Oleh: Rohman, M.A.

(Direktur Bantenologi dan Sekretaris ICMI Banten)

Anda pernah ke Banten Lama? Bagi orang Banten atau orang yang berdomisili di Banten, istilah tersebut sangat populer. Masyarakat santri yang tidak hanya berasal dari Banten namun di seluruh pulau Jawa dan Indonesia mungkin pernah mengunjunginya untuk berziarah di pusat kesultanan dan penyebaran Islam di Nusantara yang mencapai era the golden age (masa keemasan) pada abad ke-17. Namun barangkali kita perlu berpikir ulang mengenai istilah Banten Lama yang menurut saya tidak sesuai dengan fakta historis yang ada.

Istilah “Banten Lama” sudah sejak lama digunakan untuk merujuk kawasan situs Kesultanan Banten yang berada di pesisir utara, yakni sekitar Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan, alun-alun, dan benteng-benteng VOC. Wilayah inilah yang selama ini dianggap sebagai pusat awal dan tertua dari Kesultanan Banten. Namun, jika ditinjau secara lebih teliti berdasarkan temuan arkeologis dan fakta historiografis, penggunaan istilah “Banten Lama” untuk merujuk kawasan tersebut sebenarnya tidak lagi tepat. Bahkan, istilah tersebut cenderung menyesatkan pemahaman publik mengenai evolusi geopolitik Kesultanan Banten.

Sejumlah kajian penting, salah satunya dikemukakan oleh sejarawan Prancis Claude Guillot (2008), menunjukkan bahawa pusat awal kekuasaan Banten bukanlah di pesisir utara, melainkan di pedalaman bagian selatan, tepatnya di wilayah yang kini kita kenal sebagai Banten Girang—yakni sekitar Kampung Sempu. Kawasan ini merupakan permukiman besar sekaligus pusat politik sejak abad ke-13 dan 14, jauh sebelum kedatangan pengaruh Islam dan berdirinya kesultanan. Pada masa itu, Banten Girang menjadi pusat kerajaan pesisir dan niaga yang ramai, dengan struktur pemerintahan dan kehidupan ekonomi yang berkembang pesat.

Ketika Kesultanan Banten didirikan pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama puteranya, Hasanuddin, pusat pemerintahan tetap berada di Banten Girang. Sultan Hasanuddin memimpin Kesultanan Banten dari kawasan tersebut selama beberapa waktu, sebelum kemudian ayahnya memerintahkannya untuk memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah pelabuhan yang terletak sekitar sepuluh kilometer di utara. Perpindahan ini dilakukan dengan pertimbangan strategis: kedekatan dengan laut, akses perdagangan internasional, dan peluang memperkuat kontrol terhadap aktivitas ekonomi maritim pada abad ke-16 yang semakin intensif.

Di tempat barulah Hasanuddin membangun pusat pemerintahan yang kelak berkembang menjadi ikon-ikon arsitektur Banten seperti Istana Surosowan, Masjid Agung Banten, alun-alun, hingga struktur benteng yang bertahan sampai hari ini. Kawasan inilah yang kini dikenal dengan sebutan “Banten Lama”. Namun, jika menggunakan logika kronologi sejarah, istilah tersebut justru bertolak belakang dengan fakta. Banten Girang seharusnya dipandang sebagai “Banten Lama” yang sebenarnya—pusat awal, tradisional, dan tertua dari pemerintahan Banten—sementara kawasan pesisir adalah “Banten Baru”, sebagai hasil ekspansi dan pemindahan ibu kota pada masa Sultan Hasanuddin.

Dengan demikian, penggunaan istilah “Banten Lama” untuk menyebut kawasan pesisir justru menenggelamkan periodisasi yang akurat mengenai perpindahan pusat kerajaan. Secara historiografis, kawasan pesisir itu merupakan perkembangan baru yang dimulai pada pertengahan abad ke-16, bukan pusat awal kejayaan Banten. Bahkan secara arkeologis, struktur yang lebih tua ditemukan di Banten Girang, termasuk tata kota, benteng tanah, dan temuan artefak yang menunjukkan kepadatan aktivitas sejak masa pra-Islam. Wilayah pesisir yang kini ramai dikunjungi wisatawan justru merupakan representasi dari masa pertengahan hingga akhir Kesultanan Banten.

Selain itu, penyebutan “Banten Lama” untuk kawasan pesisir turut mempengaruhi cara publik memahami identitas sejarah Banten. Banyak masyarakat menganggap bahwa Banten bermula dari Masjid Agung, Keraton Surosowan, dan kompleks Banten Lama sebagaimana tampak hari ini. Padahal, narasi sejarah Banten jauh lebih panjang dan lebih dalam. Memindahkan makna “lama” dari Banten Girang ke Banten pesisir sama saja dengan mengubah lanskap mental sejarah kolektif masyarakat Banten, sehingga warisan arkeologis di Banten Girang tampak sebagai lokasi pinggiran atau sekadar pesanggrahan, padahal kenyataannya kawasan itu memiliki nilai sejarah yang sangat fundamental.

Di sisi lain, penggunaan istilah “Banten Lama” yang populer saat ini kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh faktor kolonial. Pada masa VOC dan kemudian Hindia Belanda, wilayah pesisir menjadi titik fokus administratif dan militer sehingga dianggap sebagai pusat “Banten yang tua” oleh para penguasa Eropa. Persepsi ini kemudian diwariskan kepada generasi setelahnya tanpa revisi kritis. Akibatnya, paradigma kolonial mengenai pusat Banten justru lebih dominan dibandingkan periodisasi sejarah lokal yang lebih akurat.

Melihat fakta-fakta tersebut, sudah saatnya kita mengkritisi dan merevisi istilah “Banten Lama” yang hari ini terlanjur melekat untuk menyebut kawasan pesisir. Sebutan itu sebaiknya diarahkan kembali kepada wilayah yang memang layak menyandang predikat “lama”, iaitu Banten Girang. Sementara itu, kawasan pesisir yang didirikan pada masa Sultan Hasanuddin sepatutnya disebut “Banten Baru”, kerana merupakan pusat pemerintahan hasil pemindahan dan rekonstruksi baru.

Lalu bagaimana dengan Banten modern? Istilah tersebut lebih tepat digunakan untuk menyebut kawasan yang kini menjadi pusat pemerintahan Provinsi Banten, yakni wilayah sekitar alun-alun Kota Serang, kawasan pendopo gubernur, dan wilayah administratif modern. Kompleks perkantoran inilah yang melanjutkan fungsi pemerintahan Banten pada era kontemporer.

Dengan menata ulang istilah berdasarkan fakta sejarah, kita bukan hanya memperbaiki akurasi akademik, tetapi juga memperkuat identitas sejarah Banten. Sejarah yang jernih akan melahirkan pemahaman yang benar, dan pemahaman yang benar menjadi dasar bagi pelestarian warisan budaya yang lebih bermakna. Sudah saatnya kita mengembalikan Banten Girang sebagai “Banten Lama” yang sesungguhnya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *