
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Menulis sejarah di media sosial bisa menjadi cara yang efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan melibatkan mereka dalam diskusi sejarah. Namun, penting untuk memperhatikan beberapa hal agar penulisan sejarah di media sosial tetap akurat, informatif, dan bertanggung jawab. Menurut tinjauan penulis, berikut adalah beberapa pertimbangan untuk menulis sejarah di media sosial diantaranya : (1). Pilih platform yang tepat : Misalnya, Instagram, ia lebih cocok untuk posting foto, video pendek, dan infografis yang menarik secara visual). (2). Facebook, ia lebih cocok untuk berbagi artikel, cerita panjang, dan berdiskusi dalam grup. (3). Twitter, ia lebih cocok untuk berbagi fakta singkat, tautan ke sumber lain, dan berinteraksi dalam percakapan. (4). TikTok, ia cocok untuk membuat video pendek yang menarik dan informatif tentang sejarah. (5). Blog, ia lebih cocok untuk menulis artikel sejarah yang lebih panjang dan mendalam.
Lebih dari itu, untuk menulis sejarah di media sosial juga harus memperhatikan format konten diantaranya : Pertama, soal visual, maka gunakan foto, video, infografis, dan ilustrasi untuk membuat konten kita lebih menarik dan mudah dipahami. Kedua, soal narasi, maka gunakan bahasa yang jelas, ringkas, dan mudah dicerna, dan sebisa mungkin untuk menhindari jargon akademis yang berlebihan. Ketiga, soap fakta. Maka kita harus selalu memverifikasi informasi dari sumber-sumber terpercaya. Gunakan catatan kaki atau tautan ke sumber jika memungkinkan. Keempat, interaksi. Ajak audiens untuk berdiskusi, bertanya, dan berbagi pemikiran mereka, dan tanggapi komentar dan pertanyaan dengan cepat dan sopan.
Menulis soal sejarah di media sosial juga harus mempertimbangkan dampak sosial diantaranya adalah soal sensitivitas. Yaitu, kita harus memperhatikan isu-isu sensitif dan hindari penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan. Berhati-hatilah dalam konteks membahas sejarah yang melibatkan berbagai kelompok etnis, agama, dan ideologi. Lebih dari itu, kita juga harus mengedepankan soal pluralitas. Tampilkan berbagai perspektif dan sudut pandang tentang suatu peristiwa sejarah, dan hindari narasi tunggal yang mendominasi. Lebih dari itu, kita harus mengedepankan sikap inklusifitas, yaitu melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam diskusi sejarah, dan berikan ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman dan perspektif mereka.
Dengan kata lain, gunakan media sosial untuk memperluas akses sejarah, terutama pada soal aspeks edukatif (pendidikan). Dan gunakan media sosial sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah. Lebih dari itu, kita harus mengedepankan soal sisi partisipasi. Yaitu, libatkan masyarakat dalam proses penulisan sejarah, dan undang mereka untuk berbagi cerita, foto, dan dokumen sejarah mereka. Sementara berkosentratif menulis sejarah di media sosial juga sebagai bentuk pelestarian. Karena, ketika kita mengunakan media sosial untuk mengungkapkan sejarah, maka secara tidak langsung kita juga telah mendokumentasikan dan melestarikan warisan budaya dan sejarah itu sendiri.
Bahkan, dalam konteks saat ini, kita jangan takut untuk bereksperimen, terutama ketika kita punya ide dan termasuk punya kapasitas untuk menarasikan soal sejarah. Maka cobalah berbagai format dan gaya penulisan kita agar bisa difahami oleh orang lain. Lebih dari itu, jangan takut untuk membuat kesalahan, tapi kita juga harus terus mau belajar dari pengalaman. Dan yang terpenting adalah, kita harus tetap terbuka untuk belajar dan terus berkembang. Oleh karena itu, mencermati dengan apa yang telah penulis ungkapkan diatas, maka kita dapat menggunakan media sosial untuk berbagi sejarah dengan cara yang menarik, informatif, dan bertanggung jawab. Ingatlah bahwa media sosial adalah alat yang kuat, namun dengan cara penggunaan yang lenib bijak, maka kita akan bisa memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu dan membangun masa depan kita yang lebih baik.
II. Para Penjaja Konten Sejarah di Media Sosial
Sebagai seorang sejarawan, sosok Marc Bloch (1886-1944), ia merupakan figur besar dalam historiografi Eropa. Bersama Lucien Febvre, ia telah merintis jurnal “Annales”, yaitu yang memperkenalkan ilmu sosial dalam sejarah, serta menempatkan masyarakat kebanyakan, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, dalam penulisan sejarah. Meski ia harus pergi untuk selamanya di tangan rezim Nazi Jerman, namun pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan. Salah satu pengaruh yang ia tinggalkan dan masih bisa kita temukan, terutama dalam bagian pengantar buku “Feudal Society” jilid pertama (tahun 1962). Pada bagian akhir pengantar tersebut, ia menulis bahwa sebuah tulisan sejarah seharusnya dapat membuat pembacanya merasa “lapar” (a historical work should make its readers hungry). “Lapar” dalam hal apa? Menurut Bloch, yaitu lapar dalam arti memiliki keinginan untuk belajar (hungry to learn), terutama mendalami sejarah (to inquire). Lalu, muncul pertanyaan yang terlintas di dalam benak kita, terutama ketika membaca kutipan Bloch tersebut diatas, apakah penulisan sejarah di Indonesia telah membuat masyarakat kita “lapar” untuk belajar? Namun, ketika kita menseriusi dan sekaligus melihat banyaknya penjaja konten sejarah yang berseliweran (beredar) di media sosial, dapat dikatakan bahwa sejarah saat ini mulai diminati oleh kalangan generasi muda. Bahkan, mereka (generasi milenial), terutama melalui tulisan, konten audio-visual, hingga budaya populer, nampaknya sedang belajar dan mendalami sejarah.
Meski begitu, terdapat catatan besar yang perlu digarisbawahi ketika berbicara mengenai para penjaja konten sejarah di media sosial. Karena, banyak dari mereka hanya menghasilkan konten kejar tayang yang ditulis tanpa melalui proses kesejarahan yang benar dan mumpuni. Alhasil, alih-alih mencerahkan dan menggugah pembaca untuk belajar lebih dalam tentang sejarah, ia malah hanya menjadikan konten itu seperti “habis manis sepah dibuang” yang “hangus” setelah beberapa jam terbit. Jika memang mereka (para penjaja konten sejarah) di media sosial itu, benar-benar ingin memperkenalkan sejarah yang membuat pembacanya bisa mejadi “kelaparan”, maka mereka juga wajib menyajikan konten sejarah itu yang tidak hanya menarik, tetapi juga memenuhi kaidah-kaidah ilmu sejarah.
A. Meminimalisir Disinformasi Sejarah Melalui Media Sosial
Sejarah memang seringkali menarik untuk disimak. Melihat bagaimana perjalanan manusia dalam lintas masa, budaya, hingga teknologi dengan pelbagai peristiwa yang terjadi. Sejarah kemudian tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi akhirnya menjadi disiplin ilmu pengetahuan tersendiri, yakni untuk melihat peristiwa yang telah lalu itu sebagai pembelajaran berharga untuk masa depan. Suatu ketika, yakni saat penulis sedang berselancar di alam maya, penulis akhirnya terperangah dengan adanya salah satu akun facebook yang begitu bagus ketika mengunggah tulisan sejarah. Saat penulis mengalami keterperangahan itu, memang tiba-tiba muncul di beranda akun facebook penulis, sebuah tulisan sejarah dengan bahasan yang ringan, diselingi beberapa pendapat dari sejarawan, serta referensi buku-buku sejarah. Berulang kali, akun tersebut muncul dan mengupas sejarah dari sudut pandang ilmu sejarah yang sarat dengan banyak sisi. Akhirnya, penulis memutuskan untuk mengikuti akun tersebut, dan akhirnya penulis juga aktif untuk bermedia sosial (bermedsos). Sambil mengikuti berbagai tautan di medsos, yaitu seputar sejarah, penulis akhirnya semakin menjadi penasaran, siapakah orang yang berada di balik akun yang kerapkali menulis sejarah yang bagus itu? Demi mengikuti rasa penasaran tersebut, akhirnya penulis memberanikan diri untuk berkenalan secara pribadi (melalui pesan langsung), dan akhirnya penulis yang nota bene pernah bersentuhan (sedikit banyak memang berlatar belakang diskursus ilmu sejarah), malah disarankan oleh orang itu, atau oleh sang pemilik akun itu, untuk turut aktif juga menulis sejarah di media sosial. Dan hingga detik ini (dan termasuk judul artikel yang penulis tulis saat ini, yakni tentang sejarah, dan sekaligus saat ini sedang Bapak/Ibu/Sdra (i) baca, merupakan bagian ketertarikan penulis untuk terus menulis sejarah di media sosial dan termasuk melalui akun facebook ini (fb) dan akun Instagram (ig) yang penulis miliki.
Lebih dari itu, ketertarikan penulis untuk menulis tema sejarah di media sosoal, memang terinsfirasi juga oleh salah seorang pegiat sejarah dan sekaligus sebagai jurnalis yang bekerja di salah satu media online. Konon kata dia, topik sejarah sudah menjadi kecintaannya sejak dulu katanya. Lebih dari itu menurutnya, rasa penasaran akan kejadian masa silam, membuatnya terus berkelana dari satu bacaan ke bacaan lainnya, terutama yang bertemakan sejarah. Dia kemudian mencoba untuk menuliskan pengetahuan sejarah yang ia pelajari secara singkat melalui media sosial pada tahun 2015 katanya. Sementara penulis sendiri, memang sudah aktif dan terus menulis tema-tema lain (di luar tema sejarah yang kemudian diunggah ke media sosoal), yaitu sejak tahun 2013. Namun fokus untuk menulis tema sejarah, penulis mulai aktif nulis sejarah (di media sosial), yaitu sejak tahun 2016, yang awalnya menulus tema tentang Babad Banten, kemudian tentang sejarah VOC dan lain sebagainya. Ternyata tanggapan dari audien, yakni melalui akun media sosial penulis memang cukup lumayan banyak, dan bahkan banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang menarik dan menggelitik (dari para netizen). Oleh karena itu, antusias tersebut akhirnya terus menumbuhkan semangat penulis untuk menekuni kepenulisan sejarah di media sosial hingga saat ini.
Ketertarikan penulis pada sejarah, akhirnya penulis bisa bertemu dengan komunitas-komunitas sejarah. Meskipun pembelajaran sejarah yang penulis dapat dari komunitas yang berbagai macam dan berbagai latar belakang, namun ada satu hal yang menurut penulis masih kurang di komunitas sejarah itu, yakni masih terkesan parsialitas dalam konteks melakukan riset kesejarahannya. Sementara ketergelitikan penulis terhadap pengetahuan dan pengkajian sejarah lontemporer, terutama sekitar tahun 2010-an, saat itu mulai adanya klaim sepihak, yakni tentang Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, kemudian munculnya isu sejarah harta karun Bung Karno, dan lain sebagainya. Namun, semakin penulis masuk lebih dalam, semakin merasa adanya penyimpangan yang terjadi, terutama cara berpikir sejarah bagi komunitas yang mengklaim sepihak itu. Akhirnya penulis keluar, dan mencoba lebih menggali lagi sejarah yang sebenarnya, terutama tentang sejarah Borobudur.
Sejarah memang seringkali menjadi ladang hoaks yang paling subur, karena narasi-narasi yang dituturkan lebih bergelora dibandingkan dengan kejadian aktual. Oleh karena itu, penulis mencoba memfokuskan diri untuk belajar dan membaca literasi sejarah dari sumber-sumber sejarah yang lebih kredibel. Penulis merasa ada tanggung jawab moral untuk mengentaskan narasi-narasi sejarah yang hoaks itu, yang terkesan berseliweuran di media sosial. Bahkan, kerapkali kita menemukan narasi sejarah yang hanya mengandalkan “cocoklogi” di media sosial. Sementara narasi tersebut seringkali memantik percakapan yang ramai hingga akhirnya malah dipercayai sebagai sebuah fakta sejarah.
Lebih dari itu, setiap pembuatan tulisan di medsos-pun, penulis mencoba untuk melakukan riset-riset yang memadai terkait sebuah topik yang akan ditulis. Melalui abstraksi dan tela’ah kritis apa yang terjadi di media sosial, penulis malah bisa leluasa untuk menentukan topik apa yang ingin dibahas, hal itu terjadi akibat penulis terus mengikuti keadaan yang viral (riding the wave) atau mengambil momentum tertentu (seperti hari besar, kejadian besar, atau tragedi). Namun, secara substantif tulisan penulis di media sosial, merupakan hasil olah pikir dan dari hasil bacaan penulis dari buku-buku sejarah. Sementara ide lainnya, yang kerapkali penulis dapatkan, yaitu dari beberapa orang yang mengirim pesan langsung kepada penulis, mereka meminta penjelasan penulis apakah cerita sejarah yang mereka dapatkan itu benar. Namun, penulis tetep mengedepankan soal sikap berhati-hati dalam konteks menjawab pertanyaan tersebut. Kalau penulis memang ada bukunya, atau penulis pernah baca arsipnya, atau penulis tahu cara akses arsipnya di konteks peristiwa itu, ya akan penulis jawab. Tapi kalau tidak ada dan tidak punya sumber sejarahnya, biasanya penulis menyarankan agar teman-teman (para penanya di akun media sosial penulis) mereka penulis sarankan agar menanyakan langsung kepada para pegiat sejarah atau sejarawan lainnya.
Bahkan hingga saat ini, masih terselip keresahan di benak penulis, terutama ketika melihat suatu sejarah yang dipelintir atau dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya. Hal itu juga menjadi perhatian kolega-kolega penulis. Seperti, hal-hal mistis dan persoalan supranatural saat ini, yang memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita dalam konteks berbangsa dan bertanah air, malah ada banyak hal di luar nalar (mistikasi) yang terjadi di sekeliling kita yang seringkali tidak dapat dijelaskan secara nalar dan ilmiah. Penulis beserta kawan-kawan, hingga saat ini masih berkeinginan agar informasi tersebut (soal mistik/mistifikasi) boleh saja diungkapkan dan hanya selintas saja. Jangan terjadi campur aduk, yakni seolah-olah informasi tersebut (soal mistik), yang akhirnya malah ditafsirkan menjadi peristiwa sejarah yang patut diketahui. Ini yang kadang-kadang kita seringkali mengalami “krilulogi”. Bahkan, penulis kerapkali bertanya, apakah dengan penyajian konten cerita seperti itu (cerita mistik dan mistifikasi itu) bisa atau setidaknya sedikit bisa meningkatkan antusiasme publik pada pembelajaran sejarah? Rasanya tidak. Karena, saat ini banyak konten-konten seperti itu, terutama di beberapa tahun yang lalu pernah membanjiri stasiun TV, yakni kisah mistis, malah saat ini terkesan pindah platformnya. Bahkan, dari dulu tayangan TV swasta kerapkali melakukan itu (cerita mistik) tapi minat sejarah masyarakat kita juga tidak terbangun, malah justru konteks sejarah yang ada di pembahasan itu jadi tertutup. Bahkan, kenapa kita lebih mengetahui Candi Prambanan dibuat oleh Bandung Bondowoso dalam waktu semalam? Atau patung Si Malin Kundang yang ada di Pantai Air Manis, Padang adalah asli. Karena, sejak kecil kita banyak dijejali oleh dongeng-dongeng tanpa diimbangi dengan penjelasan aktual dan ilmiah untuk mengetahui kejadian sebenarnya. Tentunya hal itu bisa mempengaruhi cara pandang dan pola pikir kita ketika kita sudah dewasa. Oleh karena itu, maka keseimbangan informasi itu perlu dan sangat penting.
Bahkan, beberapa kali penulis berjibaku untuk berpolemik (berargumentatif) dengan salah satu medsos yang viral terkait salah satu bangunan cagar budaya yang dipercayai “berhantu”. Padahal, ada hal yang lebih urgensi dari itu, yakni yang perlu diketahui oleh semua orang, bahwa kepengurusan bangunan cagar budaya tersebut carut marut dan tidak terurus dengan baik. Namun, dengan adanya konten yang terkesan terus mengedepankan soal mistis itu, malah orang-orang semakin tidak peduli akan bangunan cagar budaya itu. Orang taunya itu tempat meumeudi (setan), orang tidak paham kalau itu tuh cagar budaya yang harus dijaga, dirawat dan dilestarikan oleh kita semua. Sementara kepengurusan cagar budaya yang tidak jelas itu, seyogyanya harus lebih jelas, dan dibuat jelas, serta cagar budaya itu harus diurus oleh yang jelas dan mengerti tentang sejarah dan cagar budaya itu sendiri.
Karena narasi-narasi yang tercipta dari konten-konten horor itulah malah yang muncul soal meumeudi, “klinikisme” dan lain sebagainya. Hal itu seyogyanya menjadi perhatian tersendiri bagi para sejarawan atau bagi para pegiat sejarah. Alangkah mengerikan jika pemahaman ilmiah tidak dipopulerkan dan lalu yang muncul malah terus soal mistis, uwaduh…… bisa-bisa gedung-gedung yang bersejarah akan diruntuhkan karena gara-gara dianggap ada hantunya atau berhantu. Oleh karena itu, penulis berharap agar para pembuat konten di media sosial, seyogyanya untuk lebih bijak dalam pembuatan konten, khususnya konten-konten yang menyangkut sejarah. Jangan sampai konten yang sudah diolah, justru tidak memberi banyak manfaat dalam upaya untuk menambah pengetahuan kesejarahan. Sejarah memang sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri, dan sekaligus mempunyai metodologi-metodologi tertentu, yaitu untuk menentukan keakuratan suatu pendapat tentang peristiwa sejarah. Bahkan, ilmu pengetahuan hingga saatini terus bergerak dinamis, sewaktu-waktu ia bisa berubah dengan adanya bukti-bukti baru yang sudah diteliti. Intinya, kita harus mampu menyaring informasi yang masuk dan mencari padanan informasi yang serupa dengan sumber-sumber lain. Tapi, sejarah memang terdiri dari penemuan-penemuan (hasil riset), yang memang telah disepakati oleh para ahli swjarah, bahwa sejarah tidak seratus persen benar.
IV. Bagaimana Sejarah Ditulis Ulang di Media Sosial?
Di era digital yang serba cepat saat ini, media sosial telah menjelma menjadi arena baru di mana sejarah tidak lagi hanya diinterpretasikan oleh sejarawan profesional, tetapi juga oleh setiap individu dengan koneksi internet. Kemudahan akses dan partisipasi yang ditawarkan platform seperti X (Twitter), TikTok, Instagram, hingga Facebook memungkinkan narasi sejarah itu bisa diproduksi, disebarluaskan, dan diperdebatkan secara massal, seringkali dengan kecepatan kilat. Di satu sisi, hal itu juga membawa demokratisasi penulisan sejarah, memberi suara kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya termarginalisasi dan memunculkan perspektif baru. Namun, di sisi lain juga, bahwa fenomena tersebut akan menghadirkan ancaman serius terhadap integritas sejarah. Karena, akan berinflikasi pada maraknya disinformasi, hoaks, bias narasi, dan polarisasi yang dapat mengaburkan fakta, memanipulasi pemahaman publik, dan bahkan merusak memori kolektif suatu bangsa. Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana agar kita bisa menavigasi kompleksitas itu, yakni untuk memastikan bahwa media sosial menjadi alat penguat, dan bukan menjadi perusak pemahaman sejarah kita.
Sebelum era media sosial, penulisan sejarah cenderung didominasi oleh para akademisi, lembaga arsip, dan penerbit besar. Kini, batasan itu terkesan telah runtuh. Karena, media sosial telah memberikan platform bagi kelompok-kelompok yang sejarahnya sering diabaikan atau ditutup-tutupi seperti keberadaan entitas minoritas, termarginalisirnya kaum marginalis, eksistensi perempuan, dan lain sebagainya, untuk membagikan pengalaman, ingatan kolektif, dan perspektif mereka sendiri. Hal itu memungkinkan narasi sejarah yang lebih inklusif dan representatif. Bahkan, pengguna media sosial saat ini, mereka bisa dengan mudah membagikan foto lama, video, dokumen keluarga, atau rekaman wawancara dengan saksi sejarah. Hal itu menciptakan arsip digital kolektif yang sangat kaya, melengkapi sumber-sumber resmi, dan terkadang mengungkap detail yang belum pernah dipublikasikan. Akun-akun sejarah populer seringkali mengundang partisipasi audiens untuk mengidentifikasi objek dalam foto lama, memberikan konteks, atau membagikan cerita pribadi yang terkait. Hal itu bisa mengubah riset sejarah menjadi proses yang lebih kolaboratif dan terbuka. Bahkan, isu-isu sejarah yang kontroversial atau belum terselesaikan dapat didebatkan secara terbuka di media sosial. Meskipun bisa memicu polarisasi, hal itu juga dapat mendorong diskusi yang lebih luas dan merangsang minat masyarakat pada sejarah. Namun, sifat terbuka dan tanpa filter yang jelas, maka media sosial juga bisa menciptakan celah bagi penyalahgunaan yang merusak diantaranya seperti :
- Penyebaran Hoaks Dan Sejarah Palsu.
Ini adalah ancaman paling serius. Narasi sejarah yang salah, informasi palsu tentang peristiwa atau tokoh, dan teori konspirasi dapat menyebar dengan sangat cepat dan meluas, seringkali dengan tujuan politik atau ideologis tertentu. Kurangnya verifikasi fakta yang ketat di platform media sosial memperparah masalah ini. - Bias Narasi Dan Manipulasi Konteks.
Pengguna dapat dengan sengaja atau tidak sengaja membagikan informasi sejarah yang diambil dari konteks aslinya, memotong bagian yang tidak sesuai, atau menonjolkan aspek tertentu untuk mendukung agenda pribadi atau kelompok. Hal itu menghasilkan pemahaman sejarah yang dangkal atau bias. - Polarisasi Dan Perang Narasi.
Sejarah seringkali menjadi alat politik. Di media sosial, perbedaan interpretasi sejarah dapat dengan cepat berubah menjadi “perang narasi” yang memecah belah, dimana kelompok-kelompok saling menyerang dengan argumen yang tidak berbasis fakta atau penuh kebencian. Algoritma media sosial memperkuat polarisasi ini dengan menciptakan echo chambers. - Dramatisasi Dan Sensasionalisme.
Demi mendapatkan likes atau shares, narasi sejarah seringkali didramatisasi, disederhanakan secara berlebihan, atau dibuat sensasional, dan akhirnya mengorbankan akurasi serta nuansa kompleksitas sejarah. - Pengikisan Kredibilitas Sumber.
Ketika informasi sejarah yang tidak terverifikasi atau bahkan palsu bersanding dengan konten dari sumber-sumber kredibel, maka publik akan kesulitan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang pada akhirnya merusak kepercayaan terhadap ilmu sejarah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk memastikan media sosial menjadi alat yang positif dalam mempelajari sejarah, dan bukan malah sebaliknya. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya kolektif seperti : - Peningkatan Literasi Sejarah Dan Digital.
Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk berpikir kritis, memverifikasi sumber informasi, memahami bias, dan membedakan antara fakta sejarah dengan interpretasi atau propaganda. Pendidikan sejarah harus beradaptasi dengan konteks digital. - Peran Aktif Sejarawan Dan Akademisi.
Para sejarawan harus lebih aktif terlibat di media sosial, bukan hanya sebagai penjaga gawang kebenaran, tetapi juga sebagai narator yang menarik, mampu mengemas riset kompleks menjadi konten yang mudah untuk dicerna dan akurat, serta terlibat dalam diskusi publik. - Kolaborasi Dengan Platform Media Sosial.
Platform harus bertanggung jawab dalam memerangi disinformasi sejarah melalui fact-checking, pelabelan konten palsu, dan memberikan ruang yang lebih menonjol bagi sumber-sumber kredibel. - Pengembangan Konten Sejarah Yang Menarik Dan Akurat.
Membuat konten sejarah yang menarik secara visual dan naratif (misalnya video dokumenter pendek, infografis interaktif, podcast) yang didasari riset yang kuat. - Mendorong Dialog Dan Refleksi.
Menciptakan ruang-ruang daring yang mendorong diskusi sejarah yang konstruktif dan empatik, di mana berbagai perspektif dapat dibagikan dan diperdebatkan secara sehat tanpa jatuh ke dalam polarisasi.
Dengan kata lain, media sosial telah mengubah cara sejarah ditulis dan dikonsumsi. Sementara tantangannya adalah, untuk memastikan bahwa demokratisasi itu tidak mengorbankan integritas faktual. Hal itu merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menjaga agar jejak masa lalu tetap otentik dan menjadi pelajaran berharga bagi masa depan.