Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Banyak jalan menuju Roma. Unkapan itu bisa juga kita gunakan dalam konteks untuk mendapatkan kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran (The Ultimate/Infinitife). Dan salah satunya karya filsafat dari Ibnu Tufail menggambarkan bagaimana pertemuan antara filsafat dan ajaran agama (tasawuf) berteman secara harmonis. Sekalipun keduanya memiliki jalan yang berbeda, namun menemukan kebenaran yang sama (al-haqq). Lebih dari itu, karya (efistimologis) daribIbnu Tufai, memang menggambarkan kepada semua orang bahwa filsafat bisa berselimut dengan tasawuf dan tasawuf-pun tidak harus alergi dengan filsafat, karena kedua bersaudara dan satu sama lain saling melengkapi.

Sementara hubungan ilmu kalam, ilmu tasawuf dan filsafat beserta doktrin-doktrinnya memang sangat intens. Karena, hubungan ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kesamaan objek kajian. Yakni, objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara objek kajian tasawuf adalah tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya melalui proses “tajhali, takholli, dan tajalli”. Jadi, dilihat dari aspek objeknya ketiga ilmu tersebut membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Sementara argumentasi ilmu filsafat dan ilmu kalam memang dibangun di atas dasar logika. Oleh karena itu hasil kajiannya bersifat spekulatif yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, penelitian, dan eksperimental. Hasil karya logika relatif menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan. Sementara ilmu kalam dengan metodenya sendiri, ia berusaha untuk mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berhubungan dengannya. Sementara filsafat dengan wataknya sendiri, ia berusaha mendapatkan kebenaran, baik tentang alam maupun manusia yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya, atau tentang Tuhan (filsafat teologis).

Oleh karena itu, integrasi hubungan ilmu kalam, filsafat dan tasawuf menurut pendapat penulis sangat diperlukan sampai kapan-pun. Mengingat, ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf merupakan tiga disiplin intelektual utama dalam warisan peradaban Islam yang meski memiliki pendekatan yang berbeda, tapi saling melengkapi dalam upaya memahami hakikat ketuhanan dan realitas. Ilmu kalam berfungsi sebagai “pertahanan akidah” yang menggunakan logika untuk mempertahankan keyakinan Islam dari keraguan dan tantangan. Sedangkan filsafat berperan sebagai “penjelajah akal” yang menyelidiki segala wujud, termasuk Tuhan, alam, dan manusia, dengan metode rasional murni. Sementara ilmu tasawuf, ia bertindak sebagai “penjernih hati” yang menekankan pendekatan spiritual dan pengalaman batin (dzauq) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun ketiganya, memang bermuara pada tujuan yang sama, yaitu kebenaran, tapi lagi-lagi melalui jalur yang berbeda.

Integrasi antara ketiganya terletak pada fungsinya yang saling mengisi kekosongan satu sama lain. Ilmu Kalam membangun fondasi akidah yang kokoh dan rasional, yang diperlukan sebelum seseorang untuk melangkah lebih jauh ke dalam renungan filsafat yang dalam atau perjalanan tasawuf yang intens. Tanpa fondasi ilmu kalam yang kuat, maka seorang filosof, bisa saja ia tersesat dalam spekulasi rasional yang tak terbatas. Sementara seorang sufi bisa saja ia juga terjerumus pada “into” pengalaman spiritual yang menyimpang dari orthodoksi. Sebaliknya, filsafat memperkaya ilmu kalam dengan alat logika dan kerangka berpikir yang sistematis, sementara tasawuf memberikan dimensi spiritual dan etika yang dalam, yang melampaui debat teologis yang kering.

II. Berfilsafat Dan Bertasawuf

Berfilsafat (filsafat) adalah pencarian kebenaran, yaitu melalui akal dan logika, sementara bersufistik (bertasawuf) adalah sebuah pendekatan spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui hati, rasa (intuisi), dan pengalaman batin. Namun, keduanya bisa bertemu dalam “Tasawuf Falsafi” atau “Sufisme Filosofis”, yang menggunakan logika filsafat untuk menjelaskan pengalaman sufistik yang intuitif. Hal itu demi menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat ketuhanan dan penciptaan. Hal itu seperti yang dilakukan oleh para sufi dan filsuf seperti Ibn ‘Arabi dan Imam al-Ghazali.

A. Berfilsafat (Filsafat)

Sedangkan metode berfilsafat, yaitu menggunakan akal, logika, dan penalaran yang rasional untuk memahami eksistensi, sebab-akibat, dan hakikat segala sesuatu. Sedangkan tujuan berfilsafat itu sendiri adalah untuk mencapai kebenaran (hakikat) melalui pemikiran, dan kemudian terus bertanya “dari mana, mengapa, untuk apa, dan ke mana”. Contoh tokohnya seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina.

B. Sufistik (Tasawuf)

Sedang metode sufistik (tasawuf), yaitu agar bisa mencapai kebenaran melalui pengalaman batin, pembersihan diri (takhalli), penghiasan diri (tahalli), dan zikir untuk merasakan kehadiran Tuhan (dzauq). Tujuan tasawuf itu sendiri adalah untuk kesempurnaan akhlak, makrifat (pengetahuan hakikat), dan kebahagiaan spiritual (menyatu dengan hakikat Ke-Tuhanan). Contoh Tokohnya : Rabi’ah al-Adawiyyah, Dzunnun al-Masri, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain sebagainya.

C. Hubungan Antara Filsafat Dan Tasawuf

  1. Tasawuf-Falsafi.
    Keduanya bisa berdinergi, yakni antara filsafat (akal) dan tasawuf (hati) bisa saling melengkapi, dimana akal membantu untuk memahami pengalaman batin sufi yang mendalam.
  2. Tasawuf-Falsafi.
    Tasawuf-falsafi, yaitu menggabungkan pendekatan rasional (burhani) dan intuitif (irfani), yaitu menggunakan konsep filosofis untuk menjelaskan pengalaman mistik, seperti konsep emanasi atau keesaan wujud (wahdat al-wujud). Sedangkan contoh teorisasinya, hal itu apa yang dilakukan Ibnu Arabi.
  3. Tujuan Bersama.
    Keduanya (filsafat dan tasawuf) bertujuan untuk mencapai kebenaran (al-haqq), meski dengan jalan yang berbeda, hal itu menunjukkan bahwa keduanya bersaudara dan saling memperkaya. Dengan kata lain, antara filsafat dan tasawuf memiliki titik temu pada kegemaran mengejar “kebenaran hakiki” dan “makna eksistensi manusia”, namun berbeda dalam pendekatan dan tujuannya. Oleh karena itu, berikut ini adalah beberapa aspek yang menyatukan maupun yang membedakan keduanya :

(1). Keduanya bertujuan untuk pengetahuan (Al-Ma’rifah), karena keduanya didorong oleh rasa ingin tahu yang mendalam tentang asal-usul alam semesta dan posisi manusia di dalamnya. Misalnya filsafat, kerapkali ia menggunakan akal budi (rasio) dan logika untuk membedah realitas secara sistematis dan kritis. Sedangkan tasawuf, kerapkali menggunakan intuisi (dzauq) dan olah ruhani untuk mencapai pengenalan langsung kepada Tuhan (Ma’rifatullah). (2). Kesamaan akan kesempurnaan diri. Keduanya, baik para filsuf maupun sufi, sama-sama memiliki kegemaran untuk memperbaiki kualitas diri. Misalnya, filsafat berupaya mencapai “kebijaksanaan” (sophia) agar hidup menjadi lebih tertata dan etis. Sedangkan tasawuf, berupaya untuk mencapai “insan kamil” (manusia sempurna) melalui pembersihan hati (tazkiyatun nafs) dan kedekatan dengan Sang Pencipta.

(3). Kesamaan akan kedalaman (esoterisisme). Karena, keduanya tidak puas dengan hal-hal yang bersifat permukaan atau syariat lahiriah semata. Mereka sama-sama mencari “hakikat” di balik setiap “fenomena”. Jika hukum melihat “apa yang boleh dan tidak”, maka filsafat dan tasawuf melihat “mengapa itu ada” dan “apa maknanya bagi jiwa”. (4). Punya kesamaan dari segi karakteristik. Karena kesamaan keduanya, yaitu pada aspek filsafat-tasawuf metodenya menggunakan perenungan, logis, dialektika, zikir, zuhud, dan kontemplasi. Sedangkan sifatnya spekulatif dan terbuka pada debat eksperiensial (berdasarkan rasa). Bahkan, tujuan akhir antara filsafat dan tasawuf adalah kepuasan intelektual dan kebenaran kedekatan (wushul) kepada Tuhan.

Dengan kata lain, sejak zaman dulu, mempelajari keduanya (filsafat dan tasawuf) adalah sebuah “keharusan dan bahkan ada keasikan tersendiri” yang saling melengkapi. Karena, filsafat memberikan kerangka dasar berpikir yang lebih kuat dan kritis agar tidak terjebak pada mistisisme buta, sementara tasawuf memberikan dimensi spiritual dan ketenangan hati yang seringkali tidak bisa dicapai hanya dengan logika akal semata. Jika kita tertarik mendalami kaitan keduanya, maka kita bisa juga untuk merujuk pada karya-karya tokoh seperti Imam Al-Ghazali atau Imam Suhrawardi yang mereka telah berhasil untuk memadukan kecemerlangan filsafat dengan kedalaman tasawuf.

Sementara antara tasaeuf dan ilmu kalam, memang sedikit ada perbedaan. Karena, tasawuf seringkali dibedakan dan dipisahkan dengan ilmu kalam dan filsafat dalam studi-studi pemikiran keislaman, dan seolah-olah ketiganya tidak memiliki hubungan dan relasi kesejarahaan. Padahal pada mulanya, tasawuf hampir tidak dapat dipisahkan dengan ilmu kalam dan filsafat, karena ketiganya menyatu, dan bahkan terkesan (tumpang-tindih). Sementara hubungan tasawuf dengan ilmu kalam terletak pada pembahasan kebenaran. Misalnya, dalam tasawuf, bahwa hakikat kebenaran berupa tersingkapnya (kasyaf) kebenaran sejati (Allah) melalui mata hati. Bahkan, tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan atau beberapa maqamat. Sedangkan kebenaran dalam ilmu kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran akal-budi, yang kemudian dirujukkan kepada nash al-Qur’an dan Hadis. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman.

Sementara hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu filsafat terletak pada soal pencarian hakikat. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetik yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Semantara filsafat dalam perspektif dunia Islam sendiri memang terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi), yang sebetulnya sama dengan ajaran dalam tasawuf falsafi.

III. Ilmu Filsafat VS Alqur’an Dan Ilmu Tasawuf

Ilmu filsafat dan Alqur’an seringkali dipandang sebagai dua entitas yang berbeda dalam konteks memahami kehidupan dan realitas. Filsafat mengandalkan rasio dan pemikiran kritis, sementara Alqur’an dianggap sebagai wahyu Ilahi yang memberikan petunjuk bagi umat manusia. Namun, benarkah keduanya bertentangan? Ataukah justru dapat saling melengkapi?

A. Hakikat Ilmu Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia,” yang berarti cinta kebijaksanaan. Filsafat bertujuan mencari kebenaran dengan menggunakan logika, analisis, dan argumentasi kritis. Bahkan, sejak zaman Yunani kuno, filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka telah mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, moralitas, dan pengetahuan.

Dalam Islam, pemikiran filosofis juga berkembang dengan tokoh-tokohnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Iman Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Mereka menggabungkan pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Islam untuk memperdalam pemahaman tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia.
Sementara al-qur’an sebagai pedoman hidup, sekaligus kitab suci umat Islam yang diyakini sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam al-qur’an terdapat ajaran moral, hukum, dan petunjuk kehidupan yang bersifat absolut. Alqur’an mengajarkan tentang hakikat kehidupan, hubungan antara manusia dan Tuhan, serta prinsip-prinsip etika yang harus dipegang oleh umat Islam.

Bahkan, Alqur’an mendorong umatnya untuk untuk berpikir dan merenung (apala ta’kilun, apala ta’lamun, apala tubsirun, apala yatadabbarun dan seterusnya). Bahkan, dalam banyak ayat, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Surah Al-Baqarah ayat 164 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang… terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” Hal itu menunjukkan bahwa Islam tidak menolak akal, melainkan mengarahkannya agar selaras dengan wahyu. Dengan kata lain, antara ilmu filsafat dan Alqur’an, sebenarnya bukanlah dua entitas yang harus dipertentangkan, melainkan dapat saling melengkapi. Karena, filsafat membantu manusia untuk berpikir kritis dan rasional, sementara Alqur’an memberikan bimbingan moral dan spiritual. Bahkan, keseimbangan antara keduanya dapat membantu manusia (umat Islam) untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh tentang kehidupan dan kebenaran.

Lalu apa artinya filsafat? Filsafat secara substantif adalah merentangkan pikiran sejauh mungkin untuk menemukan inti suatu zat atau kebenaran. Bahkan, ketika Socrates mencari inti suatu kebenaran, maka dia juga meneliti bahwa dunia ini diciptakan dari api kalau tidak ada api maka dunia ini tidak akan ada makanya dan akhirnya ada juga saat itu yang menyembah api. Kemudian ada lagi yang mengatakan dunia ini dari tanah, atau batu maka ada juga yang saat itu umat yang menyembah batu. Kemudian ada yang mengatakan bahwa unsur terpenting adalah air udara dan sebagainya, akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa semua unsur itu saling berkolaborasi, lalu kebenaran mana yang harus saya teliti? Maka munculkan ilmu filsafat, yang saat itu dia mengumpulkan semua jawaban masyarakat tentang dunia, akhirnya muncullah ilmu yang namanya “Demos” dan “Crotos”. Artinya, suara rakyat suara tuhan untuk mencari kebenaran yang hakiki ternyata perlu agama yang menopang kegiatan demokrasi.

Sementara untuk menemukan kebenaran al-qur’an, dari dulu hingga saat ini banyak yang melakukan penelitian kebenaran al-qur’an itu. Dari sekian banyak penelitian (termasuk para peneliti dari tokoh agama di luar agama Islam), kemudian tidak sedikit juga para mufasir, para ahli dzikir, para ahli fikir, para fukoha dan ju’ama (ahli ijma/ijtihad) mereka terus meneliti serta menganalisa bahwa kebenaran yang hakiki itu ada pada Al-Qur’an. Dan akhirnya ada juga yang menyebutkan bahwa di dalam isi Al-Qur’an adalah ilmu filsafat yang sangat tinggi tingkat ilmiahnya, dan sudah barang tentu diakui juga (terutama oleh para ilmuan/peneliti dari luar umat Islam juga), dan termasuk oleh para peneliti dibidang perbandingan agama. Karena, setiap kalimat dan terjemahan Al-quran mengandung makna yang dalam dan membutuhkan kajian khusus.

Bahkan, tidak mudah memaknai kalimat wahyu Kalam Ilahi sehingga muncullah ilmu tasawuf karena kalimat-kalimat dalam Al-quran juga memiliki filsafat ilmu yang sangat tinggi. Mengingat al-qur’an merupakan kalimat Allah yang di terima oleh Rasulullah Saw yang maha Agung. Sedangksn ilmu tasawuf itu sendiri proses pendekatan (untuk menyingkap kebenaran ilahiyahnya), yaitu melalui proses “takhali, takholi, dan tajalli”, sehingga makna yang terkandung di dalam Al-quran tersampaikan dengan proses pendekatan melalui “mulajamatu fi zikir”, mujahadah, muroqobah, makasafah, dan Ma’rifah Ilallah.

Sementara sejatinya dari ilmu filsafat itu sendiri adalah untuk menyingkap keneran yang bersifat nisbiyah, dan ia lebih kepada pendekatan yang bersifat kritis dan rasional, sementara Alqur’an memberikan bimbingan moral dan spiritual. Dengan kata lain, ketiga aspek diatas (al-qur’an, filsafat, dan tasawuf) memiliki keterkaitan yang kuat. Karena, filsafat membantu manusia untuk memahami ajaran Alqur’an secara rasional dan logis. Sedangkan Al-qur’an memberikan pedoman bagi filsafat agar tetap berada dalam kebenaran dan tidak menyimpang. Sedangkan tasawuf menyempurnakan pemahaman dengan pengalaman batin dan pendekatan yang bersifay spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian, filsafat, Alqur’an, dan tasawuf justru dapat saling melengkapi. Karena, keseimbangan antara akal, wahyu, dan hati akan menghasilkan pemahaman yang lebih utuh tentang kehidupan dan ketuhanan.

Lalu muncul pertanyaan, kalau Alqur’an adalah kebenarang yang hakiki, kenapa masih ada orang yang tidak beriman dan tidak percaya kepada al-qur’an? Disitulah manusia pilihan adalah hak tertinggi Allah, hidayah akan datang, yaitu seiring dengan eksperient kita di dunia, hidayah tidak mudah mendapatkannya, butuh perjuangan dan ujian, maka di situlah kekuasaan Allah, belum tentu kita yang Islam dari kecil sampai sekarang ini di pilih oleh Allah untuk mendapatkan hidayah, bisa saja orang yang kurang pati baik (sangat jelek akhlaknya) suatu saat dia “toubat nasuha” maka disitulah hidayah Allah akan muncul, karena Allah maha pengasih lagi maha penyayang, artinya dikasih Allah hidup di dunia belum tentu di sayang, namun jika kita di sayang oleh Allah tanpa memintapun maka Allah akan kasih.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *