Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Keberadaan naskah kuno “Al-Insan Al-Kamil” karya ‘Abd al-Karim al-Jili merupakan bukti perhatian besar dari pihak Kesultanan Banten ketika dimasa Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Qadir pada dunia literasi. Pasalnya, pada saat itu, sultan Banten yang ke empat, ia menyalin ulang kitab tersebut dan menerjemahkannya kedalam bahasa Jawa Banten. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Mufti Ali dalam acara “bedah naskah kuno “Insa Kamil” di ruang transit pendopo Gubernur Banten, Senin (14/11/2016).

Sementara disalin dan diterjemahkannya naskah kuno tersebut oleh Kesultanan Banten menurut Prof. Dr. Mufti Ali, karena pada saat itu para sultan memiliki ketertarikan untuk mendalami ilmu tasawuf. Selain itu, kitab tersebut pada masa kesultanan dinilai sebagai panduan orang untuk menjadi manusia sempurna. Sementara “manusia sempurna itu sendiri digambarkannya saat itu seperti nabi Muhammad. Oleh karena itu, untuk mengimitasi (sosok dan protototif) seperti nabi Muhammad itu memang perlu metode, dan salah satunya tasawuf, dan di Naskah kitab Insan Kamil memang membahas hal tersebut,” tutur Prof. Dr. Mufti Ali, yakni ketika menjadi nara sumber diacara bedah naskah “Insan Kamil” itu, yang berlangsung di tahun 2016.

Lebih dari itu menurut Prof. Dr. Mufti Ali, bahwa gagasan menulis ulang naskah kitab “Insan Kamil” dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa Banten oleh Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Qadir, hal itu menunjukan keinginan besar sekaligus upaya Sultan untuk menjadi masyarakat Banten menjadi sosok yang baik, bertanggung jawab, memahami ke-ilmuan, dan bijaksana. “Selain ditulis ulang dan diterjemahkan, naskah Insan Kamil pun pernah diajarkan di internal kesultanan Banten. Yakni, kesultan Banten saat itu menjadikan naskah Insan Kamil itu sebagai rujukan, dan keinginan kuat untuk memahami tujuan dari penciptaan tuhan, sekaligus memahami tujuan kenapa manusia itu hidup”, pungkasnya. Karena peran pentingnya dari naskah tersebut bagi kesultanan Banten, lanjut Mufti Ali, naskah setebal 1703 halaman itu terus disalin oleh sultan dan ulama seterusnya sampai memasuki masa kehancuran Kesultanan Banten. “Sementara saat ini naskah asli dari hasil karya Sultan Abu al-Mafakhir ada di Leiden (Belanda), tapi kita sudah berhasil mendapatkan copy-an nya,” ujarnya. Lebih dari itu menurut Mufti Ali, naskah kuno Insan Kamil hasil terjemahan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Qadir, merupakan bukti tingginya peradaban Kesultanan Banten saat itu. Kemudian dengan adanya bedah naskah Insan Kamil saat ini, ia berharap pemerintah bisa mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah maupun sejarah naskah tersebut. “Kita semua tentunya berharap agar nilai-nilai budaya Banten termasuk produk peradabannya menjadi dasar pembangunan di wilayah Banten saat ini, karena nilai-nilai Banten ini sangat luar biasa,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah Provinsi Banten saat ini dan akan datang sebaiknya bisa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh para sultan Banten pada masa kesultanan. Karena, dari naskah itu (kitab Insan Kamil) telah menunjukan bahwa sultan Banten saat itu sangat memperhatikan dunia pendidikan dan literasi untuk menciptakan sumber daya manusia Banten yang berkualitas. “Spirit itu saya rasa harus dimiliki oleh pemerintahan di wilayah Banten saat ini atau yang akan datang, dengan itu (menggalakan literasi) maka akan tercipta pemerintahan yang sangat ingat kepada rakyatnya, dan juga sangat dekat (taqorrub) kepada Sang Khalik-Nya”, tutur Prof. Dr. Mufti Ali diacara bedah naskah Insan Kamil tersebut.

II. Sosok Sultan Abul Mafakhir

Sultan Abul Mafakhir adalah Sultan Banten yang sangat menghargai ilmu dan mendorong penyalinan kitab-kitab karya para ulama klasik, termasuk kitab Insan Kamil karya Syeikh Abdul Karim al-Jili. Kitab tersebut dibawa dari Makkah oleh utusan bernama Raden Aria Wangsakara dan menjadi salah satu bahan kajian utama di internal Kesultanan Banten.

A. Hubungan Sultan Abul Mafakhir Dan Kitab Insan Kamil

Pada faktanya, Sultan Abul Mafakhir sangat tertarik pada ilmu tasawuf, dan bahkan seringkali mengalokasikan dana untuk menyalin kitab-kitab karya para ulama. Ia meminta Raden Aria Wangsakara untuk menyalin kitab-kitab dari Makkah, termasuk kitab “Insan Kamil”. Berkat kecintaan Sultan Abul Mafakhir pada ilmu, akhirnya kitab Insan Kamil yang asli dari Syeikh Abdul Karim al-Jili kemudian disalin dan menjadi bahan kajian di Kesultanan Banten.

B. Syeikh Abdul Karim al-Jili Dan Insan Kamil

Kitab Insan Kamil adalah karya dari Syeikh Abdul Karim al-Jili, yaitu seorang pengikut dari Syeikh Ibn al-‘Arabi al-Andalusi. Kitab tersebut (Insan Kamil) membahas konsep “manusia sempurna” dalam pandangan Islam.

C. Warisan Kitab

Hingga saat ini, salinan kitab “Insan Kamil” yang dibuat di Banten, yakni ketika di zaman sultan Abul Mafakhur, kini masih tersimpan di Universitas Leiden (Belanda). Sementara salinan kitab tersebut, terdiri dari dua jilid dan total kurang lebih 1.703 halaman.

D. Julukan “Raja Sufi” Bagi Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

Menurut tinjauan penulis, terutama mengenai sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, yakni dalam konteks kepememimpinan di kesultanan Banten. Bahwa Sultan Abul Mafakhir sangat kontekstual manakala ada istilah julukan atau dijuluki “Raja Sufi”, karena ia telah mampu mengambil intisari, mengambil afinitas, dan telah terinfiltrasi sepenuhnya dari substansi ajaran yang ada di kitab “Insan Kamil” itu. Lebih dari itu, sultan Abul Mafakhir juga telah mampu mengembalikan keamanan dan kestabilan di Kesultanan Banten. Lalu, muncul pertanyaan yang sangat substansial, apa yang dimaksud dengan Raja Sufi itu? Siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir itu? Bagaimana ia bisa berhasil mencapai tahapan Raja Sufi itu?

Dalam konteks raja-raja di Nusantara, dan termasuk analisis yang mencoba menukik pada sosok sultan Abul Mafakhir misalnya, menurut tinjauan penulis dan sekaligus juga sejalan dengan pandangan dari dua orang permerhati (orientalis) dari Eropa, yakni Merle C. Ricklefs dan AC Milner, mereka juga menujuluki Sultan Abul Mafakhir adalah sebagai “Raja Sufi”. Sementara temuan dalam konteks penelitian pada sosok sultan Abul Mafakhir ini diantaranya : Pertama, bahwa julukan Raja Sufi adalah penguasa sempurna yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan wilayah kerajaannya atau kesultanannya. Sedangkan konsep Raja Sufi itu senditi, bersumber dari doktrin kitab “insan kamil” yang ditulis oleh Abd al-Karim al-Jili. Akhirnya, nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab Insan Kamil itu, teraktualisasikan dengan lanskap politik kerajaan (kesultanan Banten) yang berpusat secara personal pada diri sultan Abul Mafakhir itu sendiri, dan secara institusional saat itu memang sudah melekat di para pemangku kepentingan di internal kesultanan Banten. Kedua, sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah Raja Banten keempat yang berkuasa di Banten dari tahun 1624-1651 M. Bahkan, ia telah berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara. Lebih dari itu, ia juga memperoleh gelar “Sultan” dari Mekkah pada tahun 1638 M dan mampu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di Kesultanan (kerajaan) Banten. Ketiga, ia memiliki ketertarikan terhadap doktrin “Insan kamil”. Maka atas dasar itulah, akhirnya ia (sultan Abul Mafakhir) ketika sedang punya otoritatif kepemimpinan kemudian memberi perintah kepada bawahannya untuk menyalin kitab “al-Insan al-Kamil” karya dari alJili dan membaca Nasihat al-Muluk karya dari Imam al-Ghazali. Selain itu, ia juga mengirim utusan ke Mekkah, terutama untuk meminta fatwa yang tergambar dalam kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya Muhammad ‘ibn Allan. Ketiga kitab tersebut kemudian membentuk pribadi Sultan Abul Mafakhir menjadi Raja Sufi.

E. Sultan Abul Mafakhir (Sultan Banten Yang Paling Lama Berkuasa)

Sultan Abul Mafakhir merupakan Sultan Banten yang keempat yang nota bene berkuasa sebagai raja di kesultanan Banten. Sultan Abul Mafakhir, merupakan putra dari Sultan Muhammad Pangeran Ratu ing Banten atau Sultan Maulana Muhammad dan Nyimas Ratu Ayu Wanagiri. Sultan Abul Mafakhir merupakan putra mahkota yang diangkat sejak masih bayi, yakni pada usia lima bulan sudah diangkat menjadi Sultan. Adapun untuk menjalankan roda pemerintahannya karena saat itu ia masih bayi, akhirnya Sultan Abul Mafakhir dibantu oleh saudaranya, yaitu Mangkubumi Raksanagara. Sedangkan Mangkubumi Raksanagara, memang ada kaitan keluarga dengan Sultan Abul Mafakhir, sementara otoritas kepemimpinan di kesultanan Banten dipegang oleh Mangkubumi Raksanegara sampai tahun 1630-an. Sebagaimana telah disebutkan di bagian atas, bahwa Sultan Abul Mafakhir berkuasa paling lama, yakni selama 51 tahun, yaitu terhitung sejak lahir hingga wafat yakni sekitar tahun 1596 sampai 1647 M.

Adapun untuk kehidupan pribadinya, Sultan Abdul Mafakhir memiliki banyak istri dan memiliki anak sebanyak 39. Anak pertama sebagai putra mahkota adalah Sultan Abul Ma’ali Ahmad yang merupakan ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa. Yang menarik dari Sultan Abul Mafakhir, selain merupakan sultan paling muda dan paling lama, ia juga merupakan raja Banten yang mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Selain itu, ia juga disebut sebagai rajanya Sufi Banten. Sebagai Raja Sufi Banten ada beberapa hal yang menyebabkan Sultan Abul Mafakhir menyandang gelar tersebut, hal itu sebagaimana telah dijelaskan di sub judul bagian atas, bahwa Sultan Abul Mafakhir, ia telah berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara yang mampu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di Kerajaan Banten. Kedua, Sultan Abul Mafakhir memiliki ketertarikan langsung terhadap doktrin Insan Kamil yang mana doktrin Insan Kamil itu merupakan sumber dari konsep Raja Sufi. Atas dasar itulah, maka Sultan Abul Mafakhir pun memerintahkan untuk menyalin kitab “Insan Kamil” karya Al-Jilli, dan kitab nasihat Al Muluk karya Imam Al-Ghazali. Lebih dari itu, karena Sultan Abul Mafakhir sebagai seseorang raja dengan masa kepemimpinannya yang cukup lama pada masanya, akhirnya beliau berhasil membangun sebuah Mesjid, yaitu Masjid Kenari yang difungsikan sebagai tempat istirahat Sultan dari hiruk-pikuk aktivitas Kesultanan Banten. Masjid Kenari yang terletak Kampung Kenari, hingga saat ini bangunannya masih berdiri kokoh dengan beberapa tambahan bangunan, yang diperluas dalam bangunan Masjid Kenari sendiri. Bangunan asli yang ukurannya cukup kecil, tapi masih berdiri mimbar di dalam masjid, selain itu peninggalan sejarah yang masih ada dan dirawat dalam Masjid Kenari adalah beduk. Sementara tepat di depan Masjid Kenari, hingga saat ini terdapat tempat penguburan yang juga tempat persemayaman sultan beserta anggota keluarga lainnya, termasuk prajurit dan juga warga sekitar. Sementara yang unik dari Kompleks makam Masjid Sultan Kenari ini terlihat bangunan yang megah dan berdiri kokoh yang menampilkan nuansa peninggalan sejarah masa lalu yang masih sangat melekat. Sementara di pintu gerbang menuju ke makam tersebut terdapat bangunan yang tersusun dari bata-bata yang menjulang ke atas yang tersusun rapi kokoh dan kuat.

III. Mengenal Isi Dan Substansi Kitab “Insan Kamil Fi Ma’arifah Awa’il wa Awakhir” Dalam Perspektif Spiritual-Transendental

Secara substantif kitab “Insan Kamil” menjadikan manusia (mikro-kosmos) sebagai fokus kajian, utamanya sosok Rasulullah Saw, yaitu sebagai inti pembahasan dan “ikon kesempurnaan”. Karya tersebut merupakan buah pemikiran dari Syekh Abdul Karim Al-Jili, seorang wali Allah, ulama sufi dan juga cerdik cendikiawan muslim kelahiran al-Jailan, yaitu salah satu Distrik di Kota Baghdad (Irak), yang hidup antara tahun 1366 M dan 1430 M. Sementsra Al-Jili, merupakan anak keturunan Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani. Lebih dari itu, kitab Insan kamil mengupas tuntas kesejatian maujudaat dari awal hingga akhir, terutama kesejatian wujud al-Haq yang bertajallikan pada segala wujud. Untuk memakrifahi hakikat segala sesuatu itu menurut al-Jili hanya bisa dilakukan dengan jalan mukasyafah. Dalam karya tersebut, al-Jili mencoba merumuskan degri-degri makrifah, yaitu dimulai dari proses pemahaman kesejatian wujud tingkat paling dasar hingga wujud teragung. Lebih dari itu, Al-Jili juga mengharamkan teori ittihad, Hulul, Tanazukh dan tipe wahdatul al-wujud mulhid. Sedangkan substansi pokok dari kitab “Insan al-Kamil” memang menjelaskan, “Tidak ada sesuatu yang hakiki selain al-Dzat al-Ilahiyyah yang mencakup inti Dzat dan inti makhluk.”

Menurut al-Jili, inti (Dzat) al-Haq dan lnti makhluk adalah dua yang berbeda, yakni ada perbedan Khakuk dan Makhkuk, antara abid dan ma’bud, namun termanisfestasikan dalam satu wujud. Adapun tahapan utama adalah “kabut” (a’ama) ibarat dzat murni yang terselimuti sebelum tajalli. Kemudian Al-Ahadiyah yang merupakan awal penurunan dari kegelapan kabut menuju cahaya tajalli. Lalu al-Wahidiyah, ia merupakan manifestasi Dzat dengan sifat-sifat pencitraan global. Al-Jili mengistilahkan pencitraan global itu dengan Alam Kabir (makro cosmos), sedangkan manusia disebut Alam shaghir (mikro cosmos). Dengan demikian sejatinya insan kamil itulah sejatinya citra lahir al-Haq di alam realitas (asy-Syahadah) ini. Lebih dari itu, Syekh Abdul Karim al-Jili di dalam kitab insan kamil menjelaskan :

أن الإنسان الكامل هو القطب الذي تدور عليه أفلاك الوجود من أوله إلى آخره وهو واحد منذ كان الوجود إلى أبد الابدين ثم له تنوع في ملابس ويظهر في كنائس فيسمى به باعتبار لباس ولا يسمى به باعتبار لباس آخر، فاسمه الأصلي الذي هو له محمد، وكنيته أبو القاسم ووصفه عبدالله ولقبه شمس الدين ثم له باعتبار ملابس أخرى أسام وله في كل زمان اسم ما يليق بلباسه في ذلك الزمان.
Artinya, “Sesungguhnya Insan Kamil itu sejatinya kutub yang berotasi, di sekelilingnya segenap aflak yaitu cakrawala galaksi setiap wujud dari permulaan wujud alam hingga akhir wujud alam. Ia adalah Tunggal sejak wujud ada hingga kekekalan abadi, Ia memiliki aneka ragam baju, kemudian menampakkan diri dengan baju-baju itu, lalu dinamakan sesuai dengan baju yang melabeli wujud penampakkannya, dan Insan Kamil tidak dinamai dengan baju lain selain baju kesempurnaan dan keutamaan. Namanya yang hakiki adalah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, gelarnya Abul Al-Qosim, pensifatannya Abdullah, julukannya Syamsuddin, setiap zaman Insan Kamil tetap ada setiap zaman ia memiliki nama sesuai dengan baju yang dikenakan yang sesuai zamannya. (Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz II Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 277).

Menurut al-Jili satu-satunya Thariqah untuk memahami hakikat segala wujud yang tertera dalam kitab Insan kamil adalah dengan dzuq bukan dengan logika. Bahkan, di dalam kitab Insan kamil itu, al-Jili membagi wujud dengan wujud Murni, yaitu inti (dzat) Allah Ta’ala dan wujud Mulhaq bil Adam yaitu inti segenap makhluk-Nya. Dzat Allah tidak bisa dilihat. Inti (dzat) Nya Ghaib al-Ghaib. Tidak bisa dilihat dengan kasat mata, nalar logika, tidak bisa dijangkau daya persepsi, namun bisa dilihat melalui tajalli-Nya pada segenap maujudaat, sedangkan untuk mengetahui hakikat makrifatnya adalah dengan pengetahuan intuitif. Oleh karena itu, Al-Jili juga menuturkan Insan kamil merupakan cerminan inti (dzat) ketuhanan, sejalan dengan sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk citra Diri-Nya.” Al-Haq menciptakan Muhammad dari dzat Diri-Nya. Dia menjadikan Muhammad wujud tajalli Kesempurnaan, Keperkasaan dan Keindahan Diri-Nya. Kemudian Dia menciptakan rahasia semesta alam dari cahaya Muhammad tersebut. Demikian pula dengan segenap partikel wujud sejatinya adalah Jauhar al-Fard (etentitas tunggal), hal itu selaras dengan sabda Rasul Saw, “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah al-Qalam, juga hadits Nabi saw. Namun yang lain ada yang berpendapat bawa yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal.

Sedangkan membaca kitab Insan kamil, memang kita dihadapkan pada kalimat-kalimat rumit, serta pekat dengan simbol-simbol, siloka, isyarat-isyarat dan metafora serta paradoks tasawuf. Kalimat-kalimat itu mewajahkan semangat spiritual penulisnya yang tinggi, yaitu dalam mengekspresikan pengalaman bathin (insight) nya dengan Allah. Bahasa dan kata-kata yang jamak digunakan sang penulis kitab Insan Kamil itu memang tidak sepenuhnya bisa dipahami dari makna lahirnya. Bahkan, tanpa menelisik makna-makna bathinnya, maka kita akan mudah terpeleset dalam kekeliruhan serius. Maka tajamkanlah nalar logika kita, optimalkan ketajaman mata hati kita, singkirkan segenap pikiran dari makna-makna lahiriyah, agar kita benar-benar tahu. Carilah makna-makna bathin melalui seorang mursyid yang arif billah yang pakar dibidang ilmu hakikat.

Oleh karena itu, Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam frase kitab Insan kamil itu mengingatkan, “Ketahuilah, bahwasanya setiap ilmu yang tidak didasari al-Quran dan sunnah Rasul-Nya yang shahih adalah dlalal (sesat), al-Quran dan sunnah Nabi bukan untuk membenarkan ilmu dan tindakan kita, akan tetapi hendaknya ilmu dan tindakan kita sesuai dengan pesan al-Quran dan sunnah Rasul-Nya. Jadikan keduanya dasar pijakan ilmu dan ibadah kita, jika nalar kita dan dasar logika kita tidak mampu menjangkau kedalam ilmu ini (dalam kitab Insan kamil), sebaiknya kita taslim dengan keimanan yang jernih dan jangan sekali-kali mengingkari sesuatu yang kita belum mampu menyibaknya, serahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Mengetahui, Dialah Allah Ta’ala.”

IV. Dulu : “Banten Sangat Kharismatik Dengan Julukan Kota Ilmu”

“Banten ketika di zaman dulu adalah kota ilmu, kota cahaya”. Pernyataan itu merujuk padah fakta sejarah dimana Banten saat itu (terutama dimasa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir) memiliki kekayaan intelektual yang signifikan. Namun saat ini Banten seolah-olah mengalami degradatif dan hanya sedikit yang bisa diketahui tentang intelektualitas di Banten, karena banyaknya manuskrip yang dibawa ke Leiden, Belanda, sehingga terjadilah pengerdilan sejarah yang sangat merugikan. Bahkan, dalam catatan sejarah Islam di Nusantara, Banten dikenal sebagai pusat ilmu dan keagamaan, selain sebagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Pada masa kejayaannya, Banten sebagai pelabuhan internasional, menjadi salah satu pusat pengembangan intelektual Islam. Banten saat itu menampung berbagai pengaruh ilmu keislaman dari luar wilayahnya, terutama melalui Kasunyatan-Banten sebagai pusat pendidikan Islam. Kemudian, peran tokoh-tokoh seperti Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651 M), serta keberadaan ulama-ulama besar, sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Banten.

A. Kealiman Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, cicit dari Sultan Maulana Hasanuddin, dikenal sebagai seorang pemimpin yang juga aktif menulis dalam berbagai bidang, seperti fikih, tasawuf, kemiliteran, hingga kuliner. Meskipun peranannya sering kali kurang dikenal dibandingkan dengan Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Abul Mafakhir memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mereformasi sistem pemerintahan Kesultanan Banten. Ia juga berjasa membuka jalan masa keemasan Kesultanan Banten, baik dalam bidang keagamaan, ekonomi, pendidikan, maupun militer. Hal itu diungkapkan oleh Jemmy Ibnu Suardi, dalam bukunya berjudul “Sultan Abu’l Mafakhir Mahmud Abdul Qadir: Sultan Agung Banten I Penguasa Ujung Barat Pulau Jawa 1596-1651 (2024)”.

Kesultanan Banten pada masa itu merupakan salah satu kekuatan politik Islam terbesar di tanah Jawa, yang berhasil bertahan dari serangan Mataram dan Batavia. Di bawah kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir perekonomian Banten mengalami kemajuan. Salah satu pencapaian penting adalah pengiriman utusan ke Mekkah pada tahun 1630-an dan India pada tahun 1640-an, serta pengesahan Kesultanan Banten oleh Khalifah Utsmaniyah melalui wakilnya di Makkah.

Selain itu, Sultan Abul Mafakhir memperkuat angkatan laut Banten, menjadikannya sebagai pusat kemiliteran maritim yang strategis. Seperti dicatat oleh Prof. AB Lapian dalam “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 (2017)”, Banten menjadi pelabuhan yang tidak hanya aman, tetapi juga menjadi jalur penyebaran pengetahuan Islam. Sultan Abul Mafakhir sangat menghargai para ulama dan bahkan mengalokasikan anggaran yang besar untuk menyalin kitab-kitab ulama. Salah satu contohnya adalah ketika Raden Aria Wangsakara membawa kitab “al-Insan al-Kamil” karya Al-Jili dari Mekkah untuk dibaca oleh Sultan Abul Mafakhir.

B. Kasunyatan Sebagai Pusat Pendidikan Islam

Kasunyatan mulai berkembang sebagai pusat pendidikan Islam sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin. Bahkan, hubungan erat dengan Hijaz (sekarang Arab Saudi) sejak abad ke-16 M, memungkinkan ulama-ulama Madinah untuk datang dan menyebarkan pengaruh Mazhab Syafi’i. Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasunyatan-Banten menjadi salah satu pusat ilmu agama tertua di Nusantara, yang menggabungkan pengetahuan Islam dengan kearifan lokal.

Lebih dari itu, pada masa Sultan Abul Mafakhir, Kasunyatan menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Kesultanan Banten. Sultan Abul Mafakhir mengundang ulama-ulama dari berbagai wilayah, seperti Madinah, Makkah, masyarakat Turki, dan Persia, untuk tinggal di Kasunyatan dan mendidik dalam berbagai disiplin ilmu agama. Pusat aktivitas keagamaan di Kasunyatan terletak di Masjid Kasunyatan yang dibangun sejak Kasunyatan menjadi pusat pendidikan, terutama bagi anak-anak keluarga Sultan.

Kasunyatan yang luasnya sekitar 6 hektar itu memiliki beberapa kelompok kajian, termasuk filsafat, tasawuf, dan fiqih. Di Kesunyatan pula berkembang tarekat-tarekat seperti Qodiriyah Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Di sisi lain, ada lembaga kajian lain yang lebih fokus pada fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, serta sejarah Islam. Dari dua lembaga itu, lahirlah istilah “Kiai Dukuh” dan “Faqih Najmudin” bukan merujuk pada nama orang, tetapi pada lembaga pengajaran yang mirip dengan fakultas di perguruan tinggi modern.

Kasunyatan pada abad ke-17 M dapat dipandang sebagai “Kampus” dengan santri yang datang dari berbagai daerah Nusantara dan luar negeri, termasuk Syekh Yusuf Al-Makasari, seorang ulama besar dan mursyid tarekat Syattariyah yang juga menantu Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Bahkan, Pangeran Wangsadireja ditugaskan untuk belajar di berbagai pesantren besar di Jazirah Arab sebelum mengundang ulama-ulama tersebut untuk datang mengajar di Banten. Kasunyatan menjadi saksi sejarah yang cemerlang sebagai pusat intelektual dan spiritualitas, yang masyhur hingga ke mancanegara. Kasunyatan adalah contoh jelas bagaimana Banten menjadi pusat intelektual dunia Islam pada abad ke-17 M, hingga ke-19 M. Dalam catatan Belanda, Kasunyatan sering disebut-sebut sebagai negeri yang paling terkenal sebagai pusat intelektual dan spiritualitas Kesultanan Banten. Selama periode tersebut, ilmu agama berkembang pesat, kesadaran intelektual masyarakat meningkat, dan tarekat-tarekat Islam mendapat tempat yang penting. Banten, dengan Kasunyatan sebagai jantungnya, dikenal luas di kalangan masyarakat Asia Tenggara sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas Islam yang terkemuka.

C. Banten Sebagai Pusat Ulama

Banten bukan hanya terkenal sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya ulama-ulama besar yang memainkan peran penting dalam penyebaran dan pengajaran Islam di Nusantara. Salah satu ulama yang sangat terkenal yang pernah berlabuh di Banten adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Beliau, seorang ulama dan mursyid tarekat Syattariyah yang berasal dari Makassar, datang ke Banten pada masa Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Di Banten, Syekh Yusuf berperan besar dalam mengajarkan tarekat dan memperkenalkan ajaran tasawuf yang mempengaruhi banyak kalangan, termasuk para penguasa & masyarakat.

Selain Syekh Yusuf, Banten juga menjadi tempat tinggal bagi ulama-ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Muhyi dan Syekh Nawawi al-Bantani. Syekh Abdul Muhyi, yang dikenal sebagai seorang ahli fikih dan tasawuf, banyak memberikan pengajaran kepada para santri di Banten. Ia memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai daerah, memperluas pengaruh dan penyebaran ilmu Islam, baik di Jawa maupun Sumatra. Sementara itu, Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam ilmu fikih dan tafsir, menjadi sosok yang dihormati di kalangan masyarakat Banten dan sekitarnya. Karya-karya tulisannya yang berharga juga turut mewarnai perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Peran Banten sebagai tempat berkumpulnya ulama ini sangat strategis, mengingat posisinya yang berada di persimpangan jalur perdagangan antara Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Hal itu menjadikan Banten sebagai “melting pot budaya” dan “ilmu pengetahuan”, yang menghubungkan berbagai tradisi intelektual Islam dari dunia Arab, Persia, dan India dengan budaya lokal Nusantara. Banyak di antara ulama yang datang ke Banten kemudian menyebarkan ajaran mereka ke wilayah lain, akhirnya menciptakan jaringan pendidikan yang menghubungkan pesantren-pesantren di Jawa, Sumatra, bahkan ke Malaysia dan Singapura.

Dengan demikian, Banten bukan hanya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat intelektual yang sangat penting dalam perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara. Kehadiran ulama-ulama besar dan tersebarnya ajaran mereka ke berbagai daerah menjadikan Banten sebagai pusat pertukaran ilmu dan memperluas jaringan intelektual Islam yang berkembang pesat pada abad ke-17 M.

Dari ketiga aspek itu, Kasunyatan sebagai pusat pendidikan, produktivitas intelektual Sultan Abdul Qadir, dan peran para ulama besar lainnya, Banten memang layak disebut kota ilmu. Tradisi intelektual yang berkembang di sana (Kesunyatan) mencakup berbagai aspek, mulai dari ilmu agama hingga kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Dengan warisan yang kaya, Banten telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam di Nusantara, mengajarkan bagaimana ilmu pengetahuan akan terus tumbuh melalui keterbukaan terhadap pengaruh dan inovasi baru. Itulah tugas yang harus dilanjutkan oleh generasi muda Banten saat ini.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *