merumuskan dan menyempurnakan teori-teori sosial seiring dengan perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu sosial bukanlah ilmu yang bertugas menjawab solusi atas suatu masalah sosial. Mereka yang belajar kebijakan atau politiklah yang bertugas menawarkan solusi. Sederhananya, bidang keilmuan sosial hanya memaparkan data yang akhirnya kerapkali diterjemahkan lewat pendekatan kebijakan dan politik.

Jadi, mengapa semua dituntut punya solusi? Ada beberapa aspek yang bakal dielaborasi lebih jauh. Pertama, efek produksi pengetahuan ilmu sosial di negeri ini yang mendukung dan melegitimasi kebijakan pemerintahan. Kedua, permasalahan sistemik dalam pendidikan sosial dan humaniora kita. Untuk itu, kesadaran bagi mereka yang belajar di ilmu sosial menjadi penting, agar paham bagaimana seharusnya ilmu tersebut dipahami, bahkan diimajinasikan dalam lanskap yang lebih luas lagi.

A. Ilmu Sosial di Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah

Di zaman dulu (era kolonial Belanda), ada sepaket ilmu sosial terapan yang dinamakan indologi. Mestika Zed di dalam bukunya berjudul “Konstruksi Ilmu Sosial Indonesia dalam Perspektif Historis-Komparatif” mengatakan, ini adalah studi dan penelitian tentang bahasa, daerah, dan suku bangsa yang ada di Hindia-Belanda. Indologi didukung terutama oleh Lembaga Kerajaan Belanda yang bernama Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde (KITLV). Karya-karya para sarjana itu bahkan diakui dalam lingkungan akademis internasional. Apa yang menjadi soal dari indologi bukan pada tingkat kesarjanaan, melainkan ideologi di baliknya, sesuatu yang disebut Edward Said sebagai “orientalisme”. Hal itu termasuk prasangka (bias) yang begitu kuat dari kulit putih Eropa terhadap warga lokal. Ini persis seperti rezim developmentalisme dalam ilmu-ilmu sosial Amerika yang memengaruhi perkembangan ilmu sosial di Indonesia (zaman refresif). Sejak saat itu (zaman refresif), ilmu-ilmu sosial dan humaniora sangat diharapkan dapat memberi dukungan kepada pemerintah, khususnya terhadap kebijakan-kebijakan yang menyangkut pembangunan nasional. Salah satu contohnya adalah kegiatan HIPIS atau Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial.

Ini termasuk soal pembangunan dan ekonomi. Pembangunan dan ekonomi mesti dibantu lewat ilmu-ilmu sosial non-ekonomi dengan cara menciptakan “social engineering” yang dapat mendorong institusi-institusi sosial dan nilai-nilai budaya selaras dengan visi yang ada (Kleden dan Abdullah, 2017). Mari kita lihat lebih detail di bidang sosiologi. Secara teoretis, produksi pengetahuan di jurusan ini hanya berfokus pada teori-teori fungsionalisme yang apolitis ketimbang teori-teori kritis. Ilmu sosial terapan, seperti sosiologi pembangunan dan ekonomi pembangunan, mendapatkan perhatian yang lebih besar karena relevansinya dengan kebijakan pemerintah saat itu. Ini jelas tidak lepas dari pengaruh politik zaman dulu (Orde Baru) yang sangat anti pada teori atau bacaan “kiri”. Banyak cara dilakukan untuk membuatnya tidak berkembang, baik menggunakan wacana politik di pendidikan tinggi hingga pemberangusan secara fisik (represif). Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) menjadi ujung tombak kebijakan pemerintah saat itu, yakni untuk mengendalikan aktivitas mahasiswa dan mengurung mereka dari keterlibatan politik. Orientasi keilmuan tidak hanya bergeser dan terfokus pada konteks dan tantangan pembangunan. Integrasi sosial menjadi isu penting dalam upaya membangun negara yang stabil dan berdaulat, mengingat berbagai aspek yang memicu disintegrasi sosial masih begitu terasa saat itu. Pancasila menjadi pedoman semua wacana tersebut, dengan mendorong spirit keilmuan sesuai dengan apa yang diarahkan. Dalam hal ini, paradigma ilmu sosial di Indonesia saat itu menjadi tidak terkonsentrasi secara baik. Taufik Abdullah menyebut peranan ilmu sosial zaman dulu (Orde Baru) sebagai “a branch of applied science”, yang membuat ilmu sosial dan humaniora kehilangan peran utamanya sebagai “a system of scientific knowledge”. Penelitian untuk memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri menjadi berkurang karena telah didominasi oleh wacana developmentalisme yang dominan. Dalam kadar tertentu, ilmu sosial memang bisa dipahami sebagai suatu ilmu terapan. Suatu kebijakan akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk berhasil mencapai tujuan kalau dibuat berdasarkan bukti ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian. Sebaliknya, suatu hasil penelitian akan lebih bermanfaat jika digunakan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan. Di sinilah letak relasi yang seakan-akan harus selalu dihubungkan baik antara peneliti, pengambil kebijakan, dan pemangku kepentingan.

Bahkan, pendidikan tinggi pasca (Orde Baru) juga tidak lepas dari wacana yang sama. Pada Kampus Merdeka misalnya, wacana pendidikan ini seperti menegaskan kembali bahwa keilmuan harus selalu siap pakai, baik untuk masuk dalam pasar kerja atau mendukung pembangunan nasional dalam berbagai sektor. Kampus Merdeka memperkuat logika neoliberal dengan menekankan pada keterampilan yang dapat dipasarkan (marketable skills), alih-alih membantu pengembangan ilmu dan mendorong konsistensi belajar. Wacana ini hanya semakin mereduksi bidang-bidang ilmu sosial. Masalah lain, salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat, masih dipahami sebatas bagaimana ilmu sosial dapat memberikan dampak yang baik secara langsung, semacam proyek pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, peran akademik dalam perspektif ilmu sosial kritis untuk mendorong konsolidasi sipil yang baik, misalnya, tidak menjadi bagian dari wilayah pengabdian masyarakat. Dengan begitu, menurut tulisan yang dirangkum oleh Ignas Kleden dan Taufik Abdullah berjudul “Paradigma Ilmu Pengetahuan Dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora di Indonesia”, bahwa ilmu sosial dan humaniora perlu dirancangkan kembali melalui pembentukan paradigma ilmu yang lebih terkonsolidasi. Jelas di sini bahwa tanpa adanya paradigma baru, kita tidak mempunyai ukuran tentang maju atau mundurnya ilmu yang mengantarkan kita pada “the progress of knowledge”.

B. Membangun Kembali Spirit Keilmuan

Setelah melihat problem struktural ilmu sosial yang sudah berjalan secara historis dan panjang, fenomena sederhana seperti yang telah disebutkan di bagian atas, akhirnya menjadi tidak terelakan. Akibatnya, perkembangan ilmu sosial mengalami stagnasi serius. Tidak banyak teori yang bisa dihasilkan, sebab tuntutan struktural jauh lebih dominan. Mereka (para pelajar ilmu sosial) bahkan tidak terlalu mengenali cukup baik bidang yang sedang digelutinya. Mereka diliputi keraguan dalam diri mereka sendiri, yaitu tentang bagaimana seharusnya mereka memanfaatkan ilmunya. Sementara itu, hasrat keilmuan perlahan terus pudar dan memudar, dan tergantikan dengan berbagai persoalan yang dianggap lebih berprioritas dan pasti. Tidak ada penghubung yang benar antara ilmu sosial dalam pendidikan tinggi, negara, dan imajinasi kolektif pembelajar (mahasiswa) dibidang ilmu sosial. Hal itu menyebabkan mereka sulit untuk menggali potensi diri dan keilmuannya, serta terbata-bata menjalani hidup pasca-pendidikan, alias setelah menjadi sarjana. Situasi itu bahkan tidak hanya dialami para mahasiswa ilmu sosial, melainkan menjadi problem umum hampir semua mahasiswa di berbagai bidang keilmuan. Mereka seperti terpisah-pisah sehingga sulit untuk terhubung. Universitas di era neoliberal (zaman kabinet priode kemaren) lebih gencar menuntut sebanyak mungkin orang untuk berkuliah. Fokus terhadap komoditas menjadi lebih penting ketimbang memastikan kesiapan para calon pelajar dengan bidang keilmuannya masing-masing. Terdapat sesuatu yang luput, yakni membangkitkan kembali spirit pengetahuan yang semakin menghilang di generasi yang terus berkembang dan pragmatis itu.

Sebagai suatu sistem pengetahuan ilmiah, ilmu-ilmu sosial perlu menciptakan “progress of knowledge” melalui penelitian-penelitian dasar. Di sisi lain, sebagai sebuah cabang ilmu-ilmu terapan, ilmu-ilmu sosial juga tetap diharapkan dapat melayani kebutuhan masyarakat lewat penelitian tentang sektor-sektor khusus perkembangan masyarakat. Selanjutnya, sebagai suatu sistem wacana kritis, ilmu-ilmu sosial juga harus memerlukan tinjauan kritis berdasarkan studi ilmiah tentang arah perkembangan masyarakat dan kebijakan politik dalam menanggapi perkembangan tersebut. Dengan kesadaran tersebut, maka perkembangan ilmu tidak hanya menonjol pada satu sisi. Agar menjamin semuanya tetap terkoneksi dengan baik, maka negara perlu memainkan peran sebagai fasilitator yang dapat menjamin sepenuhnya kebutuhan perkembangan pengetahuan. Negara harus berperan sebagai pelindung otonomi akademik. Ia tidak bisa hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai pendukung yang memastikan ilmu sosial itu bisa tumbuh subur, kritis, dan relevan. Negara juga harus menjamin kebutuhan ilmu dengan penyerapan sumber daya yang sepadan. Ujungnya adalah bagaimana membangun kembali “imajinasi kolektif” bagi mereka yang bergelut di ilmu sosial, pemerintah, hingga masyarakat luas. Ketika fondasi historis yang telah terbentuk lama dan konstruksi sosial berhasil dipecahkan, maka upaya menemukan kembali spirit keilmuan yang hilang semoga mampu terbuka lebih lebar lagi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *