Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Di bulan April yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 tahun 2025, pihak Pemprov Banten beserta Kemenag Provinsi Banten, melakukan kegiatan penanama pohon Matoa secara serentak, termasuk yang ada di wilayah kediaman penulis (wilayah Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten). Hal itu sebagai komitmen dari pihak Kementerian Agama dan Pemprov Banten, untuk menunjukkan konsistensi berkelanjutan terhadap pelestarian lingkungan melalui pendekatan keagamaan dengan melanjutkan program satu (1) juta pohon Matoa. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari “Program Ekoteologi Asta Protas Kementerian Agama Republik Indonesia”, yang menjadi turunan langsung dari visi pembangunan nasional Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Sedangkan fokus utama program tersebut, yaitu untuk mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dalam upaya perlindungan dan pelestarian alam. Di bulan April yang lalu, secara simbolil juga dilakukan penyerahan (diberikan) bibit pohon Matoa kepada masyarakat.

Program mitra (pemberian dan pnanamaan pohon Matoa) sebagai simbol dimulainya penanaman pohon Matoa secara serentak di berbagai darah. Kegiatan tersebut menjadi sarana nyata untuk memperkuat peran agama dalam konteks menjawab tantangan ekologi secara lokal dan nasional. Pihak Kementerian Agama, melalui kegiatan ekoteologis itu menegisaratkan, bahwa pelestarian lingkungan merupakan bagian dari misi keagamaan. Sedangkan visi dan filosofi dari program ekoteologi sebagai bagian dari pelayanan keagamaan juga, yaitu sebagai bentuk nyata ibadah yang diwujudkan dalam bentuk (ibadah ghoir mahdhoh), demi menjaga dan melestarikan ciptaan Tuhan. Di bulan April lalu, selain jajaran Kemenag, kegiatan tersebut juga mendapat dukungan moral dari perwakilan Pemerintah daerah masing masing di seantero negeri ini, sekaligus mendapatkan apresiasi positif dari kalangan masyarakat atas inisiatif Kemenag dalam upaya “mengarus-utamakan nilai-nilai ekologi” dalam kegiatan keagamaan. Melalui kesinambungan program tersebut, pihak Kementerian Agama menegaskan posisinya sebagai pelopor sinergi antara keimanan dan tanggung jawab ekologis. Hal itu diharapan dapat membentuk kesadaran kolektif umat beragama terhadap pentingnya untuk merawat lingkungan hidup sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual.

Sedangkan filosofi dari program “ekoteologis” yang digagas oleh pihak Kemenag itu adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan teologi dengan ekologi, atau dengan kata lain, pemahaman tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Pendekatan tersebut sebagai bagian integral dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sebagai sumber daya yang hanya terus-terusan untuk dieksploitasi oleh manusia.

  1. Hubungan Manusia Dan Alam.
    Ekoteologi menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Manusia sebagai bagian dari ciptaan Tuhan, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan merawat alam, bukan hanya memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.
  2. Nilai Alam.
    Ekoteologi memberikan nilai pada alam itu sendiri, bukan hanya dari sudut pandang manfaatnya bagi manusia. Namun, alam juga memiliki nilai intrinsik karena merupakan ciptaan Tuhan dan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
  3. Keadilan Ekologis.
    Konsep keadilan ekologis dalam ekoteologi melibatkan hubungan yang adil antara manusia dan alam, serta antar manusia dalam hubungannya dengan alam. Ini berarti bahwa tindakan manusia terhadap alam harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dan keadilan bagi generasi mendatang.
  4. Tanggung Jawab Moral.
    Ekoteologi mendorong manusia untuk bertindak secara moral dan etis terhadap alam. Hal itu melibatkan kesadaran akan dampak tindakan kita terhadap lingkungan dan mengambil langkah-langkah untuk menjaga kelestarian alam.
  5. Berbagai Perspektif Agama.
    Ekoteologi dapat ditemukan dalam berbagai agama dan kepercayaan, masing-masing dengan penekanan dan interpretasi yang berbeda. Namun, prinsip dasarnya tetap sama, yaitu pentingnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Contoh dalam kehidupan nyata seperti ; gerakan perlindungan lingkungan. Lebih dari itu, ekoteologi dapat menjadi dasar filosofis bagi gerakan perlindungan lingkungan sebagai upaya untuk mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam berupa praktik pertanian berkelanjutan.

Lebib dari itu, ekoteologi dapat menginsfirasi praktik pertanian yang berkelanjutan, yang menghormati alam dan menjaga keseimbangan ekosistem. Kegiatan tersebut merupakan pengambilan keputusan berbasis etika lingkungan, karena ekoteologi dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berbagai bidang, termasuk kebijakan publik dan bisnis, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kepentingan generasi mendatang. Singkatnya, ekoteologi adalah pendekatan yang penting dalam memahami hubungan antara manusia dan alam, serta mendorong tanggungjawab moral dan etis dalam menjaga kelestarian lingkungan.

II. Dekonstruksi Kesombongan Manusia Dan Refleksi Kritis Ekoteologi

Di tengah krisis ekologis global saat ini, tentunya harus dimunculkan kesadaran bahwa kesombongan (aroganisme) manusia dalam memperlakukan alam telah membawa dampak yang merusak bagi kehidupan. Oleh karena itu, suatu refleksi kritis ekoteologi harus hadir untuk membongkar cara pandang manusia yang antroposentris, sekaligus mengajak pada sikap kerendahan hati dalam memperlakukan seluruh ciptaan Tuhan di alam jagat raya ini.

Oleh karena itu, pada tulisan ini berupaya untuk menghadirkan sebuah refleksi kritis atas wacana ekoteologi, dengan menempatkan pembahasan secara khusus dalam konteks Indonesia kontemporer, terutama dalam menekankan pentingnya ekologi spiritual. Dengan berlandaskan arah kebijakan nasional. Melalui Menteri Agama (Prof Dr. Nasaruddin Umar) bahwa program tersebut sudah diinflementasikan terutama oleh pihak Kemenag. Lebih dari itu, menurut tinjauan penulis, bahwa keterlibatan mendalam dengan ekoteologi bukanlah sekadar latihan intelektual, melainkan jalur krusial untuk memulihkan identitas manusia, sebagai makhluk yang autentik dan rendah hati.

Semakin dalam seseorang menyelami refleksi ekoteologis, maka akan semakin tumbuh kesadaran akan kerendahan hati yang mendasar dalam pandangan tentang manusia. Manusia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pusat segala sesuatu, melainkan sebagai bagian dari ekosistem ciptaan Tuhan. Dan ekoteologi telah menunjukkan betapa eratnya hubungan timbal balik antara manusia dengan seluruh makhluk hidup di alam jagat raya ini. Maka dari sini-lah muncul interpretasi pemahaman bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk merawat dan menjaga kelestarian seluruh ciptaan Tuhan di alam jagat raya ini.

Seorang sosiolog (Martin Heidegger) meskipun ia bukan seorang teolog, tapi ia telah mampu menangkap afinitas serta esensi dari ekologis itu, lalu ia menyatakan: “Manusia bukanlah tuan atas makhluk-makhluk di alam jagat raya ini. Tapi manusia sebagai hamba Tuhan”. Lebih lanjut Martin Heideger menyatakan, mengacu kepada visi ekologi yang tertanam dalam narasi teologis dan antaragama di Indonesia seperti yang tercermin di dalam ungkapan dari pihak Kementerian Agama, maka ekoteologis sangat penting untuk dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Tutur Martin Haideger.

Sementara argumen pada tulisan kali ini, mencoba ingin menggarisbawahi bahwa ekoteologi tidak terbatas pada abstraksi teoretis. Namun sebaliknya, ia mewakili kerangka kerja eksistensial dan etis yang transformatif, yang kerapkali mampu menjembatani kesadaran spiritual dan tanggung jawab ekologi dalam masyarakat pluralistik seperti yang ada di Indonesia (Nusantara). Manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Tuhan (yaitu sebagai hamba/makhluk), dan manusia tidak diciptakan untuk menguasai bumi, tetapi untuk merawat dan memakmurkan bumi. Dengan katavlain, kesadaran ekoteologi tidak mengangkat manusia ke posisi yang lebih tinggi (superioritas alam duniawi), melainkan untuk mengembalikannya ke asal-usulnya yang rendah hati, yakni untuk bersinergi dengan seisi alam jagat raya ini, dimana manusia yang nota bene asal-usul kejadian fisiknya diciptakan oleh Allah dari tanah dan air (setetes air hina dan sebuah mudghoh). Sementara wujud fisik manusia, kelak dikemudian hari, yakni setelah wafat nanti, ia akan dikembalikan ke tanah kembali. Sedangkan ruh manusia akan kembali kepada Sang Kholik-Nya. (Inna lillahi, wainna Ilaihi roji’un).

III. Akibat Keponggahan (Arogan) Manusia Terhadap Alam

Kepunahan beberapa spesies seperti burung Dodo (Raphus cuculatus) di Pulau Mauritius misalnya, kemudian kepunahan habitat harimau Bali (Panthera tigris Balica) sebagai bentuk berkurangnya keragaman hayati, polusi udara, air, tanah, serta pembalakan hutan (deforestry) secara massif telah menyebabkan pemanasan global (global warming) yang memberi dampak buruk pada dinamika kehidupan manusia di bumi ini. Hal itu merupakan potret dari berbagai ketidakarifan manusia dalam mengelola alam sebagai karunia Tuhan. Bahkan, respon teologis atas krisis lingkungan, memang sejak zaman ajalinya telah disuarakan dalam tradisi agama (Abrahamik), baik dalam agama Yahudi, Kristen, maupun Islam serta tradisi Hiduistik dan Budhisme.

Oleh karena itu, saat ini betapa pentingnya masyarakat untuk merumuskan kembali pandangan teologi tentang penciptaan sebagai tanggapan terhadap perkembangan sains seperti kosmologi, biologi, genetika dan ekologi pada dunia baru yang kemudian dikenal dengan istilah “ekoteologi”. Oleh karena itu, substansi pada tulisan kali ini, mencoba untuk mengeksplorasi peran potensial yang mungkin bisa dimainkan oleh para tokoh dan para penganut agama dalam konteks pembuatan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang lebih ramah dan manusiawi. Dengan metode hermenetika teks serta menggunakan pendekatan teologi, maka tulisan kali ini, mencoba untuk menjelaskan dua masalah yang mensinergikan antara agama dengan sains dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA). Pertama, bahwa pluralitas agama baik formal maupun tribal memuat landasan moral bagi etika lingkungan yang ramah. Kedua, pemanfaatan sumber daya alam yang minus spiritualitas, akhirnya telah mengakibatkan berbagai bentuk bencana lingkungan. Oleh karena itu, sinergitas agama dan sains menjadi harapan bagi keberlangsungang ekologi, bagi bumi yang ramah, dan kabar gembira bagi kehidupan masa mendatang bagi umat manusia, baik nasionsl, regional maupun global.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, yakni akibat keponggahan manusia, mengakibatkan kepunahan beberapa spesies seperti burung Dodo (Raphus cuculatus) di Pulau Mauritius, harimau Bali (Panthera tigris balica), hal itu sebagai bentuk berkurangnya keragaman hayati, polusi udara, air, suara, dan tanah, serta pembalakan hutan (deforestry) secara massif telah menyebabkan pemanasan global (global warming) yang memberi dampak buruk pada kehidupan manusia di planet bumi ini, hal itu merupakan potret dari berbagai ketidakarifan manusia itu sendiri dalam mengelola alam sebagai karunia Tuhan. Sementara respon teologis atas krisis lingkungan serupa telah disuarakan dalam tradisi agama Abrahamik, baik dalam agama Yahudi, Kristen, maupun Islam serta tradisi Hiduistik dan Budhisme. Lebih dari itu, tela’ah kritis pada tulisan kali ini, mencoba untuk mengeksplorasi peran potensial yang besarkemungkinan, hal itu bisa dimainkan pula oleh penganut agama dalam pembuatan kebijakan perlindungan lingkungan hidup, mengingat salah satu permasalahan moral terbesar yang kita hadapi saat ini adalah soal krisis ekologi.

Hal itu ditandai dengan hilangnya beberapa spesies dalam khazanah keanekaragaman hayati, perubahan iklim global, menurunnya kualitas udara, salinisasi tanah dan lain sebagainya. Hal itu akibat kecerobohan manusia yang merelatifkan permasalahan moral. Bencana ekologi tersebut menuntut kita untuk menata kembali tanggung jawab moral kita terhadap krisis yang telah mengepung kita. Apa yang dilihat oleh sang puturolog dunia, yaitu Dr. Seyyed Hossein Nasr, terutama yang ditujukan pada dunia Barat, tentang aroganistiknya manusia modern saat ini (dunia Barat), untuk memperlakukan alam, hanya demi tuntutan sahwat (kapitalistik-hedonistik) semata.

IV. Tafsir Kontemporer Tentang Ekoteologis, Ekologis Dan Paradigma Antroposentris

Pada sub judul bagian ini, penulis mencoba untuk mengemukakan tentang respon para mufasir kontemporer terhadap isu-isu kerusakan lingkungan yang disebabkan salah satunya dari paradigma antroposentris yang justru melegitimasi pandangan tersebut dari ajaran kitab suci. Sementara kajian pada tulisan kali ini menemukan para mufasir kontemporer yang memang berbeda pandangan dengan antroposentris, dan cenderung memiliki persamaan pendapat dengan ekosentris/deep ecology, yang menyeimbangkan antara penggunaan sumber daya alam dengan upaya konservasinya. Lebih dari itu, pada sub judul bagian ini, penulis ingin mengungkap sembilan (9) poin fungsi tujuan penafsiran dalam membangun paradigma dan kesadaran ekoteologis manusia, diantaranya :

(1). Mengenali diri dan lingkungan untuk mengenal Tuhan/ecospiritual. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Alaq, ayat 96, dan Surat Ibrahim ayat 32-33. (2). Manusia berperan penting untuk menjaga kelestarian alam raya, hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Ghafir ayat 40 dan 64. (3). Manusia harus menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ard) yang teguh untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak, bijaksana dan bertanggung jawab/ecojustice. Hal itu sebagaimana di jelaskan di dalam Surat al-Baqarah ayat 30. (4). Kemudian soal eksplorasi alam dengan dasar iman sehingga manusia dapat menggunakan sumber daya alam (SDA) dengan rasa hormat dan bijak. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat
Al-Imran ayat 190-191. (5). Observasi untuk selalu memastikan eksistensi sumber daya alam (SDA) agar tetap terjaga. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Nur ayat 44. (6). Konsisten dan komitmen dalam upaya konservasi. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Taha ayat 54. (7). Tanggung jawab dalam hasil penelitian yang membawa manfaat bagi alam dan manusia/sosio ekologis. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Al-Imran ayat 18. (8). Kemudian perlindungan alam sebagai bentuk ibadah dan ketaatan terhadap perintah Tuhan. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat al-Furqan ayat 63. (9). Penjaga bumi yang kreatif, mengelola alam dan memakmurkan bumi/integrasi antara ekonomi alam dan ekonomi ilahi. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surat Hud ayat 61.

Pendapat para mufasir kontemporer sebagaimana telah diungkapkan diatas, tentunya dapat dijadikan argumen untuk menggagas terminologi ekoteolgi Qur’ani. Sementara diskursus dan kajian soal “ilmu tafsir yang mempelajari tentang interaksi antar makhluk dalam ekosistemnya, terutama berdasarkan ayat takwin (alam semesta/ekologi) dan ayat tadwin (nas al-Qur’an sebagai dasar teologi), yaitu soal ekoteologi yang berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan melalui penyeimbangan antara hak dan kewajiban manusia terhadap alam serta penghormatan terhadap hak asasi alam. Bahkan, substansi ajaran di dalam al-Qur’an, baik manusia dan alam adalah mitra yang memiliki peran penting dan tujuan penciptaan masing-masing sebagai sesama ciptaan Tuhan. Selain mendukung kesesuaian pendapat dengan para mufasir sebagaimana telah dijelaskan diatas, pada akhirnya pendapat para mufasir kotemporer diatas, untuk kemudian dijadikan referensi dan tela’ah kritis oleh penulis, hal itu demi memperkuat kajian teologis dan sekaligus demi akurasinya tulisan kali ini.

Lebih dari itu, tulisan kali ini dimaksudkan untuk mendukung pendapat Menteri Agma (Prof. Dr. Nasaruddin Umar), dimana ketika di tahun 2009-an, beliau telah banyak berbicara dan sekaligus telah menulis buku yang berkaitan dengan “ekoteologis” itu. Lebih dari itu, penulis ingin memperkuat juga pendapat para ahli teolog (non muslim) lainnya seperti pendapa dari ; Anne Marie Dalton dan Henry C. Simons, Ezichi A. Ituma, James R Skillen, Celia Deane-Drummond, J J. Johnson Leese, dan Hadi S Alikodra. Mereka juga banyak berbicara dan sekaligus mendukung sepenuhnya tentang upaya pelestarian lingkungan dengan dasar ajaran agama dalam kitab suci mereka masing-masing. Sebaliknya, tulisan ini berbeda dengan pandangan antroposentris yang digawangi oleh Aristoteles (322 SM) yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta/elemen terpenting di alam jagat raya ini. Secara realitas faktual, tulisan kali ini bersifat kualitatif serta menggunakan metode analisis konten dan bersifat tematik. Lebih dari itu, pada sub tema “Tafsir Kontenporer Tentang Ekoteoligis”, penulis menggunakan dua metode penafsiran, yaitu metode tafsir maudu’i dan metode tafsir muqaran untuk mengungkap perspektif al-Qur’an dan pemikiran para mufasir kontemporer, terutama yang berkaitan dengan tematik “ekoteologis”.

V. Kearifan Lokal Dan Relasi Sosial Suku Baduy Dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim

Di balik kesederhanaan mereka (urang Kanekes) atau yang lebih dikenal dengan Suku Baduy memiliki gaya hidup tradisional yang berlandaskan pada rasa hormat yang mendalam terhadap alam. Di dalam kearifan lokal itu ada tawaran cara pandang unik dalam menghadapi perubahan iklim. Meskipun “perubahan iklim” mungkin asing bagi mereka, namun narasi adat dan kepercayaan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi merupakan panduan penting untuk memahami dan menanggapi fenomena ini. Salah satu prinsip utama masyarakat Baduy adalah “pikukuh“, yaitu pedoman hidup yang menekankan pada pelestarian alam, seperti “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak” (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak), yang mencerminkan komitmen mereka dalam menjaga keseimbangan ekologi. Prinsip itu pun berfungsi sebagai mitigasi alami terhadap bencana sekaligus melindungi sumber daya alam yang mendukung kehidupan.

A. Kearifan Lokal Dan Relasi Sosial Suku Baduy

Dalam membaca perubahan pola cuaca, masyarakat Baduy mengandalkan tanda-tanda alam yang sering tercermin dalam cerita rakyat atau ritual adat. Misalnya, musim tanam yang tidak teratur atau perubahan perilaku hewan dianggap sebagai “peringatan” dari leluhur atau alam semesta. Bagi mereka, pola bercocok tanam tidak hanya bergantung pada perhitungan kalender, tetapi lebih pada pengamatan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka, seperti pergerakan angin, perilaku hewan, atau perubahan suhu udara. Misalnya, masyarakat Baduy mengandalkan padi huma atau padi kering (padi ladang) sebagai tulang punggung ketahanan pangan dalam praktik pertanian. Mereka mengetahui waktu yang tepat untuk menanam padi huma berdasarkan tanda-tanda alam yang mereka amati. Ketika musim tanam tidak teratur atau tanda-tanda alam menunjukkan ketidakteraturan, mereka segera melakukan penyesuaian, seperti mengubah waktu tanam atau memilih tanaman yang lebih sesuai dengan perubahan kondisi tanah dan iklim. Selain itu, “leuit” (lumbung padi) merupakan simbol ketahanan pangan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga menjaga stabilitas pangan daerah. Pemahaman tersebut menjadi dasar adaptasi ekologis mereka. Sistem itu juga mencerminkan hubungan spiritual dan budaya yang kuat antara masyarakat Baduy dengan alam. Selain itu, ketika sumber daya seperti kesuburan tanah atau air mulai terganggu, masyarakat Baduy cenderung melakukan migrasi ekologis di dalam wilayah adatnya. Migrasi ini dilakukan dengan hati-hati, yakni untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem tanpa mengganggu keharmonisan alam.

Misalnya, jika tanah mereka mulai tidak subur atau sumber air terbatas, mereka tidak segan-segan pindah ke tempat lain dalam wilayah adatnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Praktik migrasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Baduy menganggap alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka dan berupaya menjaga keharmonisan dengan alam melalui gaya hidup yang dinamis. Dalam konteks perubahan iklim, cara hidup tradisional itu menunjukkan bahwa solusi berkelanjutan tidak selalu harus bergantung pada teknologi modern, tetapi juga pada kearifan lokal yang dapat beradaptasi dengan perubahan alam. Hubungan sosial yang kuat menjadi kunci keberhasilan masyarakat Baduy dalam menghadapi tantangan lingkungan. Solidaritas masyarakat memungkinkan mereka untuk berbagi sumber daya, hasil panen, dan informasi tentang perubahan cuaca. Diskusi informal antar warga masyarakat dapat memperkuat pemahaman kolektif dan menjadi sarana pendidikan informal untuk menjaga praktik adat yang ramah lingkungan.

B. Integrasi Budaya Dan Kebijakan Resiliensi Lingkungan

Seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Baduy, hidup seimbang dengan alam terbukti efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Pemerintah dan lembaga terkait seyogyanya dapat terus mengintegrasikan kearifan lokal itu ke dalam kebijakan dan strategi mitigasi lingkungan untuk menghadapi perubahan iklim.

Bahkan, kebijakan yang mengakomodasi nilai-nilai budaya dan praktik tradisional tersebut dapat menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan iklim. Misalnya, pemerintah dapat mengembangkan program yang mendukung konservasi berbasis masyarakat dan mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada akhirnya memperkuat ketahanan mereka terhadap perubahan iklim, terutama bagi masyarakat adat. Selain itu, program pendidikan dan sosialisasi sangat penting untuk melestarikan kearifan lokal dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara hidup yang ramah lingkungan. Melalui pendidikan berbasis masyarakat, maka masyarakat dapat lebih menyadari betapa pentingnya untuk menjaga keseimbangan alam melalui gaya hidup tradisional, seperti menanam tanaman berdasarkan tanda-tanda alam atau melestarikan sumber daya air, dan termasuk akhir-akhir juga (khususnya bagi masyarakat) menjadi fenomenal/ramai untuk menanan pohon Matoa misalnya.

Upaya itu tidak hanya meningkatkan kesadaran tetapi juga mendorong masyarakat untuk secara aktif mengadopsi dan menerapkan praktik-praktik yang telah terbukti mengurangi dampak perubahan iklim. Lebih jauh lagi, bahwa kolaborasi antara masyarakat lokal dan peneliti sangat penting untuk menggali lebih dalam bagaimana kearifan lokal itu dapat berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Penelitian yang melibatkan masyarakat tidak hanya menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang ada tetapi juga menghasilkan solusi yang relevan dan terjangkau bagi banyak masyarakat. Kolaborasi itu memungkinkan kita untuk mengembangkan program penelitian yang dapat diterapkan untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim dan menciptakan ketahanan pangan dan lingkungan yang berkelanjutan.

C. Pelajaran Berharga Untuk Mitigasi Perubahan Iklim

Mengamati dan menelusuri praktik adat masyarakat Baduy memberikan wawasan berharga untuk mitigasi perubahan iklim. Pendekatan yang bersifat holistik, yakni yang memadukan kearifan lokal dengan strategi modern, hal itu menciptakan model keberlanjutan yang relevan dengan tantangan lingkungan saat ini. Namun, tantangan baru muncul dari pengaruh eksternal seperti pariwisata dan globalisasi, yang perlahan terus mengancam tradisi mereka. Sedangkan menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan pembangunan modern merupakan tugas penting. Eksplorasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana generasi muda Baduy memandang perubahan iklim itu dibandingkan dengan generasi tua; atau sejauh mana narasi tradisional tetap relevan dalam konteks perubahan lingkungan yang semakin kompleks.

Masyarakat Baduy tidak hanya mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak selalu bergantung pada teknologi canggih, tetapi juga pada keharmonisan antara manusia dan alam. Nilai-nilai ekologis mereka relevan bagi masyarakat lokal dan dapat menjadi inspirasi global untuk menghadapi tantangan lingkungan. Melalui masyarakat Baduy, kita juga bisa belajar bahwa solusi perubahan iklim dapat ditemukan dalam praktik-praktik sederhana yang berakar pada rasa hormat terhadap alam. Keharmonisan itu tidak hanya menjaga bumi untuk saat ini tetapi juga menjadi warisan yang berharga bagi generasi mendatang.

D. Kearifan Lokal Suku Baduy Dalam Pelestarian Lingkungan

Seiring berjalannya waktu, malah sering kita jumpai masalah lingkungan di sekitar kita. Karena, banyak fenomena-fenomena seperti kerusakan alam, pencemaran dan bencana alam yang kian marak terjadi. Sementara menurunnya kualitas lingkungan menjadi salah satu akibat dari aktivitas manusia yang melakukan eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan. Hal itu menyebabkan fungsi dari lingkungan alam semakin terdegradasi dan keseimbangannya kian terganggu. Seiring berkembangnya ilmu dan teknologi, manusia memiliki pandangan bahwa manusia merupakan pusat dari segalanya. Manusia menganggap dirinya sebagai pengendali alam dan kebutuhan manusia dianggap memiliki nilai yang paling tinggi atau paling penting. Alam dipandangnya sebagai objek yang harus dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Hal itu bertolak belakang dengan teori “human ecology” yang beranggapan bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik. Manusia adalah bagian dari alam dan tidak bisa melepaskan diri dari alam dan lingkungan. Lingkungan mempengaruhi manusia, begitu juga sebaliknya perilaku manusia dapat mempengaruhi lingkungannya. Dengan kata lain, sudah sepatutnya manusia untuk bersikap menjaga dan melindungi keseimbangan alam dan lingkungan. Masyarakat Baduy merupakan salah satu masyarakat suku di Indonesia yang hidup berdampingan dengan alam. Masyarakat Baduy sangat menjaga kelestarian alam di sekitarnya. Mereka sangat menjunjung tinggi adat dan etika lingkungan dalam menjaga kelestarian alam setempat. Hal itu mereka lakukan dengan mengadopsi nilai-nilai ekologi ke dalam kearifan lokalnya. Sedangkan kearifan lokal merupakan sikap, pandangan, dan kemampuan dari suatu masyarakat dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang telah tertanam dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara menurut sosiolog Sumarmi dan Amirudin, bahwa kearifan lokal adalah perilaku masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan kepercayaan, norma, dan budaya yang tertuang dalam mitos dan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Dalam menjaga kearifan lokalnya, masyarakat Baduy memiliki aturan adat istiadat yang dikenal sebagai “pikukuh”. Dalam aturan leluhurnya (pikukuh karuhun) terdapat aturan yang berisi : (1). Dilarang masuk kedalam hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya. (2). Dilarang menebang pohon sembarangan dan jenis tanaman, seperti pohon buah-buahan, dan jenis pohon tertentu, dan lain-lain.

Suku Baduy memiliki zona “leuweung kolot” yang berada di puncak bukit. Wilayah tersebut merupakan wilayah hutan yang dilarang untuk dimasuki dan digunakan atau diambil hasilnya. Hal tersebut tertera pada pikukuh, sehingga mereka sangat patuh terhadap larangan tersebut dan tidak masuk ke dalam wilayah tersebut tanpa adanya izin dari petinggi adat. Zona “leuweung kolot” merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Baduy dalam menjaga lingkungan. Adanya zona “leuweung kolot” atau hutan terlarang menjadikan kawasan tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Secara ekologi, wilayah tersebut dapat menjadi wilayah konservasi yang mampu menciptakan keseimbangan alam dan memberikan dampak positif pada masa mendatang. Wilayah tersebut mampu mengurangi dampak dari pemanasan global, menjaga iklim setempat, meminimalisir terjadinya bencana alam, melindungi berbagai macam satwa yang ada di dalamnya, dan berbagai macam kelestarian lingkungan lainnya. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Baduy, memang sejalan dengan prinsip pembangunan lingkungan secara berkelanjutan (environmental sustainability).

Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal dapat memberikan kontribusi positif dan menjadi salah satu strategi pengelolaan lingkungan agar lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Oleh karena itu, kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga dan melestarikan keseimbangan lingkungannya sehingga manusia bisa hidup harmonis selaras dengan alam.

VI. Epilog

Masyarakat Baduy (khususnya Baduy dalam) memang memiliki kearifan lokal yang kuat dalam upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Prinsip-prinsip adat mereka, seperti “pikukuh,” yang menekankan pentingnya untuk menjaga keseimbangan alam dan mencegah kerusakan lingkungan. Hal itu terwujud dalam berbagai praktik, mulai dari pelestarian hutan hingga aturan ketat dalam bertani dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikut ini adalah beberapa aspek kearifan lokal masyarakat Baduy dalam menjaga alam:

  1. Pelestarian Hutan.
    Masyarakat Baduy memiliki zona hutan yang tidak boleh diganggu, yang disebut hutan larangan atau “leuweung kolot”. Hutan itu dianggap sebagai sumber kehidupan dan dijaga kelestariannya untuk mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, serta menjaga keanekaragaman hayati.
  2. Aturan Adat Dalam Bertani.
    Masyarakat Baduy menerapkan aturan adat yang ketat dalam bertani, termasuk larangan menggunakan benih padi modern, pupuk kimia, dan pestisida. Mereka juga tidak memperdagangkan padi hasil ladang mereka, menjaga keseimbangan ekosistem pertanian.
  3. Penggunaan Sumber Daya Alam Yang Bijaksana.
    Masyarakat Baduy memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana dan hanya seperlunya, dengan selalu memperhatikan kelestarian alam. Mereka menghindari pemborosan dan menjaga keseimbangan ekosistem.
  4. Penolakan Modernisasi Yang Berlebihan.
    Masyarakat Baduy cenderung menolak modernisasi yang berlebihan, terutama yang dapat merusak lingkungan. Mereka menjaga tradisi dan adat istiadat yang berorientasi pada kelestarian alam.
  5. Pendidikan Kearifan Lokal Turun Temurun.
    Kearifan lokal masyarakat Baduy diajarkan secara turun temurun, membentuk pemahaman dan kesadaran akan pentingnya menjaga alam. Masyarakat Baduy tidak hanya menjaga alam secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Mereka meyakini bahwa alam adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan. Penerapan kearifan lokal itu sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan memberikan contoh bagaimana masyarakat dapat hidup selaras dengan alam.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *