Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Pengurus ICMI Banten
“Tidak akan datang hari kiamat hingga manusia saling bermegah-megahan dalam membangun masjid.”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
Rumah yang Tak Lagi Ramah
Semesta tersentak oleh kabar wafatnya Arjuna Tamaraya (21) di halaman Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara, Jumat (31/10/2025). Mahasiswa itu hanya ingin beristirahat sejenak di rumah Allah—tempat yang mestinya teduh bagi tubuh yang lelah dan tenang bagi hati yang penat. Namun, di tempat yang seharusnya memeluk, ia justru dihakimi oleh prasangka. Arjuna berpulang di ruang suci yang seharusnya menjaga kehidupan. Peristiwa itu bukan sekadar duka personal, melainkan panggilan moral bagi umat Islam seluruhnya. Di tengah gairah membangun masjid yang megah, barangkali kita lupa membangun jiwanya—jiwa yang menampung manusia apa adanya, bukan hanya mereka yang dianggap pantas.
Masjid sejatinya bukan monumen keagungan, melainkan rumah yang hidup dari kasih dan empati. Di masa Rasulullah, masjid menjadi pusat kehidupan umat: tempat belajar, berdialog, menolong yang lapar, dan meneduhkan yang gundah. Rasulullah memelihara Ahlus Shuffah—para pengembara miskin dan pencari ilmu—di serambi masjid dengan tangan terbuka. Tidak ada yang ditolak, tidak ada yang dihakimi. Masjid menjadi tempat di mana iman dan kemanusiaan bertemu dalam pelukan rahmah. Maka ketika kini seorang anak manusia merasa terasing di rumah Tuhan, itu pertanda ruh masjid mulai memudar.
Masjid Ramah Ibn Sabil
Al-Qur’an menyebut ibn sabil—musafir, tuna wisma, mahasiswa perantau, pencari suaka, salik sufi, hingga pendosa yang ingin bertaubat—sebagai mereka yang berhak atas kasih. Mereka datang bukan untuk menuntut, melainkan untuk kembali. Masjid seharusnya menjadi tempat pulang bagi semua, bukan hanya bagi yang berpenampilan suci. Jika rumah Allah menolak yang ingin pulang, maka yang hilang bukan sekadar pengunjung, melainkan kehadiran Ilahi di tengah manusia. Arjuna adalah cermin bagi mereka yang datang dengan niat baik, tapi tersesat oleh dinginnya hati di pelataran suci.
Rasa aman adalah napas utama dari rumah Allah. Aman bukan berarti bebas dari tata tertib, tetapi suasana yang menenangkan jiwa, bukan menekan. Nabi bersabda, “Seorang Muslim sejati ialah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” Bila seorang mahasiswa yang hendak beristirahat tidak selamat di masjid, maka pesan kasih itu telah dilupakan. Rasa aman adalah hak spiritual, dan tanpanya ibadah kehilangan makna. Masjid yang menakutkan bukan lagi rumah Tuhan, melainkan bangunan tanpa jiwa.
Empati adalah ruh yang menyalakan kehidupan masjid. Setiap yang datang membawa kisah: ada yang menanggung dosa, ada yang membawa lelah, ada yang sekadar ingin merasa disapa. Tugas masjid bukan menghakimi, melainkan memahami. Sering kali rahmat Allah turun bukan dari khutbah yang panjang, melainkan dari senyum seorang marbot atau segelas air yang diberikan dengan tulus. Masjid yang penuh empati akan selalu ramai meski tanpa acara besar, karena manusia datang bukan untuk pamer ibadah, melainkan mencari pelukan kasih.
Reinventing Ruh Rumah Allah
Cinta adalah puncak dari seluruh napas rumah Allah. Dalam cinta, masjid menjadi ruang kesetaraan sejati: semua sujud dalam derajat yang sama di hadapan Tuhan. Cinta menghapus sekat status sosial, pakaian, dan penampilan. Ia menjadikan masjid bukan hanya ruang ibadah, tetapi taman kemanusiaan. Dalam cinta, dakwah tidak lagi menjadi seruan yang keras, melainkan panggilan lembut yang menghidupkan. Ketika cinta hidup di masjid, maka ia kembali berjiwa, dan ruhnya kembali bernyala.
Namun kini, di banyak tempat, semangat membangun masjid bergeser menjadi simbol kebanggaan sosial. Kubah makin besar, marmer makin mengilap, pengeras suara makin nyaring, tetapi hati jamaah makin sunyi. Orang bermegah dalam arsitektur, namun miskin dalam pelayanan jiwa. Nabi telah memperingatkan, salah satu tanda kiamat adalah ketika manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid. Tanda itu bukan sekadar nubuat, tetapi cermin dari zaman yang kehilangan keseimbangan antara bentuk dan ruh.
Meneguhkan kembali rumah Allah berarti menyalakan kembali cinta dan empati di tengah zaman yang dingin. Masjid harus kembali menjadi tempat bernaung bagi ibn sabil, pelindung bagi yang lelah, dan pelabuhan bagi yang ingin bertaubat. Dari masjid, semestinya lahir gelombang kebaikan yang menyejukkan masyarakat. Ia harus menjadi oase bagi jiwa yang haus makna, bukan sekadar arena ritual yang kering. Di situlah rumah Allah menemukan kembali misinya sebagai rumah kemanusiaan.
Penutup
Tragedi Arjuna Tamaraya seharusnya menggugah kesadaran kita untuk bertanya: masihkah rumah Allah berjiwa? Masihkah ia menjadi tempat aman bagi yang ingin pulang? Kita boleh membangun seribu kubah, tetapi jika satu jiwa takut beristirahat di dalamnya, berarti ada yang hilang dalam iman kita. Masjid yang kehilangan ruh adalah masjid yang kehilangan kasih. Dan bila rumah Allah kehilangan kasih, maka dunia kehilangan cahaya yang menuntunnya pulang kepada Tuhan.***




