Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Pada dasarnya, generasi muda dan mahasiswa dalam masyarakat menempati dua peran penting, yaitu sebagai bagian dari generasi muda yang melanjutkan dan mengisi pembangunan bangsa. Lebih dari itu, generasi muda dan mahasiswa juga sebagai bagian dari kaum intelektual. Menurut Abdul Halim Sani dalam bukunya berjudul “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik”, menerangkan bahwa “Seorang cendekiawan/intelektual merupakan penafsir jalan hidup”. Hal itu sebagaimana kita diketahui bersama, bahwa kata “intelektual” itu sendiri merujuk pada siapa yang memiliki wawasan yang luas terhadap segala bentuk aspek permasalahan di pendidikan formal atau non formal dalam lingkup sosial. Sebagai bentuk makhluk yang berakal selalu memiliki transisi untuk bertransformasi dari zaman ke zaman, maka kaum intelektual agar mampu bertumbuh pada nilai secara ideal, yakni sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, patut dicatat, bahwa intelektual ialah seorang yang menggunakan kecerdasannya untuk selalu mengembangkan sebuah gagasan yang bisa menjawab persoalan tentang berbagai permasalahan secara universal, dan mereka harus terus berupaya mengasah dirinya agar mampu memenuhi nilai-nilai kebutuhan zaman. Dalam hal ini, kaum intelektual harus secara struktural dan kultural menginterupsi situasi di balik hegemoni yang menindas dalam skala nasional maupun di tingkat global.
II. Turbulensi Kaum Intelektual
Secara historis, peran kaum intelektual, meski jumlahnya sedikit, namun sangat strategis dalam menentukan hitam putihnya peradaban suatu bangsa. Karena, negara berperadaban selalu memberikan ruang ekspresi para ilmuwannya dalam melakukan transformasi sosial. Kaum intelektual mengisi setiap wajah peradaban sepanjang masa. Plato, seorang pemikir Yunani, ia pernah mensyaratkan bahwa idealnya seorang pemimpin negara adalah dari kalangan intelektual atau filsuf. Karena bagi Plato, bila kebajikan telah didapat, memimpin orang menuju kemaslahatan, bukanlah hal yang perlu diragukan. Dengan kata lain, bahwa intelektualitas dalam pandangan Plato berbanding lurus dengan kebajikan peradaban.
Sementara Aristoteles, yakni murid setia Plato, ia mensyaratkan satu kriteria lagi, yaitu kepedulian terhadap persoalan masyarakat. Intelektualitas adalah energi kebaikan dan kemajuan peradaban bangsa. Karena, kaum intelektual adalah mereka yang memiliki potensi saintifik dan mengejawantahkan dalam hubungannya dengan lingkungan dan permasalahan yang timbul dalam kehidupan sekitarnya berdasar argumentasi rasional. Perkembangan filsafat Yunani yang berawal dari antitesis atas dominasi mitos dikarenakan adanya ruang berfikir yang dibuka lebar. Para filosof adalah mereka yang mencurahkan pemikiran untuk menunjukkan kebenaran dalam rangka meraih kebahagiaan.
Dengan kata lain, kaum intelektual merupakan kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berfikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan baru. Sementara relasi intelektualitas dengan kemajuan peradaban sebuah bangsa adalah daya analitik dan problem solving. Bagi David Wechsler, intelektualitas adalah totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.
Sedangkan konsepsi intelektualitas dalam Islam disebut “Ulil al-baab”, yaitu mereka yang senantiasa berpikir tentang fakta empirik seperti manusia, kehidupan dan alam semesta yang direlasikan dengan eksistensi Allah. Peradaban “Ulil al-baab” tidak sebatas untuk meraih kemajuan santifik semata, tapi juga untuk mewujudkan kemuliaan perilaku manusia. Hal itu sebagaimana ditegaskan di dalam al-qur’an, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (QS Ali Imran : 190-191). “Maka apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana unta dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”? (QS Al Ghaasyiah : 17-20)
Dengan kata lain, konsepsi intelektualitas dalam peradaban Islam bukan sebatas berfikir, namun juga memberikan peringatan kepada manusia. “Sesungguhnya kami mengutusmu (wahai Muhammad) dengan haq sebagai pemberi kabar gembira (basyiran) dan peringatan (nadziran)” (QS Al Baqarah : 119). “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”. (QS Al Ghaasyiyah : 21). “Dan Kami tidak membinasakan satu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan” (QS Asy Syu’araa : 208).
Lebih dari itu, transformasi peradaban Islam dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama yang menghasilkan pancaran sistem aturan bagi kehidupan manusia dalam konteks mengelola kehidupan dan alam semesta. dari paradigma tauhid inilah transformasi sosial berlangsung dalam kerangka peradaban Islam yang maju dna mulia. Hal itu sebagaimana dibuktikan ketika Islam mengalami masa keemasan atau masa kejayaannya, ysitu di era Dinasti Abbasiya, terutama ketika di abad 8 M. Karena, peradaban Islam membawa kehidupan manusia menjadi kehidupan yang penuh kemajuan dan kemuliaan sekaligus.
Lebih dari itu, transformasi sosial berbasis nilai-nilai agama (tauhid) melahirkan masyarakat yang beriman, bertaqwa dan beradab yang melahirkan keberkahan di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al A’raf : 96). Sebaliknya, jika suatu bangsa, kaum intelektualnya tidak lagi berjalan di atas jalan ilmu yang lurus, alias sudah melakukan penyimpangan, berarti mereka tengah mengalami “Turbulensi Intelektual”. Sementara turbulensi pesawat akan mengakibatkan kegoncangan di udara, sementara turbulensi intelektual akan menyebabkan kekacauan kehidupan sosial suatu bangsa.
Karena, ibarat pesawat yang mengalami turbulensi. Mengingat, turbulensi pesawat merupakan kondisi ketika kecepatan aliran udara berubah drastis. Hal itu membuat tubuh pesawat akan terguncang, baik itu guncangan ringan maupun guncangan yang kuat. Penyebab utama turbulensi pesawat yang terjadi pada umumnya adalah oleh awan, yakni saat pesawat harus menembus awan. Namun lebih dari itu, penyebab turbulensi pesawat setidaknya ada empat level, yakni kegoncangan kecil, sedang, parah dan ekstrim. Level pertama sama sekali tidak memiliki dampak, level dua mengakibatkan pergeseran benda dia tas meja, level tiga bisa mengakibatkan penumpang terlempar dari kursi jika tanpa sabuk pengaman, sementara level empat bisa menghilangkan kendali pilot.
Sementara “turbulensi intelektual” memiliki dampak lebih besar dari turbulensi pesawat. Karena, proses kekacauan pemikiran para intelektual bisa mengakibatkan tranformasi sosial yang destruktif. Disorientasi intelektual akibat faktor internal berupa “logical fallacy” atau faktor eksternal berupa pragmatisme akan berdampak kerusakan fisik maupun non fisis. Pemikiran kaum ateis misalnya, yang nota bene berpaham materialisme telah melahirkan rusaknya peradaban manusia. Begitupun pemikiran sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan juga telah menimbulkan kerusakan sosial. Dengan kata lain, peradaban yang tidak tegak diatas nilai-nilai agama, maka ia akan kehilangan esensi kehidupan, manusia dan alam semesta. Bahkan, peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristiknya saat ini, telah melahirkan bangsa yang kehilangan esensi kemanusiaannya.
Sementara menurut faham psikoanalisa dari Sigmun Freud, dimana libido untuk mendominasi pergerakan pemikiran telah menjadikan peradaban Barat mengalami kekacauan. Dan akhirnya, berbagai bentuk amoralitas terjadi dalam peradaban Barat. Dari paradigma sains sekuler itulah awal dari kerusakan bumi dengan sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta tersebut, yaitu dalam Surat Ar-Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Oleh karena itu, kaum intelektual muslim di Indonesia tentunya memiliki tugas besar dan mulia untuk mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang diridhoi Allah Swt (Baldatun toyyibayun, warobbun ghofur). Namun akan terjadi musibah besar jika kaum intelektual muslim di negeri ini mengalami “turbulensi intelektual” akibat terpapar paham liberalisme, sekulerisme, pluralisme, komunisme dan isme-isme yang berasal dari filsafat Baratisme lainnya. Turbulensi intelektual juga bisa terjadi karena faktor eksternal, yakni ketika kaum intelektual telah menjadi pragmatisme (menjadi budak materi dan kekuasaan). Oleh karena itu, jika kaum intelektual muslim Indonesia yang mestinya terus menjadi lentera pencerah bagi masa depan peradaban bangsa, tapi manakaka kemudian malah mengalami “sesat pikir” karena “virus isme” atau telah menjadi budak materi dan kekuasaan ilegal, maka perjalanan peradaban negeri ini dihawatirkan akan menuju kegelapan dan kehancuran.
III. Kaum Intelektual Sebagai Penawar di Era Digital
Kaum intelektual saat ini memegang peran krusial sebagai “penawar” di era digital, yaitu sebuah periode yang ditandai dengan banjirnya informasi (infodemik), penyebaran misinformasi dan disinformasi, serta tantangan dalam membedakan fakta dari opini. Berikut adalah cara kaum intelektual untuk menjalankan peran tersebut :
A. Memerangi Misinformasi Dan Disinformasi.
Kaum intelektual berfungsi sebagai filter kritis, yaitu dengan menggunakan keahlian mereka untuk memvalidasi informasi dan menyajikan data yang akurat berdasarkan bukti dan metodologi ilmiah. Mereka membantu untuk menavigasi lautan informasi yang menyesatkan.
B. Mengajarkan Literasi Digital Dan Berpikir Kritis.
Peran utama kaum Intelektual adalah mendidik masyarakat agar tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga pengguna media digital yang cerdas dan kritis. Hal itu melibatkan pengajaran cara memverifikasi sumber dan mengenali bias.
C. Menyediakan Analisis Mendalam Dan Kontekstual.
Di tengah konten digital yang serba cepat dan dangkal, kaum intelektual seyogyanya terus menawarkan analisis yang mendalam dan kaya konteks terhadap isu-isu kompleks. Mereka (kaum intelektual) harus membantu masyarakat untuk memahami nuansa di balik berita utama yang sering kali disederhanakan.
D. Membangun Wacana Publik Yang Konstruktif.
Para generasi muda dan kaum intelektual, idealnya mereka harus menyampaikan berbagai gagasannya terutama melalui tulisan, diskusi, dan keterlibatan mereka di berbagai platform, seyogyanya mereka harus bisa mendorong suatu dialog yang rasional dan berbasis bukti, dan terus menghindari perdebatan emosional yang memecah belah bangsa.
E. Menjaga Etika Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan.
Di era otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI), maka generasi muda dan kaum intelektual, harus terus mengingatkan tentang pentingnya etika, privasi, dan martabat manusia, dan terus memastikan bahwa kemajuan teknologi harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Secara ringkas, generasi muda dan kaum intelektual harus berperan sebagai “kompas moral dan intelektual yang esensial”, serta membimbing masyarakat untuk menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.
IV. Menjaga Akal Sehat di Era Digital
Ruang digital hari ini memang tumbuh lebih cepat dari yang bisa dikejar akal sehat manusia. Karena, berbagsi informasi datang silih berganti tanpa henti, menyatu dengan hidup, dan tak jarang membawa risiko. Maka penting adanya kanalisasi (sebuah forum literasi digital) untuk mempertemukan berbagai suara pemerintah, akademisi, kreator, hingga mahasiswa untuk membicarakan satu hal sederhana, yakni bagaimana agar generasi muda kita saat ini mereka tetap selamat dan tidak tersesat, cerdas, dan produktif di dunia digital.
Karena, literasi digital saat ini seyogyanya bukan lagi program sampingan bagi para pemangku kepentingan (pemerintah), tetapi merupakan kebutuhan dasar untuk menjaga masyarakat agar tetap sehat secara informasi. Lebih dari itu, agar generasi muda saat ini, tetap berada di garis depan perubahan digital. Dan tentunya generasi muda harus dibekali dengan berbsgai kemampuan untuk mengenali ancaman, memverifikasi informasi, dan menggunakan media sosial dengan penuh rasa tanggungjawab.
Bagi para pemangku kepentingan (pemerintah), tantangannya bukan hanya sekedar menyediakan internet, melainkan untuk memastikan ruang digital di negeri ini agar tidak menjadi arena mis-informasi yang merugikan publik. Karena, problem yang terjadi saat ini, justru dari masifnya digitalisasi, tak urung juga muncul isu keamanan data, perundungan daring, hingga penyebaran hoaks. Oleh karena itu, pengetahuan digital menjadi perisai penting bagi siapa pun yang hidup di era digital saat ini. Karna, di era digital saat ini tak urung juga banyak (oknum) masyarakat yang kemudian terpeleset oleh pola konsumsi informasi yang serba cepat. Karena, mereka terlalu sering membaca judul, dan bukan pada isinya. Terlalu sering bereaksi, sebelum berpikir. Lebih dari itu, menurut tinjauan penulis, para pembaca muda saat ini, mereka juga terkesan lebih percaya konten viral dibanding artikel jurnalistik terverifikasi. Memang bukan salah mereka, karena struktur digital saat ini dirancang untuk menarik perhatian, namun digital saat ini kerapkali juga mengabaikan asfek edukatif dan kependidikan.
Tapi bagaimanapun, digitalisasi saat ini seharusnya tidak juga dipandang sebagai ancaman, tetapi merupakan bagian dari kesempatan untuk memperluas cakrawala belajar generasi muda kita. Oleh karena itu, maka kita perlu untuk mengajarkan mereka (generasi muda) berpikir kritis, memahami konteks, dan membangun etika digital. Lebih dari itu menurut pandangan penulis, bagaimana agar generasi muda saat ini, mereka bisa mempelajari keterampilan baru dari internet, seperti membuat portofolio daring, hingga memulai bisnis, ikut menjadi konten kreator yang kreatif-edukatif, yang pada akhirnya bisa menghasilkan uang (cuan) dari konten kreatornya itu. Namun, semua itu hanya mungkin jika mereka (generasi muda) bisa memilah dan memilih, yakni mana konten yang bermanfaat, dan mana yang menyesatkan.
Bahkan saat ini menurut tinjauan penulis, banyak juga anak muda yang berbakat dan sekaligus menjadi konten kreator yang telah berhasil, alias bisa meraup keuntungan (dapat uang jutaan rupiah setiap bulannya) dari hasil konten kreatornya. Bahkan, menurut cerita beberapa anak muda yang sudah berhasil di dunia konten kreatornya, konon katanya, awal mula mereka menjadi konten kreator, umumnya membuat video, dan terus mereka berproses, dan belajar dari berbagai kesalahan dan kekurang konten yang mereka miliki. Lebih dari itu, mereka juga kerapkali mendapatkan suport dan komentar-komentar positif dari warganet, dan seterusnya. Bahkan saat ini, sudah ada kelas khusus untuk mendidik ansk-anak muda untuk menjadi konten kreator yang bisa berhasil.
Sementara menurut pengalaman penulis senduri (kebetulan saat ini penulis juga sudah menjadi konten kreator), nyatanya memang dunia digital ini terkesan keras, tapi juga penuh peluang. Yang penting kita punya prinsip dan niat yang baik. Yakni, bagaimana agar sebuah konten yang mengedukasi, sederhana, dan bermuatan informasi, kemudian kita buat dan kita kemas agar bisa berdampak positif bagi publik, dan lalu kita unggah ke sosial media kita (fb-pro) agar bisa firal dak kemudian akhirnya bisa termonetisasi (oleh pihak Meta). Dan itu harus berawal dari proses konsistensi, semangat, tanpa menyerah dan lain sebagaunta. Terutama bagi para konten kreator yang aktif di facebook profesional (fb-pro). Setiap hari kita harus konsisten untuk mengunggsh foto maupun vidio di fb-pro kita itu. Lalu, bagaimana agar konten-konten kita itu untuk bisa kemas secara apik dan kreatif. Pada akhirnya yang penulis alami, tak urung juga sedikit demi sedikit (dolarnya ada yang nempel) di postingan yang penulus unggah, dan kebetulan fb-pro penulis juga sudah termonetisasi oleh pihak Meta.
Bahkan masyarakat kita saat ini sudah mengenal betul istilah dunia konten kreator, dan kita yang punya kreatifitas tentunya silahkan untuk ikut di dalamnya (menjadi konten kreator). Karena, kegiatan konten kreator membantu membuka mata kita, terutama tentang risiko digital. Namun, kita juga harus lebih berhati-hati, karena dunia digital saat ini terkesan sangat menyenangkan, tapi juga penuh jebakan. Untuk itu menurut pendapat penulis, agar generasi muda saat ini bisa lebih bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang belum jelas. Dan oleh karena itu, literasi digital agar sesering mungkin untuk disuguhkan kepada generasi muda saat ini, karena dengan memahami literasi digital, setidaknya bisa mengubah cara pandang generasi muda yang awalnya acuh terhadap digitalisasi, tapi mau berproses dan mau berkreatifitas melalui konten kreator misalnya, yang akhirnya bisa juga menghasilkan sesuatu yang bersifat ekonomis.
Oleh karena itu, saat ini generasi muda harus lebih semangat untuk memanfaatkan teknologi. Karena banyak sekali potensi yang bisa digarap. Karena, ilmu komunikasi tidak lagi terbatas pada ruang kelas, tapi di ruang digital juga memberi panggung yang luas bagi kreativitas. Dengan kata lain, digitalisasi saat ini bukan sekadar fenomena, melainkan sudah menjadi ruang hidup baru yang harus dipahami oleh kita semua. Oleh karena itu, tulisan kali ini mencoba untuk menjadiksn “efisentrum” antara idealisme generasi muda dan kebutuhan masyarakat terhadap literasi digital. Bahkan, perpaduan antara pandangan pemerintah, akademisi, para konten kreator, dan generasi muda yang kreatif pada umumnya, hal itu menunjukkan bahwa isu soal dunia digitalisasi sudah tidak bisa dikerjakan satu pihak saja, tapu membutuhkan kolaborasi, keberlanjutan, dan ruang-ruang dialog yang membuat generasi muda bisa merasa dekat dengan isu digital. Karena pada faktanya, generasi muda (mahasiswa) adalah pengguna paling aktif dan paling rentan dalam ekosistem internet. Oleh karena itu, sosialisasi tentang urgensi literasi digital, tentunya harus berlanjut, agar generasi muda kita menjadi pengguna digital yang lebih bijak, lebih berdaya, dan lebih manusiawi.
V. Gadget Sebagai Sahabat, Atau Sebagai Penghalang Intelektual
Di era digital yang penuh dengan teknologi canggih saat ini, gadget telah menjadi sahabat setia setiap generasi muda. Tak terbayangkan rasanya menjalani kehidupan di ruang kelas dan di kampus misalnya, tanpa smartphone, laptop, atau tablet di genggaman. Namun, di balik kemudahan luar biasa yang terjadi saat ini, ada sebuah pertanyaan besar yang tak bisa diabaikan: Apakah gadget benar-benar meningkatkan intelektual generasi muda (mahasiswa) kita? Atau justru menjadi musuh tersembunyi yang merusak fokus dan kreativitas mereka dalam konteks belajar?
Teknologi, dengan segala keajaibannya, seakan menawarkan dunia tanpa batas bagi generasi muda, karena ia telah memberikan akses instan ke lautan informasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, gadget juga bisa menjadi bom waktu, yang perlahan-lahan akan mengikis habis kemampuan berpikir kritis generasi muda kita, mengurangi interaksi sosial, dan bahkan mengancam kesehatan mental. Oleh karena itu, mari kita telusuri lebih dalam, apakah gadget ini benar-benar menjadi pintu gerbang menuju kecerdasan yang lebih tinggi, atau malah membawa generasi muda dan mahasiswa kita ke dalam pusaran distraksi tanpa akhir? Era digital saat ini bukan sekadar tentang kemajuan, tetapi tentang bagaimana kita mampu mengendalikan teknologi demi mencapai puncak intelektual. Namun realitanya, pengaruh gadget terhadap intelektual generasi muda dan mahasiswa kita di era digital saat ini, hal itu dapat dilihat dari dua sisi, positif dan negatif :
A. Pengaruh Positif
- Akses Informasi.
Gadget mempermudah akses generasi muda (mahasiswa) terhadap sumber ilmu pengetahuan dan referensi akademik dari berbagai platform online seperti jurnal, e-book, dan video pembelajaran. - Peningkatan Keterampilan Teknologi.
Penggunaan gadget mempercepat mahasiswa untuk menguasai teknologi yang relevan dengan perkembangan industri dan karir di masa depan. - Kolaborasi Dan Komunikasi.
Gadget memfasilitasi mahasiswa untuk berkomunikasi dengan dosen dan rekan mereka dalam diskusi atau proyek kelompok melalui aplikasi komunikasi dan media sosial. - Pembelajaran Mandiri.
Dengan gadget, mahasiswa dapat belajar secara mandiri melalui platform e-learning, video tutorial, dan aplikasi edukasi lainnya.
B. Pengaruh Negatif
- Distraksi Dan Penurunan Konsentrasi.
Gadget seringkali menjadi sumber gangguan seperti media sosial, game, atau aplikasi hiburan lainnya yang dapat mengurangi konsentrasi mahasiswa dalam belajar. - Penurunan Kemampuan Analitis.
Ketergantungan pada teknologi untuk memecahkan masalah atau mendapatkan informasi secara instan bisa melemahkan kemampuan analitis dan kritis mahasiswa. - Kesehatan Mental Dan Fisik.
Penggunaan gadget secara berlebihan dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti kelelahan mata, gangguan tidur, dan kecemasan yang memengaruhi kinerja intelektual mahasiswa. - Kurangnya Interaksi Sosial Tatap Muka.
Meskipun komunikasi digital meningkat, interaksi sosial secara langsung seringkali berkurang, yang berpotensi menurunkan keterampilan komunikasi interpersonal dan kecerdasan emosional.
Oleh karena itu, gadget memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intelektual generasi muda (mahasiswa) kita, namun dampaknya sangat tergantung pada bagaimana penggunaannya. Oleh karena itu, generasi muda dan mahasiswa kita saat ini, memang perlu bijak dalam menggunakan gadget agar manfaatnya dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan aspek lain dalam kehidupan akademik dan pribadi.
Pada akhirnya, gadget adalah pedang bermata dua. Ketika berada di tangan yang bijak, ia bisa menjadi alat luar biasa untuk mengasah intelektual dan membuka peluang tak terbatas. Namun, ketika tanpa kendali, maka ia malah bisa mengaburkan fokus dan menghambat potensi. Kuncinya ada di generasi muda dan mahasiswa kita saat ini, yakni untuk bisa memanfaatkan teknologi sebagai jembatan menuju masa depan, bukan malah sebaliknya, yakni sebagai jebakan yang terus menahan langkah kemajuan. Era digital saat ini adalah kesempatan emas, tinggal bagaimana kita menggunakannya secara positif.
