
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Secara sederhana bisa dipahami bahwa ekses positif dari banyaknya mengkaji dan mempelajari disiplin ilmu filsafat akan terjadi pada proses perubahan, baik dari segi logika berpikir maupun dalam konteks untuk merumuskan berbagai hal yang bersifat “abstraksi konseptual idealis”. Sementara perubahan yang harus kita gulirkan saat ini, yaitu bersifat respon positif, filosofis dan epistemologis atas dinamika yang terjadi dan yang kita dihadapi saat ini (soal globalisasi). Bahkan, proses perubahannnya bukan hanya secara atributif semata, tetapi harus diiringi dengan rumusan dan penetapan paradigma gerakan (idealisme) yang lebih relevan dan signifikan. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini kita seluruh elemen anak bangsa, harus “berkarya bersama”, yakni untuk mencerahkan semesta dan mengintelektualisasi anak bangsa. Oleh karena itu, melalui tulisan kali ini, penulis yang nota bene pernah mencicipi pergumulan dan pergulatan dalam konteks dunia filsafat, kerapkali terus tergelitik untuk mengajak anak bangsa ini untuk terus berpikir lebih maju dan progresif.
Sementara berkarya dan mencerdaskan semesta serta mengintelektualisasi anak bangsa, memang memiliki basis filosofis dari paradigma gerakan kaum tercerahkan yang hingga saat ini harus menjadi etos perjuangannya. Bahkan jika ditelusuri lebih dalam, memang memiliki akar historis, ideologis dan teologis dari kaum “Rausanfiker” serta punya akar dialektika di abad pencerahan umat Islam (pada abad ke 7 M). Lebih dari itu, berkarya mencerdaskan semesta dan mengintelektualisasi anak bangsa bukan hanya sekedar jargon semata, tapi harus memenuhi ruang konsepsi dan diskursus atas “dahaga intelektual”. Bahkan, berkarya dan mencerdaskan semesta mengandung etos, jawaban filosofis dan langkah solutif untuk menghadapi arus perkembangan globalisasi yang terjadi saat ini.
A. Falsafah Pergerakan Kaum Tercerahkan
Kaum tercerahkan sebagai episentrum kaum terpelajar yang berkarakter bukan hanya sebagai wadah berkumpul tanpa orientasi, tapi beretoskan paradigma yang bersifat parameteristik. Dalam perjalanan sejarahnya ada beberapa paradigma yang telah menjadi etos perjuangan kaum tercerahkan dan sekaligus sebagai upaya menafsir zamannya. Namun tindak-lanjutnya harus ada paradigma “Gerakan Kritis Transformatif” dengan mengedepankan jargonnya 3 P “Penyadaran, Pembelaan dan Pemberdayaan”. Dan kini kaum tercerahkan seyogyanya harus memiiki paradigma “gerakan kaum berkemajuan”, yang nota bene harus mengedepankan pencerdasan, pemberdayaan dan pembebasan. Secara paradigmatik, penulis menemukan bahwa “berkarya dan mencerdaskan semesta dan anak bangsa” harus diperas menjadi “gerakan kaum berkemajuan”. Selain itu, berkarya dan mencerdaskan semesta bisa pula ditemukan secara historis dari kosmopolitanisme Islam yang dipahami dan dipraktekkan oleh para filsuf Muslim di abad pertengahan Islam (abad ke 7 M).
Sementara secara teologis upaya mencerdaskan semesta dan mengintelektualisasi anak bangsa, jelas dan memang mengakar kuat dalam teologi surat Al-alaq dan teori Al-Ma’un (kolaboratif dan welas asih ) dan teologi pada surat Al-Ashr, yang menjadi etos dan spirit institusionalisasi atau pelembagaan maupun spirit melintasi abad milenial yang terjadi saat ini. Falsafah pergerakan kaum tercerahkan yang dikerucutkan dalam pemikiran filsafat sejarah dan diterjemahkan dalam tiga unsur sejarah, yaitu : ruang, waktu dan epistem sosial (realitas sejarah), hal itu yang mengisyaratkan bahwa segala pemikiran dan dinamika pergerakan para kaum tercerahkan memang memperhatikan tiga unsur tersebut. Bahkan, kondisi dan tantangan kehidupan hari ini memang sedang berada di tengah pusaran globalisasi dalam praksis dan teoritisnya. Sementara etos yang bisa ditemukan dalam berkaya dan mencerdaskan anak bangsa merupakan jawaban yang paling tepat saat ini. Karena, globalisasi dengan segala determinan dan paradoksnya, merupakan keniscayaan yang menjadi spektrum kehidupan hari ini. Globalisasi saat ini, selain menawarkan berbagai peluang, juga memiliki tantangan/rintangan yang harus kita disikapi secara arif dan bijaksana.
Bahkan, globalisasi yang terjadi saat ini, telah menimbulkan banyak perubahan dan pergeseran yang kerapkali mempengaruhi “doing” (apa yang kita lakukan), “meaning” (bagaimana kita memaknai sesuatu), “relating: (cara berinteraksi), “thinking” (cara berpikir) dan “being” (bagaimana kita menjadi). Oleh karena itu, di tengah arus globalisasi yang terjadi saat ini, selain tantangan “21 th Century Skill, Windows of Opportunity, Climate Change”, gejala ekonomi global yang masif dan revolusi industri 4.0 yang telah kita rasakan bersama saat ini. Bahkan, ada tantangan lain yang harus mendapat porsi perhatian yang ekstra lebih, wabil khusus bagi kaum tercerahkan, karena ada tantangan yang lebih dahsyat lagi, yaitu munculnya sikap dan sifat invidualistik, narsistik, nafsu konsumerisme, hedonistik, “post truth”, darurat “hoax” dan hilangnya batas-batas kehidupan.
Dari tantangan-tantangan tersebut,maka apa yang harus diantisipasi oleh kita (terutama oleh kaum tercerahkan). Dan kaum tercerahkan tentunya harus punya spirit yang tepat. Sementara bagi kaum tercerahkan yang nota bene saat ini masih bergumul dan bergulat dalam dinamika “kejumudan” dan “ketidakjelasan” misalnya, ia harus segera “Get Up” dan menginisiasi diri untuk segera maju dan bangkit. Karena logika zaman sekarang memang harus menjadi “aktus” bahkan sangat diharapkan menjadi “habitus”, yaitu senafas dengan kaum tercerahkan ketika terjadi di abad pertengahan Islam, dimana saat itu telah muncul para filsuf muslim maupun para ahli saintifik dari dunia Islam.
II. Berkarya Bersama
“Berkarya Bersama” merupakan spirit yang memiliki basis teologis dan filosofis bahkan preseden historisnya bisa ditelusuri dari pemikiran dan perjalanan para filsuf Muslim di abad pertengahan. Sedangkan berkarya bersama dalam dimensi praksis pun merupakan perasan daripada teologi Al-Ma’un yang menjadi salah satu etos perjuangan dan pelembagaan amal sholeh kaum Muslim. Lebih jauh dari itu “Berkarya Bersama” merupaka percikan nilai-nilai dari etos welas asih yang merupakan “derivasi” teologi Al-Ma’un dan sekaligus sebagai antitesa dari teori “Darwinisme” yang mengisyaratkan orientasi individualistik, kompetitif yang kaku dan anti kolaborasi.
“Berkarya Bersama” telah mengiringi perjalanan kaum tercerahkan sejak abad pertengah Islam (abad ke 7 M). Bahkan, berkarya bersama dalam pemahaman yang lebih luas dan memang sangst relevan dengan kosmopolitanisme Islam. Oleh karena itu, kaum tercerahkan sebagai tonggak kemajuan umat Islam sejak abad pertengahan Islam, memang telah mempraktekkan, dan bahkan melampaui batas-batas primordialisme: agama, adat istiadat, suku dan bangsa. Kaum tercerahkan dengan pemahamannya terhadap teologi Al-Ma’un, mereka memaknainya bahwa ukuran kesalehan individual barometernya adalah kesalehan sosial. Yaitu, sejauhmana kaum tercerahkan itu bisa memiliki karya yang bisa dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Pemikiran, etos dan paradigma kaum tercerahkan tidak boleh berhenti hanya sebatas jargon semata tetapi harus “di-inkarnasikan” atau diteteskan serta dititiskan kembali dalam bentuk gerakan, hal itu tentunya membutuhkan kerjasama yang intensif, sementara hasilnya harus terimplementasikan dalam bentuk karya nyata. Itulah salah satu makna daripada “Berkarya Bersama”. Karena, berkarya bersama secara tidak langsung memiliki garis relasi dengan jargon yang lebih realistis. Sedangkan berkarya bersama, implementasinya akan semakin massif jika kaum tercerahkan telah mengalami sebuah proses pencerdasan, penguatan pemikiran, dan pemahaman akan pemberdayaan dan pembebasan itu sendiri. Jadi, hal itu ibarat satu mata rantai yang tidak bisa terpisahkan.
A. Mencerahkan Alam Semesta Dan Snak Bangsa
Begitupun frasa “Mencerahkan Semesta” diharapkan tidak hanya sekedar jargon semata tetapi memiliki relevansi dan signifikansi untuk membentengi, menjadi modal dan sekaligus sebagai langkah solutif terutama bagi kaum tercerahkan dalam konteks kehidupannya. Disimpulkan demikian, karena globalisasi dengan segala determinannya dan berbagai hal paradoksnya, yang nota bene banyak menimbulkan, menyeret dan bahkan menjadikan (oknum) para pelajar kita akhirnya terjerumus pada hal-hal yang bersifat hedonistik, yakni akibat globalisasi yang disah-fahami oleh para (oknum) pelajar kita saat ini.
Bahkan, perkembangan teknologi digital sebagai determinan globalisasi telah menimbulkan hal paradoksal. Pada satu sisi memberikan dampak positif dan sisi lain memberikan dampak negatif. “Post truth”, darurat hoax, individualistik, narsistik telah menjadi fenomena nyata yang sedang menyelimuti (oknum) pelajar kita dan bahkan sampai menyentuh sisi krusial pelajar yaitu spirit literasi ikut terseret dan tergantikan oleh kecenderungan “resistensi”, “chaos”, “making fun”, anti otoritatif, anti “grand narration” yang semakin mendominasi (oknum) pelajar kita saat ini. Ruang dan waktu yang kini ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik sebagai sebuah dampak dari dominasi teknologi digital dalam dinamika kehidupan, semua orang tanpa kecuali pelajar mengalami transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Hal itu yang turut menyebabkan matinya kepakaran dan tentunya memiliki efek negatif bagi pelajar. Bahkan dalam hal memenuhi tugas akademik pelajar, ini sangat terasa dengan lahirnya kecendrungan langsung meng-searching melalui google tanpa mau bersusah payah untuk mencari rujukan yang jelas dari buku-buku yang ditulis oleh para pakar. Sebagaimana dalam temuan Jean Baudrillard yang saya pahami. Bahkan, melalui bukunya berjudul “Dunia Yang Dilipat”. Buku tersebut merupakan karya dari Yasraf Amir Piliang. Di buku tersebut dijelaskan, bahwa manusia dan termasuk para pelajar saat ini telah mengalami pergeseran jauh dalam hal tahapan nilai perkembangan masyarakat. Bahkan, manusia saat ini (tanpa kecuali pelajar), telah berada pada tahapan nilai yang bukan lagi berdasarkan nilai guna tetapi berdasarkan orientasi “fraktal” (sesuatu yang bisa viral). Karena, berbagai hal direspon bahkan ikut dibagikan bukan lagi berdasarkan pada sesuatu yang bersifat substansial dan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi berdasarkan apa yang sedang viral saat ini.
Dari beberapa gambaran di atas sebagai determinan globalisasi dan hal paradoks dari teknologi digital saat ini, maka penting menghadirkan pencerahan dan intelektualisasi. Begitupun kaum tercerahkan yang subjek dan objeknya memang para pelajar, tentunya harus hadir memcerahkan semesta dan mengintelektualisasi anak bangsa. Sedangkan mencerahkan semesta dan mengintelektualisasi anak bangsa, memiliki relevansi dengan paradigma kaum tercerahkan dan “Gerakan Pelajar Berkemajuan”, dan hal itu harus menjadi pemantiknya atau menjadi episentrumnya. Selain itu, dalam garis perjuangan kaum tercerahkan, memiliki etos keilmuan dan akar teologisnya bisa ditemukan bagaimana para filsuf Muslim di zaman pertengahan dulu (abad ke 7 M), mereka bersemangat untuk menerjemahkan secara progresif dan mengimplementasikan substansi ayat-ayat Al-qur’an, yang intinya mereka menegaskan soal “pencerdasan” yang bisa dimaknai sebagai bentuk pencerahan umat. Hal itu saat ini bisa terwujud juga, manakala kita semua (umat Islam) bisa melewati sebuah proses pencerahan kembali. Sementara sebuah pembebasan idealnya bukan hanya berorientasi internal semata (diri, golongan dan lembaga sendiri) tetapi berorientasi eksternal, alias orang lain pun (umat lain pun) harus merasakan pembebasan jika diri kita (umat Islam) ingin merasakan pembebasan yang sesungguhnya. Sehingga di sinilah salah satu relevansi tentang betapa pentingnya “mencerahkan semesta dan mengintekektualisasi anak bangsa”.
Oleh karena itu, keberadaan kaum tercerahkan yang nota bene telah dikenal baik sebagai gerakan ilmu, egaliterian/sangat terbuka, senantiasa mendialogkan, mengintegrasi-interkoneksikan berbagai disiplin keilmuan dalam konteks untuk merumuskan paradigma gerakannya. Kaum tercerahkan sebagai gerakan ilmu, menurut pandangan penulis, memang betul-betul sudah eksis atau sudah “meng-ada”, yaitu sejak umat Islam menjadi superior di dunia, yakni sejak abad ke 7 M, dan penulis rasakan, yaitu sejak pertama kali penulis memasuki pintu kaum filosofis-diskursif, yaitu ketika adanya “tagline” yaitu : “Me-Madinah-kan hati, Men-Jerman-kan Otak, dan Men-Jepang-kan Tangan”. Artinya, keimanan kita (umat Islam) harus tetap kuat, tapi rasionalis dan otak kita harus seperti orang-orang Jerman dan orang-orang Jepang. Itu sepercik pemahaman terkait mencerdaskan anak bangsa. Oleh karena itu, kaum tercerahkan harus menjadi episentrum yang berkemajuan, yaitu memnjadi pelajar dan pembelajar yang mampu mengintegrasikan antara iman dan ilmu, antara pikir dan dzikir, antara esoteris dan eksoteris, dan kemudian harus meng-implementasikan dalam bentuk karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa dan negara kita tercinta ini.