Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Kebenaran ilahiah adalah
kebenaran yang bersumber dari wahyu ilahi, ia bersifat mutlak dan abadi, serta didasarkan pada keyakinan dan keimanan. Sebaliknya, kebenaran ilmiah, ia adalah kebenaran yang diperoleh melalui metode ilmiah yang rasional, logis, dan empiris, sehingga bersifat relatifistik, dapat berubah, yakni seiring perkembangan ilmu pengetahuan, serta bisa diterapkan dan diuji secara universal.

Sedangkan aspek kebenaran ilahiah dan kebenaran ilmiah diantaranya ; bahwa kebenaran Ilahian, ia bersumber dari wahyu dari Tuhan dan kitab suci. Sementara kebenaran ilmiah, ia bersumber dari proses pengamatan, eksperimen, logika, dan penalaran rasiona. Sedangkan kebenaran Ilahiah, ia bersifat mutlak dan abadi. Sedangkan kebenaran ilmiah bersifat relatifistik dan sementara. Sedangkan dasar kebenaran Ilahiyah, yaitu berdasarkan iman (keimanan), keyakinan, dan wahyu. Sementara dasar kebenarah ilmiah, yaitu berupa bukti empiris dan rasionalitas. Sedangkan proses kebenaran Ilahiyah, yaitu dimulai dengan sikap percaya. Sementara proses kebenaran ilmiah dimulai dengan sikap sangsi atau keraguan. Sedankan tujuan kebenaran Ilahiah, yaitu untuk memberikan panduan moral dan etika spiritual. Sedangkan tujuan kebenaran ilmiah, yaitu untuk memberikan pemahaman yang dapat diuji dan diverifikasi tentang alam semesta.

II. Metode Ilmiah Dalam Mencari Kebenaran

Kalau kita mencoba menela’ah di masa kejayaan Ialam (abad pertengahan Islam), bagaimana ulama Islam memandang akal dan ilmu sebagai jalan ilmiah menuju kebenaran. Pada saat itu ulama dan para intelektual Muslim menyimpulkan, jika mengetahui sesuatu sebagaimana adanya disebut ilmu, maka tentu saja jalan yang ditempuh untuk mencapai pengetahuan itu pun harus bersifat ilmiah. Artinya, setiap langkah menuju kebenaran mesti tersusun dari kesadaran dan pemahaman yang benar, yaitu suatu pemikiran yang mampu menyingkap tirai dari hakikat yang dicari. Karena, ilmu tidak lahir dari dugaan. Ilmu hanya lahir dari ilmu pula. Tak mungkin dua sangkaan melahirkan satu kepastian. Jika itu bisa terjadi, maka hasil dari dua hal yang tidak pasti itu bisa menjadi sesuatu yang pasti, dan itu jelas mustahil. Karena itu, siapa pun yang sungguh-sungguh ingin menemukan kebenaran yang bersifat “nisbiyah”, maka ia harus menempuh jalan ilmiah yang bersih dari prasangka, khayalan, dan bisikan intuisi tanpa dasar. Ia harus berpegang teguh pada jalur itu (kebenaran yang bersifat ilmiah), tidak condong ke kanan atau ke kiri. Dan itu adalah kenyataan sederhana yang tak seharusnya menimbulkan perdebatan. Namun tetap ada pertanyaan menarik, yakni sejauh mana kesadaran itu hidup dalam dua tradisi besar (pemikiran Islam dan pemikiran Barat hingga saat ini)?

Sebagian orang mungkin tergesa-gesa menjawab dengan menunjuk istilah “penelitian objektif”, yang sering dikaitkan dengan tradisi orientalis. Tapi jika kita menilai hanya dari istilah atau reputasi yang populer itu, justru akan menyesatkan. Karena, jalan seperti itu bukanlah jalan ilmiah; ia lebih mirip jalan keramaian yang gaduh, yang tampak menuju kebenaran padahal justru menjauh darinya. Maka, jalan yang lebih adil adalah, kita harus menelusuri bagaimana kedua dunia berpikir itu, ulama Islam dan ilmuwan Barat benar-benar menempuh metode mereka dalam mencapai kebenaran, baik yang bersifat normatif maupun historis. Dan kita (umat Islam) tentunya harus mulai dari yang pertama, yaitu metode yang ditempuh dalam tradisi Islam diantaranya :

A. Agama Sebagai Pendorong Ilmiah.

Sebelum membahas lebih jauh, ada satu hal yang sangat penting untuk ditegaskan, yaitu faktor utama yang menjadikan pemikiran Islam tunduk pada disiplin ilmiah yang ketat adalah agama itu sendiri. Karena, tanpa dasar keyakinan, barangkali umat Islam tidak akan rela menempuh jalan penelitian yang panjang, melelahkan, dan tidak selalu menghasilkan keuntungan duniawi. Namun karena dorongan iman, mereka menjalaninya dengan kesungguhan. Mereka memandangnya bukan sekadar kegiatan intelektual semata, melainkan tanggung jawab spiritual bahkan bernilai ibadah. Dorongan itu bersumber dari firman Allah: “Dan juga dari ayat lain yang menegur mereka yang menempuh jalan”.

Ayat-ayat tersebut menunjukkan betapa Islam menolak keras keyakinan yang tidak berdasar ilmu. Bahkan, untuk mempercayai agama itu sendiri, maka manusia dituntut untuk berpikir, menimbang, dan memastikan dengan bukti yang sahih. Karena itulah, para ulama tauhid menetapkan bahwa syarat sahnya iman adalah keyakinan yang dibangun diatas fondasi ilmu yang pasti, bukan ikut-ikutan atau tradisi tanpa pemahaman. Lebih dari itu, dalam pandangan Islam, “kebenaran ilmiah adalah puncak kesucian intelektual”. Karena, pikiran manusia harus berputar di sekitarnya, sebagaimana para jamaah bertawaf mengelilingi Ka’bah kebenaran. Betapa indah, bahwa agama justru menegakkan dirinya di atas ilmu, bukan di luar ilmu. Ia tidak menolak bukti, melainkan menjadikannya dasar keberadaannya. Islam memberi nilai ibadah pada proses mencari kebenaran. Bila orang non-Muslim meneliti karena dorongan ingin tahu semata, maka seorang Muslim, ia harus meneliti (riset) karena keyakinan bahwa itu adalah kewajiban. Ia merasa berdosa bila meninggalkannya, dan berpahala bila menunaikannya. Dengan demikian, pemikiran Islam menemukan dirinya memiliki tugas yang bersifat religius, yakni, mencari kebenaran, baik dalam bidang teks maupun fakta. Dan tugas itu menuntut adanya metode yang jelas dan rasional. Namun, tentu kita tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan bahwa metode ilmiah Islam sepenuhnya sempurna. Tugas kita adalah untuk terus menelusuri bagaimana metode itu bekerja baru kemudian menilai kekuatannya.

B. Metode Penelitian Menurut Ulama Islam

Para ulama Muslim (terutama ketika di zaman keemasan Islam) merumuskan satu prinsip besar yang menjadi dasar seluruh penelitian mereka. Prinsip itu sederhana, tapi sangat mendalam. Kaidah yang diterapkan oleh para ulama zaman klasik (zaman kejayaan Islam), itu membagi seluruh wilayah penelitian menjadi dua, diantaranya : (1). Berita yang diriwayatkan (Naql). (2). Klaim atau pendapat yang diajukan (‘Aql). Jika yang diteliti itu adalah berita, maka tugas utama sang peneliti adalah memastikan hubungan antara berita dan sumbernya. Apakah benar ia datang dari orang atau tempat yang disebutkan? Apakah tidak ada keraguan di antara keduanya? Jika hubungan itu sahih dan maknanya pasti, maka berita tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran ilmiah.

Namun jika yang diteliti adalah klaim atau pernyataan, maka yang diuji adalah bukti-bukti yang mendukungnya. Klaim tanpa dalil hanyalah opini, sementara dalil tanpa ketepatan hanyalah bayangan kebenaran. Bahkan, setiap jenis klaim menuntut jenis bukti yang sesuai. Misalnya, klaim tentang hal-hal fisik dan empiris, hal itu hanya dapat dibuktikan dengan eksperimen dan pengamatan langsung. Sementara klaim tentang hal-hal abstrak seperti logika, jiwa, dan angka, hal itu bisa dibuktikan dengan dalil rasional dan hukum-hukum akal. Sedangkan klaim tentang hak, hukum, dan urusan sosial, hal itu harus dibuktikan dengan kesaksian, dokumen, dan argumentasi yang sah. Dari sini muncul pertanyaan: bagaimana para ulama Islam zaman klasik dulu mereka mengembangkan cara ilmiah untuk memastikan kebenaran suatu berita? Bagaimana pula mereka menilai validitas klaim dan menegakkan bukti-bukti yang dapat dipercaya? Itulah yang disebut sebagai “jalan ilmiah dalam verifikasi berita” (as-sabil al-muttakhadzah li tahqiq al-khabar), yaitu metode yang kelak menjadi warisan agung peradaban Islam, yakni mulai dari disiplin ilmu “hadis”, ilmu filsafat, ilmu hukum, hingga ilmu sejarah.

III. Mencari Kebenaran Melalui Jalur Keilmuan

Mencari kebenaran melalui jalur keilmuan adalah suatu proses yang didasarkan pada metode ilmiah yang melibatkan observasi, perumusan hipotesis, eksperimen, analisis data, dan penarikan kesimpulan yang sistematis dan logis. Pendekatan tersebut mengutamakan objektivitas, analisis kritis, dan sifat ilmu pengetahuan yang terbuka untuk dikoreksi, dimana kebenaran ilmiah adalah pengetahuan yang jelas dan pasti menurut norma-norma keilmuan.

A. Langkah-Langkah Mencari Kebenaran Melalui Metode Ilmiah

(1). Observasi. Yaitu, mengamati fenomena atau masalah yang ada. (2). Identifikasi Masalah. Yaitu, merumuskan pertanyaan yang jelas berdasarkan pengamatan awal. (3). Merumuskan Hipotesis. Yaitu, membuat dugaan sementara atau penjelasan yang mungkin untuk masalah tersebut. (4). Eksperimen (Percobaan), yaitu merancang dan melakukan percobaan untuk menguji hipotesis. (5). Pengumpulan dan Analisis Data. Yautu, mengumpulkan data dari percobaan dan menganalisisnya secara logis. (6). Penarikan Kesimpulan. Yautu, menarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis data, apakah hipotesis terbukti benar atau salah. (7). Publikasi Atau Komunikasi Hasil. Yaitu, menyampaikan hasil penelitian kepada orang lain agar dapat ditinjau dan dikembangkan lebih lanjut.

B. Konsep Dasar Yang Mendasari Berpikir Logis Dan Analitis

(1). Logis. Yaitu, memecah masalah menjadi bagian-bagian kecil dan menyimpulkannya secara runtut. (2). Obyektifitas, yaitu berusaha untuk tidak dipengaruhi oleh prasangka pribadi dan mengacu pada fakta empiris. (3). Empiris. Yaitu, berbasis pada pengalaman dan pengamatan yang dapat diuji. (4). Terbuka Dan Tentatif. Yaitu, imu pengetahuan selalu terbuka untuk koreksi. Karena, sebuah teori bisa saja keliru jika ditemukan teori baru yang lebih benar dan dapat diuji.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *