
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Menafsir ulang makna intelektual kita, berarti melihat kembali dan memahami kembali esensi dari intelektualitas kita dengan cara yang lebih luas dan relevan dengan konteks zaman sekarang ini. Hal itu juga melibatkan tidak hanya pemahaman tentang kemampuan kognitif, tetapi juga implikasinya dalam konteks kehidupan sehari-hari, yakni dalam soal interaksi sosial, dan pemecahan masalah global.
Oleh karena itu, penting untuk mengelaborasi kembali makna intelektual itu, karena soal intelektualitas seringkali dikaitkan dengan kecerdasan, kemampuan berpikir kritis, dan penguasaan ilmu pengetahuan. Namun, menafsir ulang makna intelektual itu mendorong kita untuk melampaui definisi yang lebih kholistik. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam proses penafsiran ulang intelektual, yaitu meliputi : Pertama, intelektualitas sebagai kemampuan beradaptasi. Intelektual sejati tidak hanya terpaku pada pengetahuan yang sudah ada, tetapi ia juga mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi baru. Ini melibatkan kemampuan untuk belajar secara terus-menerus dan mengembangkan solusi inovatif terhadap masalah-masalah yang kompleks. Kedua, intelektualitas sebagai tanggung jawab sosial. Pengetahuan dan kecerdasan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi semata. Karena, soal intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk berkontribusi pada perbaikan masyarakat, menyuarakan kebenaran, dan memperjuangkan keadilan. Sang intelektual harus menjadi agen perubahan yang positif.
Ketiga, intelektualitas sebagai keterbukaan pikiran. Intelektual sejati harus memiliki sikap terbuka terhadap berbagai perspektif dan ide baru. Sang intelektual harus mampu mendengarkan dan menghargai perbedaan pendapat, serta bersedia untuk belajar dari orang lain. Sikap tertutup dan eksklusif bukanlah ciri-ciri seorang intelektual yang sejati. Keempa, intelektualitas sebagai kemampuan berkomunikasi. Ilmu pengetahuan dan ide-ide cemerlang tidak akan bermanfaat jika tidak dapat dikomunikasikan dengan baik kepada orang lain. Sang intelektual, ia harus memiliki kemampuan komunikasi yang efektif, baik secara lisan maupun tulisan, agar gagasan sang intelektual itu dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. Kelima, intelektualitas sebagai pemecah masalah. Intelektual sejati adalah pemecah masalah yang handal. Mereka tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga mampu menganalisis akar penyebabnya yang terjadi serta mengembangkan solusi yang efektif. Kemampuan berpikir kritis dan analitis sangat penting dalam hal ini. Dengan menafsir ulang kembaki makna intelektual, maka kita dapat mendorong munculnya generasi intelektual yang lebih relevan, bertanggung jawab, dan mampu memberikan dampak positif bagi bangsa kita maupun dunia.
II. Intelektual Yang Reflektif Dan Idealis
Selama ini, sebutan kaum intelektual, cerdik pandai, maupun cendekiawan kerapkali melekat pada mereka kaum terpelajar, lebih khusus lagi bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Namun saat ini, jika ditanya siapa, dimana dan apa yang dilakukan oleh kaum intelektual itu? Jawabannya semakin tidak jelas. Ketidakjelasan akan keberadaan kaum intelektual saat ini, hal itu dampak dari ketidakefektifan gerakan kaum intelektual itu sendiri, bahkan tidak jarang (maaih ada oknum kaum intelektual) yang telah beralih profesi menjadi “Intelektual Tukang”, yakni bekerja sesuai pesanan, mengorbankan idealisme, kaedah dan etika kebenaran. Mengutip pendapat Nurchalish Majid bahwa “keefektifan gerakan kaum intelektual dalam jangka panjang, hal itu ditentukan oleh otentitas ide-ide visionernya, bukan semata-mata oleh kesemarakan lahiriah dari kegiatan-kegiatan adhocnya”.
Sementara menurut Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Mendikbud) di era Orde Baru, yakni Daoed Joesoef, sebagaimana ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “10 Wacana Tentang Aneka Masalah Kehidupan Bangsa”, ia saat itu terus mengamati kondisi yang sama mengenai idealisme kaum intelektual. Lalu ia menjelaskan, “Semakin meredupnya idealisme kehidupan sehari-hari kaum yang umumnya berpenampilan keren (parlente), malah idealisme mereka semakin tidak tampak, bahkan di kalangan kaum elit yang merasa terpanggil untuk memegang tampuk pimpinan di bidang-bidang yang menentukan bagi kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan bertanah air. Kecendrungan itulah yang benar-benar memprihatinkan”. Tutur Daod Joesoef. Lebih dari itu menurutnya, dalam usaha untuk membangkitkan situasi krisis intelektualitas, maka para intelektual jangan membuat kekeliruan berupa harapan pertolongan dari orang lain, yaitu berupa pengharapkan uluran tangan dari luar kelompok termasuk dari penguasa, sebab krisis intelektual itu bukan soal cara menulis, bukan krisis berbicara dan bertindak, melainkan menyangkut kepribadian sang intelektual sejati. Oleh karena itu, proses penyelamatan peran kaum intelektual bukan hanya sekedar dengan jalan mempersatukan mereka dalam wadah organisasi formal, melainkan untuk terus menjaga kemandirian nuraninya dan individualitasnya yang tidak bisa dijual belikan. Tutur (alm) Daoud Yosoef di dalam bukunya.
Bahkan, citra intelektual seseorang tidak bisa dipulihkan melalui jalan kuliah abal-abal, mencari gelar kehormatan akademik (doctor honoris causa) dan gelar profesional akademik fiktif, guna dibubuhkan di depan nama sang pseudo intelektual. Mereka lupa, bahwa citra intelektual seperti itu malah menghilangkan hak moral pada dirinya. Dan lembaga pendidikan tinggi yang memberikan gelar akademik itu patut dipertanyakan intelektualitas dan integritasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang melahirkan manusia unggul untuk Indonesia maju, beradab dan bermartabat. Oleh karena itu, untuk menguji intelektual kita, atau untuk menafsir ulang kembali makna intelektual kita, diperlukan definisi yang jelas tentang makna dan karakteristik dari apa yang disebut intelektual itu. Sementara definisi yang aktual tentang “seorang intelektual seharusnya meliputi tidak hanya sejenis pemikiran tententu, tetapi juga suatu hubungan dengan pembangkangan sosio-budaya, paling sedikit secara potensial. Pembangkangan itu didasarkan pada gagasan-gasasan yang telah diperhitungkan berdasarkan asumsi bahwa ia dapat dimasyarakatkan dan berlaku secara universal”.
Lebih dari itu, Daoed Joesoef mengemukakan, bahwa seorang intelektual dapat didefinisikan dari seperangkat kriteria berdimensi : (1). Suatu aksi penghayatan profesional yang berbobot budaya, maknanya adalah seorang intelektual haruslah seorang yang qualified dan diakui untuk berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut sistem nilai dan budaya. (2). Suatu peran sosio-politik, yaitu menunjukkan pentingnya kaitan antara pembangkangan intelektual dan struktur sosio-politik. (3). Suatu kesadaran yang mengacu ke universialitas, baik kesadaran maupun perasaan, juga mencakup nilai dan kognisi. (4). Suatu pembangkangan yang bertanggung jawab, menegaskan bahwa ia pasti bukan anarki dan secara sadar sengaja dilakukan tidak secara anarkis-destruktif dan tidak selalu berusaha untuk mengubah status quo. (5). Suatu pancaran nurani yang bersih dan murni.
Membuktikan nurani sang intelektual itu pengkritik tidak hanya mendikte pembangkangannya tetapi sekaligus menetapkan batas waktu pengkritikan itu. Selanjutnya, dari apa yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah dapat disimpulkan “beberapa karakteristik dari apa yang disebut sebagai intelektual, yaitu sebagai berikut : (1). Seorang intelektual, ia akan mempunyai komitmen pada gagasan (idea). Ia adalah pencetus dan pengawal gagasan, ia mempertaruhkan gagasan dalam usahanya untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang sumber laten dari kesulitan dan ketidakpuasan, hal itu ia lakukan dalam bentuk kritik atau pembangkangan baik secara lisan maupun tulisan, ia mengubah konflik kepentingan menjadi konflik gagasan. Lao Tzu seorang filosof China misalnya, yang nota bene hidup ribuan tahun sebelum masehi, ia telah mengingatkan,”Jika ada kesalahan segera kritik, karena kesalahan yang tidak dikritik, hal itu akan menjadi kebenaran”. Bahkan, banyak diantara kita telah diberi nikmat atau petunjuk oleh Allah SWT tentang sesuatu itu benar dan salah, namun kita tidak kuat untuk mengatakan bahwa itu benar dan ini salah karena mungkin sebahagian besar diantara kita telah menjadi kancil pilek (yang penting aku selamat, yang lain terserah). (2). Seorang intelektual tidak pernah jemu untuk membahas gagasan. Namun saat ini, terkesan di internal lembaga pendidikan tinggi malah terkesan senyap dari hirup-pikuk untuk membahas gagasan, dan terkesan pula bagwa atmosfir akademik terkesan terus mereduf, atau jangan-jangan terus mengalami mati suri.
(3). Seorang intelektual selalu concern untuk memikirkan dan mencari kaitan antara satu bidang keilmuan dan bidang keilmuan lainnya. Sejarah membuktikan, zaman Renansance lahir dari pertemuan (konvergensi) ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, kenapa sampai hari ini masih ditemukan banyak ilmuan ortodok yang menganggap bahwa pengetahuan itu linear, sementara dunia sudah bicara dan telah mengimplmentasikan konvergensi sains dalam kehidupan. (4). Seorang intelektual selalu membuka dirinya untuk bertukar pikiran. Anehnya kelompok diskusi di dunia akademis terasa senyap saat ini, tidak banyak yang berminat dan bersemangat untuk mengikuti kegiatan tukar pikiran itu. (5). Dalam mempertaruhkan gagasannya, kaum intelektual berdiri sendiri secara kokoh, tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas, ia harus kokok sekokoh batu karang, ia bagaikan elang rajawali berani terbang sendirian dan tidak mencari popularitas picisan. (6). Seorang intelektual mempunyai komitmen moral yang kuat, punya kepribadian yang nyata terhadap nilai di masyarakat”.
Apa yang penulis ungkapkan diatas, merupakan bagian atau intisari dari pemikiran Prof. Dr. Daoed Joesoef, yakni sebagaimana ia telah tuangkan di dalam bukunya berjudul “10 Wacana Tentang Aneka Masalah Kehidupan Bangsa”. Faktanya memang, sejak dulu dan berlanjut hingga saat ini, tidak sedikit kaum intelektual tidak merasa puas sekedar menjadi penggagas dan ingin lansung menerapkan gagasan, dan kemudian menjadikan dirinya sebagai bagian dari estabilishment dan bagian dari power complex (“menjadi oportunis”) mengabdi kehendak pemangku kepentingan, tidak terkecuali dalam tindakan ketidakadilan yang semestinya ia lawan, mereka (oknum intelektual semacam itu) seolah-olah sudah kehilangan integritas diri, dan belum selesai dengan urusan dirinya sendiri, takut lapar, dan kehilangan nuraninya, maka jatuhlah mereka pada apa yang disebut jurang “Pengkhianat Kaum Intelektual”, demikian kata Julian Benda, seorang intelektual berkebangsaan Prancis.
Oleh karena itu, setelah membaca uraian di atas yang mota bene demikian pedasnya terutama bagi (para oknum intelektual) yang sudah terkoptasi dan hingga terjatuh pada “Jurang Penghianatan Kaum Intelektual” menurut istilah Julian Benda. Maka, kita patut menanyakan pada diri kita sendiri “Apakah kita dapat tergolong kaum intelektual atau intelektual pengkhianat”? Dan itu juga sepatutnya untuk dijawab oleh kita sendiri-sendiri secara privatisasi.
III. Masih Ada Secercah Harapan Bagi Masa Depan Sang Intelektual Publik?
Apa yang telah dideskripsikan di sub judul bagian atas, pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan yang terus menggelitik. “Apakah kita saat ini mengalami defisit para intelektual publik setelah kepergian para intelektual kawakan dan termasuk salah satunya adalah sosok Ignas Kleden? Jawabannya menurut hemat penulis masih ada secercah harapan, bahwa para kaum intelektual idealis di negeri ini akan bangkit kembali.
Pertanyaan diatas, kerapksli juga diajukan oleh sang intelektual dan sekaligus seorang pemikir di negeri ini, yaitu (alm).Ignas Klenden. Namun, sang intelektual dan sekaligus pemikir itu, saat ini ia telah tiada dan sudah pergi meninggalkan kita. Ignas Kleden, doktor sosiologi dan esais yang priduktif itu, ia telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya (wafat), yaitu pada tanggal 22 Januari 2024, di usia 76 tahun. Sungguh suatu kehilangan bagi kita semua. Karena, Ignas Klenden adalah seorang penulis esai yang luar biasa. Tulisannya kerapkali panjang, dalam, dan terperinci. Seolah-olah tak ditemukan celah untuk kita bisa menggugat tulisan yang mewakili pikirannya itu. Bahkan, ketika di tahun 1999 misalnya, penulis seringkali mewawancara beliau, terutama ketika penulis bertugas (menjadi reporter) di salah satu Tabloid terbitan Ibukota (Tabloid LaJU/Lugas Dan Jujur), terutama di era reformasi yang sedang hangat-hangatnya saat itu, dan bahkan suasana “euporia” saat itu sedang dinikmati oleh seluruh elemen warga masyarakat bangsa ini. Ketika itu (tahun 1999) penulis kerapkali mewawancarai beliau (menjadi nara sumber) terutama yang berkaitan dengan kajian sosiologi, dan kerapkali di setiap wawancara dengan beliau, penulis seringkali juga mengajukan pertanyaan, bagaimana arah bangsa ini ke depan, yakni pasca terjadinya era reformasi, agar tetap bisa stabil, terutama ditinjaunya dari sudut atau dari perspektif filosofis dan sosiologis, yakni sesuai otoritatif keilmuan Ignas Klenden itu sendiri.
Bahkan hingga saat ini, ada banyak tulisan-tulisan beliau yang membekas pada ingatan para intelektual dan para pemikir di negeri ini, dan termasuk yang dirasakan oleh penulis sendiri. Bahkan, tulisan (alm) Ignas Klenden hingga saat ini banyak berceceran di berbagai media (cetak) terutama di harian Kompas. Bahkan, kawan-kawan penulis ketika di Tabloid LaJUR, mereka menyebut (alm Ignas Klenden) dengan sebutan sang intelektual yang nyentrik. Lebih dari itu, beberapa bulan setelah Ignas Klenden tiada (meninggal dunia), ada salah seorang yang menulis artikel di harian Kompas, dengan judul tulisan “Ignas Klenden Yang Mengesankan”. Menurut sang penulis artikel yang dimuat di harian Kompas itu, ia mengungkapkan “Ignas Klenden telah banyak menulis kata pengantar buku, menulis artikel di jurnal Prisma, dan juga sangat produk menulis di berbagai media harian, dan termaduk di harian Kompas, serta berbagai artikel seminar”, tutur sang penulis artikel di harian Kompas itu, yakni Charles Beraf. Lebih dari itu, Charles Beraf juga dengan apik ia menggambarkan di harian Kompas, terutama yang terbit pada tanggal 23 Januari 2024, bahwa sosok intelektual semacam Ignas Klenden. ”Pengetahuannya yang luas dan dalam itu sama sekali tidak membuat Ignas Klenden dengan gampang digoda atau tergoda oleh sekadar mencari popularitas karbitan, seperti banyak terjadi di ruang media sosial atau pada kesempatan talkshow di TV”.
Dengan kata lain, saat ini kita tak akan pernah melihat Ignas Klenden untuk terus meladeni sirkus pembicaraan dengan kalangan politikus atau pesohor mana pun di televisi. Lebih dati itu menurut pandangan penulis, dengan latar belakang filsafat yang kuat, Ignas Klenden sangat merendah ketika ia lebih suka menyebut dirinya sebagai ”sosiolog”. Namun, pandangan penulis, ia sangat pantas jika disebut sebagai ”filsuf”, tetapi ia menolaknya. Dugaan penulis, bahwa Ignas Klenden lebih tertarik untuk menggumuli pertarungan dengan manusia beserta seluruh problematikanya, ketimbang pertarungan ide-ide filosofis, yang justru kemudian ditarik refleksinya hingga sedemikian dalam. Dan ia kerapkali memprioritaskan pada dunia konsep, dunia ide, dengan kemanusiaan yang ia saksikan. Tapi, filsafat ia tarik ke bumi agar bisa memancarkan daya refleksinya yang lebih luas dan dalam. Bahkan, ketika ia menulis, yakni dengan penuh ketajaman analisisnya yang multidisiplin itu, kerapkali juga membuat para pembacanya setuju dengan isi tulisannya sekaligus berdecak kagum.
Bagi kita yang pernah membaca karya-karya Ignas Klenden, tentu saja selalu menunggu apa analisis Ignas Klenden terhadap suatu fenomena tertentu. Bahkan, ketika ia menulis kata pengantar bagi sejumlah karya (buku oto biografi) ia selalu menemukan angle tulisan tertentu yang tak terbayangkan dari seorang sosok ataupun satu fenomena tertentu yang ia tela’ah. Beberapa sosok yang pernah ia tulis dengan kata pengantar yang panjang, misalnya sosok sang sosiolog Soedjatmoko dan juga Jakob Oetama.
Di luar itu semua, kepergian Ignas Klenden memunculkan pertanyaan, apakah akan ada sosok intelektual publik yang memiliki kedalaman dan ketajaman tulisan seperti Ignas Klenden? Dalam bahasa yang lain, ketika Ignas Klenden tidak melekatkan diri pada suatu institusi pendidikan tertentu, justru hal itu menjadi kekuatannya ketika ia bisa dengan bebas menulis dan menganalisis tentang apa pun, tanpa pusing harus mengurus aneka urusan administrasi, yakni seperti yang dilakukan para pengajar yang ada di lembaga-lembaga pendidikan resmi.
A. Defisit Intelektual
Apakah kita mengalami defisit para intelektual publik setelah kepergian para intelektua yang idealis dan berdedikasi tinggi, termasuk salah satunya adalah Ignas Klenden? Jawabannya tentunya masih ada secercah harapan. Jika kita setuju bahwa salah satu syarat menjadi intelektual publik itu harus pandai, berwawasan luas, rasanya Indonesia tak kekurangan orang orang yang semacam itu. Banyak sekali para sarjana yang mengenyam pendidikan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dengan ilmu-ilmu terbaru, canggih, dan datang dari kampus-kampus besar di dunia.
Namun begitu, bahwa intelektual publik itu tak harus diartikan memiliki gelar akademis tertentu. Banyak doktor-doktor diusia muda yang baru menyelesaikan pendidikan serta studinya dari Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, dan negara-negara Asia lainnya, terutama di era seangkatan dengan Ignas Klenden juga. Bahkan kita patut beryukur, bahwa pemerintah kita saat itu juga mulai memberikan perhatian dan menyisihkan dana untuk membiayai para cerdik cendikia itu, yakni untuk studi lanjutan di berbagai universitas (fi dalam.maupum luar negeri). Bahkan, peluang mendapatkan pendidikan lanjutan saat Indonesia memasuki abad ke-21 midalnya, saat itu menjadi lebih mudah akibat pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga lain menawarkan banyak macam beasiswa kepada anak muda Indonesia saat itu. Namun, apakah sekadar pintar itu memenuhi syarat menjadi intelektual publik? Dalam arti yang luas (tidak merujuk pada suatu definisi tertentu oleh tokoh tertentu), karena intelektual publik dimengerti sebagai mereka yang memiliki keprihatinan, kepekaan, atas peristiwa-peristiwa di sekitar mereka, dan mereka bisa merespons dalam bentuk protes, analisis yang tajam, sehingga membicarakan hal itu dalam forum-forum publik (mulai dari media, forum diskusi ataupun diskusi via media sosial). Mereka dipercaya karena mereka mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan dirinya sendiri atas masalah-masalah tersebut. Ia memprioritaskan dunia konsep, dunia ide, dengan kemanusiaan yang ia saksikan.
Bahkan, filsafat ia tarik ke bumi agar bisa memancarkan daya refleksinya yang luas serta dalam. Jadi dalam arti ini, menurut penulis, mereka yang pintar saja tak cukup untuk menjadi seorang intelektual publik. Ia harus memiliki kepedulian dan konsistensi diri terhadap permasalahan di sekitarnya. Ia harus mampu mengartikulasikan serta merefleksikan persoalan itu dengan pisau analisis ilmu yang ia kuasai dan menyampaikannya kepada orang banyak (publik) via media massa atau media sosial. Ada kelemahan dari banyak sarjana pintar-pintar, baik ketika zaman dulu msupun saat ini, karena banyak yang kemudian terkotak-kotak dalam rumpun ilmu dimana ia belajar, tetapi kurang berdialog dengan iilmu-ilmu lain, atau tidak berani menyeberang dan meminjam alat analisis dari tempat lain serta menyampaikannya dalam bentuk esai yang enak dibaca, mengalir, dan lancar. Ada banyak orang-orang pintar yang lalu berkarya di kampus-kampus menghabiskan diri dengan rapat, membuat laporan, membuat aneka macam kegiatan. Tentu hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi kaum cerdik cendikia di negeri ini, yang jika boleh penulis rumuskan : memang hingga saat ini masih ada mereka yang terdidik dan memiliki daya “teropong” yang tajam atas masalah di sekitar kita, dan mereka mau membagikan pemikirannya itu lewat media-media populer di sekitar kita atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat?
B. Ketekunan Adalah Kunci
Sekalipun sang intelektual Ignas Klenden sudah tiada (wafat). Namun, tidak ada salahnya manakala kita (terutama yang merasa bagian dari kaum intelektual) untuk membaca tulisan-tulisan Ignas Kleden, terutama ketika ia sedang mengulas soal sastra misalnya. Karena pada dimensi sastra itu kita akan mudah mengidentifikasi, mengingat banyak sekali rumpun ilmu yang Ignas Klenden jelajahi, yaitu mulai dari sejarah, sastra, sosiologi, filsafat, dan pemikiran para tokoh pemikir hingga abad ke-20-21. Ignas Klenden bisa memadukan itu semua karena ia adalah pembaca yang baik atas karya-karya tersebut. Hasil dari bacaan itu semua adalah tulisan yang trengginas, dalam refleksinya, enak dibaca dan selesai membaca tulisan itu, kita (para pembaca) kerapkali mendapatkan pencerahan tertentu. Ignas Klenden adalah hasil dari suatu ketekunan membaca, kegilaan akan buku (kutu buku) dan kerakusan akan pengetahuan. Saat ia masih muda, konon katanya ia betul-betul menjadi kutu buku, dan saat itu (era tahun 1960-an) sudah pasti belum ada media sosial yang mungkin akan mengganggu segala aktivitasnya. Kalaupun pertengahan abad ke-20 sudah ditemukan media sosial, penulis menduga, Ignas Klenden akan mengeliminirnya (membuangnya jauh-jauh) karena itu akan mengganggu proses untuk menikmati bacaan-bacaan bukunya.