Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Dr. Cliffort Greetz (antropologi dari Amerika) ia menkaji agama masyarakat Jawa dari perspektif budaya, yang menemukan bahwa keberagamaan orang Jawa tidak hanya berpusat pada Islam, tetapi juga dipengaruhi kuat oleh tradisi pra-Islam dan kosmologi Jawa seperti Kejawen dan Kapitayan. Lebih dari itu, Clifford Geertz juga membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompik, yaitu kelompok abangan (religiusitas kultural), santri (religiusitas teologis), dan priyayi (religiusitas feodal), hal itu sebagaiman yang tercermin dalam praktik ritual seperti slametan dan upacara pementasan wayang kulit. Sementara keragaman sistem keagamaan masyarakat Jawa memiliki sistem religi yang kompleks, bukan hanya sekadar Islam, karena ada Islam Kejawen, yang melibatkan perpaduan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai, kosmologi, dan tradisi Jawa. Sementara Kejawen sendiri, yaitu sistem kepercayaan dan filsafat hidup yang berakar kuat pada tradisi Jawa pra-Islam, dengan penekanan pada ketaatan pada Tuhan dan menjaga diri sebagai orang Jawa pribumi. Sedangkan Kapitayan, yaitu keyakinan (agama rakyat monoteistik Jawa kuno) yang berbeda dari Kejawen.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa hasil riset dari Clifort Greetz mengklasifikasikan masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok : (1). Abangan, yaitu kelompok ini memiliki religiusitas yang cenderung kultural, dimana ritual seperti slametan dan pertunjukan wayang kulit menjadi bagian penting dari ekspresi rasa syukur dan permohonan doa mereka. (2). Santri, yaitu kelompok ini lebih berpegang teguh pada ajaran Islam teologis dan seringkali lebih terlibat dalam praktik keagamaan Islam yang formal. (3). Priyayi, kelompok ini memiliki religiusitas yang terkait dengan nilai-nilai feodal dan hierarki sosial, yang juga memengaruhi praktik keagamaan mereka.

Sedangkan ritual dan tradisi keagamaannya, atau beberapa ritual dan tradisi penting dalam keberagamaan masyarakat Jawa saat itu antara lain: (1). Slametan, yaitu upacara ritual komunal yang dilaksanakan untuk berbagai peristiwa penting dalam hidup, seperti kelahiran, kematian, pernikahan dan panen. (2). Pertunjukan wayang kulit, hal itu seringkali menyertai upacara slametan sebagai ekspresi budaya dan menjaga eksistensi tradisi, sekaligus menunjukkan peran signifikan kelompok abangan dalam menjaga adat istiadat. Sedangkan pada ritual dan simbolisme, yaitu berbagai praktik budaya yang mencerminkan perpaduan unsur-unsur pra-Islam (animisme-dinamisme, Hindu-Buddha) dengan Islam, termasuk mengagungkan roh leluhur.

II. Deskripsi-Antropologis Keberagamaan Masyarakat Jawa.

Secara substantif, bahwa intisari keyakinan agama, yaitu meyakini bahwa Tuhan sebagai sesuatu yang transendental, suci, dan murni, diatas segala sesuatu yang berkaitan dengan Yang Mahakuasa. Namun secara fungsional, inti-sari keyakinan agama adalah upaya untuk menangani masalah kehidupan dan masalah eksistensial. Karena, agama selalu mengarahkan pada kebaikan secara fisik dan spiritual. Namun, keberadaan pengikut agama sejak dari zaman dulu memang sangat pariatif, alias tidak seratus persen, punya keshohehan spiritual. Sementara keberagaman pemikiran dalam suatu agama dengan amal yang dilakukan oleh para pengikutnya selalu mewarnai praktik dinamika sosial, yakni ada yang moderat dan ada juga yang rigit, simbolik, literalistik, dan sangat filosofis. Hal itu mungkin disebabkan penafsiran terhadap doktrin agama yang mereka anut. Faktanya, sejak zaman dulu bahwa para pemganut agama Jawa kuno terutama bagi penganut agama yang bercorak sangat filosofi-simbolik, yaitu “ambiguitas agama” muncul dalam “slametan” yang menjadi tradisi masyarakat zaman dulu, khususnya di Jawa. “Slametan” menyajikan simbolisme yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut untuk dipahami dengan benar. “Segagolong”, “manungsa”, dan “pecel pitik”, hal itu melambangkan sembilan lubang, “manungal ing rasa”, dan upaya untuk mendapatkan kebaikan.

A. Kepercayaan Kapitayan Dan Kejawen

Kapitayan dan Kejawen merupakan dua sistem kepercayaan yang berkembang di pulau Jawa saat itu (sebelum adanya agama-agama besar seperti Hidu, Budha dan Islam), tetapi memiliki karakteristik dan prinsip yang berbeda. Kapitayan misalnya, merupakan agama kuno masyarakat Jawa yang menganut monoteisme, yaitu keyakinan pada satu Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya. Ajaran ini tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam keyakinan ajaran agama Hindu dan Buddha. Pokok ajaran Kapitayan adalah “Hamemayu Hayuning Bawana” yang berarti menjaga keindahan dunia, baik secara fisikal maupun metafisikal

Kejawen Kapiyan, lebih bersifat sinkretis dan tidak terikat pada satu doktrin tunggal. Sementara Kejawen, seringkali menggabungkan unsur-unsur dari berbagai kepercayaan, termasuk animisme, dinamisme dan pengaruh dari agama-agama besar seperti Islam, Hindu, dan Budha. Dalam praktiknya, ajaran Kejawen seringkali melibatkan ritual klenik (perdukunan), meski pun hal itu tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ajaran asli. Sedangkan Kapitayan memiliki tata cara pemujaan yanglebih terstruktur, dimana penganutnya melakukan persembahan kepada Sang Hyang Taya di tempat-tempat keramat atau tempat yang dikeramatkan. Ritual dan persembahannya, biasanya berupa sesaji yg mengandung kata “tu” seperti “tu-mpeng” atau “tu-kung”. Sementara pemujaan dilakukan dengan cara yang berbeda antara masyarakat awam dan para ruhaniawan. Yakni, para ruhaniawan melakukan ritual di tempat khusus yang disebut sanggar.

Sementara praktik ibadah dalam Kejawen lebih bervariasi dan dapat mencakup berbagai bentuk ritual yg dipengaruhi oleh tradisi lokal. Ini bisa termasuk upacara adat, meditasi dan praktik spiritual lainnya yang tidak selalu terikat pada satu bentuk persembahan atau tempat. Kapitayan menekankan konsep ketauhidan dan keberadaan “Sang Hyang Taya” sebagai entitas tertinggi yang tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip monoteistik lainnya.

Kejawen memiliki pandangan yang lebih pluralistik dan seringkali mengakui keberadaan berbagai kekuatan spiritual. Ini bisa mencakup pengakuan terhadap roh leluhur dan kekuatan alam. Dengan demikian, meskipun Kapitayan dan Kejawen sama-sama berasal dari tradisi Jawa, namun mereka memiliki perbedaan signifikan dalam hal ajaran dasar, praktik ibadah dan pandangan teologis. Karena, Kapitayan lebih terstruktur dan monoteistik, sementara Kejawen bersifat lebih sinkretis dan pluralistik.

III. Konsep Ketuhanan Dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan (Suku Baduy)

Suku Baduy dikenal sebagai penganut agama Sunda Wiwitan, yaitu suatu kepercayaan lokal, yang mempercayai adanya Tuhan dan malaikat serta para Nabi. Kehidupan Suku Baduy sangat sederhana dan selalu menjaga kelestarian alam, karena hal itu menjadi salah satu cara ibadah dan rukun Sunda Wiwitan. Namun saat ini telah terjadi islamisasi dan modernisasi yang masuk ke internal Suku Baduy membuat sedikit perubahan dalam kehidupan masyarakat Suku Baduy terutama Baduy Luar. Saat ini masyarakat Baduy luar mulai memakai alat-alat modern dan hidup seperti masyarakat pada umumnya, namun masih tetap menjaga aturan adat. Mengapa konsep ketuhanan dalam kepercayaan Sunda Wiwitan Suku Baduy ini perlu untuk kita diteliti? Dan bagaimana hubungan Islam dengan Sunda Wiwitan Suku Baduy? Pada tulisan kali ini penulis menggunakan metode kualitatif yang berupaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya dalam kepercayaan Sunda Wiwitan yang ada di Baduy. Lebih dari itu, penulis juga menggunakan teori dari Clifford Geertz, yakni soal agama sebagai sistem kebudayaan. Namun, untuk mengetahui agama Sunda Wiwitan dan kebudayaan Suku Baduy, ternyata konsep ketuhanan Sunda Wiwitan dalam sistem keagamaannya sangat jelas. Yakni, mereka percaya dan meyakini kepada satu Tuhan “Gusti Nu Maha Suci Allah Nu Maha Kuasa” dan mereka meyakini sebagai umat Nabi Adam serta mengakui Nabi Muhammad sebagai saudara muda dari Nabi Adam. Sunda Wiwitan merupakan hasil akulturasi, yakni adanya perpaduan antara agama lokal Suku Baduy dan agama Islam. Keduanya mempunyai nilai yang sama, yaitu tujuan utamanya adalah Ketuhanan, dan hubungan Islam dengan Sunda Wiwitan sangat harmonis, karena mereka menganggap umat muslim sebagai saudara muda mereka yang harus dihargai dan dihormati.

A. Agama Suku Baduy Yang Unik Dan Jarang Diketahui

Keberagamaan Suku Baduy hingga saat ini menjadi informasi yang banyak dipertanyakan. Namun, sebagaimana yang dijelaskan di dalam buku berjudul “Teknik Penelitian Intervensi Pada Masyarakat Baduy Luar”. Buku tersebut ditulis oleh Minsarnawati. Di dalam buku tersebut dijelaskan, bahwz Suku Baduy merupakan salah satu etnis di Indonesia yang berada di Banten. Suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yakni Baduy Luar dan Baduy Dalam. Bahkan, kehidupan suku Baduy menjadi hal yang menarik untuk dibahas, termasuk mengenai agama yang dianut masyarakat Suku Baduy

B. Mencermati Agama Suku Baduy

Ternyata, suku Baduy yang menetap di Kabupaten Lebak, Banten memluk agama Sunda Wiwitan, yakni sebuah kepercayaan nenek moyang yang tetap terjaga di berbagai pelosok Sunda, termasuk Baduy Dalam. Sunda Wiwitan merupakan sebuah kepercayaan dengan memberi pemujaan pada dinamisme dan animisme. Sedangkan Wiiwtan memiliki arti awalan. Agama satu ini dipercaya sebagai agama Sunda pada masa lalu. Meski demikian, kepercayaan ini juga dilengkapi dengan konsep monoteisme, yakni meyakini terdapat kekuasaan paling tinggi yaitu “Sang Hyang Kersa” yang sama dengan Tuhan Yang Maha Esa. Terdapat tiga jenis alam yang dipercaya dalam Sunda Wiwitan, antara lain:

Buana Larang: terletak paling bawah, yakni neraka. Buana Panca Tengah: lokasi berdiamnya makhluk yang terletak di tengah. Buana Nyungcung: tempat paling atas sebagai tempat bersemayamnya “Sang Hyang Kersa”. Sedangkan prinsip filosofis yang melandari ajaran Sunda Wiwitan yakni cara Ciri Manusia serta Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri manusia memiliki lima unsur dasar seperti tatanan keluarga, cinta kasih, budaya, sifat dasar, dan tatanan perilaku. Sedangkan, pada prinsip Cara Ciri Bangsa, manusia dibedakan berdasarkan adat, aksara, budaya, bahasa, dan rupa. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, terdapat konsep saling menghormati antara manusia dan alam. Terdapat tradisi yang dilakukan untuk menggambarkan rasa syukur akan hasil pertanian yang melimpah. Selain itu, tradisi juga dilakukan sebagai pesan agar air digunakan bijak. Sementara untuk mendekatkan manusia dengan pencipta, terdapat praktik ibadah yang disebut Rasa. Ibadah Sunda Wiwitan dilakukan pada dua waktu, yakni ketika subuh pukul. 05.00 WIB, dan waktu kedua yakni pada pukul 18.00 WIB.

IV. Agama Masyarakat Jawa Ketika Zaman Dulu Dalam Tinjauan Antropologis Dan Sosiologis

Buku hasil riset dari Clfford Geertz (seorang ahli dan peneliti Antropologi Amerika) yang meneliti kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa pada tahun 1952 – 1954. Cliffort Geertz, akhirnya menyuguhkan ide dan pembagian dalam beragama yang berkaitan dengan budaya di masyarakat Jawa menjadi tiga. (1). Abangan. (2). Santri. (3). Priyayi. Berdasarkan kajian yang dilakukan Clifford Geertz itu, malah saat itu juga (tahun 1954) menimbulkan perdebatan dan pembahasan baik secara akademis maupun dikalangan praktisi pemerhati sosial budaya dan para ahli agama di seluruh dunia. Karena, hasil penelitian dari Clifford Gaardz itu dipandang sebagai salah satu kajian kebudayaan yang paling berpengaruh, tapi memang menimbulkan perdebatan. Terlepas adanya kontroversi itu, Cliffort Greezt faktanya telah menginspirasi kajian-kajian baru baik ditingkat nasional maupun international. Bahkan, baru-baru ini terbit jurnal, “Journal of Social Issues in Southest Asia” dinyatakan sebagai “The Most Unfluinteal Books of Southeast Asian Studiest”. Sementara buku hasil riset Cliffort Greetz, yang awalnya sebuah disertasi itu, yang terbut di tahun 1954, memang agak menyimpang dari tradisi para Antropologi pada umumnya, karena Cliffort Greetznmemberi perhatian utama kepada komunitas kecil petani, penggembala, suku-suku terasing yang diperkirakan akan hilang. Salah satu kota kecil di Jawa Timur disebut dalam tulisan Clifford Geertz adalah “Modjokutho” yang dimaksud mungkin Mojokerto saat ini, dimana telah terjadi benturan budaya, agama mayoritas yakni Islam dengan agama lama (Hinduisme) dan tradisi animisme berbaur dalam stratifi sistem sosial.

Atas hasil penelitiannya yang sangat kontroversial itu, Cliffort Geertz malah dijuluki penemu ilmu pengetahuan baru, yakni sebagai sang “Antropologi Spekulatif” dan Cliffort Geertz dinobatkan sebagai salah seorang teoritikus Antropologi paling terkemuka di dunia akademis saat itu. Sementara disertasi hasil penelitiannya berjudul “Agama Jawa”. Tapi, apakah diterima atau tidak oleh kaum agama di Indonesia, yang pasti kaum agama saat itu masih kental menjalankan tradisi secara kebudayaan seperti bulan suro diawali dengan puasa yang merupakan bulan suci dan keramat bagi orang Jawa, yang sebetulnya mengadopsi dari peristiwa Azzura terbunuhnya cucu Nabi Muhammad di kota Karbala. Bahkan saat itu, tidak sedikit kaum terpelajar hanya menjalankan ibadah, sholat, puasa, zakat dan haji tapi belum bisa membaca kitab suci dalam huruf arab atau huruf Al-quran, hal itu merupakan fenomena tersendiri pada saat itu.

Bahkan, ketika kita bicara agama dan kepercayaan yang ada di Nusantara khususnya di Jawa, yang sudah ada ribuan tahun sebelum datangnya agama-agama besar baik dari agama Samawi maupun dari Hindustan India, tidak bisa dilepaskan akan sejarah dari bangsa ini, yang diyakini para ahli disekitar pulau-pulau yang jumlahnya ribuan pulau di Nusantara ini pernah ada benua yang hilang, yang akhirnya tenggelam karena mencairnya Es di Kutub Utara, dan berakibat dunia mengalami banjir besar, dimana daratan menjadi terpisah dan membentuk pulau pulau, yang oleh peneliti Inggris, Stephen OpenHeimer tahun 1998 dengan teorinya, bahwa daratan tersebut dulu disebut Sunda Land, atau Benua Sunda dimana antara Sumatera, Jawa, Bali. Nusa Tenggara Barat, dan Timur serta Kalimantan merupakan satu hamparan daratan, yang saat itu kosong karena tenggelamnya Benua yang hilang lalu terjadi migrasi besar-besaran dari Utara ke Selatan dan mendiami pulau-pulau di Nusantara, yang kalau dikaitkan dengan firman Tuhan dalam kitab suci agama samawi (Islam), kemungkinan hal itu berkaitan dengan saat banjir bandang ketika di zaman Nabi Nuh.

A. Keberadaan Bangsa LeMura

Sebelum ada bangsa ini di Nusantara, ditanah Nusantara telah ada suatu bangsa yang sangat tinggi peradaban dan budayanya serta penguasaan teknologinya, yaitu bangsa “LeMuria”, yang konon merupakan bangsa yang ada sebelum bangsa Atlantis, yang oleh para ahli diprediksi berkaitan dengan wilayah disekitar Gunung Muria (Kudus, Jawa Tengah) yang merupakan pusat peradaban tersebut hidup diperkirakan sekitar 75 000-11 000 Sebelum Masehi (SM).

Para ahli meyakini berdasarkan penelitian geologi, ada daratan yang bernama “Argolen”, yaitu sebutan atas benua besar yang terpisah dari Australia Barat dan menghilang, yang merupakan satu misteri terbesar di dunia Geologi yang akhirnya sedikit terpecahkan dimana Argolen Benua yang hilang itu menjadi kunci untuk menjelaskan asal-usul keanekaragaman Fauna di Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia zaman dulu bukan merupakan negara kepulauan, tapi sebuah daratan benua besar yang terpecah karena pergeseran lempeng bumi dan adanya banjir besar karena mencairnya Kutub Utara, dan itu siklus ribuan tahun yang lalu itu, diyakini akan kembali terjadi karena merupakan hukum alam. “LeMuria” sendiri adalah benua hopotetis yang diusulkan oleh ahli Zoologi Philip Sclaters pada tahun 1864, dimana ia berteori tentang tenggelamnya sebuah Benua di bawah Samudera Hindia, dan kemudian teori itu dijabarkan oleh para ahli Okultis dengan teori tentang asal-usul manusia. Hal itu agar para pembaca mapun para peneliti mempunyai gambaran yang jelas, tentang kondisi sebelum negeri ini terpecah menjadi ribuan pulau di seantero nusantara ini.

B. Agama Dan Kepercayaan Masyarakat Jawa Zaman Dulu

Soal menyangkut agama dan kepercayaan dari orang-orang nusantara pada umumnya dan Jawa khususnya telah disepakati oleh para sejarawan dan para ahli sosiologi bahwa pada zaman kuno masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, padahal yang terjadi sesungguhnya dari kepercayaan animisme dinamisme itu, masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat tak terlihat (ghaib) yang sangat besar dan menakjubkan. Dalam perkembangannya, agama masyarakat Jawa zaman dulu disebut agama “Kapitayan” yaitu agama kuno yang diyakini oleh masyarakat Jawa sebelum masuknya agama Hindu dan Budha dari tanah Hindustan India, pada abad ke-2 M, hal itu ditandai dengan adanya kerajaan tertua pertama di Pulau Jawa, yaitu “Syang Yang Sirah” (Kepala) yaitu Kerajaan Salakanagara, di Ujung Kulon, lalu bergeser ke timur di Priangan dengan nama Taruma Nagara. Sementara Tuhan agama Kapitayan sendiri disebut “Sang Hyang Taya”. Semenrara kata “Taya” sendiri artinya kosong atau suwung, awang-awung, kesunyatan yang dalam agama besar dari agama Samawi disebut (Tuhan Allah), yang berdiri sendiri tanpa wujud yang merupakan Dzat yang Esa, yang kekuasaannya meliputi seluruh alam semesta. Sedangkan Zat yang Esa itu, sekilas mempunyai makna yang hampir mirip dengan apa yang diyakini oleh para penganut Kapitayan. Namun bedanya, terutama dari agama-agama besar terutama bagi Islam dan Kristen, kitabnya memang ditulis, atau ada kitab sucinya. Sedangkan agama Jawa kuno (Kapitayan) ia hanya sebatas ajaran leluhur yang turun-temurun tanpa dibukukan dalam sebuah kitab yang dianggap firman Illahi.

Sementara pembawa dan penyebar agama Kapitayan menurut keyakinan para penganutnya adalah “Dang Hyang Semar”, keturunan dari “Sang Hyang Ismoyo” yang berasal dari bangsa “LeMuria” dan dianggap sebagai (“orang suci”) di zaman Jawa kuno, dan hingga saat ini masih diyakini berdiri dan bersemayam dipusat pemerintahannya di Jawa, yaitu di sekitar Gunung Muria hingga Gunung Lawu (Jawa Tengah). Sedangkan scara etimologis, kata Kapitayan itu sendiri merupakan istilah dari Jawa kuno yang memiliki kata dasar “Taya” (huruf caraka kuno) yang artinya “Tak Terbayangkan, Tak terlihat dan Mutlak benar”.

Pada titik ini, penulis mencoba untuk menseriusi bahwa bangsa kita sejak zaman dulu memang mempunyai peradaban yang agung dan besar sebelum datangnya agama-agama besar di dunia modern saat ini, hanya saja karena sifat dari orang-orang nusantara, khususnya Jawa yang selalu bisa menerima hal-hal baru dan dipadukan dengan hal-hal lama, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan misalnya, maka tidak mengherankan mengapa Islam bisa diterima dan berkembang begitu cepat, yakni pasca Sunan Ampel Raden Rahmatullah, yang telah dianggap keluarga oleh Raja Brawijaya ke-5, karena memang ada darah Singosari dari jalur keturunan ibundanya. Lebih dari itu, ajaran agama samawi secara substantif, memang ada titik kesamaan dengan Tuhan dalam pengertian agama Kapitayan, bahwa Tuhan menurut keyakinan Kapitayan, tidak terlihat dan mempunyai kekuasaan sangat besar, yang digambarkan dengan “suwung” atau “kosong” penuh kesunyatan. Hal itu tidak mengherankan jika para penganut Islam-Kejawen mereka selalu mencari “suwung” atau “susuhing angin” (rumah angin). Hal itu agar bisa mengenal Tuhan yang Esa, yang bisa dijabarkan dengan penemuan “Manunggaling Kawulo Lan Gusti”.

Sementara dalam perspektif tasawuf Jawa, terutama yang diinfiltrasi oleh Syech Abdul Jalil atau Syaikh Siti Jenar, dan oleh Ronggo Warsito, hal itu merupakan perpaduan antara agama Jawa kuno berdasarkan ajaran tutur tinular dari leluhur mereka secara turun temurun dengan ajaran sesuai kitab Suci dalam agama Islam (dimensi sufistik Islam), walaupun sesungguhnya ajaran Kejawen sendiri tidak hanya bagi pemeluk agama Islam saja tapi ada juga penganut Kristen-Kejawen, Budha-Kejawen, dan Hindu-Kejawen, hanya saja sudah terlanjur identik dengan Islam-Kejawen, karena mayoritas dalam masyarakat Jawa saat ini memang memeluk agama Islam.

Kembali kepada Tuhan dari agama kuno Jawa Kapitayan, adalah “Syang Hyang Taya”, yang oleh orang jawa didefinisikan dalam satu kalimat “Tan Keno Kinoyo Ngopo” yang artinya tidak bisa digambarkan seperti apa yang bersifat ghaib itu, atau yang tidak terlihat itu, tapi selalu dirasakan setiap kehadirannya. Sedangkan hakekat dari pencarian urip atau hidup dalam agama Jawa kuno, adalah menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin”, yang merupakan pencarian jati diri, dimana plong, bolong dan suwung sebagai wujud nyata pekerti keagamaan. Oleh karena itu, untuk bisa memahami sejatinya hidup dan kehidupan, maka dalam konteks saat ini, sejatinya kita juga harus terus mempertanyakan, kita dilahirkan dari mana asalnya (Sang Kan Paraning Dumadi) dan setelah lahir didunia ini kita harus mengapa, atau harus ngapain? Terus kita harus bertindak bagaimana dan berbuat apa di alam dunia ini? Bahkan, atau apakah kita sudah punya bekal untuk pulang nanti ke alam akhirat? Kemudian, setelah kita tiada, lalu kita kemana dan ada dimana? Itu adalah filosofi ajaran Jawa kuno yang terkandung dalam huruf Honocoroko, yang merupakan lanjutan dan pendarma-baktian dari pada agama Jawa Kapitayan, yang memandang utusannya, yaitu “Ki Semar” sebagai “Kadewatan” (dunia dewa) yang lebih memfokuskan pada laku kita, darma bakti sebagai mahluk hidup yang merupakan bagian dari alam semesta, “Jagad Cilik” dan “Jagad Gede” (alam mikro cosmos dan alam makro cosmos).

Dengan kata lain, kepercayaan Kapitayan memang sudah ada ribuan tahun sebelum datangnya agama-agama besar ke Nusantara khususnya Jawa. Jadi, kurang begitu tepat, manakala kita hanya memandang bahwa nenek moyang kita zaman dulu mereka hanya mempunyai kepercayaan animisme, dinamisme dan tidak berbudaya. Maka tidak heran juga, karena antara Tuhan (Allah SWT) dalam terminologi ajaran Islam, yang bersifat “ghoyibul guyub itu”, memang pada titik tertentu punya makna yang hampir mirip dengan Tuhannya (Agama Jawa Kuno Kapitayan). Dengan demikian wajar apabila perkembangan umat Islam ketika didakwahkan oleh para Wali Songo zaman dulu, begitu pesat dan cepat agama Islam bisa diterima di Nusantara khususnya di Jawa, yakni bisa diterima dengan setulus hati oleh masyarakat Jawa zaman dulu. Bahkan, apabila dikaitkan dengan agama Kapitayan dengan Agama Budi seperti yang diramalkan dalam ramalan Jawa Baya, akan datangnya agama Budi bersenjatakan “Trisula Weda”, akan nagih janji sesuai janji, yakni perjanjian antara “Sabdo Palon Noyogenggong” dengan “Syech Subakir” ditanah Jawa, maka bisa dijelaskan disini, yaitu mempunyai makna, bahwa segala tindakan kita dalam konteks ibadah yang bersifat mu’amallah-mahdoh, harus manunggal atau satu antara hati manusia, ucapan manusia dan tindakan manusia yang harus berbudi luhur sesuai ajaran-ajaran luhur. Hal itu digambarkan sebagai sebuah pusaka atau senjata “Trisula Wedha”. Yang bisa menyelamatkan manusia.

Namun, di zaman modern saat ini, manusia terkesan hanya menonjolkan soal akidah dan ritual ibadah seperti dalam dimensi atau dalam tarapan fikih-syari’ah saja (ibadah mahdhoh seperti ; sholat, puasa, zakat, haji) dan itu sifatnya ibadah dalam tarafan syari’at atau dimensi syari’at dan belum kepada tarapan yang bersifat hakikat dan apalagi ma’rifat. Sementara ibadah yang dalam tahapan syati’at ini, memang terkesan tidak ditransformasikan ke dalam tindakan nyata dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, atau transpormasi Islam yang dalam tarapan esoteris atau makomat hakikat. Dan mu’amalah itu (ibadah dalam tarapan syari’at) kerapkali menjadikan kita sebagai manusia, akhirnya gagal faham dalam memahami sebuah ibadah secara utuh, yakni yang melingkupi syati’at, tarekat, hakikat dan sampai berujung pada ma’tifat. Bahkan, yang lebih miris lagi malah terjadi klaim dari kelompkk tertentu, bahwa bangsa ini dulu bangsa penyembah berhala, yang apabila tidak datang agama-agama besar (agama samawi) maka bangsa ini tetap akan jadi bangsa penyembah animisme, dinamisme, dan lain sebagainya. Hal itu menurut pandangan penulis kurang begitu tetap, karena adanya kelompok yang mengklaim seperti itu, besarkemungkinan mereka cara berpikirnya yang masih parsial, atau bahkan disebabkan oleh ketidak-tahuan mereka tentang efistema serta keyakinan masyarakat kita (khususnya masyarakat Jawa zaman dulu), yakni ketika di zaman ribuan tahun yang lalu. Tapi kalau kita coba telisik lebih serius, ternyata bangsa kita ini adalah bangsa yang mempunyai peradaban yang sangat besar dimana dibelahan dunia lain mungkin masih primitif, namun bangsa di tanah nusantara ini ternyata sudah berbudaya tinggi dan mempunyai peradapan yang sangat luar biasa.

V. Mengenal Huruf Honocoroko Jawa Beserta Filosofi Dibaliknya

Honocoroko, yang juga dikenal dengan hanacaraka atau carakan merupakan huruf Jawa kuno yang termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi. Honocoroko mengacu pada lima aksara pratama, yaitu ho-no-co-ro-ko. Ketika zaman dulu, honocoroko sering digunakan dalam penulisan kitab, naskah kuno, tembang-tembang Jawa, penulisan di dalam batu prasasti, atau sekadar untuk surat menyurat. Huruf ini sudah diwariskan turun temurun dan masih dilestarikan sampai saat ini. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul “Makna Simbolik Legenda Aji Saka”. Buku tersebut karya dari Slamet Riyadi. Menurut Slamet Riyadi, aksara honocoroko berkaitan erat dengan Aji Saka. Sosoknya dipercaya berhubungan dengan awal mula munculnya aksara Jawa atau honocoroko. Sementara menurut Akik Hidayat dan Rahmi Nur Shofa dalam jurnal “Self Organizing Maps (SOM) Suatu Metode untuk Pengenalan Aksara Jawa” menjelaskan, pada bentuknya yang asli, huruf honocoroko sejatinya ditulis menggunting (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun dalam perkembangannya, pengajaran modern saat ini menuliskannya di atas garis. Honocoroko terdiri dari 20 aksara, yaitu :
Ha Na Ca Ra Ka. Da Ta Sa Wa La. Pa Dha Ja Ya Nya. Ma Ga Ba Tha Nga. Aksara Jawa tersebut terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Berikut di antaranya: (1). Aksara ngalegena, merupakan aksara dasar yang masih murni, belum ditambah dengan pasangan dan jenis aksara lainnya. (2). Pasangan, merupakan aksara yang berfungsi menutup bunyi vokal di depannya. Setiap aksara memiliki pasangannya masing-masing. (3). Aksara murda, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis awal kalimat. Aksara ini juga bisa digunakan untuk menulis gelar, lembaga, dan kota. Aksara murda terdiri dari delapan huruf. (4). Aksara swara, yaitu huruf vokal yang terdiri dari a, e, i, o, dan u. (5). Aksara wilangan, merupakan aksara yang berfungsi untuk menuliskan angka. (6). Sandhangan, yaitu aksara pelengkap yang dipakai sebagai pengatur vokal.

Selain jenis aksara Jawa di atas, honocoroko juga memiliki beberapa huruf khusus, tanda baca, serta pengatur tata penulisan. Semua huruf itu perlu dipahami dengan baik untuk menghasilkan tulisan aksara Jawa yang benar. Sementara menurut Mohammad Ayudha, bahwa honocoroko mengacu pada lima aksara pertama dalam bahasa Jawa, yakni ho-no-co-ro-ko. Kelima aksara tersebut memiliki filosofi yang dipegang teguh oleh mayoritas masyarakat Jawa. Sementara Alberthiene Enda, sebagaimana ia menjelaskan di dalam bukunya berjudul “Memoar Romantika Probosutedjo”. Bahwa “Ho” dalam honocoroko berarti hidup, dan “No” berarti nglegeno atau polos. Jadi, ho-no bermakna ada kehidupan yang masih suci dan masih polos. Dan itu adalah hakikat manusia saat lahir. Sedangkan, “Co” mengandung arti cipto atau pemikiran, “Ro” bermakna roso atau perasaan, dan “Ko” bermakna karso atau kehendak dan nafsu-nafsu manusia. Hal itu mengandung arti bahwa pada hakikatnya, kehidupan manusia itu berporos pada tiga hal tersebut. Jika bisa mengendalikannya, maka kehidupan kita akan berjalan lancar. Sebaliknya, manakala kita tidak bisa mengendalikan hawa nafsu kita, maka kehidupan kita akan menjadi kacau, jika ketiga hal itu tidak bisa dikendalikan dengan baik.

VI. Legenda Hanacaraka Dan Efistema Yang Bijak Dalam Tataran Simboliknya

Menurut perjalanan sejarahnya, aksara Jawa dan beberapa aksara nusantara lainnya sebenarnya merupakan turunan dari aksara Pallawa yang digunakan sekitar abad ke-4 Masehi. Lalu seiring perkembangan zaman, maka aksara Hanacaraka mengalami beragam perubahan bentuk dan komposisi hingga seperti yang kita kenal sampai saat ini.
Aksara Jawa yang sering disebut dengan “Hanacaraka” merupakan aksara jenis abugida turunan dari aksara Brahmi. Bahkan, dari segi bentuknya, aksara “Hanacaraka” punya kemiripan dengan aksara Sunda dan Bali. Untuk aksara Jawa sendiri merupakan varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa. Ketika di zaman masa jayanya kerajaan-kerajaan Islam, tepatnya dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang, maka teks dari masa tersebut diwakili dengan serat “Suluk Wijil” dan serat “Ajisaka”. Pada masa itu diperkenalkan urutan pangram Hanacaraka, yaitu untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Urutan tersebut terdiri dari 4 baris dengan tiap baris terdiri dari 5 aksara yang menyerupai puisi. Namun, ada pula cerita asal-usul aksara Hanacaraka menurut cerita legenda yang kita kenal dengan kisah atau legenda Ajisaka.

A. Legenda Aji Saka

Konon, menurut legenda, aksara Hanacaraka terlahir dari cerita pemuda sakti bernama Ajisaka yang pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan. Kerajaan tersebut memiliki seorang raja bernama Dewata Cengkar yang amat rakus dan senang memakan daging manusia. Rakyatnya banyak yang ketakutan dengan kebiasaan rajanya tersebut. Demi menghentikan kebiasaan sang raja, Ajisaka pun bertolak kesana. Ajisaka memiliki dua orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Suatu ketika, Ajisaka pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan dan mengajak Dora untuk menemaninya. Sementara itu, Sembada diperintah untuk tetap tinggal di Pulau Majethi karena harus menjaga keris pusaka milik Ajisaka agar tidak jatuh ke tangan orang lain selain dirinya.

Sesampainya di Kerajaan Medhangkamulan, Ajisaka segera menghadap Prabu Dewata Cengkar untuk meminta sebidang tanah seukuran kain surban kepalanya. Permintaannya itu adalah sebagai syarat bahwa Ajisaka bersedia menjadi santapan sang Raja asalkan ia mendapatkan tanah yang ia mau. Akhirnya, Prabu Dewata Cengkat mengamini permohonan Ajisaka. Ia mengukur tanah menggunakan kain surban Ajisaka, namun tak disangka kain surban tersebut semakin lama semakin meluas hingga membuat Prabu Dewata Cengkar mundur dan terus mundur sampai mendekati jurang pantai selatan. Sayang sekali Prabu Dewata Cengkar tidak dapat menyelamatkan diri dan mati terjatuh dari jurang. Sejak saat itu Ajisaka diangkat menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan. Lalu, Ajisaka teringat dengan pusakanya yang ditinggal di Pulau Majethi. Ia pun mengutus Dora untuk mengambilnya dari Sembada. Sesampainya di Pulau Majethi, Dora segera meminta pusaka Ajisaka yang dijaga oleh Sembada, namun rekannya itu tidak mau memberikan pusaka tersebut karena teringat dengan perintah Ajisaka. Sementara itu, Dora juga bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah perintah dari Ajisaka. Merekapun berdebat dan bergelut. Sayang sekali, keduanya akhirnya tewas.

Mendengar kedua abdinya tewas, Ajisaka pun menyesali apa yang telah dilakukannya. Lantas untuk mengenang, ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna :
Ha Na Ca Ra Ka
Ada sebuah kisah
Da Ta Sa Wa La
Terjadi sebuah pertarungan
Pa Dha Ja Ya Nya
Mereka sama-sama sakti
Ma Ga Ba Tha Nga
Dan akhirnya semuanya mati

B. Makna Filosofis Aksara Hanacaraka

Dari kisah-kisah tersebut, kita bisa menarik simpulan bahwa aksara Hanacaraka memiliki makna filosofi yang bijaksana. Makna filosofis tersebut bisa dipaparkan seperti di bawah ini:
Ha-Na-Ca-Ra-Ka artinya adalah ”utusan” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Hal ini menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Da-Ta-Sa-Wa-La, berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan “data” atau saatnya dipanggil tidak boleh “sawala” atau mengelak. Dalam hidup ini manusia harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan (takdir dari Tuhan). Sedangkan Pa-Dha-Ja-Ya-Nya, menunjukkan menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya, setiap batin manusia pasti sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Sedangkan Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan . Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *