
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Mungkin anda pernah membaca tulisan berantai atau broadcast yang sudah lama beredar di media sosial perihal keluhan seorang guru di Australia, bahwa :
“πΎπππ π‘ππππ π‘ππππππ’ πβππ€ππ‘ππ ππππ-ππππ ππππ π‘ππππ ππππππ πππ‘ππππ‘πππ. ππππ ππππ π πππππ‘ πβππ€ππ‘ππ ππππ ππππππ π‘ππππ πππ π πππππππ‘ππβ.
Mengapa budaya mengantri dianggap lebih penting dibandingkan kepandaian berhitung? Jawabannya ternyata menyentuh akar pendidikan moral dan etika sosial yang mendalam.
Mengajarkan anak untuk mengantri bukan hanya soal menunggu giliran. Di balik kebiasaan sederhana ini, tersembunyi pelajaran hidup yang luar biasa.
Seperti manajemen waktu, datang lebih awal untuk mendapat posisi lebih depan. Kesabaran dan ketabahan, menerima kenyataan harus menunggu.
Menghormati hak orang lain, siapa datang dulu, dilayani dulu. Disiplin dan keadilan sosial, semua orang setara di depan antrian.
Kreativitas, mencari kegiatan positif saat menunggu. Sosialisasi, belajar menyapa dan berinteraksi. Konsekuensi logis, datang terlambat resikonya giliran belakang.
Serta harga diri dan rasa malu, tidak menyerobot hak orang lain. Demikian banyak hikmah dalam kebiasaan mengantri ini.
Dalam tradisi kita, kebiasaan antri belum menjadi budaya. Bahkan dalam perspektif sebagian umat beragama, antri tidak dimaknai sebagai ibadah.
Itulah mengapa kita masih abai dengan kebiasaan yang sejatinya mengandung pembelajaran yang sangat baik ini.
Lihat saja, ketika terjadi tragedi dalam pembagian zakat, pembagian sembako, atau pembagian zakat. Yang terbaru, tragedi dalam sebuah acara resepsi pernikahan anak seorang pejabat di Garut.
Diberitakan bahwa ada 3 orang meninggal dunia dalam acara pesta rakyat yang digelar dalam rangka resepsi pernikahan anak lelaki Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat. Tragedi ini menjadi viral, bahkan terkesan didramatisasi.
Masa berdesakan dan berebut makanan ketika pesta rakyat itu dimulai. Ribuan orang berdesakan dan beberapa di antaranya ada yang terinjak atau terjepit. Banyak yang terluka hingga mesti dibawa ke rumah sakit.
Berita menjadi heboh dan terasa didramatisasi. Hal ini tidak terlepas dari sosok Dedi Mulyadi sendiri, yang adalah kepala daerah di Jawa Barat yang belakangan ini viral karena aktivitasnya.
Kang Dedi Mulyadi atau akrab disapa KDM ini, aktif memposting aktivitas dirinya di media sosial. Sebagai pejabat tinggi di sebuah provinsi, dia cukup unik dalam menjalankan pemerintahannya di Jawa Barat.
Keunikan tersebut antara lain dia lebih sering berada di lapangan daripada berkantor di Gedung Sate Bandung, yang adalah kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Aktivitasnya ini menuai pro dan kontra dari masyarakat.
Atas aksinya yang dianggap populis tersebut, bahkan ada yang menduga dan menggadang-gadang dirinya sebagak bakal calon pemimpin masa depan Indonesia. Memang peluang itu ada dan terbuka.
Namun tidak sedikit juga yang mencibir atasnya. Salah satunya tuduhan klenik yang kerap dia praktekkan. Kelompok masyarakat ini menuduh KDM tidak kaffah dalam berislam. Dia dituduh sinkretik.
Caranya dalam menjalankan pemerintahan yang tidak lazim tersebut, dengan mendatangi langsung ke lokasi, seperti pertambangan liar, pemukiman liar, pungutan liar, sangat populis dan menuai apresiasi dari masyarakat.
Pengakuan itu terbukti dengan munculnya istilah βBapak Aingβ yang berarti βBapak Sayaβ yang melekat pada KDM. Ini bukti bahwa KDM mendapat hati di masyarakat. KDM dianggap pemimpin baik dan merakyat.
Walau dalam aksinya kadang terkesan berlebihan, seperti turun langsung ke dalam sungai yang penuh dengan sampah dan tanpa merasa jijik dan sungkan, turut membersihkannya bersama dengan petugas, aksinya tetap menuai pujian.
Dari seluruh aktivitasnya yang menunjukkan kedekatan dengan masyarakat, ada saja kelompok yang sedang menunggu KDM salah langkah, off side, dan terjerat masalah. Peristiwa tragedi pesta rakyat di Garut inilah momentumnya.
KDM sudah menyampaikan permohonan maaf walau dia tidak secara langsung memiliki keterkaitan hukum dengan tragedi tersebut. Karena menurut penjelasannya, acara itu di luar sepengetahuannya.
Bila pun pesta rakyat itu digelar dan menimbulkan kejadian yang tidak dikehendaki, sejatinya bukan semata karena tuan rumah yang abai, petugas yang lalai, atau pihak lain yang tidak melakukan upaya preventif.
Kalau kita melihat tayangan video kejadian tersebut, itu lebih disebabkan karena ada aksi saling serobot dan tidak tertib dalam antrian. Akibatnya, jumlah petugas yang tidak sepadan dengan masyarakat yang hadir tidak bisa mengatasi aksi rebutan tersebut.
Kejadian ini tidak berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya ketika ada acara yang semacam, dengan melibatkan masa banyak. Seperti pembagian sembako, bantuan sosial, pemberian zakat, yang kerap diwarnai dengan aksi saling desak dan dorong.
Tak jarang kejadian itu berakhir dengan tragedi. Selain ada yang terluka karena terinjak dan terhimpit, beberapa di antaranya ada yang sampai meninggal dunia. Mungkin akan lain cerita bila masa mau tertib dan mengantri menunggu giliran.
Jadi, ada benarnya pengakuan guru di Australia tersebut, bahwa kemauan untuk mengantri itu butuh waktu yang sangat panjang. Itulah mengapa mendidik anak untuk bisa dan mau antri dianggap lebih penting dibanding mengajarkan mata pelajaran.
Ulah saling serobot dan tidak mau antri ini juga kerap terjadi di jalanan, manakala situasi macet arus lalu lintas, yang membuat kemacetan semakin parah.
Penulis pernah mengalami, saat antri di kasir minimarket. Tetiba ada seseorang dengan pakaian religius -seperti tokoh agama- menyalip antrian. Ulah tidak elok yang dilakukan oleh sosok yang mestinya menjadi teladan ini membuat para pengantri geram.
Saat Penulis tegur agar yang bersangkutan antri, dengan enteng dia menukas, βIeu mah lain keur ngaji, Ka!β, atau βIni bukan sedang mengaji (kitab suci)β. Nah lho. Paradigma demikian akibat menganggap bahwa ibadah itu hanya yang mahdhah saja.
Mari biasakan antri. Dengan antri, akan lebih tertib, lebih nyaman, dan bisa saling menghargai. Karena sekecil apapun perilaku kita akan tercatat sebagai pahala atau dosa, mari yakinkan bahwa antri juga bagian dari ibadah.
* Penulis adalah Pengamat Media dan Kebijakan Publik, Pengurus ICMI Provinsi Banten