Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Pemantik perjuangan dalam bahasa Indonesia berarti “pemicu perjuangan” atau “sesuatu yang memicu semangat perjuangan”. Istilah tersebut bisa merujuk pada berbagai hal yang mendorong atau memotivasi seseorang atau suatu sekelompok orang untuk melakukan perlawanan, pergerakan, atau upaya mencapai tujuan tertentu, terutama dalam konteks sejarah maupun sosial. Contoh penggunaan dalam konteks sejarah seperti tentang berdirinya organisasi Budi Utomo misalnya. Karena, kelahiran organisasi tersebut, pada tanggal 20 Mei tahun 1908, hingga saat ini sering dianggap sebagai “pemantik perjuangan” bagi pergerakan nasional Indonesia. Mengingat organisasi tersebut menjadi awal mula kesadaran kebangsaan dan gerakan organisasi untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa ini. Lebih dari itu, pemantik perjuangan juga bisa berupa suatu perjuangan fisik maupun diplomatik. Karena, setelah kemerdekaan tahun 1945, nyatanya untuk perjuangan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu jauh lebih berat dan harus dilakukan melalui berbagai cara, termasuk pertempuran fisik (perjuangan bersenjata pada Agresi Militer Belanda II, yang berlangsung pada tahun 1948-1949). Namun, saat itu juga perjuangan untuk memerdekakan bangsa ini secara utuh dibarengi dengan berbagai upaya yang bersifat diplomatik (proses perundingan). Kedua cara itu bisa dianggap sebagai “pemantik perjuangan” dalam konteks yang berbeda, namun intinya bagaimana agar bangsa dan negara kita saat itu bisa bebas dari cengkraman kaum penjajah.

Lebih dari itu keberadaan sosok pahlawan dan tokoh pergerakan perjuangan bisa bagian dari pemicu semangat perjuangan. Karena kehadiran sosok pahlawan bisa menjadi “pemantik perjuangan” khususnya bagi generasi muda, terutama untuk memotivasi mereka demi berkontribusi positif bagi bangsa dan negara ini. Kemudian pemantik perjuangan juga dengan berkat adanya monumen dan simbol untuk mempersatukan bangsa. Karena, keberadaan monumen atau simbol-simbol perjuangan, seperti “Monumen Perjuangan Mempertahankan NKRI” misalnya, hal itu dapat menjadi “pemantik ingatan” akan arah dan sejarah perjuangan bangsa ini. Lebih dari itu, adanya momentum mempertahankan NKTI juga menjadi memotivasi masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain, pemantik perjuangan, merupakan istilah yang luas dan bisa merujuk pada berbagai hal yang bisa memicu semangat perjuangan, baik dalam konteks sejarah, sosial, maupun dibidang pendidikan.

Lebih dari itu, idealisme juga bisa menjadi bagian dari pemantik perjuangan, karena keyakinan pada nilai-nilai luhur dan tujuan yang ingin dicapai juga butuh nilai-nilai idealisme. Bahkan, seseorang yang idealis, ia cenderung memiliki visi yang jelas tentang dunia yang lebih baik dan ia terus termotivasi untuk mewujudkannya melalui perjuangan. Namun, penting untuk disadari bahwa idealisme harus diimbangi pula dengan realisme agar perjuangan kita tetap efektif dan tidak terjebak pada tindakan yang kontraproduktif. Sementara idealisme sebagai pemantik perjuangan, karena ia kerapkali memberikan dorongan (motivasi) kuat untuk berjuang demi mencapai tujuan yang dianggap baik dan benar. Lebih dari itu, idealisme akan semakin kuat manakala diperkokoh juga oleh sebuah “visi”. Karena, seorang yang idealis, ia selalu memiliki gambaran jelas (visi) tentang masa depan yang ingin ia wujudkan, dan sekaligus menjadi tujuan perjuangannya. Lebih dari itu, orang idealis juga sangat kuat keyakinannnya. Karena, seorang yang idealis, ia menumbuhkan keyakinan pada kemampuan diri dan tujuan yang ia perjuangkannya, meskipun menghadapi berbagai tantangan.

Sementara peran idealisme dalam perjuangan adalah untuk mendorong inovasi. Karena, sifat idealis dapat memunculkan solusi-solusi inovatif dalam menghadapi masalah. Lebih dari itu, seorang idealis juga selalu membangun semangat diri. Karena, seorang idealis, ia kerapkali membangkitkan semangat juang dan ketahanan mental dalam menghadapi rintangan bagi dirinya maupun orang lain. Bahkan, seorang idealis selalu menginspirasi orang lain. Karena, orang yang idealis seringkali menjadi inspirasi bagi orang lain untuk punya jati diri dan sekaligus bisa ikut berjuang demi kemaslahan rakyat dan umat. Sedangkan antara idealisme dan realisme, meskipun idealisme penting, tapi penting juga untuk memiliki proses keseimbangan dengan realisme yang aflikatif. Karena realisme selalu melakukan tindakan nyata, sementara idealisme harus diterjemahkan dalam tindakan nyata juga yang sangat realistis, aflikatif dan terukur. Namun, tantangan dan perjuangan kaum idealis seringkali tidak sedikit, karena setiap saat, ia harus berjibaku menghadapi tantangan dan rintangan, sehingga perlu strategi yang kitu dan matang. Namun, proses perjuangan yang idealistis itu, memang perlu dievaluasi secara berkala, hal itu untuk memastikan efektivitas dan relevansinya. Dengan kata lain, idealisme dapat menjadi kekuatan sekaligus menjadi pendorong dalam konteks berjuangan. Namun, penting untuk mengimbanginya dengan pemahaman yang lebih realistis dan strategi yang matang agar perjuangan dapat mencapai hasil yang optimal.

II. Para Pendiri Bangsa, Buku, Dan Para Politisi Masa Kini

Dulu para pendiri bangsa ini, mereka adalah orang-orang yang menaruh ilmu di pangkuannya, dan menaruh idealisme di dadanya. Para pendiri bangsa ini, meskipun mereka berbeda latar belakang, namun punya satu kesamaan, yaitu mereka pintar, dan mereka peduli. Para penfiri bangsa ini, mereka adalah para pembelajar, kutu buku, para menulis, yang umumnya menulis bertemakan kemerdekaan dengan tinta pengetahuan serta memimpikan masa depan yang sejahtera bagi bangsanya. Bahkan bagi mereka, bahwa soal pendidikan adalah sebagai senjata, sedangkan soal ilmu adalah jalan terangnya. Namun sekarang ini? Ceritanya agak berbeda. Karena, orang-orang pintar justru terlihat seperti penonton dari kejauhan. Bukan karena kurang usaha, tapi karena panggungnya sudah dikuasai pemain lain, para pebisnis, para politisi, bahkan mereka yang lebih lihai membaca peluang daripada membaca buku. Bahkan saat ini kata “pintar” terkesan sudah menjadi seperti guyonan. Bahkan, tak jarang terdengar perkataan pahit: “Percuma pintar, gak jadi apa-apa.”

Bayangkan jika kalimat itu diucapkan terus-menerus, oleh guru ke murid, oleh orang tua ke anaknya dan lain sebagainya. “Nak, gak usah pintar-pintar amat. Nanti malah gak jadi apa-apa.” Kalau kata-kata itu ditelan begitu sajah, alias ditelah mentah-mentah oleh anak didik kita, maka dunia akan kehilangan harapan, karena hal itu akan menurunkan minat belajar pada anak didik kita. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa realitanya saat ini, bahwa dinamika hidup bukan tentang angka-angka di rapor atau jabatan di kartu nama. Tapi tentang untuk bisa menemukan ruang bernapas (kesejahteraan secara ekonomis). Lebih dari itu, menurut para ahli arif dan sufistik, bahwa dunia ini hanyalah persinggahan sementara, dan saat ini konon kata mereka bahwa usia dunia ini sudah di pase waktu asar, yakni waktunya kita untuk pulang, sementara ketenangan hati yang tak bisa dibeli. Dan semua itu hanya bisa dicapai ketika seseorang benar-benar mengenal dirinya sendiri, apa yang ia mampu, apa yang ia cintai, untuk apa ia hidup, dan mau kemana ia pulang?

Namun secara realitas faktual, bahwa bangsa dan negara ini bisa merdeka, memang disebabkan oleh hasil jerih payah para pendiri bangsa ini. Bahkan bagi para pendiri bangsa ini, bahwa kegemaran membaca buku menjadi salah satu karakter yang khas bagi mereka. Karena, buku membantu mereka untuk menyintesiskan pemikiran dan mengolah pengetahuan. Bagaimana dengan politisi di era masa kini? Konon katanya zaman dulu, bahwa koleksi buku yang kebanyakan berbahasa Belanda di rumah pengasingan yang ditempati oleh sang Proklamator bangsa Indonesia Soekarno di Kelurahan Anggut, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu. Sementara Bung Karno menempati rumah itu pada tahun 1938-1942. Dan sejarah mencatat, bagi para pendiri bangsa ini, terutama di awal abad ke-20 M, buku tak sekadar teman di kala senggang, tetapi buku menjadi kebutuhan dalam perjuangan. Mohammad Hatta, proklamator yang juga Wakil Presiden Pertama RI, ia meminta 16 peti bukunya diangkut dengan kapal guna dibawa ke tempat pembuangan di Boven Digul. M. Hatta mengisi waktu-waktu di pengasingannya itu dengan menyibukkan pikiran, yaitu terus bergumul dengan buku-buku. Dan buku-buku itu pula yang menjaga pikirannya tetap jernih, sekaligus menguatkannya di tahun-tahun pembuangan.
Soekarno juga begitu gemar membaca buku. Proklamator dan Presiden RI pertama itu dikenal sebagai seorang “polyglot”. Ia menguasai sejumlah bahasa, dan membaca buku dalam bahasa aslinya. Ia tak kesulitan memahami buku-buku itu berkat kegilaannya pada membaca buku sedari kecil, terutama dengan menyimak buku-buku di perpustakaan ayahnya.

Para pendiri bangsa ini semuanya visioner, karena mereka adalah para kutu buku. Dan setiap mereka diasingkan, yakni dari tempat pengasingan yang satu ke tempat pengasingan lainnya, mereka tetap membaca buku dan mengintelektualisasi diri. Dan endingnya, yakni ketika Ir. Soekarno dan M. Hatta, saat diculik oleh sekelompok pemuda dan lalu dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, mereka juga tak terlepas untuk membaca buku dan bahkan secara “embriotik” saat itu mereka (ketika berada dipengasingan Rengasdengklok) realitanya sambil merancang konseptual idealias, yaitu suatu landasan kenegaraan (mensaripatikan ideologi Pancasila). Dengan kata lain, keberadaan di situasi pengasingan bagi mereka tidak menjadi halangan untuk terus membaca buku.

III. Peristiwa Rengasdengklok : Pemantik Semangat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Peristiwa Rengasdengklok merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 16 Agustus tahun 1945, yakni sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu melibatkan penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta oleh sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh. Tujuan penculikan itu adalah untuk mendesak kedua tokoh itu untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang. Di tengah kebimbangan jalan keluar untuk tindakan pemuda selanjutnya agar kemerdekaan segara dilaksanakan. Soekarni mengajukan sebuah usul, yaitu bahwa Soekarno dan Hatta harus segera diamankan ke luar Kota Jakarta dan “di jemput secara paksa” dengan tujuan menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang.

Akhirnya para pemuda membawa Soekarno dan M. Hatta ke sebuah rumah di Rengasdengklok, sebuah kota kecil di Karawang, Jawa Barat. Mereka khawatir bahwa jika kemerdekaan tidak segera diproklamasikan, maka kesempatan untuk merdeka akan hilang karena kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, Soekarno dan Hatta menolak untuk tergesa-gesa dalam memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan yang matang dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Selama berada di Rengasdengklok, para pemimpin nasionalis melakukan diskusi intensif tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk meraih kemerdekaan. Mereka menyusun naskah proklamasi dan merancang strategi politik yang lebih agresif. Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok tepatnya di rumah seorang Tionghoa yang bernama Djiaw Kie Siong. Peristiwa Rengasdengklok menjadi momentum penting dan bersejarah dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan memperkuat semangat perjuangan. Setelah perundingan yang intens dan jaminan dari Ahmad Subardjo bahwa proklamasi akan dilaksanakan keesokan harinya, Soekarno dan Hatta akhirnya dibawa kembali ke Jakarta pada malam hari tanggal 16 Agustus tahun 1945. Keesokan harinya, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.

Dengan kata lain, bahwa peristiwa Rengasdengklok menjadi simbol penting dari tekad dan semangat para pemuda Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Dampak peristiwa Rengasdengklok sangatlah signifikan, karena pertemuan itu menguatkan tekad para pemimpin nasional untuk melawan penjajahan Jepang. Pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Lebih dari itu, peristiwa Rengasdengklok juga memperlihatkan persatuan dan kesatuan antara tokoh-tokoh nasional yang berbeda latar belakang dan pandangan politiknya.

IV. Ide Dan Gagasan Para Pendiri Bangsa Tentang Dasar Negara Indonesia

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukanlah hasil dari pemikiran satu orang atau muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil perenungan mendalam, dialog, dan perdebatan dari para tokoh pendiri bangsa ini, yang nota bene mereka memiliki latar belakang yang berbeda, baik dari segi agama, suku, budaya, maupun pandangan ideologi mereka. Dulu, para pendiri bangsa ini mereka menyadari bahwa Indonesia yang sangat beragam ini membutuhkan sebuah dasar negara yang bisa menyatukan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, Pancasila dirancang sebagai fondasi filosofis, ideologis, dan moral untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

A. Latar Belakang Perumusan Dasar Negara

Sebelum Indonesia merdeka, para tokoh bangsa ini sudah mulai memikirkan bentuk dan dasar dari negara yang akan dibangun. Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia, membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Sementara BPUPKI saat itu bertugas untuk mempersiapkan segala hal yang terkait kemerdekaan, termasuk dasar negara. Dalam sidang pertama BPUPKI, yaitu pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945, berbagai gagasan dari para tokoh-tokoh bangsa disampaikan. Bahkan, proses perdebatan berlangsung serius karena dasar negara yang akan ditetapkan harus mampu menjawab tantangan bangsa, menyatukan perbedaan, dan menjadi pedoman dalam konteks hidup bernegara.

B. Tokoh-Tokoh Pendiri Bangsa Dan Gagasannya

Berikut ini adalah beberapa tokoh penting para pendiri bangsa yang mengusulkan ide-ide dasar negara dalam sidang BPUPKI diantaranya :

  1. Mohammad Yamin

Pada tanggal 29 Mei tahun 1945, Mohammad Yamin menyampaikan pidatonya berjudul “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Dalam pidatonya tersebut, Yamin mengusulkan lima asas sebagai dasar negara, yaitu : (1). Peri Kebangsaan. (2). Peri Kemanusiaan. (3). Peri Ketuhanan. (4). Peri Kerakyatan. (5). Kesejahteraan Rakyat. Menurut Yamin, dasar negara haruslah bersifat universal dan mampu menjangkau seluruh rakyat Indonesia. Ia menekankan pentingnya persatuan bangsa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Selain menyampaikan pidato, Yamin juga menyerahkan secara tertulis rancangan dasar negara kepada Ketua Sidang BPUPKI, yang berisi lima sila yang hampir serupa dengan Pancasila saat ini.

  1. Soepomo

Soepomo menyampaikan gagasannya pada tanggal 31 Mei tahun 1945. Sebagai seorang ahli hukum, ia lebih banyak menekankan pentingnya dasar negara yang menyatukan unsur-unsur kebudayaan dan struktur masyarakat Indonesia. Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik, yaitu negara yang tidak mementingkan kepentingan individu atau golongan, melainkan keseluruhan bangsa. Ia menyebutkan lima dasar negara sebagai berikut : (1). Persatuan. (2). Kekeluargaan. (3). Keseimbangan lahir dan batin. (4). Musyawarah. (5). Keadilan rakyat. Lebih dari itu, Soepomo juga menolak konsep negara liberal Barat yang menurutnya terlalu menekankan hak individu dan justru memicu perpecahan.

  1. Ir. Soekarno

Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni tahun 1945 menjadi tonggak penting dalam sejarah Pancasila. Dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan lima prinsip yang ia sebut sebagai “Pancasila”. Itulah pertama kali istilah “Pancasila” disebut. Kelima sila yang disampaikan oleh Soekarno itu antara lain : (1). Kebangsaan Indonesia. (2). Internasionalisme atau perikemanusiaan. (3). Mufakat atau demokrasi. (4). Kesejahteraan sosial. (5). Ketuhanan yang berkebudayaan. Bahkan, Soekarno menyarankan agar kelima sila itu dapat dirangkum menjadi tiga sila (Trisila), yaitu : (1). Sosio-nasionalisme. (2). Sosio-demokrasi. (3). Ketuhanan. Kemudian Trisila itu bisa diperas menjadi satu sila, yaitu Gotong Royong. Gagasan Soekarno diterima luas karena mampu menyatukan perbedaan agama, suku, dan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang majemuk.

C. Perumusan Piagam Jakarta

Setelah pidato-pidato dalam sidang BPUPKI, dibentuklah Panitia Sembilan, yang bertugas menyusun rumusan dasar negara. Panitia tersebut beranggotakan sembilan tokoh bangsa dari berbagai latar belakang, antara lain : Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Soepomo, KH. Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, A. A. Maramis, H. Agus Salim. Sementara hasil kerja panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan “Piagam Jakarta”, yang berisi rumusan dasar negara sebagai berikut : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, rumusan sila pertama akhirnya banyak menimbulkan perdebatan, khususnya dari kalangan non-Muslim di Indonesia timur. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus tahun 1945, maka sila pertama diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas usulan Mohammad Hatta demi menjaga persatuan nasional.

D. Pancasila Dalam Pembukaan UUD 1945

Akhirnya, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus tahun 1945, rumusan Pancasila yang final disahkan dan dimasukkan ke dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah Pancasila yang kita kenal hingga saat ini, yakni sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan panduan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

E. Makna Perjuangan Para Pendiri Bangsa

Dari rangkaian peristiwa tersebut, kita bisa melihat bahwa perumusan dasar negara kita tidaklah mudah. Diperlukan sikap bijaksana, keterbukaan terhadap berbagai perbedaan, dan semangat persatuan dari para tokoh bangsa. Mereka tidak memaksakan kehendak kelompok atau agama tertentu, tetapi terus berjuang untuk menemukan titik temu untuk seluruh rakyat Indonesia. Pancasila bukan hasil kompromi semata, melainkan hasil perjuangan intelektual dan moral yang tinggi dari para pendiri bangsa ini. Pancasila dirancang untuk menjamin keadilan, kebersamaan, serta menjunjung tinggi kemanusiaan dan kepercayaan kepada Tuhan.

Bagi kita, yang kebetulan saat ini sebagai seorang pelajar misalnya, terutama bagi (generasi milenial) dan sekaligus sebagai penerus bangsa, maka memahami sejarah lahirnya Pancasila merupskan langkah awal untuk mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Bahkan, kita harus menyadari bahwa keberagaman bangsa ini adalah kekuatan, bukan kelemahan. Bahkan, para pendiri bangsa ini mereka telah mewariskan Pancasila sebagai landasan untuk membangun negara yang adil, sejahtera, dan beradab. Mari kita jaga dan amalkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks kehidupan sehari-hari, baik di sekolah, di rumah, dan di tengah-tengah masyarakat, hal itu sebagai bentuk penghormatan kita terhadap perjuangan para pendiri bangsa ini, dimana mereka telah meletakkan dasar-dasar negara kita dengan penuh kebijaksanaan dan keikhlasan.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *