Ocit Abdurrosyid Siddiq

Saya guru. Saya pengurus organisasi guru. Saya Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta Provinsi Banten. Sebagai pengurus tempat berhimpunnya para pimpinan pendidik di tiap satuan pendidikan tingkat provinsi, pastinya saya akan membela dan memperjuangkan kepentingan anggota dan organisasi.

Oleh karena itu, ketika seorang Menteri menyebutkan bahwa โ€œguru itu beban negaraโ€, tentu saya akan bersikap dengan cara menyampaikan data, fakta, serta argumentasi bahwa guru itu tidak sebagaimana yang disebutkan oleh sang Menteri.

Pernyataan Menteri tersebut viral beredar di media sosial. Termasuk di group WhatsApp yang saya tergabung di dalamnya. Hampir seluruh group yang saya ikuti itu, terdapat anggota group yang mengirimkan potongan video tersebut.

Seperti sudah diduga, video itu memantik kemarahan publik. Pastinya, terutama para guru. Lalu, seperti biasa, membuncahlah amarah disertai sumpah serapah. Bahkan ada potongan video statement sang Menteri tersebut sebagai bahan bullyan.

Beberapa kawan mengkonfirmasi kepada saya perihal sikap saya dan sikap organisasi, disertai dengan rasa heran mereka mengapa saya tidak seperti biasa, tidak segera melakukan counter sebagai wujud pembelaan, bahwa guru itu tidak seperti yang dituduhkan oleh sang Menteri.

Sejatinya, mengapa saya tidak grasa-grusu dalam memberikan respon adalah karena merasa ragu dan hampir tidak percaya, seorang Menteri yang sudah malang-melintang mengurus perkara keuangan negara menyampaikan pernyataan secara gegabah dan ceroboh seperti itu.

โ€œMasa sih Sri Mulyani bilang begitu, bahwa guru itu beban negara?โ€. Lalu saya mencoba melakukan searching lewat portal media online mainstream, yang relatif lebih bisa dipertanggung-jawabkan, dibanding potongan video hasil nyomot dari Tik Tok atau YouTube.

Keraguan saya akhirnya mendapatkan pembuktian. Belakangan muncul klarifikasi dari pihak Kementerian Keuangan RI yang disertai dengan tayangan video yang asli dan lebih utuh. Dalam tayangan tersebut, tidak ada pernyataan Menteri yang menyebutkan bahwa โ€œguru itu beban negaraโ€.

Sri Mulyani menegaskan bahwa kabar tersebut tidak benar alias hoax. “Potongan video yang beredar yang menampilkan seolah-olah saya menyatakan guru sebagai beban negara adalah hoax,” tegas Sri Mulyani, dikutip dari Instagram pribadinya, Selasa, 19 Agustus 2025.

Menurutnya, tayangan tersebut merupakan hasil manipulasi digital alias deepfake dan berasal dari potongan tidak utuh pidatonya dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu.

Dalam pidatonya, Sri Mulyani menyinggung alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 untuk sektor pendidikan yang mencapai Rp 724,3 triliun. Ia kemudian menyoroti masih rendahnya gaji guru dan dosen, yang menurutnya menjadi salah satu tantangan dalam pengelolaan keuangan negara.

“Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negaraโ€. Pernyataan lain yang juga menuai sorotan publik adalah ketika Sri Mulyani mempertanyakan apakah masalah kesejahteraan guru dan dosen sepenuhnya bisa diatasi oleh APBN, atau perlu pendekatan lain, misalnya melalui partisipasi masyarakat.

“Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakatโ€, demikian kalimat bernada tanya yang muncul dari lisan sang Menteri. Dalam tayangan yang lebih utuh tersebut, tidak ada kalimat yang mengatakan โ€œguru itu beban negaraโ€ keluar dari mulutnya.

Ternyata, statement โ€œguru itu beban negaraโ€ merupakan produk artificial intelligence atau kecerdasan buatan. Sebuah teknologi yang bisa meniadakan yang ada dan mengadakan yang tiada. Sang Menteri menjadi korban deepfake.

Kejadian ini persis seperti beberapa waktu yang lalu, ketika beredar viral potongan video Jokowi yang berpidato di forum dunia dengan menggunakan bahasa Mandarin. Belakangan terbukti hoax. Bahkan pidato yang sama juga seolah disampaikan oleh Jokowi dalam Bahasa Arab.

Perkembangan teknologi begitu pesat dan canggih. Sayang, di antara kita masih ada yang belum mampu mengimbanginya. Sehingga menganggap bahwa yang ada dan diterima adalah sebagai sebuah kebenaran. Padahal hasil kecerdasan buatan. Hasil editan!

Atas peristiwa ini, sebaiknya kita lebih meningkatkan kecermatan, ketelitian, dan pastinya kecerdasan. Sehingga dalam setiap menerima informasi tidak mentah-mentah diterima sebagai sebuah kebenaran. Sebaiknya biasakan kaji sebelum bagi, saring sebelum sharing, kupas sebelum copas.

Jangan karena merasa pas dan cocok, lalu hoax pun disebar sebagai cara untuk menjatuhkan dan menyerang. Tidak suka itu hak. Benci itu juga hak. Tapi bila karena itu lantas merasa absah menebar hoax, ya jangan. Eta mah ngarana kaburu hewa.

Tuhan mengajarkan bahwa โ€œDan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwaโ€. Demikian firmanNya dalam Surat Al-Maidah Ayat 8.

Jadi, kita boleh tidak suka bahkan benci kepada seseorang, kepada kelompok, kepada rezim. Tapi jangan karena itu, lantas membuat kita gelap mata, sehingga yang tidak terjadi pun diyakini sebagai ada dan benar. Mari lebih selektif dalam menerima setiap informasi, dan lebih bijak dalam menyikapi setiap peristiwa.
*

Tangerang, Kamis, 21 Agustus 2022
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta Provinsi Banten, Sekretaris II MKKS SMA Kabupaten Tangerang

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *