
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Ketika di zaman klasik dulu (zaman para ulama mujtahid mutlak, seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi) saat itu mulai muncul istilah “istimbat hukum” dan “ijtihad intelektual”, yaitu upaya keras untuk mengerahkan kemampuan intelektual seorang ahli (para ulama mujtahid) untuk melakukan istimbat atau menggali hukum Islam dari sumber-sumber syariat (Al-Qur’an dan Hadis), hal itu guna mencari solusi terbaik bagi permasalahan baru yang tidak secara rinci (eksplisit) diatur di dalam kedua sumber tersebut (Al-qur’an dan Hadist). Hal itu merupakan proses pemikiran mendalam dan kerja keras para mujtahid untuk memahami prinsip-prinsip dasar syari’at dan menerapkannya dalam konteks zaman yang berbeda dan terus berubah.
Sedangkan konsep dan tujuan ijtihad itu sendiri adalah untuk mengerahkan kemampuan intelektual maksimal. Karena, ijtihad menuntut seorang mujtahid untuk menggunakan segala daya kemampuan intelektualnya dalam menganalisis dan menafsirkan hukum. Lebih dari itu, tujuan ijtihad juga untuk menjawab berbagai permasalahan baru. Hal itu demi untuk memberikan jawaban hukum bagi kasus-kasus yang muncul di masyarakat modern yang belum ada penjelasannya dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan istimbat atau menggali hukum untuk berijtihad, yaitu bersumberkan pada hukum Islam. Bahkan, ijtihad menjadi salah satu sumber hukum Islam yang penting setelah Al-Qur’an dan Hadis, hal itu memungkinkan syariat tetap relevan dan bisa diterapkan dalam berbagai kondisi.
Sedangkan proses dan metode ijtihad, yaitu untuk menggali hukum syariat. Dan prosesnya melibatkan pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an dan Hadis, serta prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya. Sementara penggunaan dalil ijtihad, yaitu para mujtahid sudah barang tentu menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist, yaitu untuk menyimpulkan dan menetapkan istimbat hukum baru. Sementara objek ijtihad, pada umumnya dilakukan untuk masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci (eksplisit) dan membutuhkan penalaran mendalam.
Sedangkan kriteria para pelaku ijtihad (mujtahid), ia harus memiliki kompetensi keilmuan yang lebih luas. Yakni, seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang mendalam dalam berbagai bidang agama Islam, seperti ushul fiqh, tafsir, dan bahasa Arab. Lebih dari itu, seorang mujtahid juga harus memiliki pemahaman konteks zaman, yakni selain menguasai kapasitas keilmuan agama, ia juga harus memahami dinamika dan perkembangan zaman serta kondisi sosial untuk bisa merumuskan hukum yang lebih tepat, akurat dan kontekstual. Contoh hasil ijtihad, yaitu penentuan awal ramadhan dan syawal, yakni para ulama melakukan ijtihad kolektif melalui diskusi untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa, berdasarkan perhitungan dan hukum Islam. Kemudian contoh ijtihad lainnya, yaitu untuk menentukan hukum transaksi di dunia perbankan, yakni para ulama menentukan hukum syariat untuk praktik perbankan modern, seperti transaksi pinjaman, karena praktik itu memang belum ada dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW.
Sementara diskursus ijtihad yang akan dikemukakan di dalam tulisan kali ini, bukan untuk membicarakan soal bagaimana para mujtahid mutlak zaman dulu (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi) mereka melakukan Istimbat hukum, serta bagaimana para ulama kontemporer zaman dulu mereka juga melakukan istimbat hukum, demi kemaslahatan dan kejelasan syari’at umat dan agama. Tapi diskusi ijtihad pada tulisan kali ini, yaitu seputar “Ijtihad Politik” kaum intelektual Muslim di era kekinian. Lebih dari itu, dalam pokok bahasan di dalam tulisan kali ini, penulis juga mencoba untuk menyuguhkan “Ijtihad Keilmuan” bagi kaum intelektual muslim, terutama untuk menggalakan kembali soal “dunia literasi”, hal itu sebagaimana yang telah tersirat dan tersurat di dalam Al-qur’an, yaitu pada surat Al-alaq, yakni tentang “Iqra”, bacalah. Karena menurut pandangan penulis, saat ini sudah tidak ada pilihan lain lagi, yakni ketika kita untuk mengintelektualkan generasi muda Islam saat ini, yaitu kecuali kembali ke soal “Iqra'”, yaitu pada soal kretivitas membaca dan menulis serta menghidupkan kembali dunia literasi saat ini. Karena dalam konteks sejarahnya, Islam menjadi super power di abad pertengahan dulu, saat itu dunia Islam memang menggalakan soal “Iqra”, riset, cinta terhadap ilmu pengetahuan, dan bergelimang dengan pemikiran yang rasional-ilmiah di dunia umat Islam, yakni ketika di tengah kegelapan dunia Eropa yang saat itu realitasnya semakin gelap.
II. Gerakan Literasi Sebagai “Ijtihad Keilmuan” Bagi Intelektual Muslim
Generasi muda saat ini (wabil khusus generadi muda Islam) harus berbasiskan pada gerakan intelektualitas, dengan kata lain prinsip intelektualitas merupakan jantung dari esensi langkah dan gerakan generasi muda Islam saat ini. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul “Dari Nalar ke Aksi”. Di buku tersebut dijelaskan secara detail, soal gerakan generasi muda Islam, yang seyogyanya merupakan gerakan keilmuan, dan itu harus menjadi habitat kaum intelektual milenial Muslim saat ini. Bahkan, salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh generasi muda Islam saat ini adalah kompetensi intelektual dan penguasaan dibidang literasi.
Sementara intelektual itu sendiri merujuk pada mereka yang memiliki wawasan yang luas dan menyeluruh terhadap segala aspek masalah melalui pendidikan formal atau interaksi dengan lingkungan sekitar. Abdul Halim Sani, yang memiliki karya fenomenal berjudul “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik”, ia menyebutkan bahwa seorang cendekiawan (intelektual) adalah penafsir jalan hidup. Kaum intelektual pada dasarnya adalah yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, menggagas, menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan berdasarkan nilai-nilai sakral dan humanisme universal. Mereka berupaya mengembangkan budaya yang lebih beradab yang dapat memenuhi kebutuhan zaman. Sebagai gerakan intelektual yang menyandarkan diri pada basis keilmuan, riset, dan objektivitas (dimensi ilmiah) dan aksi atau pengamalan dalam bentuk dakwah dan transformasi sosial (dimensi amaliah). Pada hakikatnya kaum intelektual Muslim saat ini memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar, khususnya dalam konteks untuk menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis. Hal itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said, seorang intelektual dengan ketajaman nalarnya ia harus merepresentasikan dan mengartikulasikan ide emansipatoris, mencerahkan orang lain, dan harus selalu aktif berbuat dan bergerak demi kemaslahatan umat.
Lebih dari itu, bahwa tanggung jawab intelektual yang diemban oleh generasi muda Islam saat ini, ia harus mampu menjadikan intelektualitasnya sebagai identitas. Bahkan, gerakannya harus menjadi ‘Centre of Excellent’, pusat-pusat keunggulan terutama dari sisi intelektualitas, sehingga mampu menjadi sumber ide-ide baru dan segar dalam pembaharuan. Sedangkan ciri utama gerakan intelektual adalah pada keseriusannya untuk memproduksi gagasan-gagasan yang cerdas dan solutif guna menyelesaikan persoalan yang ada pada masyarakat. Selain itu, gerakan intelektual juga dicirikan pada upaya menjadikan gagasan-gagasan tersebut sebagai landasan dalam melakukan aktivitasnya. Peran tersebut yang harus terus dipahami oleh kaum intelektual untuk terus memasifkan gerakan yang konseptual idealisnya.
Dr. Ali Syari’ati dalam kutipan di buku “Negeri Statistik” menyebutkan bahwa pemuda sebagai intelektual yang tercerahkan, dimana perannya harus konsisten dan berpihak pada kebenaran dan memperjuangkan ayat Allah dan hak masyarakat. Dari penegasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan intelektual harus berpihak pada kebenaran, dengan tujuan untuk berdakwah. Sehingga, gerakan intelektual sebagai ciri dan identitas kaum intelek, hal itu perlu diarahkan pada ideologi kaum intelektual itu sendiri, yaitu nilai-nilai Islam yang bersifar rahmatan lil-alamin. Sebagai pribadi dan komunitas yang berafiliasi pada organisasi keislaman (cintohnya Ormas ICMI misalnya), tentu nilai-nilai yang harus dipegang oleh kaum intelektual muslim adalah untuk memperjuangkan kemurnian Islam. Sehingga, gerakan intelektual dalam tubuh sang intelektual itu, terutama di era milenial saat ini harus bernafaskan Islam.
A. Orientasi Gerakan Ilmu
Buya Hamka dalam karyanya berjudul “Pribadi Hebat” menyampaikan bahwa tidak ada orang yang sampai dengan tiba-tiba pada suatu tempat. Kutipan tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai identitas intelektual dalam tubuh generasi muda Islam saat ini, maka perlu adanya gerakan ilmu. Karena, dinamisasi zaman yang terjadi hari ini, tentu telah banyak menggeser tatanan dalam masyarakat, termasuk perkembangan keilmuan. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Eric Weiner dalam “The Geography of Genius” ; Menjelajahi Sumber Ide Kreatif para Genius dari Athena Kuno hingga Silicon Valley, dan konsekuensi logisnya bahwa generasi muda saat ini.memang terus menghadapi tantangan yang tidak dihadapi oleh kaum intelektual ketika di zaman dulu.
Dalam risalah untuk generasi Muslim, Prof al-Attas, ia menyatakan bahwa dalam Islam, semua ilmu harus memimpin dan memandu ke arah keinsafan hakikat ketuhanan-Nya yang tunggal dan keyakinan terhadap-Nya serta kerelaan untuk beramal dan ibadah untuk-Nya. Dari pernyataan tersebut, maka orientasi gerakan keilmuan adalah untuk mengarahkan para generasi muda Islam agar memiliki bingkai intelektual dalam dirinya untuk kemudian diejawantahkan dalam gerakan-gerakan membumikan dakwah.
Bahkan, nalar intelektual dalam Islam menjadi bangunan fundamental dari akar keimanan, ibadah dan juga muamalah. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan dalam tubuh generasi muda Islam saat ini adalah harus terus melakukan kerja-kerja intelektual sebagai orientasi dari gerakan ilmu dengan tetap menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasannya. Pada faktanya saat ini, banyak berbagai diskusi yang berkembang di kalangan generasi muda Islam, yaitu mengenai wacana intelektual, tapi diskusi-diskusi tersebut terkadang tidak membekas dalam bentuk tulisan, sehingga wacana-wacana itu tidak bisa dikembangkan dalam wacana lebih lanjut dalam konteks untuk mencari model intelektualisme kaum muda muslim saat ini, yang bisa mencerahkan atau menemukan wajah intelektual generasi muda Islam yang kemudian dijabarkan dengan baik, sistematis, dan terlembagakan. Miftahul Huda, dalam gagasannya ia menyampaikan, bahwa untuk mempedalam nalar intelektual, generasi muda Islam saat ini agar dapat memperluas dan menyediakan ruang-ruang pengembangan basis nalar intelektual. Yaitu, ruang harus terus baca dibuka lebar, ruang pikir harus disemarakkan dimana-mana, dan ruang tulis harus dibudayakan dan ditradisikan serta didukung oleh sistem kaderisasi kaum muda Islam yang kuat dan haus keilmuan. Sementara bagi Mukhaer Prakkana, model intelektual generasi muda saat ini harus berbasiskan pada kekuatan ideologis dan tidak bebas nilai. Pemaparan tokoh di atas menjadi kekuatan orientasi keilmuan generasi muda Islam, memang sangat perlu dan fundamental, yaitu soal adanya kekuatan literasi (baca-tulis) yang sistematis. Nilai-nilai budaya keilmuan yang ada di internal generasi muda Islam saat ini harus sudah menjadi pijakan yang semestinya tidak ada hentinya bagi generasi muda kita, terutama dalam menjalankan tugas sebagai pelengkap dakwah. Dalam ranah inilah kemudian kaum intelek Muslim juga perlu memasifkan kembali, yakni budaya keilmuan yang perlu diangkat secara mendalam untuk membumikan budaya literasi, maka budaya literasi yang merupakan sisi untuk mempermudah pergerakan kaum intelektual muslim dalam berwacana dan beridealisasi diri, karena dengan aktivitas literasi secara masif, maka nalar intelektual generasi muda Islam akan terus tercerahkan, dan bahkan bida mengalami “kegenitan intelektual” di internal generasi muda Muslim.
B. Tradisi Intelektualisme Islam
Kegiatan generasi muda Islam tidak dapat dilepaskan dari kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan membaca dan menulis merupakan indikator dalam gerakan literasi. Jika Halim Sani menggunakan istilah intelektual profetik (intelektual kenabian) yang dimaksudkan bagi mereka yang memiliki kesadaran akan diri, alam, dan Tuhan. Sementara intelektual yang dijiwai oleh transedensi dalam perjuangannya sebagai perwujudan “khalifah” di muka bumi. Bahkan, hal yang perlu kita pahami adalah gerakan kenabian diawali dengan gerakan literasi. Firman Allah yang pertama turun adalah perintah untuk membaca. Maka, untuk mewujudkan gerakan intelektual profetik, perlu kembalinya kita pada lembaran kenabian yang juga menunjukkan betapa perhatian Allah SWT terhadap kebutuhan intelektual bagi umat manusia. Semangat Iqra dan qolam dalam wahyu pertama, hal itu telah menunjukkan bahwa salah satu tugas kenabian adalah risalah keilmuan. Gerakan literasi inilah yang mendorong terciptanya peradaban Islam berabad-abad lamanya. Bahkan ketika Barat dalam keadaan gelap dan terbelakang, para ilmuan Muslim saat itu hadir menghidupkan kembali tradisi intelektual di Barat yang sempat tenggelam. Gerakan itu yang kemudian harus menjadi semangat para generasi muda Islam saat ini, yaitu sebagai “ijtihad keilmuan” gerakan kaum muda Islam. Spirit intelektualisme yang merupakan doktrin Al-quran serta fakta historis inilah yang kemudian harus kembali digalakkan oleh generasi muda Islam, sebagai kelompok yang mengusung pena sebagai simbol untuk terus berkarya lewat membaca (tekstual-kontekstual) dan menulis, sebab intelektualitas adalah jiwa/nafas generasi muda Islam dalam membangun kehidupan yang beradab sebagai cikal bakal tentang lahirnya masyarakat yang sebenar-benarnya untuk kemanusiaan universal.
Sedangkan skema gerakan intelektual muda Islam saat ini, hal itu harus kita merujuk pada surah Al-Alaq, yakni sebagai risalah keilmuan yang diwahyukan oleh Allah pada hamba-Nya melalui Rasul-Nya adalah dengan membedah ayat-ayatnya sebagai pondasi gerakan keilmuan dalam tubuh generasi muda Islam. Jika generasi muda Islam saat ini besar dengan semangat teologi Al-Maun, hal itu bisa menjadi terobosan juga, jika kaum intelek di internal kaum muslimin saat ini bisa membumikan kembali gerakan intelektual melalui teologi surat Al-Alaq.
Karena, dalam ayat pertama surah Al-Alaq, Allah menyebutkan kata “Iqra”, bacalah. Bahkan dalam sejarahnya, kata tersebut diulang-ulang sampai tiga kali. Terkait objek “Iqra”, terdapat beragam pemaknaan. Ada yang menyebutkan objek yang dibaca adalah apa yang difirmankan oleh Allah, ada juga yang berpendapat bahwa objek yang dibaca adalah Al-Quran. Beragam pendapat terkait objek yang dibaca, pada dasarnya objek yang dapat dibaca itu adalah apa yang dapat diindra oleh manusia, artinya manusia dapat membaca segala yang ada di alam ini, makanya ada yang disebut ayat kauliah dan ada yang disebut ayat kauniah.
Dengan kata lain, apa yang diciptakan oleh Allah di alam jagat raya ini harus kita tadaburi dan kita tafakuri bersama (harus kita riset bersama). Maka, generasi muda Islam saat ini harus menjadi individu yang membiasakan diri dengan aktivitas membaca, baik bacaan tekstual maupun kontekstual. Lebih dari itu, generasi muda Islam saat ini harus menciptakan dan sekaligus membudayakan menulis. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Alaq, ayat 4 (keempat). Sedangkan Zubdatutu Tafsir Min Fathil Qadir menafsirkan dalam ayat tersebut bahwa Allah mengawali dakwah Islam dengan seruan dan ajakan untuk membaca dan menulis, karena di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Lebih dari itu, geneasi muda Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat kelima (surat al-alaq), bahwa perlu mengajarkan terhadap apa yang tidak diketahui manusia. Ketiga elemen dan gagasan tersebut diatas, yang kemudian harusnya terbentuk menjadi pilar tradisi literasi dalam gerakan generasi muda Islam di era milenial saat ini, yakni untuk menajamkan identitas intelektual aktivis generasi muda Islam.
Membaca, menulis, menebarkannya (berdakwah). Jika teologi surat Al-Alaq dijadikan semangat untuk membentuk gerakan literasi dalam tubuh generasi muda Islam, maka ijtihad gerakan keilmuan dalam tubuh generasi muda Islam akan bisa dicapai oleh para aktivisnya dengan cara bersungguh-sungguh tentunya. Hal itu juga sebagai ikhtiar untuk tetap menjaga salah satu identitas generasi muda Islam, yaitu generasi yang dinamis dan haus tentang keilmuan. Sedangkan gerakan literasi kemudian diharapkan akan mampu menjadikan istilah akademisi Islam dalam tujuan keshoheham moral-intelektual khususnya bagi generasi muda Islam saat ini. Hal itu sebagaimana sejak dulu telah dicontohkan dan sekaligus dicetuskan oleh “founding fathers”, atau oleh para pendiri bangsa ini, karena mereka (Bung Karno, M. Hatta, Syahril dan lain sebagainta) mereka adalah orang-orang yang hobi membaca dan menulis, yang seyogyanya menjadi rujukan dan contoh bagi kita semua yang hidup saat ini. Dan oleh karena itu, tradisi literasi yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa ini, agar mampu dihidupkan kembali saat ini, yakni untuk melahirkan para anggota atau aktivis generasi muda bangsa ini yang lebih berkualitas, memiliki kekuatan keilmuan, mendasari gerakannya pada kajian akademik-ilmiah, dan pada intinya cita-cita para pendiri bangsa ini, memang sejak awal dan sekaligus berbarengan dengan berdirinya bangsa dan negara ini, seolah-olah tidak kemudian disia-siakan oleh kita, yang nota bene mereka (para pendiri bangsa ini) sejak awal ingin melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, demi keberlanjutan proses pembangunan bangsa dan negara ini.
III. Ijtihad Politik Kebangsaan Bagi Sang Intelektual
Kehidupan berbangsa tidak pernah terlepas dengan urusan politik di setiap negara, dan termasuk di negeri kita. Namun untuk terjun kedalam keperluan politik (terjun ke dunia politik praktis), para kaum intelektual harus memiliki bekal pemahaman, kesungguhan dan iman yang harus tertanam di dalam diri. Gerakan kaum intelektual dengan semangat humanitas dan religiusitasnya, tentu tidak dapat memisahkan diri dari urusan politik dalam konteks berbangsa dan bernegara. Bahkan, kaum intelektual memiliki peran dan tugas kebangsaan. Sebagai komunitas yang sangat ideal, kaum intelektual memiliki kewajiban untuk menghasilkan pikiran-pikiran yang segar, kreatif, dan solutif. Bahkan, tugas kebangsaan tersebut termaktub dalam proses perjalanan sejarah kaum tercerahkan (kaum intelek) di seantero alam jagat raya ini, dengan salah satu poin pentingnya adalah selalu mengedepankan aspek moral dan memperjuangkan politik nilai yang berbasiskan pada penguatan intelektualitas. Kedua, keberadaan kaum progresif intelektual, ia harus bisa mewujudkan “baldatun tayyibah waa rabuh ghafur”. Bahkan, kontribusi para kaum intelektual disana berupa satu perangkat sistem nilai yang tangguh yang seyogyanya harus digali dari khazanah Iman dan Islam. Kaum intelektual harus beorientasi pada gerakan yang diarahkan pada penyelesaian problem kebangsaan dan kemanusiaan universal.
A. Islam Dan Intelektual
Ari Susanto dalam bukunya berjudul “Tugas Intelektual Muslim” menjabarkan bahwa seorang intelektual harus menegakkan konstitusi membela kemanusiaan dalam tanggung jawabnya menjadi seorang “Khilafah”. Peran itu harus memiliki sudut pandang nilai kemanusiaan agar dalam setiap gerakannya menghasilkan perbaikan dan pembaharuan kemanusiaan. Sudut pandang tersebut harus didukung oleh pengembangan jejaring, baik dengan komponen organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah. Kebijakan negara menjadi hal yang mendukung dalam pelaksanaan perbaikan dan pembaharuan kemanusiaan. Namun seorang intelektual, ia harus memiliki sikap kritis yang terukur dalam seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seorang intelektual harus tetap berpihak untuk menguji berbagai peraturan yang menyebabkan rusaknya alam, hilangnya sumber daya alam dan ketidak-tepatan atau penyelewengan terhadap anggaran yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Gerakan kaum intelektual dengan nalar kritisnya harus membangun jejaring dan memperjuangkan nilai kemanusiaan. Bahkan, ketika kita memaknai Islam sebagai assalam (perdamaian) dimana identitas gerakan intelektualnya memang haruslah menjunjung tinggi soal perdamaian. Sedangkan penegakkan perdamaian tersebut tentulah memerlukan agen-agen intelektualis yang mampu menggerakkan kemanusiaan sebagai wujud perdamaian.
Dr. Fazlurrahman dapat kita ambil pemikirannya terhadap sikap keritis yang harus diupayakan oleh kaum intelektual kekinian. Dr. Fazlurrahman menyatakan bahwa Al-Quran dan Hadis gagal dibaca sebagai dirinya sendiri atau cenderung dibaca secara mufassir saja. Namun hal itu, harus ada pengembangan pemikiran dalam menggali isi Al-Quran dan membaca isi dan sari-patinya. Anggapan tersebut ia lahirkan karena adanya sakralisasi temuan ilmiah sarjana klasik (sarjana salaf) yang diperlakukan sebagai tradisi sakral dalam bidang kalam dan fiqih semata. Sehingga pendekatan kritis harus dilakukan oleh setiap intelektual Islam yang harus mengembangkan nilai-nilai dan etik namun harus juga bergelut dengan kemajuan yang terjadi di zaman ia beeada.
B. Paradigma Intelektualisme Islam
Selain gagasannya terkait bagaimana nalar keritis digunakan dalam pembacaan Al-Qur’an dan Hadis, (alm) Dr. Fazlurrahman juga memunculkan sebuah gagasan mengenai paradigma intelektual Islam. Pencariannya dilakukan untuk memahami keimanan dengan menggunakan pendekatan pemikiran terhadap akar-akar kepercayaan dan komitmen dalam kehendak moralitas. Sumber-sumber yang digunakan intelektual Islam menurutnya adalah Al-Qur’an, sunnah, alam fisik, pikiran manusia dan masyarakat. Pendekatan ilmiah umat Islam diharapkan mampu meng-orientasikan kembali penafsiran-penafsiran Al-Qur’an sejak periode Nabi hingga saat ini. Bahkan, mencari ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh Al-Quran, hal itu sebagaimana telah disitir di dalam Q.S. 30: 7-9.
Surat tersebut menjelaskan bahwa tugas umat Islam adalah meneliti hakikat alam fisik melalui cara kerja pikiran manusia yang sesuai dengan moral, motivasi-motivasi psikologi dan masyarakat manusia. Dr. Fazlurrahman menyatakan secara tegas bahwa tujuan intelektualisme Islam adalah memperoleh pemahaman yang integral memgetahui pengetahuan tuhan. Menurutnya pengetahuan alam fisik akan menghasilkan sebuah gambaran total dari alam dan pengetahuan manusia secara seimbang, yaitu terkait masyarakat. Sedangkan pengetahuan mengenai masyarakat dapat menjadi wawasan bagi seorang intelektual serta bisa menjauhkan diri dari pemikiran yang sempit dan eklusif. Dasar-dasar intelektualisme Islam menurut Fazlurrahman adalah spiritualitas, religiusitas dan moral. Lebih dari itu menurut Fadzurrahman, bahwa dalam persoalan intelektualisme Islam, ia menjabarkan bahwa gerakan intelektualisme Islam harus mencurahkan diri dalam inovasi-inovasi intelektual yang bertujuan untuk menciptakan “ummah” yang mampu menghadapi tantangan dunia modern.
C. Fiqih Politik Dan Politik Kebangsaan
Politik sebagai salah satu lini kehidupan tentunya memiliki ketentuan yang juga telah diatur dalam Islam atau sebut saja sebagai “fiqih politik”. Sedangkan politik sendiri dalam bahasa Arab adalah “siyasah” yang berasal dari kata “sasa, yasusu, siyasatan” yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, dan membuat kebijaksanaan untuk mencapai satu tujuan. Sehingga “fiqih politik” sendiri seringkali disebut sebagai “fiqih siyasah” atau “siyasah syar’iyah”. Sedangkan definisi lengkapnya adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal dan seluk-beluk pengaturan urusan ummat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan kebijakan yang dibuat penguasa yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran dan jiwa syari’at untuk mewujudkan kemaslahatan.
Dalam buku yang berjudul “Fiqih Politik Muslim” karya Yusdani, Fiqih politik memiliki beberapa dasar pembentukan. Dasar yang pertama, bahwa arti dari perintah untuk menaati Allah. Dimana kita diamanati untuk menaati dan mengamalkan isi Al-Quran yang menjadi petunjuk kemuliaan kehidupan. Kedua, “Ulil Amri”, yaitu yang mencakup raja atau kepala pemerintahan, ulama, amir di zaman Rasulullah dan para Mujtahid. Ketiga, pandangan Ahli Tafsir. Keempat, pandangan pakar politik muslim. Dan Kelima, peran “Ulil Amri” dalam mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan. Selain itu “fiqih politik” juga memiliki sumber sumber pemikiran, dan sumbernya adalah wahyu dan agama yang mengajarkan nilai-nilai dan norma. Kemudian sumber lain dari fiqih politik adalah manusia dan lingkungannya. Selain itu sumber apapun dan dari manapun asalnya selama tidak bertentangan serta sejalan dengan prinsip-prinsip dasar nilai-nilai transedental, hal itu dapat dijadikan sebagai sumber pemikiran fiqih politik muslim.
Sedangkan ruang lingkup “fiqih politik” muslim mencakup empat bidang. Pertama, bidang “Dusturiyah” atau bidang yang mencakup siyasah penetapan hukum, peradilan, administrasi, dan penerapan hukum. Kedua, bidang “Dauliyah” atau hubungan antar warga negara dan hubungan negara dengan negara. Ketiga, adalah bidang “Maliyah” atau siyasah yang mengatur sumber-sumber keuangan negara. Dan keempat, bidang “Harbiyah” yang mengatur peperangan dan berbagai aspek-aspeknya. Sedangkan politik kebangsaan sendiri diartikan sebagai politik yang menjaga moral bangsa. Politik kebangsaan adalah politik yang mengajak tercapainya kebaikan bersama dalam hidup berbangsa. Saat politik kebangsaan itu dibicarakan, maka seharusnya “fiqih politik” tentu harus menjadi pondasi yang kokoh didalamnya. Oleh karena itu, kaum intelektual harus berperan penting dalam tegaknya politik kebangsaan dimana tidak mengacu kepada kekuasaan namun tetap berperan dalam mencapai bangsa yang adil dan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan.
D. Intelektual Islam Dan “Ijhtihad Politik”
Intelektual Islam sebagaimana telah dikemukakan diatas, tentunya harus memahami “fiqih politik” dan mengamalkannya. Pengamalan “fiqih politik” bagi seorang intelektual Muslim tidak serta merta mengharuskannya terjun dalam kekuasaan. Namun juga tidak ada larangan juga apabila ingin berkecipung di dalam dunia pemerintahan misalnya. Dengan kata lain, bahwa sensi politik yang bisa sampai pada tujuan kebaikan bersama, hal itu harus dipahami dengan benar oleh kaum intelektual Muslim. Salah satunya adalah jalan “ijtihad” dalam “berpolitik”. Intelektual Islam dengan sikap dan nalar keritisnya harunya dapat menjadikan “ijtihad politik” itu sebagai sebaik-baik jalan dan gerakan. Dapat disebut demikian karena jalan “ijtihad politik” adalah jalan yang mengharuskan kita untuk bersungguh-sungguh dan kritis dalam memahami dan menilai berbagai hal dalam kancah politik yang akan berpengaruh terhadap hajat orang banyak. Dengan kunci kesungguh-sungguhan dan teliti tersebut dapat menjadi jalan dalam berperan secara politik di negara dan berpengaruh pada bangsa. Oleh karena itu, intelektual Islam dan ijtihad dalam berpolitik menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan.
E. Tokoh Teladan Politik Kebangsaan
Dalam menelaah pentingnya politik kebangsaan kita dapat meneladani tokoh-tokoh yang sudah banyak berperan di jalan tersebut. Kaum intelektual kekinian tentunya sudah punya banyak contoh dan patronisme, yaitu para tokoh intelektual dan cendekiawan Muslim yang begitu terkenal, seperti (alm) Prif. Dr. Syafi’ Ma’arif dan Prif. Dr. Nurcholis Majid (Cak-Nur). Beliau berdua ketika dimasa hidupnya sangat dikenal sebagai tokoh-tokoh penginsfirasi di dunia “Ke-intelektualan” dalam konteks “Ke-Indonesiaan”. Kecerdasan, kekritisan, ketekunan, dan kesungguh-sungguhan mereka telah berperan penting dalam konteks politik kebangsaan. Berbagai pemikiran kritis mereka terutama untuk bangsa telah termaktub dalam berbagai tulisan mereka yang beredar. Salah satu tulisan yang terkenal karya dari Dr. Syafi’ Ma’arif berjudul “Buku Fiqih Kebhinekaan” serta berbagai buku dan artikelnya yang banyak beredar ke publik. Sementara karya yang fenomenal dari Dr. Nurcholis Majid (Cak-Nur), yaitu berjudul, “Islam Ke-Modernan, Ke-Kinian, Dan Ke-Indonesiaan”. Lebih dari itu, semasa hidup mereka telah banyak melakukan pencerahan pada anak bangsa ini maupun negara dan bangsa ini. Bahkan, mereka telah dipercayai untuk dimintai nasehat berbagai pihak yang berpengaruh untuk bangsa ini (seperti oleh Presiden), maupun dimintai saran pendapatnya oleh para tokoh dan para guru bangsa lainnya di negeri kita tercinta ini.