Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Berbagai hasil survei menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah. Pertanyaannya adalah apakah kegemaran membaca buku untuk saat ini dapat merefleksikan minat baca secara menyeluruh? Bagaimana kontribusi membaca melalui media online terhadap indeks minat baca Indonesia? Era digital telah mengubah perilaku membaca masyarakat. Sehingga parameter-parameter minat baca saat ini seyogyanya dapat disesuaikan dengan elemen-elemen perubahan tersebut. Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan untuk mengukur minat baca di era digital saat ini, yaitu : (1). Esensi membaca. (2). Perkembangan teknologi. (3). Karakteristik masyarakat di era digital. (4). Membaca sebagai aktivitas sosial. (5). Perilaku membaca di era digital. Lebih dari itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : (1). Infrastruktur yang memadai. (2). Kesiapan atau kemampuan sumber daya manusia. (3). Sumber bacaan yang harus tersedia. Dengan perubahan perilaku membaca masyarakat di era digital saat ini, maka ukuran minat baca tidak lagi terbatas pada berapa banyak buku yang dibaca, tetapi juga berapa jumlah bahan bacaan online yang di-klik, dibaca, dibagikan, didiskusikan, disimpan atau di-download. Hal itu juga dapat menjadi dasar bagi para pemangku kepentingan (pemerintah) dalam menyediakan sumber bacaan online yang berkualitas, yakni sesuai dengan kebutuhan dan minat pembaca online.

Namun, fenomena rendahnya minat baca buku di kalangan generasi muda (generasi milenial saat ini) bukan hanya semata-mata karena terbatasnya jumlah buku yang dimiliki, dan salah satunya disebabkan oleh lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar adalah faktor utama yang membentuk karakter dan kebiasaan seseorang. Jika seorang anak memiliki keluarga yang rendah minat baca, maka ia akan memiliki minat baca yang rendah pula. Kecuali ia memiliki ketertarikan tersendiri, yakni yang berbeda dari anggota keluarganya. Maka, lingkungan sekitar adalah faktor terbesar dalam hal rendahnya minat baca di kalangan generasi muda kita saat ini.

Bahkan, seiring berkembangnya zaman, terbentuklah generasi serba instan, dimana generasi saat ini terkessan tidak suka ribet dan memilih hal-hal praktis-pragmatis saja. Pribadi pada generasi milenial saat ini tidak suka menikmati proses, sedangkan membaca buku membutuhkan proses untuk mendapatkan makna serta manfaat dari buku tersebut. Dibanding membaca buku, generasi serba instan saat ini lebih menyukai gadget karena dianggap lebih menghibur dan menyenangkan. Entah untuk bermain game online atau membuka media sosial untuk mengisi waktu luang. Selain faktor lingkungan dan gadget, ada faktor lain yang berpengaruh besar terhadap menurunnya minat baca seseorang. Yaitu pribadi orang itu sendiri. Jika dalam diri seseorang itu saja sudah tidak memiliki minat baca yang baik, jangankan untuk menyentuh, mendengar judul bukunya saja sudah pasti sangat malas, dan apalagi gadget begitu mendominasi kehidupan kita saat ini, karena gadget adalah alat komunikasi multifungsi, yakni merangkap sebagai media bertukar pendapat dan informasi. Namun perlahan tapi pasti, kini masyarakat mulai beralih ke buku digital. Selain mudah diakses, buku digital juga lebih ekonomis dan praktis tanpa kesan ribet. Sedangkan, buku konvensional memang sulit didapatkan dan terbilang lebih mahal.

Apakah buku digital adalah solusi terbaik untuk era ini? Segala hal tentu memiliki dampak positif dan negatif. Begitu pula buku digital yang dapat memberikan dampak pada penggunanya. Tentu saja buku konvesional lebih aman untuk kesehatan mata, dengan syarat membaca ditempat cukup cahaya dan posisi duduk yang baik. Fakta lapangan menyatakan 80% anak Indonesia mengalami mata minus disebabkan oleh bermain gadget terlalu lama. Seringkali kita mendapat kepuasan saat membaca buku yang tersusun rapi dengan kata-kata yang indah. Hal itu disajikan oleh buku konvensional, karena keaslian dan kualitas buku konvensional lebih tinggi dibanding buku digital. Karena buku konvensional melalui proses penerbitan yang ketat. Sedangkan buku digital dapat dibuat dan dikeluarkan oleh siapapun.

Buku konvensional memiliki sensasi tersendiri saat membuka lembar demi lembar buku yang sedang dibaca. Menurup pengalam penulis, terasa ada kepuasan batin tersendiri (kesenangan) saat menghirup aroma buku sewaktu baru dibuka dari segelnya. Namun, buku digital lebih ramah lingkungan. Tidak dibutuhkan kertas untuk penerbitannya. Lebih hemat dan tidak merusak alam. Praktis, tidak butuh banyak tempat. Buku digital juga anti rusak, karena buku digital hanya perangkat lunak yang tersimpan dalam gadget. Dengan segala kelebihan maupun kekurangan masing masing, baik buku konvensional atau buku digital, yang terpenting adalah, bagaimana agar kita semua untuk terus bisa melestarikan karya dalam bentuk tulisan, membiasakan diri untuk membaca, dan jangan pernah berhenti untuk terus membaca, membaca, dan membaca. Karens ada pepatah yang mengatakan “Sebuah ruangan tanpa buku ibarat tubuh tanpa jiwa. Hidup tanpa buku seperti ruang gelap tak berlampu.”

II. Migrasi Dari Budaya Baca Ke Budaya Medsos Riya

Perpindahan atau migrasi dari budaya baca buku ke budaya media sosial riya, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ; (1). Perubahan gaya hidup. (2). Aksesibilitas konten. (3). Preferensi pribadi. Meskipun media sosial menawarkan kemudahan dan kecepatan dalam mendapatkan informasi, tapi membaca buku masih tetap memberikan manfaat mendalam yang tidak bisa digantikan, seperti pemahaman yang lebih komprehensif, kemampuan berpikir yang lebih kritis, dan lain sebagainya.

Sebabagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa penyebab pergeseran menurunnya minat baca, salah satunya adalah akibat perubahan gaya hidup. Gaya hidup serba cepat dan instan di era digital saat ini, membuat banyak orang lebih memilih konten yang cepat dicerna seperti media sosial daripada membaca buku yang membutuhkan waktu dan fokus lebih. Lebih dari itu, menurunnya minat baca saat ini, akibat oleh aksesibilitas konten. Karena, media sosial saat ini menyediakan akses mudah dan cepat ke berbagai informasi, gambar, dan video, sementara membaca buku memerlukan usaha lebih untuk mencari, membeli, dan meluangkan waktu untuk membaca. Lebih dari itu, menurunnya minat baca saat ini, karena adanya preferensi pribadi. Beberapa orang mungkin merasa membaca buku membosankan atau sulit difokuskan karena distraksi dari notifikasi dan konten media sosial yang selalu tersedia. Lebih dari itu, menurunnya minat baca saat ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang manfaat membaca, bahkan tidak semua orang menyadari betapa besarnya manfaat membaca buku, seperti peningkatan kosa kata, kemampuan berpikir kritis, dan lain sebagainya.

Sedangkan dampak negatif pergeseran dari budaya membaca buku teks ke budaya media sosial, mengakibatkan penurunan kemampuan berpikir kritis. Sementara membaca buku membantu kita untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analisis yang lebih mendalam. Sedangkan konten media sosial seringkali bersifat dangkal dan impulsif. Lebih dari itu, akibat menurunnya budaya baca, menyebabkan berkurangnya pemahaman konsep, karena membaca buku memungkinkan pembaca untuk merenungkan dan memahami suatu konsep secara mendalam, sedangkan media sosial, ia lebih cenderung menyajikan informasi secara singkat dan terfragmentasi. Bahkan, paparan konten media sosial yang cepat dan visual itu dapat mengurangi kemampuan membaca dan pemahaman teks yang lebih panjang dan lebih kompleks. Karena, manfaat membaca buku diantaranya ; (1). Dapat meningkatkan kosakata dan kemampuan bahasa yang lebih komunikatif dan intelektualistik.

(2). Membaca buku membantu untuk meningkatkan kosakata, tata bahasa, dan kemampuan berbahasa secara keseluruhan. (3). Tekun membaca buku, akan meningkatkan kemampuan seseorang untuk berpikir kritis. Karena, membaca buku melatih otak untuk berpikir kritis, menganalisis informasi, dan memahami berbagai perspektif. (4). Gemar membaca buku, berakibat pada proses peningkatan pengetahuan dan wawasan. Karena buku menyediakan sumber informasi yang luas dan mendalam tentang berbagai topik, memperluas pengetahuan dan wawasan pembaca. Bahkan, menjadi seorang kutu buku, akan semakin meningkat rasa empatinya serta semakin terasah pemahaman sosialnya. Membaca buku fiksi misalnya, memungkinkan pembaca buku itu, untuk lebih memahami karakter dan situasi yang berbeda, dan bisa mengembangkan raya empati dan pemahamannya tentang berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan proses kreatifitas membaca buku dan bermedia sosial riya diantaranya ; (1). Batasi penggunaan media sosial, atur waktu penggunaan media sosial dan hindari distraksi yang berlebihan. (2). Ciptakan rutinitas membaca. (3). Jadwalkan waktu khusus untuk membaca buku setiap hari atau seminggu sekali. (4). Pilih buku yang menarik dan sekaligus sesuai minat dan genre yang kita sukai, hal itu untuk meningkatkan motivasi membaca. (5). Gunakan teknologi untuk mendukung membaca. (6). Manfaatkan e-book atau audiobook jika sulit menemukan waktu membaca buku fisik. (7). Buat tantangan membaca serta ikuti tantangan membaca atau bergabung dengan komunitas pembaca untuk menjaga motivasi. (8). Fokus pada deep reading, yaitu proses untuk melatih diri dalam konteks untuk membaca secara mendalam tanpa gangguan untuk meningkatkan pemahaman. Dengan mengambil langkah-langkah seperti apa yang telah penulis ungkapkan diatas, maka kita dapat menikmati manfaat membaca buku sambil tetap terhubung dengan dunia digital, yaitu melalui media sosial. Namun, membaca buku tentunya harus tetap menjadi priorutas (kegiatan penting), karena ia bisa mengintelektualitas diri kita maupun meningkatkan kualitas diri dan SDM kita.

III. Krisis Literasi di Era Digital : Ketika Buku Kalah Oleh Konten Instan

Bayangkan, ketika kita sedang membaca buku yang menarik misalnya, tiba-tiba notifikasi dari ponsel kita berbunyi. “Ah, sebentar saja,” pikir kita. Lima menit melihat media sosial berubah menjadi setengah jam, lalu sejam, dan akhirnya buku itu pasti ditinggalkan begitu saja oleh kita. Pernakahh mengalami hal seperti itu? Jika iya, kita tidak sendirian. Karena, saat ini, yakni di tengah gempuran digitalisasi, kita hidup dalam alam paradoksal. Karena, akses terhadap informasi tidak pernah semudah yang kita rasakan saat ini, tetapi justru semakin sedikit orang-orang yang membaca buku secara mendalam. Media sosial dan platform digital memang telah banyak menjanjikan segalanya dalam hitungan detik berita singkat, ringkasan buku, bahkan opini yang dikemas dalam satu paragraf atau satu menit video. Akibatnya, budaya membaca buku yang membutuhkan ketekunan dan refleksi perlahan-lahan terkikis. Apakah ini sekadar evolusi alami, atau kita sedang menghadapi “krisis literasi yang serius”?

A. Literasi Yang Sekarat (Fakta di Lapangan)

Menurut UNESCO, tingkat literasi di Indonesia memang meningkat dalam hal kemampuan membaca dasar, tetapi minat membaca masih sangat rendah. Data dari “World’s Most Literate Nations” (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Sementara itu, survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan bahwa masyarakat kita saat ini lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial dibandingkan membaca buku. Ironisnya, semakin banyak orang merasa “tercerahkan” hanya dengan membaca judul berita atau kutipan dari buku populer tanpa pernah benar-benar memahami isinya. Bahkan, suatu informasi dikonsumsi secara dangkal dan instan, tanpa ada keinginan untuk menggali lebih dalam. Kita lebih sering menggulir layar daripada membaca, lebih suka menyukai unggahan daripada berpikir, lebih senang berdebat daripada memahami.

B. Ketika Media Sosial Mengubah Cara Kita Membaca

Perubahan ini bukan sekadar asumsi. Sebuah penelitian dalam jurnal “Science Advances” menemukan bahwa rentang perhatian manusia menurun drastis dalam dua dekade terakhir ini, yaitu seiring dengan meningkatnya konsumsi media sosial. Kita menjadi lebih tidak sabar, kurang fokus, dan lebih tertarik pada informasi yang disajikan secara cepat dan ringkas. Ahli neurosains Maryanne Wolf dalam bukunya “Reader, Come Home” menjelaskan bahwa kebiasaan membaca di layar membuat otak kita terbiasa dengan pemrosesan informasi yang dangkal. Karena, otak tidak lagi bekerja keras untuk memahami konsep yang bersifat kompleks karena sudah terbiasa dengan pola baca cepat dan lompat-lompat. Akibatnya, ketika dihadapkan pada teks panjang seperti buku atau artikel ilmiah misalnya, akhirnya banyak orang merasa bosan dan sulit berkonsentrasi.

C. Apakah Ini Akhir Dari Budaya Membaca?

Kita tentu tidak bisa menyalahkan teknologi sepenuhnya. Ksrena, media sosial dan platform digital juga menawarkan peluang untuk menyebarkan literasi dalam bentuk baru, seperti audiobook, e-book, atau konten edukatif yang menarik. Namun, masalah utamanya adalah bagaimana agar kita bisa menggunakan media sosial itu sebijak mungkin. Menurut Duta Baca Indonesia, di priode yang lalu, yakni Najwa Shihab, menegaskan bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan untuk berpikir kritis. Menurutnya, kita harus membangun kebiasaan membaca yang lebih sehat, misalnya dengan membatasi waktu media sosial dan menggantinya dengan membaca buku minimal 15–30 menit setiap hari. Ia juga menambahkan, “Jika kamu ingin berbicara, banyaklah membaca. Jika kamu ingin didengar, banyaklah menulis”, tutur sang presenter TV yang namanya semakin populer itu.

IV. Menulis Sejarah di Media Sosoal : “Antara Edukasi Dan Distorsi”

Di tengan rendahnya minat baca buku saat ini, yakni sebagaimana telah dijelaskan begitu panjang lebar di sub judul bagian atas. Namun, alternatif untuk menulis sejarah di media sosial merupakan salah satu cara yang efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan membuat literasi sejarah lebih relevan dengan kehidupan saat ini. Karena, media sosial memungkinkan bisa berdiskusi/berinteraktif dalam konteks penyajian sejarah yang lebih kontekstual, yakni yang mencoba menghubungkan peristiwa masa lalu dengan kondisi sosial-politik saat ini.

Bahkan, sepengalaman penulis, dimana saat ini penulis juga aktif di media sosial dan sekaligus juga sebagai konten kreator (terutama di Fb-Pro). Oleh karena itu, melalu unggahan penulis di Fb-Pro itu, penulis juga sering menggugah vudio-vidio yang berdurasi pendek (Reele) juga mengunggah vidio-vidio yang durasi cukup panjang (VOD), yaitu yang berkaitan dengan cerita sejarah atau menceritakan. Bahkan, satu bulan yang lalu, penulis telah membuat (memproduk vidio) dan sekaligus mengunggah beberapa vidio berdurasi pendek (Reele) dan vidio yang berdurasi panjang (VOD) di akun (Fb-Pro) penulus maupun di akun Instagram penulis, yaitu berkaitan dengan kontrkstualitas sejarah, yakni mulai dari menceritakan berdirinya kerajaan Salakanagara, yang berdiri sejak Abad Ke-2 M. Sementara pusat kerajaan Salakanagara itu menurut para ahli sejarah diindikasikan berada di Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten.

Kemudian penulis juga berlanjut menceritakan tentang berdirinya kerajaan Tarumanegara, yaitu berdiri sejak Abad Ke-5 M, yang diindikasikan pusat Ibukotanya menurut para ahli sejarah berada di wilayah Bekasi (saat ini). Kemudian penulis juga terus berlanjut memceritakan tentang berdirinya kerajaan Pajajaran, yang berdiri pada Abad Ke-9 M, dan pusat Ibukotanya berada di wilayah Pakuan Pajajaran (Bogor). Kemudian penulis juga terus berlanjut menceritakan berdirinya Kesultanan Islam Banten, yakni yang berdiri pada Abad Ke-16 M, yang pusat Ibukotanya berada di Surosowan Banten. Bahkan, penulis juga menceritakan tentang masa penjajahan kolonial Belanda, yakni sejak berdirinya VOC di Batavia (1602). Lebih dari itu, penulis juga terus menceritakan tentang masa perang kemerdekaan, hingga zaman kemerdekaan tahun 1945. Dan vidio-vidio penulis hingga saat ini telah diunggah dibskun facebook (Fb-Pro) maupun di akun Instagram penulus.

Oleh karena itu, melalui unggahan vidio-vidio yang berdurasi pendek (Reele) maupun vidio yang berdurasi panjang (VOD) di media sosial itu (terutama di Fb-Pro) maupun melalui akun Instagram yang dilakukan oleh penulis, ternyata mendapatkan suport dan antusiasme yang cukup positif dari para audiens maupun dari para netizen, dan termasuk dapat respon positif dari kalangan generasi muda milenial, yang nota bene mereka (generasi milenial itu) memang rata-rata aktif di media sosial. Bahkan, ulasan tentang vidio singkat (Reele) maupun vidio panjang (VOD) tentang cerita sejarah sebagaimana telah penulis ungkapkan diatas, pada umumnya penulis ulas maupun narasikan secara gamlang melalui tulisan atau artikel, yang kerapkali penulis unggah di akun facebook (fb) penulis. Sementara artikel yang penulis unggah lewat facebook itu juga dapat respon positif dari para audiens (netizen). Intinya, mengunggah serta menarasikan (menulis) tentang sejarah melalui media sosial saat ini cukup efektif (bagus), karena sangat komunikatif, menginsfirasi dan sekaligus juga mendapatkan apresiasi positif dari para audiens dan para netizen.

Untuk lebih memastikan agar unggahan kita di media sosial, baik berupa vidio yang berdurasi pendek (Reele) maupun vidio yang berdurasi panjang (VOD) maupun bentuk narasi tertulis dan bersifat ilmiah seperti artikel misalnya. Hal itu bisa kita unggah di akun facebook (fb) terutama tulisan sejenis artikel, dan itu kerapkali dilakukan oleh penulis, yakni yang seringkali mengunggah artikel melalui akun facebook. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan untuk menulis sejarah di media sosial:

  1. Pilih Platform Yang Tepat.
    Setiap platform media sosial memiliki audiens dan format yang berbeda. Pilih platform yang paling sesuai dengan target audiens kita dan jenis konten yang ingin kita bagikan.
    Contohnya, Twitter cocok untuk postingan singkat dan diskusi, Instagram untuk visual, dan YouTube untuk video yang lebih panjang.
  2. Kemas Sejarah Dengan Menarik.
    Hindari penyajian sejarah yang kaku dan membosankan. Gunakan cerita, gambar, video, infografis, dan format lain yang menarik perhatian pembaca.
    Hubungkan peristiwa sejarah dengan kehidupan sehari-hari atau isu-isu terkini yang relevan dengan audiens kita. Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan hindari jargon sejarah yang kompleks.
  3. Libatkan Audiens.
    Media sosial memungkinkan interaksi dua arah. Dorong audiens untuk bertanya, memberikan komentar, dan berbagi pengalaman mereka. Gunakan fitur polling, kuis, atau sesi tanya jawab untuk membuat konten lebih interaktif. Tanggapi komentar dan pertanyaan audiens dengan cepat dan informatif.
  4. Perhatikan Akurasi Dan Etika.
    Pastikan informasi yang kita bagikan akurat dan berdasarkan sumber yang terpercaya. Jika kita membuat konten yang kontroversial atau sensitif, berikan penjelasan yang lengkap dan perspektif yang berbeda. Hormati privasi orang lain dan hindari penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan.
  5. Jadilah Konsisten.
    Buat jadwal posting yang konsisten agar audiens kita tahu kapan harus mencari konten baru dari kita. Gunakan hashtag yang relevan untuk meningkatkan visibilitas konten kita. Evaluasi kinerja konten kita secara berkala dan sesuaikan strategi kita jika diperlukan. Contoh penggunaan media sosial untuk sejarah diantaranya : Pertama, bisa menjelaskan peristiwa penting, karena kita bisa membuat seri postingan tentang peristiwa bersejarah, seperti sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dengan menyertakan foto, video, dan kutipan dari tokoh-tokoh penting.

Kedua, membahas tokoh sejarah. Kita
bisa membuat profil tokoh-tokoh sejarah, menyoroti peran mereka dalam peristiwa penting, dan memberikan perspektif baru tentang kehidupan mereka. Ketiga, mendiskusikan isu-isu sejarah, karena kita bisa membahas isu-isu sejarah yang relevan dengan masa kini, seperti dampak penjajahan terhadap ekonomi atau isu kesetaraan gender. Keempat, memperkenalkan situs-situs bersejarah. Kita bisa membagikan foto dan informasi tentang situs-situs bersejarah di daerah kita, kemudian mengajak audiens untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, atau membuat tur virtual. Oleh karena itu, dengan mengikuti tips dan contoh di atas, kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai platform yang efektif untuk menyebarkan pengetahuan sejarah, membangun kesadaran sejarah, dan mendorong diskusi yang lebih luas tentang masa lalu bangsa kita.

A. Media Sosial Dan Cerita Sejarah

Perkembangan teknologi digital telah membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara kita memahami dan mempelajari sejarah. Jika pada masa lalu pembelajaran sejarah bergantung pada buku, arsip, dan institusi pendidikan formal, kini media sosial seperti Twitter (X), TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi sumber informasi sejarah yang semakin populer. Kemudahan akses dan penyajian informasi dalam format yang lebih interaktif telah menjadikan media sosial sebuah alat yang menarik untuk memperkenalkan sejarah kepada masyarakat umum, terutama generasi muda. Dengan narasi yang singkat, visual yang menarik, serta penggunaan bahasa yang lebih santai, sejarah yang dahulu dianggap sebagai disiplin ilmu yang kompleks dan membosankan kini lebih mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah penyajian sejarah melalui media sosial benar-benar membantu pemahaman yang lebih baik, atau justru memperkuat bias dan misinformasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat bagaimana media sosial mengubah cara sejarah dikomunikasikan, menganalisis dampak positif serta negatifnya, dan mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu dilakukan agar konsumsi informasi sejarah di media sosial tetap akurat dan tidak menyesatkan.

B. Media Sosial Dan Kemudahan Akses Terhadap Sejarah

Tidak dapat disangkal bahwa media sosial telah membuat sejarah lebih mudah diakses dibandingkan dengan era sebelumnya. Dulu, seseorang yang ingin memahami peristiwa sejarah harus membaca buku akademik yang dimana terdiri dari banyak halaman itu atau mengikuti perkuliahan. Kini, hanya dengan menggulir layar ponsel, kita bisa menemukan berbagai thread Twitter yang membahas sejarah dengan gaya bertutur yang menarik, video singkat di TikTok yang menjelaskan peristiwa penting dalam waktu kurang dari satu menit, atau infografis di Instagram yang merangkum sejarah dalam bentuk visual yang menarik. Keunggulan utama dari metode ini adalah kemampuannya menjangkau audiens yang lebih luas. Banyak orang yang sebelumnya tidak tertarik dengan sejarah kini mulai memahami dan mengapresiasi peristiwa masa lalu berkat konten-konten yang dikemas secara menarik.

Selain itu, media sosial juga memungkinkan adanya diskusi interaktif antara pembuat konten dan audiensnya, sehingga proses belajar menjadi lebih dinamis dan tidak lagi bersifat satu arah yang bersifat formal. Sejarah yang disajikan melalui media sosial juga lebih kontekstual. Banyak kreator yang menghubungkan peristiwa masa lalu dengan kondisi sosial-politik saat ini, sehingga sejarah terasa lebih relevan dan tidak sekadar kumpulan fakta yang kaku. Sebagai contoh, perbincangan mengenai kolonialisme di Twitter sering kali dihubungkan dengan dampaknya terhadap ketimpangan ekonomi saat ini, sehingga masyarakat dapat memahami bahwa sejarah bukan hanya sekadar cerita masa lalu, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap dunia modern.

C. Ancaman Bias Dan Misinformasi Dalam Sejarah Digital

Meskipun media sosial telah membuka akses yang lebih luas terhadap sejarah, namun ada tantangan besar yang tidak bisa diabaikan, yaitu risiko bias dan misinformasi. Tidak semua konten sejarah di media sosial berasal dari sumber yang kredibel atau diteliti dengan baik. Banyak kreator yang menyajikan sejarah hanya berdasarkan sudut pandang tertentu, tanpa memberikan gambaran yang komprehensif dan objektif. Salah satu penyebab utama permasalahan itu adalah algoritma media sosial yang cenderung mendorong konten yang kontroversial atau mengundang keterlibatan tinggi dari pengguna.

Dalam konteks sejarah, hal itu seringkali berarti bahwa narasi yang lebih sensasional dan emosional akan lebih cepat viral ketimbang dengan penjelasan akademik yang lebih berimbang. Akibatnya, banyak pengguna yang menerima informasi sejarah yang telah disederhanakan secara berlebihan atau bahkan dipelintir demi menarik perhatian lebih banyak orang. Selain itu, banyak narasi sejarah yang disajikan di media sosial mengandung bias ideologis atau nasionalistik.

Sejarah sering kali digunakan sebagai alat untuk membangun identitas kelompok tertentu, sehingga tidak jarang informasi yang beredar hanya menampilkan satu perspektif dan mengabaikan perspektif lain. Misalnya, dalam diskusi tentang sejarah kolonialisme, ada kelompok yang cenderung menekankan dampak positifnya seperti modernisasi, sementara yang lain menyoroti aspek eksploitasi dan ketidakadilan. Jika tidak ada upaya untuk menghadirkan narasi yang seimbang, maka publik hanya akan memahami sejarah dari sudut pandang yang sempit dan tidak mendapatkan gambaran yang utuh.

D. Membangun Literasi Sejarah di Era Digital

Dengan adanya tantangan tersebut, penting bagi kita untuk membangun literasi sejarah yang lebih kuat di era digital. Konsumsi informasi sejarah melalui media sosial harus disertai dengan sikap kritis dan kesadaran akan adanya potensi bias. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemahaman sejarah yang lebih akurat antara lain: (a). Memverifikasi Sumber Informasi Sebelum mempercayai suatu narasi sejarah di media sosial, penting untuk memeriksa kredibilitas sumbernya. Apakah informasi itu berasal dari sejarawan yang kompeten? Apakah ada referensi dari buku atau jurnal akademik yang mendukungnya? Jika informasi hanya berasal dari opini pribadi tanpa landasan yang jelas, maka perlu diwaspadai. (b).

Membandingkan Berbagai Perspektif Sejarah selalu memiliki berbagai sudut pandang. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih objektif, maka penting untuk membaca berbagai sumber yang berbeda. Jangan hanya mengandalkan satu akun atau satu narasi saja, tapi carilah sumber lain yang bisa memberikan perspektif berbeda. (c). Menggunakan Media Sosial Sebagai Jembatan, Bukan Sumber Utama. Media sosial bisa menjadi titik awal untuk mempelajari sejarah, tetapi tidak seharusnya menjadi satu-satunya sumber informasi. Setelah menemukan suatu topik yang menarik, maka pengguna media sosial sebaiknya mencari referensi tambahan dari buku, jurnal, atau sumber akademik lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. (d). Mendorong Diskusi Yang Sehat. Alih-alih hanya menerima informasi secara pasif, kita bisa aktif juga untuk berdiskusi dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap narasi sejarah yang beredar di media sosial. Dengan berdiskusi, kita bisa menguji validitas informasi serta melihat bagaimana perspektif lain menanggapi suatu peristiwa sejarah.

E. Kesimpulan

Media sosial telah membawa revolusi dalam cara kita mempelajari sejarah. Dengan format yang lebih interaktif dan mudah diakses, sejarah kini lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan sebelumnya. Namun, tantangan berupa bias, misinformasi, dan penyederhanaan berlebihan tetap menjadi masalah yang harus diwaspadai. Agar media sosial benar-benar menjadi alat yang efektif dalam pembelajaran sejarah, pengguna media sosial harus tetap mengembangkan sikap kritis dan literasi sejarah yang lebih baik. Jangan hanya menerima informasi secara pasif, tetapi verifikasi sumber, bandingkan berbagai perspektif, dan gunakan media sosial sebagai jembatan untuk menggali sejarah lebih dalam melalui sumber yang lebih kredibel. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa sejarah yang kita pelajari di media sosial bukan hanya menarik dan mudah dipahami, tetapi juga tetap akurat dan berimbang.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *