Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Banten, merupakan daerah cukup menarik. Sebagai salah satu wilayah Provinsi, jika dilihat luas wilayahnya memang tidak sesignifikan dibanding daerah induknya, yakni wilayah Provinsi Jawa Barat (Jabar) sangat jauh berbeda. Wilayah Jabar seluas 44.354,61 Km2 , terdiri dari 16 Kota dan 10 Kabupaten. Sedangkan Provinsi Banten memiliki luas hanya 8.651,20 Km2 , meliputi empat Kota dan empat Kabupaten. Sempitnya wilayah Banten bukan suatu persoalan untuk mencapai kemajuan, karena memiliki sejumlah potensi. Antara lain, letak yang strategis, kondisi alam, dan kekayaan alam yang dimiliki. Selain itu, latar belakang sejarah kejayaan Banten dimasa lalu serta momentum yang ada menjadi faktor penting bagi kemajuan Banten dalam konteks saat ini. Berangkat dari kalkulasi atas potensi yang dimiliki, akhirnya (di tahun 2000) masyarakat Banten bertekad memisahkan diri dari Jabar dan membentuk Provinsi tersendiri.

Sebagaimana Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa, terbentuknya Provinsi Banten tak terlepas dari pengaruh latar belakang sejarah. Khususnya pada masa kejayaan Banten yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu, kejayaan masa kerajaan dan kemajuan atau proses perjuangan pada masa kolonial. Banyak kejayaan yang telah dicapai pada masa kerajaan (zaman kesultanan Banten) kemudian banyak menginspirasi dan menjadi ikon suatu daerah. Jawa Timur misalnya, ia mendapat pengaruh kejayaan Kerajaan Majapahit dan Kediri. Jawa Tengah pengaruh dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta tak terlepas dari pengaruh Mataram Yogyakarta. Begitu pula Jawa Barat identik dengan Kerajaan Pajajaran. Secara historis, Kesultanan Banten pernah mengalami puncak kejayaan, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692 M). Saat itu Banten bukan hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi pelabuhan Banten (Pelabuhan Karangantu) dikenal sebagai pusat perdagangan internasional yang termashur. Sementara berbagai bukti kejayaan Kesultanan Banten bisa ditelusuri melalui beberapa literatur. Sedangkan bukti fisik yang hingga saat ini masih bisa disaksikan, yakni sisa-sisa peninggalan masa lalu Banten, seperti situs bangunan Keraton Surosowan Kesultanan Banten, benda-benda peninggalan yang tersimpan di Museum Kepurbakalaan Banten, dan Masjid Agung Banten. Semua berada di kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Ketika di zaman kolonial Belanda, bahwa hegemoni dan pengaruh besar masa kolonial, seperti diketahui melalui sejarah tentang beberapa kota di Provinsi di Pulau Jawa. Kota Surabaya di Jawa Timur, Semarang di Jawa Tengah, Bandung di Jawa Barat, dan Yogyakarta merupakan pusat pendudukan kolonial sekaligus basis perjuangan masyarakat pribumi untuk merebut kemerdekaan. Sebagai daerah penting, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah VOC dibubarkan, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811), di Anyer dan Ujung Kulon, saat itu dibangun pangkalan Armada Laut. Oleh Daendels Anyer juga dijadikan titik nol proyek monumental pembangunan jalan raya trans Jawa hingga ke Panarukan Jawa Timur. Peninggalan di Anyer berupa mercusuar, menara pemantau kapal-kapal laut yang hingga kini masih berdiri kokoh. Kejayaan masa lalu Banten bukan hanya menjadi kenangan. Peninggalan berupa fisik dapat berfungsi untuk bahan kajian ilmiah dan sarana wisata. Warisan berupa nilai-nilai agama maupun budaya seyogyanya saat ini agar terus menjadi pijakan bagi pembangunan Provinsi Banten.

Bahkan, seiring bergulirnya reformasi berimplikasi terhadap perubahan sistem politik, salah satunya desentralisasi kekuasaan. Momentum sangat fenomenal, yaitu terbentuknya Provinsi Banten tanggal 4 Oktober tahun 2000. Terbentuknya Provinsi Banten bagaikan napak tilas kejayaan Banten masa lampau. Dengan segala potensi yang dimiliki Banten, diharapkan agar mampu menunjukkan kemajuannya. Tahun 2007 menduduki peringkat ke empat dalam hal peningkatan APBD (Asep Kurnia dan Ahmad Siabudin: 2010). Provinsi Banten memiliki potensi alam cukup tinggi. Secara topografi terdiri atas dua bagian besar, yaitu, daerah perbukitan di sebelah selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang) dan daerah dataran rendah di bagian lainnya. Terdiri dari empat kota (Kota Serang, Tangerang, Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan) dan empat kabupaten (Kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang, dan Kabupaten Lebak).

Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang adalah daerah dengan aktivitas ekonominya cukup tinggi karena merupakan kawasan industri, terutama industri manufaktur. Sementara Kabupaten Lebak dan Pandeglang merupakan daerah hijau, hutan dan perkebunan banyak terdapat di sana. Adapun Kota Tangerang Selatan merupakan kota jasa, perdagangan, serta banyak lembaga pendidikan bergensi dan bertaraf internasional di wilayah tersebut. Maklum, di kota itu banyak tinggal tokoh intelektual, tokoh nasional, dan kaum ekspatriat. Tentang internasional, Provinsi Banten memiliki Taman Nasional Ujung Kulon, di Kabupaten Pandeglang yang masih hidup populasi hewan langka yang di dunia hanya ada di Ujung Kulon. Bandara internasional Soekarno-Hatta merupakan gerbang utama Indonesia berada di Kota Tangerang. Bahkan telah direncanakan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional di Kramatwatu, Serang. Kondisi tersebut, seyogyanya membuat peningkatan APBD Provinsi Banten harus terus meningkat signifikan setiap tahunnya. Sektor pariwisata, Porivinsi Banten yang ketiga sisinya dikelilingi laut, dari Cilegon hingga Labuhan jalan melingkar menyusur tepi pantai Selat Sunda merupakan kawasan wisata sangat kesohor. Hotel dan villa berjejer siap memanjakan setiap wisatawan dengan pemandangan Gunung Krakatau yang penuh cerita di lepas pantai. Pelabuhan penyeberangan ke Sumatera menambah Provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini sangat sibuk. Dihubungkan oleh ruas tol langsung sampai Jakarta. Apalagi kalau pembangunan mega proyek jembatan Selat Sunda yang jauh lebih panjang dari jembatan Suramadu itu bisa terealisir, hal itu besarkemungkinan membuat Provinsi Banten sudah pasti kian melambung. Provinsi Banten dibentuk berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000 tertanggal 17 Oktober tahun 2000. Adapun puncak perayaan terjadi pada tanggal 4 Oktober 2000 saat puluhan ribu masyarakat Banten datang ke Gedung DPR RI di Senayan Jakarta, dengan Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU Provinsi Banten. Akhirnya, masyarakat Banten pun sepakat, bahwa tanggal 4 Oktober 2000 sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang saat itu dipimpin oleh Bapak H.D. Munandar sebagai Gubernur dan Ibu H. Ratu Atut Chosiyah, SE sebagai Wakil Gubernur.

Sementara secara substantif pada tulisan kali ini, penulis ingin meneropong Banten dari perspektif sejarah (dari mulai zaman masa kejayaan kesultanan Banten, zaman era kolonial Belanda, zamam kemerdekaan 1945 dan bergabungnya Banten ke wilayah Jawa Barat dll), yang lebih terpenting dalam tulisan kali ini, penulis ingin menukik pada soal terjadinya “Disparitas pembangunan yang terjadi di wilayah Banten, terutama terjadinya “Disparitas” alias “ngejomplangnya” pembangunan antara Banten wilayah Utara dan wilayah Selatan, yang seyogyanya harus menjadi “titik bidik” atau titik prioritas keseimbangan pembangunan yang harus dilakukan oleh Pemprov Banten saat ini, agar keadilan pembangunan bisa terdistribusikan secara merata di wilayah Provinsi Banten.

II. Banten : Dulu, Kini Dan Dimasa Yang Akan Datang

Secara geografis, wilayah Provinsi Banten, terletak di Pulau Jawa paling ujung bagian Barat. Banten memiliki lokasi yang strategis, karena berdampingan dengan Selat Sunda dan berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta. Keberadaan wilatah Banten sebagai jalur perdagangan utama sejak zaman kerajaan menggarisbawahi pentingnya peranan daerah ini dalam sejarah Indonesia. Sejarah Banten dimulai pada abad ke-15 ketika Kerajaan Banten didirikan, menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Jawa Barat. Kerajaan ini dikenal tidak hanya karena kekuasaannya tetapi juga karena koneksinya yang kuat dengan pelabuhan-pelabuhan internasional yang mengatur lalu lintas perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan bagi perdagangan dunia. Pentingnya mempelajari sejarah Banten tidak dapat dipandang sebelah mata. Sejarah Provinsi Banten memberikan wacana yang luas mengenai pergeseran budaya, politik, dan ekonomi yang berlangsung selama berabad-abad. Melihat lebih dalam ke dalam budaya lokal, pengaruh Islam yang berkembang di Banten pada masa lalu membawa perubahan signifikan pada tatanan sosial dan keagamaan masyarakatnya. Banten memiliki peranan penting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara, yang tercermin dalam tradisi budaya yang masih hidup hingga saat ini.

Lebih jauh lagi, sejarah Banten mencerminkan dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya dalam menghadapi kolonialisme dan modernisasi. Dengan mengintegrasikan pengetahuan tentang kejayaan dan kemunduran Banten dalam konteks sejarah yang lebih luas, maka kita dapat memahami perjalanan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengenalan terhadap sejarah Banten sangat penting bagi generasi muda dan masyarakat umum untuk lebih menghargai warisan budaya dan pelajaran yang dapat diambil dari masa lalu.

A. Banten Pada Masa Kerajaan Sunda

Banten, yang terletak di ujung paling Barat Pulau Jawa, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks, terutama pada masa Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda, yang berdiri pada abad ke-7 M, mencakup wilayah yang kini menjadi Provinsi Banten dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan sosial, budaya, dan politik di daerah itu. Dalam konteks ini, Banten merupakan salah satu daerah penting dalam Kerajaan Sunda, berfungsi sebagai pusat perdagangan dan interaksi antarkelompok etnis. Saat itu, Banten dikenal sebagai pelabuhan yang ramai, mendukung pertumbuhan ekonomi dengan jalur perdagangan yang menghubungkan pulau-pulau di sekitarnya. Keberadaan pelabuhan ini tidak hanya memperkuat posisi Banten sebagai pusat ekonomi, tetapi juga menjadikannya sebagai pusat interaksi budaya antara berbagai etnis, termasuk ekspresi seni dan tradisi lokal. Pengaruh budaya yang datang dari luar seperti Hindu dan Buddha turut membentuk identitas lokal di Banten selama masa itu. Dari segi politik, Banten menjalin hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Jawa, dan menjadi bagian dari struktur politik Kerajaan Sunda. Hubungan itu diperluas melalui pernikahan antarkeluarga kerajaan, sehingga memperkuat aliansi politik. Hal itu memberi peluang bagi Banten untuk mengambil peran aktif dalam kebijakan yang lebih luas dari Kerajaan Sunda, termasuk pengaturan perdagangan dan pertahanan wilayah. Konsekuensi dari interaksi sosial dan politik tersebut adalah terbentuknya suatu tatanan masyarakat yang beragam di Banten, akhirnya menciptakan keragaman yang masih dapat dirasakan hingga saat ini.

B. Banten Dan Kesultanan Banten

Kesultanan Banten didirikan pada abad ke-16 M, sebagai sebuah entitas politik yang penting di wilayah Jawa Barat, Indonesia. Munculnya kesultanan ini berkaitan erat dengan perluasan pengaruh Islam di pulau Jawa, yang diwarnai oleh kedatangan para pedagang Muslim. Dalam konteks ini, Banten menjadi pusat penyebaran agama Islam dan budaya, memainkan peranan penting dalam konteks pengembangan masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Pemerintahan di bawah Sultan Banten memberikan stabilitas dan struktur yang jelas bagi wilayah tersebut.

Sultan Banten saat itu bertindak sebagai pemimpin politik dan spiritual, yang tidak hanya mengatur pemerintahan, tetapi juga menjalin hubungan diplomatik dengan kekuatan-kekuatan lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Kepemimpinan Sultan sangat penting dalam menentukan arah kebijakan dan pengelolaan sumber daya yang ada, serta menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat Banten. Di sisi ekonomi misalnta, saat itu Kesultanan Banten menjadi salah satu pusat perdagangan yang sangat strategis di Asia Tenggara. Lokasi yang menguntungkan di tepi pantai memudahkan akses ke lalu lintas perdagangan internasional, khususnya antara Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Pelabuhan Banten berkembang pesat, menarik para pedagang untuk datang dan berdagang, sehingga meningkatkan perekonomian lokal. Komoditas yang diperdagangkan termasuk rempah-rempah, tekstil, dan barang-barang yang dihasilkan oleh pengrajin lokal. Perdagangan yang pesat ini mendukung pertumbuhan kota-kota di wilayah Banten, menjadikannya sebagai salah satu daerah yang paling makmur pada masa itu. Kesultanan Banten akhirnya tidak hanya menjadi simbol kebangkitan ekonomi daerah tersebut, tetapi juga menjadi warisan budaya yang bertahan hingga kini, mencerminkan kekayaan sejarah yang ada di Provinsi ini.

C. Kolonialisasi Dan Dampaknya

Kolonialisasi Banten oleh Belanda dimulai pada awal abad ke-17 M, ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berusaha untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut. Banten, yang sebelumnya merupakan pusat perdagangan penting di Nusantara, menjadi target utama pihak VOC karena posisi strategisnya. Kehadiran Belanda membawa perubahan signifikan, tidak hanya bagi perekonomian tetapi juga bagi struktur sosial dan budaya masyarakat lokal. Seiring dengan meningkatnya kekuasaan Belanda, masyarakat Banten mengalami berbagai dampak negatif, diantaranya adalah penindasan ekonomi. Sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pihak penjajah mengakibatkan masyarakat Banten kehilangan hak atas lahan pertanian mereka. Tuntutan untuk menghasilkan rempah-rempah tertentu secara paksa merugikan para petani. Selain itu, kebijakan pajak yang tinggi membuat kehidupan sosial masyarakat semakin sulit, yang akhirnya menciptakan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan mereka. Dampak budaya juga terlihat dalam upaya Belanda untuk merubah struktur sosial dan kebiasaan lokal. Banyak elemen budaya asli yang terpinggirkan dan digantikan oleh budaya kolonial yang dianggap lebih maju. Meskipun demikian, masyarakat Banten tidak tinggal diam. Berbagai bentuk perlawanan muncul, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Tokoh-tokoh lokal seperti Tb. Buang dan Ki Mangun Tapa, berperan aktif dalam mengorganisir perlawanan terhadap penjajahan, meskipun pada akhirnya banyak di antara mereka yang harus menghadapi hukuman berat. Perlawanan ini menjadi tanda bahwa semangat kebangsaan sudah mulai tumbuh sejak masa kolonialisasi. Dengan demikian, kolonialisasi oleh Belanda membawa dampak yang kompleks bagi masyarakat Banten. Meski mereka mengalami penindasan dalam berbagai aspek, namun semangat perlawanan dan ketahanan budaya terus hidup dan menjadi bagian penting dalam sejarah Banten hingga kini.

D. Banten Dalam Konteks Perjuangan Kemerdekaan

Provinsi Banten memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dimulai pada awal abad ke-20 M. Selama masa penjajahan Belanda, masyarakat Banten terus menunjukkan semangat perlawanan yang tinggi terhadap para penjajah. Berbagai peristiwa penting mencerminkan kontribusi dari wilayah ini dalam berjuang untuk kemerdekaan. Salah satu tokoh terkenal adalah Syaikh Nawawi Tanara-Banten, Syaikh Abdil Karim, Tanara-Banyen, maupun KH. Hasyim Asy’ari, yang memimpin pejuang lokal dalam melawan penjajah dan berperan dalam mendirikan Nahdlatul Ulama, organisasi yang mendukung perjuangan kemerdekaan.

Sementara liding sektor utama perjuangan para ulama dan umat Islam di wilayah Banten saat itu, memang diinfiltrasi (diinisiasi) oleh Syekh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Abdul Karim, Tanara-Banten, mereka adalah para ulama yang berdampak besar dalam penyebaran pendidikan agama dan kesadaran nasionalisme di kalangan masyarakat. Perjuangan mereka tidak hanya di jalur senjata tetapi juga melalui pendidikan dan penyebaran pemikiran kepahlawanan atau disebut melalui “jihad intelektual”. Bahkan saat itu, ribuan pemuda Banten terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis yang berjuang melawan kolonialisme. Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Banten adalah yang terkenal dengan peristiwa “geger cilegon” pada tahun 1888 M, maupun pertempuran di Serang pada tahun 1945.

Kemudian di wilayah Banten bagian Selatan, terutama di wilayah Caringin, Labuan, dan lain sebagainya, muncul pula perlawanan terhadap kolonoal Belanda yang sangat dahsyat, yaitu pada tahun 1926. Upaya perlawanan terhadap kolonial Belanda saat itu terjadi pada tahun 1926 itu. Perjuangan tersebut dipimpin langsung oleh Syaikh Asnawi Caringin atau Kiyai Agung Caringin. Pertempuran itu menjadi simbol keberanian dan semangat juang masyarakat Banten dalam mempertahankan kedaulatan tanah air. Gerakan itu menjadi inspirasi bagi banyak daerah di Indonesia dalam upaya mereka untuk meraih kemerdekaan. Selain itu, tradisi perlawanan yang telah ada sejak lama di Banten turut memperkuat tekad masyarakat untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian, Provinsi Banten bukan hanya bagian dari sejarah nasional, tetapi juga menjadi saksi bisu dan pelaku aktif dalam usaha merebut kemerdekaan. Keberanian dan dedikasi para tokoh pejuang serta rakyat Banten yang heroistik itu, telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah perjuangan Indonesia. Sejarah itu menjadi pengingat akan pentingnya peranan setiap daerah dalam mencapai kemerdekaan, termasuk Banten.

E. Perubahan Administrasi Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdek, yakni pada tahun 1945, perubahan besar terjadi dalam struktur administrasi pemerintahan, termasuk di Provinsi Banten. Sebelumnya, wilayah Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, tetapi pada tahun 2000, Banten resmi menjadi Provinsi tersendiri. Pendirian Provinsi Banten sebagai entitas administrasi yang independen saat itu diharapkan dapat membawa pembangunan dan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Pembentukan Provinsi Banten merupakan langkah strategis yang dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor, termasuk potensi sumber daya alam yang melimpah dan aspek geografis yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, dengan status barunya, Banten tidak terlepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi Banten adalah penataan wilayah dan pembagian sumber daya yang adil. Karena, hingga saat ini masih ada daerah di Banten, terutama yang berada di luar kota-kota besar, pada faktanya masih menghadapi masalah infrastruktur dan akses terhadap layanan publik dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, proses transisi dari menjadi bagian dari Jawa Barat ke Provinsi mandiri menuntut penyesuaian dalam hal peraturan dan kebijakan lokal. Pemerintah daerah harus merumuskan peraturan yang lebih relevan dan mendukung program-program pembangunan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Banten. Sementara partisipasi masyarakat dalam proses administrasi juga menjadi salah satu fokus, mengingat pentingnya keterlibatan warga dalam setiap keputusan yang diambil untuk kemajuan provinsi. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, diharapkan Provinsi Banten dapat berkembang secara menyeluruh dan bisa mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Ini adalah langkah penting dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih responsif terhadap aspirasi rakyat dan memperkuat identity Provinsi dalam konteks pembangunan nasional.

F. Banten di Era Modern

Provinsi Banten, yang terletak di pesisir Barat Pulau Jawa, telah mengalami perkembangan signifikan sejak memasuki era modern. Salah satu aspek utama dari kemajuan ini adalah pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dalam beberapa tahun terakhir, Banten telah menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan yang menjanjikan di Indonesia. Berbagai sektor, termasuk manufaktur, pariwisata, dan pertanian, berkontribusi besar terhadap peningkatan perekonomian daerah ini. Nampaknya hingga saat ini, pemerintah daerah masih terus berupaya intuk menarik investasi dengan menyediakan insentif bagi pengusaha dan mendukung kemanjuran usaha lokal. Infrastruktur juga menjadi fokus utama dalam pengembangan Banten. Proyek-proyek besar, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan, nampaknya terus dilaksanakan untuk meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas Provinsi ini. Pembangunan infrastruktur transportasi yang baik, memang tidak hanya mempercepat mobilitas barang dan jasa, tetapi juga dapat meningkatkan pengalaman wisatawan yang datang ke Banten.

Oleh karena itu, keberadaan infrastruktur yang memadai berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dinamika sosial masyarakat Banten juga mengalami perubahan yang signifikan. Masyarakat di wilayah Banten semakin terbuka terhadap perubahan, beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi. Salah satu contoh nyata adalah munculnya komunitas digital yang aktif, yang memungkinkan masyarakat untuk saling berbagi informasi dan pengetahuan. Selain itu, pemuda Banten kini lebih terlibat dalam kegiatan sosial dan ekonomi, berinisiatif untuk membangun lingkungan dan mengembangkan potensi lokal. Perubahan dalam bidang pendidikan juga mempengaruhi masyarakat Banten. Pemerintah dan lembaga swasta telah berkolaborasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, menjadikan generasi muda lebih kompetitif. Dengan dukungan berbagai sektor, Banten diharapkan agar terus bergerak maju, menjalin masa depan yang lebih cerah bagi seluruh masyarakatnya.

G. Warisan Budaya Banten

Provinsi Banten memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam, hal itu mencerminkan sejarah panjang serta interaksi berbagai etnis dan agama. Budaya Banten sangat dipengaruhi oleh tradisi Islam, masyarakat Sunda, serta praktik lokal yang telah ada sejak zaman sebelum kolonial. Hal itu terlihat dalam banyak aspek kehidupan masyarakat, mulai dari seni hingga adat istiadat. Seni pertunjukan di Banten, salah satunya adalah seni debus dan pencak silst, merupakan suatu bentuk kesenian yang menampilkan aksi keberanian dan keahlian. Debus sering kali melibatkan penggunakan alat tajam dan tampil dalam suasana yang penuh semangat. Selain itu, terdapat pula seni rampak bedug (khusysnya di Kabuparen Pandeglang), kemudian ada juga tari seperti tari Jaipong yang menggambarkan keindahan dan kebudayaan lokal, menggugah rasa bangga masyarakat Banten akan identitas mereka. Dalam hal bahasa, masyarakat Banten umumnya menggunakan bahasa Sunda, bahasa Jawa (Serang) dan bahasa Indonesia. Namun, terdapat pula dialek dan kosakata khusus yang mencerminkan budaya lokal, hal itu menunjukkan keterikatan masyarakat terhadap warisan leluhur. Upaya pelestarian bahasa ini sangat penting, terutama dalam konteks generasi muda yang perlu memahami dan menghargai bahasa daerah mereka. Adat istiadat di Banten juga menunjukkan keragaman yang unik. Misalnya, tradisi pernikahan yang khas Banten melibatkan serangkaian ritual yang menggambarkan nilai-nilai luhur dan rasa hormat terhadap keluarga. Selain itu, masyarakat Banten juga merayakan berbagai festival dan upacara adat yang menuntut pemeliharaan tradisi dari generasi ke generasi. Dari berbagai aspek tersebut, jelas bahwa warisan budaya Banten sangatlah beragam dan bernilai tinggi. Kelestarian budaya itu bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat setempat, tetapi juga menjadi imbangan dalam mempertahankan identitas dan menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa depan. Melalui pengenalan dan penghayatan terhadap seni, bahasa, adat istiadat, serta tradisi, masyarakat Banten dapat memastikan bahwa warisan budaya mereka akan terus hidup dan berkembang.

Dengan kata lain, sejarah Provinsi Banten merupakan perjalanan yang kaya dan beragam, hal itu mencerminkan berbagai peristiwa yang membentuk identitas serta karakter masyarakatnya. Dari masa kerajaan Islam yang bersejarah hingga era kolonial, Banten selalu memiliki peranan penting dalam konteks regional dan nasional. Perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang telah terjadi selama berabad-abad memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Banten sebagai salah satu Provinsi di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Banten terus berupaya menjaga warisan sejarah dan budaya yang dimilikinya, dikombinasikan dengan modernisasi yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah Banten, masyarakat diharapkan dapat lebih menghargai dan melestarikan warisan budaya yang ada. Berbagai upaya untuk melestarikan situs-situs bersejarah serta tradisi lokal, hal itu harus terus dilakukan dengan lebih intensif, termasuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya sejarah dan identitas lokal.

Hal itu bukan hanya bertujuan untuk menjaga ingatan kolektif, tetapi juga untuk menguatkan rasa kebanggaan masyarakat terhadap daerahnya, atau bida disebut “sikap primodialisme yang positif”. Dan sikap primodialisme yang positif itu, pada gilirannya dapat berkontribusi positif terhadap pembangunan daerah yang berkelanjutan. Harapan untuk masa depan Banten adalah agar provinsi ini dapat melanjutkan peran strategisnya dalam pembangunan Indonesia, baik sebagai pusat budaya, ekonomi, maupun pariwisata. Dengan memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan budaya yang ada, Banten sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat lokal tetapi juga bagi kepentingan nasional. Oleh karena itu, upata-upaya yang bersifat kolaboratif dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha (bisnis) akan sangat penting untuk mewujudkan visi kemajuan Banten, yakni membangun Banten yang lebih baik, berdaya saing, dan berbudaya adalah tantangan yang harus dihadapi secara bersama-sama untuk mencapai kemajuan yang lebih inklusif dan merata.

III. De Fakto dan De Jure Banten Dalam Konteks Saat Ini (Masih Terjadi Disparitas Pembangunan Antara wilayah Banten Utara Dan Selatan)

Hingga saat ini, secara de fakto, bahwa dinamika pembangunan di Banten bagian selatan masih cenderung lebih lambat dibandingkan dengan wilayah utara. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketimpangan infrastruktur, aksesibilitas yang terbatas, dan perbedaan dalam investasi serta kualitas sumber daya. Oleh karena itu, berikut ini adalah beberapa poin penting yang memperjelas kondisi tersebut :

  1. Ketimpangan Infrastruktur

Wilayah selatan Banten seringkali memiliki aksesibilitas yang pati baik (masih buruk) dibandingkan dengan wilayah utara. Hal itu mencakup kondisi jalan, ketersediaan listrik, dan fasilitas publik lainnya yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

  1. Aksesibilitas Yang Terbatas

Wilayah selatan Banten, terutama daerah yang jauh dari pusat kota, seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses pusat ekonomi dan layanan publik. Hal itu dapat menghambat mobilitas penduduk dan menghambat pengembangan usaha.

  1. Investasi Yang Terkonsentrasi

Sebagian besar investasi cenderung terkonsentrasi di wilayah utara Banten, terutama di daerah yang dekat dengan Jakarta, karena kemudahan akses dan infrastruktur yang lebih baik. Hal itu menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar wilayah.

  1. Kualitas SDM

Terdapat perbedaan yang signifikan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antar wilayah. Wilayah utara, seperti Kota Tangerang Selatan, memiliki IPM yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah selatan, seperti Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Kondisi itu, akhirnya menciptakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk terus berproses untuk meratakan pembangunan dan memastikan bahwa pembangunan dibidang SDM di Banten bagian selatan mengalami perbaikan dan peningkatan, ia paling tidak, setahap demi setahap agar warga masyarakat Banten yang ada di wilayah selatan itu mengalami proses intelektualisasi, dan lain sebagainya.

IV. Transformasi Ekonomi Banten : Infrastruktur Dan Industrialisasi Sebagai Motor Pemerataan Wilayah

Menurut pandangan umum, memang tidak diragukan lagi, bahwa letak geografis Provinsi Banten yang amat srtategis menjadikan kawasan ini tidak hanya sebagai gerbang utama jalur perdagangan domestik, melainkan sebagai simpul penting perdagangan internasional. Keistimewaan tersebut telah diakui banyak pihak, bahkan konon katanya, Banten diproyeksi bakal menjadi salah satu kawasan industri maju di Tanah Air. Optimisme itu bukan tanpa alasan dan sangat masuk akal memang. Karena, Banten memiliki hampir seluruh prasyarat untuk tumbuh dan berkembang menjadi daerah industri maju. Karena, tidak hanya keunggulan posisi geografis yang dimiliki, namun Banten juga menyimpan segudang potensi sumber daya alam dan manusia yang siap mewujudkan mimpi tersebut. Namun, semua itu tidak akan berjalan mulus, karena faktanya masih banyak tantangan dan dinamika yang harus dilalui dengan gigih dan sungguh-sungguh. Salah satu tantangan paling serius adalah pembangunan infrastruktur sebagai penyokong utama industrialiasi dan motor pemerataan pembangunan.

Banten bukan tidak dibangun, tapi hingga saat ini ia hanya belum merata dari segi pembangunan, salah satunya pembangunan infrastruktur. Bukan hal rahasia lagi, bahwa Banten sejauh ini menyimpan dua wajah pembangunan yang kontras. Di satu sisi tampil wilayah utara seperti Tangerang, Cilegon, dan Serang yang tumbuh dan berkembang pesat dengan kemajuan infrastruktur dan industrialisasinya. Sedangkan di sisi lain, hadir wilayah Banten bagian selatan seperti Pandeglang dan Lebak, yang nota bene masih jauh tertinggal dari segi pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan pembangunan lainnya. Kondisi inilah yang saat ini nampaknya sedang dicarikan jalan keluar oleh para pemangku kepentingan di wilayah Banten (Pemprov Banten). Adapun kunci transformasi ekonomi di Banten menurut tinjauan penulis, hal itu sangat bergantung terhadap pembangunan infrastruktur yang inklusif serta distribusi manfaat ekonomi ke seluruh wilayah. Oleh karena itu, infrastruktur dan industrialisasi tak boleh hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi harus menjadi motor nyata bagi pemerataan pembangunan maupun kesejahteraan bagi masyarakat Banten secara keseluruhan. Karena, pembangunan infrastruktur yang terintegrasi, konsekuensi logisnya akan melahirkan pertumbuhan ekonomi kawasan, dan hal itu tidak akan terjadi jika tidak didukung pula oleh infrastruktur yang memadai. Keterkaitan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur ini, nampsknya sudah seperti “aksioma” yang tidak bisa disangkal kebenarannya. Khusus dalam konteks Banten, peluncuran sejumlah proyek strategis nasional yang telah dan sedang digarap adalah bagian dari harapan untuk mempercepat konektivitas antarwilayah. Karena, konektivitas adalah kunci pertumbuhan ekonomi, dan infrastuktur adalah basis utama yang menopangnya.

Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan integrasi antar wilayah sebagai prasyarat mutlak pembangunan ekonomi, hingga saat ini dibangunlah jalan Tol Serang Panimbang (SPT) sepanjang 83,6 km, yang akan menghubungkan kawasan industri di utara dengan wilayah selatan yang sangat tertinggal. Pembangunan Tol SPT itu, diharapkan mampu memangkas waktu tempuh dari Serang ke Tanjung Lesung (Ke kawasan destinasi wisata) dari 4 jam menjadi hanya 2 jam. Jika harapan ini terwujud maka dampaknya sangat luar biasa, tidak hanya bagi sektor pariwisata, melainkan turut membuka akses logistik bagi produk-produk perikanan, pertanian, dan UMKM dari Lebak dan Pandeglang (umumnya dari Banten bagian selatan) ke pusat distribusi di Serang dan Tangerang (Utara). Ini merupakan sebuah skema integrasi pembangunan yang sangat visioner menurut pandangan penulis, karena secara strategis dan konseptual idealis, hal itu untuk membawa Banten menjadi kawasan maju dan terdepan dari segi industrialisasi mapun pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, konon katanya proses revitalisasi Rel Kereta Api Rangkasbitung Labuan, pembangunan Pelabuhan Internasional Bojonegara, penyediaan jaringan listrik dan air bersih ke desa-desa terpencil juga bagian penting dari langkah strategis Pemprov dalam membangun fondasi ekonomi wilayah. Seperti telah disinggung di awal bahwa sebaran pembangunan infrastruktur terintegrasi antar wilayah, hal itu akan mendorong lajunya proses investasi, memperluas pasar domestik, dan menekan biaya distribusi logistik serta meningkatkan mobilitas tenaga kerja.

Sampai saat ini, sejumlah Desa di Lebak dan Pandeglang memang masih terkendala akses-akses infrastruktur dasar seperti listrik, jalan Desa yang layak, sarana dan akses pendidikan yang memadai, jaringan internet dan lain sebagainya. Dengan demikian, akselerasi pembangunan infrastruktur di wilayah Banten bagian selatan, hal itu akan mendorong pemerataan sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi yang merata di seluruh Banten. Dan lagi-lagi, bahwa industrialisasi sebagai motor pertumbuhan dan pemerataan pembangunan sangat urgen sifatnya. Sudah cukup lama Banten dikenal luas sebagai salah satu pusat industrialisasi nasional. Beberapa daerah seperti Cilegon, Tangerang, dan Serang menjadi pusat pengembangan industri paling maju di kawasan ini. Bahkan, sejumlah pabrik raksasa berdiri di sana, sebut saja pabrik tekstil, otomotif, petrokimia, baja, makanan dan minuman hingga manufaktur elektronik. Fakta di atas bukan sekadar isapan jempol, hal itu juga memang merujuk pada data tahun 2023, dimana sektor industri pengolahan, misalnya, berhasil menyumbang lebih dari 30 % terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten, yang mana menjadikannya kontributor utama ekonomi kawasan ini. Sayangnya, pertumbuhan industri yang ada belum cukup mampu menghadirkan pembangunan ekonomi yang lebih merata. Sebagai buktinya, nampaknya wilayah seperti Lebak dan Pandeglang yang hingga kini masih berada dalam kesenjangan ekonomi dan pembangunan.

Hal itu juga merujuk pada data yang ada, per tahun 2024, angka kemiskinan di Pandeglang masih di angka 9,18%, jauh lebih tinggi dibanding Tangerang Selatan yang hanya 2,36 %. Dari sini sudah bisa dilihat betapa kesenjangan antara Utara dan Selatan Banten begitu menganga lebar. Kalau tidak ada pemerataan ekonomi dan pembangunan, maka konsekwensinya bahwa perkembangan wilayah akan mengalami disapritas tajam, sehingga sulit mendorong Banten maju secara holistik-integral. Di samping itu, ketimpangan tersebut juga mencerminkan bahwa industrialisasi di Banten masih bersifat pasrial dan eksklusif di mana pembangunan kawasan industri belum menyentuh daerah Banten bagian selatan. Padahal, potensi besar justru ada di wilayah Selatan, andai digarap secara optimal. Apalagi kawasan ini didukung ketersediaan tenaga kerja muda, lahan luas, serta kedekatan geografis dengan proyek strategis seperti Kawasan Rkonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung.

Untuk itu, kunci utama ada pada pemerataan wilayah melalui pembangunan infrastruktur yang merata dan terintegrasi satu sama lain. Saat ini, pemerintah Provinsi Banten, nampaknya sedang terus berjibaku, atau sedang bekerja ekstra untuk mendorong pengembangan kawasan industri baru di selatan Banten yang terintegrasi dengan potensi lokal seperti agroindustri, maritim, dan pariwisata. Model industrialisasi ini tidak mesti harus bertumpu pada padat modal, tapi juga harus diimbangi dengan industri padat karya seperti industri UMKM, ekonomi kreatif dan industri rumahan. Sebagai contoh pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) serta UMKM digital di sentra batik Lebak, maupun berbagai kuliner yang ada di wilayah Kabupaten Pandeglang (Emping, Opak, Kueh bantal, dan lain sebagainya). Kuliner tersebut merupakan makanan khas Pandeglang, maupun berbagai kerajinan tangan lokal (yang ada di wilayah Pandeglang dan Lebak). Seandainya pusat ekonomi mikro ini saling terhubung antarwilayah, maka bukan tidak mungkin akan membentuk sebuah jejaring pasar yang tertintegrasi dan menjadi pusat perputaran ekonomi kawasan yang menjanjikan. Dan itu harus dihubungkan melalui pembangunan infrastruktur logistik yang memadai dan platform pemasaran digital yang mendukung. Akhirnya, kolaborasi multipihak dengan melibatkan pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mendorong akselerasi pembangunan yang ada.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *