Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Pulau Sumatera saat ini tengah menghadapi musibah dan krisis ekologi serius yang memuncak pada bencana besar di penghujung tahun 2025. Kita tentunya ikut berduka sekaligus berdo’a, semoga almarhum almagfurlah yang wafat akibat musibah tersebut, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt. Amin. Oleh karena itu, untuk mengantifisir musibah yang kemungkinan akan terjadi dimasa yang akan datang, maka penerapan konsep ekologi menjadi sangat penting. Karena, bencana yang terjadi di Pulau Sumatera di bulan yang lalu, bukan lagi murni fenomena alam, tapi besar-kemungkinan akibat kegagalan tata kelola lingkungan.

Sedangkan wilayah yang terdampak musibah (akibat banjir bandang dan tanah longsor) akhirnya melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sedangkan dampaknya menurut data BNPB per 14 Desember 2025, tercatat sedikitnya 1.016 orang meninggal dan 212 orang hilang, dan penyebab utamanya adalah oleh ekologis, yakni bencana tersebut dipicu oleh hujan ekstrem yang tidak lagi mampu diserap oleh alam karena deforestasi masif (yang diindikasikan kehilangan ribun hektar hutan primer sejak 2002) dan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) di sepanjang Bukit Barisan.

Oleh karena itu, betapa pentingnya penerapan konsep ekologi. Bahkan, konsep ekologi dalam pembangunan dan kebijakan sangat mendesak, hal itu untuk mencegah bencana serupa dimasa yang akan datang. Kemudian proses pemulihan fungsi hulu dan DAS. Artinya, hutan di wilayah hulu (seperti ekosistem Batang Toru dan Bukit Barisan) agar berfungsi sebagai penyerap air alami). Hal itu untuk mengembalikan fungsi ekologis, dan hal itu juga bisa mengurangi volume air yang langsung mengalir ke hilir saat hujan deras. Kemudian dilakukan proses penataan ruang berbasis risiko. Artinya, penting untuk menerapkan analisis risiko ekologis dalam pemberian izin lahan agar tidak membangun di kawasan rawan atau mengubah kawasan resapan menjadi perkebunan/tambang secara berlebihan.

Sedangkan solusi berbasis alamnya (nature-based solutions), yaitu proses penerapan strategi seperti reforestasi riparian (pinggir sungai), konservasi lahan basah, dan penanaman pohon berakar dalam upaya untuk menjaga kestabilan lereng. Sementara akuntabilitas dan forensik ekologinya, yaitu menggunakan “ilmu forensik bencana ekologi”, hal itu untuk menginvestigasi penyebab banjir, apakah karena faktor cuaca atau pelanggaran pemanfaatan lahan oleh korporasi, sehingga ada penegakan hukum yang adil. Melalui pendekatan ekoteologi dan tata kelola yang berkelanjutan, maka alam tidak lagi dianggap sebagai objek eksploitasi, melainkan bagian dari sistem penopang hidup yang harus dijaga keseimbangannya oleh kita semua.

II. Bencana Sumatera :
“Pandangan Ekoteologis Dan Krisis Kebijakan Lingkungan”

Musibah ekologis yang menghantam Pulau Sumatera pada akhir November 2025 yang lalu, bukan lagi sekadar peristiwa geologis ekstrem, melainkan cermin dari relasi manusia dengan alam yang rusak akibat eksploitasi. Ketika bencana terjadi secara berulang dan skalanya semakin besar, pertanyaan paling logis bukan lagi mengapa alam itu bisa murka ya…? Tetapi, mengapa manusia mengabaikan rambu-rambu ekologis yang diwariskan oleh leluhur? Bahkan, dulu Pulau Sumatera pernah juga menjadi contoh harmoninya masyarakat dan hutan, namun ketika sistem nilai itu digantikan oleh logika ekstraktif dan kebijakan perizinan yang permisif, maka keseimbangan itu menjadi runtuh. Pada titik inilah ekoteologi Nusantara bukan hanya perlu dibahas, tetapi harus dipertimbangkan sebagai fondasi tata kelola lingkungan negara.

A. Ekoteologi Nusantara Sebagai Dasar Relasi

Dalam masyarakat adat Nusantara seperti Minangkabau, Dayak, dan masyarakat Suku Baduy, di Leubak-Banten. Bahwa hutan dan sungai bukan sekedar ruang ekonomi murni, melainkan bagian dari tatanan moral dan spiritual mereka. Di Minangkabau misalnya, sistem hutan ulayat dan ritual buka rimbo memastikan penggunaan hutan tidak melampaui daya dukung ekologis. Menurut hasil riset para peneliti lingkungan telah menunjukkan bahwa nagari yang mempertahankan tata kelola adat, ia malah mampu menjaga tutupan hutan lebih stabil selama 15 tahun terakhir dibandingkan wilayah yang mengandalkan regulasi perizinan pemerintah. Demikian juga di Kalimantan, masyarakat Dayak Kenyah dengan konsep tana’ ulen, mereka menempatkan hutan sebagai zona sakral, sehingga penebangan hanya diperbolehkan untuk kepentingan adat tertentu. Bahkan, hasil tela’ah kritis para peneliti menemukan bahwa wilayah tana’ ulen memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis yang sebanding dengan taman nasional. Demikian juga di internal masyarakay Baduy (dalam), keberadaan “Leuweung Kolot” dijaga sebagai hutan primer yang tidak boleh sembarangan disentuh. Hal itu menunjukkan sistem itu (sistim adat Baduy dalam) telah menjaga stabilitas debit Sungai Ciujung dan mencegah banjir besar di hilir.

Oleh karena itu, melalui contoh-contoh diatas, tampak bahwa masyarakat adat bisa menjaga alam bukan karena regulasi teknis, tetapi karena relasi etis dan spiritual. Dengan kata lain, krisis lingkungan terjadi saat ini, karena manusia memposisikan diri sebagai pusat dan alam sebagai alat, sehingga menghapus etika ekologis dalam diri manusia. Sejalan dengan itu, penulis juga berpendapat bahwa dalam perspektif ekoteologi Islam misalnya, maka pengelolaan bumi merupakan amanah, sementara pengabaian terhadap amanah itu sudah pasti akan berakibat kerusakan sosial dan ekologis. Maka ekoteologi bukan konsep abstrak, tetapi merupakan kerangka hidup yang telah terbukti mengamankan keberlanjutan ekologis selama berabad-abad.

B. Bencana Alam Atau Akibat “Krilulogi” Kebijakan Manusia?

Musibah yang dahsyat di akhir November 2025 di Pulau Sumatera, hal itu telah memperlihatkan, bagaimana kerusakan ekologis kembali menghasilkan penderitaan bagi masyarakat. Banjir bandang dan longsor yang melanda wilayah Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, hingga Aceh, dan tak urung juga akhirnya mengorbankan ratusan jiwa dan memaksa ratusan ribu warga untuk mengungsi. Bahkan, kita menyaksikan bagaimana banjir bandang itu menyapu bersih pemukiman, menghancurkan jembatan dan berbagai akses jalan, serta meninggalkan kerusakan parah pada berbagai infrastruktur yang ada.

Banyak para analis dan para aktivis lingkungan yang menilai, bahwa musibah banjir bandang itu akibat deforestasi besar-besaran untuk industri (tambang dan kehutanan komersial) yang akhirnya memperburuk banjir dan longsor. Karena, di sejumlah titik wilayah yang dilanda banjir, memang berada dalam konsesi perkebunan atau penebangan kayu. Bencana yang seharusnya bisa diredam, malah menjadi tragedi kemanusiaan karena kerusakan ekosistem yang menghilangkan daya tahan alami lingkungan. Dengan demikian sangat jelas bahwa bencana itu bukan semata hujan ekstrem. Ia adalah akibat dari pemutusan relasi manusia dengan alam, dan relasi itu diputus oleh sistem ekonomi dan “krilulogi” kebijakan dan bukan oleh masyarakat adat itu sendiri.

C. Keterputusan Negara Dan Kearifan Ekologis

Pemerintah selama ini memang sudah berupaya untuk menangani bencana dengan respons tanggap darurat yang cepat, namun memang masih mengalami kegagalan untuk mengatasi akar persoalan musibah yang terjadi. Karena, kebijakan lingkungan terkesan masih berpijak pada “paradigma pertumbuhan ekonomi”, dimana hutan dianggap aset untuk dieksploitasi demi investasi. Sistem tersebut menempatkan masyarakat adat, seolah-olah sebagai hambatan pembangunan, bukan mitra konservasi. Bahkan, menurut penelusuran para peneliti lingkungan telah menunjukkan, konon katanya, kurang lebih sekitar 63 persen konflik tenurial di sektor kehutanan terjadi karena tumpang tindih antara konsesi industri dan wilayah adat. Hal itu membuktikan bahwa para pemangku kepentingan terkesan mengabaikan tata kelola ekologis yang berbasiskan nilai, yang realitanya telah terbukti berhasil menjaga keseimbangan alam.

Oleh karena itu, bencana di Pulau Sumatera 2025, seharusnya menjadi titik balik kesadaran bagi kita semua. Namun, manakala para pemangku kepentingan itu terus memberi izin penebangan di wilayah rawan ekologis, membatasi ruang adat, dan meminggirkan struktur spiritual masyarakat lokal, maka siklus bencana alam hanya akan terus berulang berulang-ulang. Untuk itu, harus ada upaya-upaya dari kita semua, dan dari berbagai pihak untuk membenahi kebijakan lingkungan, yaitu untuk mengelola bumi dengan rasa hormat, melibatkan komunitas adat dalam konteks pengambilan keputusan, dan menolak pembangunan yang mengorbankan keseimbangan ekologis. Kita (Indonesia) tidak kekurangan data ilmiah, tidak juga kekurangan tradisi kearifan lokal, dan tidak kekurangan juga soal penjelasan teologis tentang pentingnya untuk menjaga alam. Yang kurang adalah keberanian politik untuk menempatkan keberlanjutan ekologis di atas kepentingan ekonomi sesaat. Jika para pemangku kepentingan berani untuk menjadikan nilai spiritual dan kearifan ekologis itu sebagai fondasi kebijakan publik, maka bencana tidak lagi menjadi nasib, tetapi sejarah berulang tentang musibah banjir akan bisa dihentikan.

III. Krisis Ekologis :
“Tragedi Banjir Dan Longsor Sumatera”

Krisis ekologi modern bukanlah semata-mata krisis teknologi, ekonomi, maupun politik, melainkan pada dasarnya adalah krisis spiritual dan intelektual. Hal itu terjadi (termasuk musibah di Pulau Sumatra), akibat krisis ekologis modern. Hal itu sebagaimana telah diungkapkan di sub judul bagian atas. Karena, di penghujung tahun 2025, kembali menjadi saksi bisu tentang tragedi kemanusiaan dan ekologis yang memprihatinkan. Curah hujan ekstrem, yang dipicu oleh dinamika atmosfer global, bertemu dengan kerentanan ekologis akibat praktik degradasi hutan/deforestasi di kawasan hulu, mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dan akhirnya tidak hanya menelan korban jiwa dalam jumlah masif dan kerugian materiil yang besar, tetapi menegaskan tentang adanya krisis hubungan fundamental antara manusia modern dengan alam. Bahkan, musibah tersebut menuntut lebih dari sekadar respons tanggap darurat dan mitigasi teknis. Tapi, memerlukan refleksi filosofis dan hukum yang mendalam mengenai akar spiritual dan etis-moral. Dalam konteks ini, menurut pandangan filsuf dan ekolog Islam, yaitu menurut Seyyed Hossein Nasr, ia kemudian menawarkan kerangka pemikiran yang relevan melalui konsep “etika ekologis” yang berakar pada pandangan dunia tradisional dan spiritualitas kosmik.

A. Krisis Lingkungan Sebagai Krisis Spiritual

Dr. Sayyed Hossein Nasr, berargumen bahwa krisis ekologi modern, bukanlah semata-mata krisis teknologi, ekonomi, maupun politik, melainkan pada krisis spiritual dan intelektual yang bersumber dari pandangan dunia antroposentrisme modern. Bahkan menurut Sayyed Hussein Nasr, sudah terjadi penurunan status sakral alam (desakralisasi) saat ini. Karena, ilmu pengetahuan modern dan pandangan dunia rasionalis telah mencabut status sakral alam semesta. Alam yang dalam pandangan tradisional dipandang sebagai manifestasi Tuhan dan cermin keesaannya, akhirnya direduksi menjadi sekadar objek materiil, sumber daya yang tidak berjiwa, siap untuk dieksploitasi tanpa batas demi pemuasan hasrat material manusia (Nasr, 1996).

Tragedi di Pulau Sumatra pada penghujung 2025 adalah manifestasi nyata dari desakralisasi ini. Penebangan hutan secara masif, baik legal maupun ilegal untuk perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), hal itu menunjukkan kegagalan manusia untuk melihat hutan bukan sebagai aset ekonomi semata, tetapi sebagai makhluk hidup yang menjalankan fungsi kosmik vital, yaitu untuk menahan air, menjaga kesuburan, dan menopang kehidupan. Kerusakan ekosistem hutan di hulu itulah yang menghilangkan daya dukung alam dalam upaya untuk meredam cuaca ekstrem, yang akhirnya mengubah hujan lebat menjadi galodo (banjir bandang) yang membawa material longsor dan gelondongan kayu.

  1. Konsep Khalifah Dan Tanggung Jawab Moral

Dalam ekoteologi Islam, yakni apa yang telah dikemukakan oleh Sayyed Hussein Nasr, manusia adalah sebagai khalifah fil ard (wakil) Tuhan di bumi. Peran tersebut menuntut pertanggungjawaban dan pemeliharaan (amanah), bukan dominasi dan kesewenang-wenangan (Nasr, 2011). Merusak alam berarti merusak tanda-tanda dan sifat-sifat Ke-Tuhanan, dan sekaligus mengkhianati amanah yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan. Bencana banjir dan longsor di Pulau Sumatra adalah feedback (umpan balik) yang brutal dari alam atas pengkhianatan amanah tersebut. Hukum, dalam perspektif ini, harus bergerak melampaui sanksi pidana dan perdata atas perusakan lingkungan semata, tetapi juga harus mencakup pertanggungjawaban moral dan spiritual atas kegagalan manusia dalam rangka menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Kegagalan tata kelola lingkungan yang berujung pada korban jiwa dalam jumlah masif, bukan hanya merupakan tindak pidana lingkungan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, melainkan juga kejahatan moral kosmik. Sementara dimensi hukum dan etika ekologis, hal itu sebagaimana etika ekologis yang telah diuraikan oleh Sayyed Hussein Nasr, yaitu menuntut adanya reformasi paradigmatik dalam sistem hukum dan tata kelola lingkungan.

  1. Keadilan Ekologis (Eco-Justice) Dalam Kerangka Hukum

Keadilan ekologis menegaskan bahwa kerusakan lingkungan memiliki dimensi sosial. Degradasi hutan di hulu Pulau Sumatra, yang seringkali didorong oleh kepentingan korporasi, pada akhirnya memunculkan bencana yang korbannya adalah masyarakat rentan di hilir. Hal itu, bentuk ketidakadilan ekologis. Sementara dalam perspektif hukum, penting untuk : Mengintegrasikan Prinsip Precautionary dan Intergenerational Equity yang dapat dimanifestasikan dengan memastikan bahwa kebijakan pemanfaatan sumber daya alam, seperti izin Hak Guna Usaha (HGU), Izin Usaha Pertambangan (IUP), atau Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), tidak hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga risiko bencana jangka panjang (prinsip kehati-hatian) dan hak generasi mendatang atas lingkungan yang sehat (prinsip keadilan antargenerasi). Menerapkan Strict Liability yang dapat diwujudkan dengan menguatkan implementasi pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Sementara korporasi yang kegiatannya terbukti berkorelasi kuat dengan kerusakan ekosistem hulu yang memicu bencana, hal itu tentunya harus bertanggung jawab atas kerugian ekologis dan kemanusiaan.

  1. Bencana Alam, Isyarat Ilahi, Dan Seruan Untuk Tobat Ekologis

Dr. Sayyed Husein Nasr, dalam tafsir atas ayat-ayat Al-Qur’an (misalnya QS. Ar-Rum: 41), seringkali ia menyerukan tobat ekologis. Karena sejatinya bahwa bencana alam juga bagian dari “Isyarat Ilahi” agar manusia kembali (bertobat) kepada jalan yang benar dalam konteks mengelola alam dan bumi. Hukum harus memfasilitasi kembali melalui instrumen yang mendorong restorasi dan regenerasi ekosistem, bukan sekadar hukuman. Hal itu dapat dimanifestasikan dengan: Sanksi Pemulihan Ekologis yang Maksimal : Memaksa pelaku perusakan lingkungan untuk memulihkan kerusakan hingga ke kondisi semula (atau yang mendekati). Dalam kasus banjir bandang dan tanah longsor di Pulau Sumatra misalnya, dapat diwujudkan dengan melakukan restorasi masif di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan berbagai spesies lokal, bukan sekadar penanaman monokultur yang tidak efektif. Sementara penguatan Environmental Law Enforcement : Mengusut tuntas penyalahgunaan izin yang menjadi faktor pemicu utama bencana, yang seringkali melibatkan (oknum-oknum tertentu). Dan hukum tentunya harus menjadi penjaga amanah, bukan alat legitimasi eksploitasi.

  1. Menegakkan Etika Kosmik Dalam Regulasi

Bencana banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatra pada penghujung 2025 adalah lonceng peringatan kosmik yang tidak boleh diabaikan. Dari perspektif etika ekologis Seyyed Hossein Nasr misalnya, karena tragedi itu berakar pada krisis spiritual manusia modern yang memandang alam sebagai benda mati yang terlepas dari Tuhan dan hanya berfungsi sebagai komoditas. Oleh karena itu, hukum sebagai instrumen tata kelola masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menginternalisasi etika kosmik itu. Bukan lagi hukum yang bersifat antroposentris, yang hanya melindungi kepentingan ekonomi manusia, melainkan hukum yang bersifat ekosentris dengan landasan spiritual. Ekosentrisme berarti mengakui nilai intrinsik alam, menegakkan prinsip dasar kekhalifahan yang bertanggung jawab, dan menjadikan kesehatan ekosistem sebagai prioritas di atas kepentingan modal. Apabila paradigma itu gagal diimplementasikan, maka Pulau Sumatra dan bagian wilayah lainnya di negeri ini, tidak menutup kemungkinan akan terus menghadapi bencana berulang. Sementara pemulihan pasca bencana harus diarahkan pada keseimbangan baru yang memadukan sains, teknologi mitigasi, kearifan lokal, dan kearifan spiritual, agar kelak manusia bisa kembali mendengar “bahasa alam” yang kini berteriak di Pulau Sumatera dalam bentuk bencana dan air mata.

IV. Urgensi Ekoteologi

Alam merupakan “perwujudan” dari sifat-sifat Tuhan, sedangkan merusak alam sama dengan mecederai sifat-sifat Tuhan. Fakta terjadinya kerusakan lingkungan, maka perlu menjadi perhatian setiap agama sekalipun modernitas kerapkali memudarkan kepercayaan kita terhadap penanganan krisis lingkungan pada taraf membahagiakan manusia. Sedangkan sikap “Niretik” meliputi tindakan-tindakan arogansi manusia terhadap lingkungan. Karena pengrusakan alam seperti penebangan liar dan eksploitasi laut adalah contoh habit atau sikap yang “Niretik”. Alam seolah-olah tidak lagi bernilai di hadapan manusia, kecuali sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan hidup.

Konferensi global yang pernah dilaksanakan beberapa tahun yang lalu, yang juga dihadiri oleh Sayyed Hussein Nasr, dan membahas mengenai agama dan ekologi dunia di Universitas Harvard, saat itu meninjau sumber daya intelektual dan simbolis pada kultur atau tradisi keagamaan tertentu. Tradisi keagamaan dalam tinjauan itu mencakup praktik, ritus, dan bangunan ritual yang berhubungan dengan alam. Dalam bukunya berjudul “Menanam Sebelum Kiamat”, Dr. Sayyed Hossein Nasr, memetakan dua pendekatan keagamaan untuk menangani krisis lingkungan. Pertama, pemecahan krisis harus dilakukan atas pertimbangan segala sesuatu yang metafisis, situasi yang sedang berlangsung, target perubahan jangka pendek, dan perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis harus dilakukan melalui penjabaran ontologi yang meliputi kausalitas dan faktor yang mendorong munculnya krisis. Hal itu harus diikuti pula dengan dasar keilmuan atau epistemologis yang mencakup kerangka rohani, kerangka intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan terjadinya krisis dengan tetap mengacu pada penyebab pertama. Pendekatan kedua merupakan komponen yang paling penting dan berkontribusi menimbulkan pengaruh yang lebih nyata.

A. Memahami Ekoteologi

Secara teoritis, istilah ekologi itu sendiri diambil dari bahasa Yunani “oikos” dan “logos”. Oikos berarti habitat dan logos artinya ilmu. Dalam pengertian yang lebih universal, oikos bukan hanya tempat tinggal, tapi juga diartikan sebagai kosmos atau alam semesta. Dengan demikian, oikos diartikan secara luas sebagai seluruh alam semesta beserta makhluk hidup yang saling berinteraksi dengan keseluruhan ekosistem. Sementara itu, teologi merupakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan hal transendental atau ketuhanan. Ekoteologi kemudian didefinisikan sebagai relasi antara agama dengan alam atau agama dengan lingkungan. Ekoteologi secara universal dimulai dari premis mengenai relasi antara paradigma transendental atau paradigma manusia dengan kerusakan manusia.

B. Ekoteologi Badiuzzaman Said Nursi

Membicarakan ekoteologi tidak luput dari berbagai pemikiran tokoh intelektual, salah satunya Badiuzzaman Said Nursi. Nursi mengatakan bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena kekeliruan manusia dalam memahami alam. Cara pandang yang keliru akan menghasilkan manusia yang “Niretik” dalam memandang alam. Secara khusus, Nursi mengkritik materialisme manusia pada alam. Saat dilepaskan dari nilai teologisnya, nilai sakral alam hilang dan berganti menjadi instrumen pemenuhan kebutuhan manusia semata. Itulah yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi terhadap alam secara masif. Selanjutnya, kegiatan eksploitasi alam ini dikapitalisasi oleh segelintir orang dengan dalih untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Nursi menghadirkan kesadaran spiritual dalam memahami alam atau cara pandang teologi terhadap alam. Hal terpenting dalam pemikirannya adalah adanya kesadaran ontologis antara Tuhan dengan makhluknya. Artinya, eksistensi alam tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Tuhan yang merupakan puncak eksistensi. Nursi memahami alam semesta sebagai manifestasi-manifestasi (tajalliyat) Tuhan, tepatnya manifestasi dari sifat-sifat, nama, dan tindakan Tuhan. Dalam relasinya dengan manusia, Nursi mengatakan bahwa alam adalah validasi kuat bagi eksistensi Tuhan.

Dalam kacamata Nursi, refleksi mengenai substansi manusia dalam konteks memahami alam sangat penting diuraikan mengingat konsepsi manusia seringkali disalahartikan. Dengan dalil, manusia sebagai khalifah di bumi yang memiliki porsi lebih tinggi dibandingkan dengan alam dan suasana jagat raya ini. Persepsi itu menimbulkan semangat kapitalisme terhadap alam yang memandang alam sebagai komoditas ekonomi. Dalam konteks ini, Franz Magnis Suseno menilai bahwa manusia modern menganggap alam dalam sifat teknokratik, yakni menempatkan alam sebagai objek yang harus dikuasai dan dimanfaatkan.

C. Titik Temu Ekologi Dengan Agama

Agama secara umum seyogyanya mampu menyatukan umatnya untuk peduli terhadap lingkungan. Hal itu merupakan amanah penting yang harus diemban oleh setiap umat beragama. Alam telah memberi berbagai manfaat, mulai dari tatanan primer hingga sekunder. Alam jugalah merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan. Umat manusia yang beragama seharusnya mempunyai spirit untuk menjaga alam semesta. Boleh dikatakan, agama memainkan kebijakan penting dalam mendobrak krisis lingkungan. Agama dapat memengaruhi kebijakan terkait lingkungan secara efektif melalui etika lingkungan. Tradisi agama yang merangkul isu ekologi dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap masalah lingkungan. Di samping itu, sikap-sikap ekologis dalam hubungan antar agama yang mencakup toleransi, kebebasan, keterbukaan, dan kejujuran bisa mendorong keadilan ekososial. Akhirnya, semua manusia menyadari krisis ekologi atau kerusakan lingkungan saat ini bukan dari agama, melainkan dari kapitalisme beserta sistem ekonomi yang melihat bahwa alam ini bisa eksplorasi oleh manusia sesuka hatinya.

D. Intisari Dari Konsep Ekoteologi

Secara substantif, ekoteologi adalah cabang dari teologi, yaitu yang mengkaji hubungan antara agama, spiritualitas, dan lingkungan hidup, dan memandang bahwa pemeliharaan alam sebagai bagian integral dari iman dan ibadah, bukan sekadar isu etika atau sains. Sedangkan konsep ekoteologi berpendapat bahwa krisis lingkungan adalah masalah spiritual yang menuntut refleksi teologis untuk memahami peran manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) dalam merawat ciptaan-Nya, dengan menekankan pada nilai intrinsik dan spiritual alam semesta sebagai ciptaan Tuhan.

Sedangkan konsep utama ekoteologi, yaitu hubungan Tuhan, Manusia, dan Alam, dan menegaskan bahwa Tuhan, manusia, dan alam saling terkait erat, dan keselamatan tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk seluruh ciptaan Tuhan. Sedangkan alam sebagai ciptaan Tuhan, bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan memiliki nilai spiritual, moral, dan religius, sebagai tanda kebesaran sifat Tuhan. Sementara manusia sebagai khalifah di muka bumi, menekankan bahwa tugas manusia untuk merawat dan menjaga alam, bukan merusaknya, karena merusak alam adalah dosa kolektif. Dengan kata lain, bahwa perspektif agama dalam konteks ekoteologis, yaitu mengintegrasikan ajaran agama untuk menyelesaikan masalah lingkungan, menjadikan isu ekologis sebagai isu “Iman” dan “Ibadah”. Sedangkan penerapan ekoteologi salah satunya adalah pada titik tekan pendidikan, yaitu upaya mengembangkan kurikulum agama yang memasukkan nilai-nilai pelestarian lingkungan di sekolah dan di pesantren misalnya. Lebih dari itu, harus ada sebuah gerakan sosial, yaitu untuk mendorong gerakan hijau dan program ramah lingkungan.

Lebih dari itu, harus dilakukan dialog lintas agama, yaitu upaya untuk terus menyelenggarakan forum diskusi antar agama, demi tersosialisasikannya isu ekologi sebagai tanggung jawab bersama. Kemudian adanya fatwa dan seruan (mengeluarkan fatwa/seruan moral keagamaan untuk hidup selaras dengan alam). Singkatnya, ekoteologi adalah panggilan spiritual untuk peduli terhadap lingkungan, dimana iman kepada Tuhan mendorong tanggung jawab kita untuk menjaga alam jagat raya ini sebagai rumah bersama, dan sebagai bagian dari “rahmatan lil-alamin”.

Dalam tinjauan ajaran Islam, ekoteologi adalah
pendekatan teologis yang memandang bahwa menjaga kelestarian alam sebagai bagian integral dari ibadah dan tanggung jawab spiritual umat Islam sebagai “khalifah fil ard” dan sekaligus mengkoneksitaskan ajaran agama (teologi) dengan kepedulian ekologi. Konsep tersebut mengajarkan bahwa alam adalah amanah Allah, bukan untuk dieksploitasi, dan kerusakan lingkungan adalah masalah spiritual yang perlu diselesaikan melalui tindakan nyata seperti penghijauan, konservasi, dan praktik berkelanjutan, dan didasarkan juga pada nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip utama ekoteologi Islam, yaitu manusia sebagai khalifah. Manusia memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk memelihara ciptaan Allah, bukan untuk merusaknya. Alam sebagai amanah, karena alam semesta ini diciptakan dalam keseimbangan sempurna dan merupakan titipan yang harus dijaga, bukan untuk dieksploitasi yang berlebihan.

Sedangkan dimensi ibadah ghoir mahdoh (ibadah ekologis), yaitu upaya menjaga dan melestarikan lingkungan, seperti menanam pohon, menjaga kebersihan, hal itu adalah bentuk pengabdian kepada Sang Khalik, dalam bentuk ibadah ghoir mahdhoh. Bahkan, Ayat Al-Qur’an telah menunjukkan segala sesuatu di bumi ini memiliki takaran dan fungsi yang teratur, hal itu menjadi landasan untuk menjaga keberlanjutan alam. Al-Qur’an mengandung pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Karena, adanya kerusakan alam, kerapkali juga akibat tangan manusia. “Dhoharol fasad fil-bahri wal-bahri, bima kasabat aidinnas” (QS. Ar-Rum: 41). Sementara landasan hadis yang mendorong praktik seperti “ihya’ al-mawat”, yakni menghidupkan tanah mati, yang berarti proses reboisasi dan restorasi lahan. Sedangkan tujuan dan manfaat ekoteologis, yaitu untuk menumbuhkan kesadaran spiritual yang membumi dan berpihak pada kehidupan.
Memperkuat solidaritas sosial dan menjadi titik temu antar umat beragama dalam isu lingkungan. Mendorong praktik berkelanjutan dan konservasi, mengatasi krisis iklim dan ekologis. Lebih dari itu, ekoteologi mengajak umat untuk memahami hubungan holistik antara manusia, alam, dan Tuhan, menjadikan aksi cinta alam sebagai bagian dari rasa keimanan dan amal saleh.

V. Ekoteologi Sebagai Jalan Spiritual Menuju Harmoni Dengan Alam

Di era modern yang ditandai oleh krisis lingkungan global, mulai dari pemanasan global, pencemaran air dan udara, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Maka kesadaran ekologis menjadi kebutuhan yang mendesak. Namun, kesadaran itu tidak cukup jika hanya dibangun melalui pendekatan ilmiah atau teknis semata. Perlu adanya proses pendekatan yang lebih menyentuh ranah terdalam manusia, yaitu pendekatan yang bersifat spiritual. Di sinilah konsep ekoteologi hadir sebagai jembatan antara iman dan lingkungan hidup. Ekoteologi merupakan cabang dari teologi yang menyoroti hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Ia menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitatif semata, melainkan sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan lestarikan. Ajaran ini memperkuat pandangan bahwa menjaga dan melestarikan alam adalah bagian integral dari kehidupan beragama.

Bahkan, hampir semua agama besar di dunia ini, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, memiliki ajaran yang menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Dalam ajaran Islam misalnya, alam yang dalam perspektif ajaran Islam disebut “ayat kauniyah”, ia juga sebagai manifestasi dari kekuatan sifat-sifat Ilahiyah. Pohon sebagai simbol kehidupan dan mengandung energi positif bagi kehidupan manusia. Bahkan, ajaran Islam menekankan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, antar sesama manusia, dan hubungan antar manusia dengan alam lingkungan.

Konsep itu tidak hanya bersifat simbolik atau filosofis, tetapi mengandung nilai etis yang mendalam. Ketika manusia hidup selaras dengan alam, ia sejatinya tengah menjalankan substansi ajaran Islam itu sendiru. Sebaliknya, ketika manusia merusak alam, maka ia telah melakukan kerusakan tidak hanya merugikan makhluk hidup lain, tetapi juga merugikan dirinya sendiri di masa depan. Dalam ajaran Islam ada prinsip bahwa manusia sebagai “khalifah fil ard”, yang mengamanahkan bahwa manusia untuk menjaga alam, bukan merusaknya. Hal itu menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap alam adalah panggilan iman. Etika spiritual terhadap alam memandang bahwa alam memiliki dimensi moral dan spiritual. Setiap tindakan terhadap lingkungan baik atau buruk memiliki konsekuensi etis dan logis. Oleh karena itu, menjaga lingkungan bukan hanya soal kewajiban sosial atau hukum, melainkan bentuk dari ibadah yang bersifat “ghoir mahdhoh”, dan penghargaan terhadap kehidupan.

Dalam praktiknya, etika spiritual terhadap alam dapat diwujudkan melalui sikap hidup sederhana, tidak serakah, tidak mencemari sumber daya alam, serta mengembangkan rasa welas asih kepada semua makhluk hidup di alam jagat raya ini. Dalam konsep Islam dikenal istilah tidak menyakiti makhluk lain, termasuk alam. Etika itu menjadi landasan moral untuk mencegah tindakan merusak lingkungan seperti perusakan hutan, dan pencemaran sungai. Bahkan, rasa spiritualitas yang mendalam membuat seseorang merasa memiliki ikatan batin dengan alam. Ia tidak lagi memandang pohon hanya sebagai kayu semata, sungai hanya sebagai air semata, atau tanah hanya sebagai lahan belaka, melainkan sebagai bagian dari dirinya yang harus dijaga dan dilestarikan.

Ekoteologi tidak berhenti pada tataran konsep, tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. Aksi hijau (menanan pohon) berbasis perintah agama menjadi bentuk nyata implementasi nilai-nilai spiritual dalam konteks menjaga lingkungan. Hingga saat ini, berbagai komunitas keagamaan memang telah mulai melakukan inisiatif hijaunisasi, seperti gerakan menanam pohon di area tempat ibadah, pengurangan penggunaan plastik, serta mengedukasi umat tentang pentingnya gaya hidup ramah lingkungan. Tradisi itu harus terus diperkuat dengan kegiatan nyata seperti penghijauan lingkungan, pelestarian pohon langka, dan kampanye pelestarian tanaman endemik. Bahkan, dalam konteks agama Islam bahwa kegiatan membersihkan lingkungan di Masjid dan Musholsh misalnya, hal itu sebagai inplementasi dari selogan “menjaga kebersihan adalah sebagai bagian dari iman” dan itu dimaknai sebagai bagian ibadah yang bersifat “ghoir mahdhoh” atau bisa juga disebut ibadah ekologis.

Sementsra aksi hijau (pananaman pohon) dapat lebih efektif jika didorong oleh para pemangku kepentingan, para pemuka agama dan tokoh adat. Karena, mereka memiliki peran strategis dalam membimbing umat dan komunitas untuk mengubah pola pikir dan perilaku terhadap alam. Melalui ceramah, khotbah, maupun ajaran tradisional, para tokoh tersebut dapat menyampaikan pesan-pesan ekologis dengan pendekatan yang menyentuh hati. Mengingat, tantangan ekologis bersifat global dan lintas batas, maka gerakan ekoteologi perlu juga didorong dalam kerangka lintas agama. Lebih dari itu, dialog antar umat beragama mengenai isu lingkungan, hal itu juga dapat memperkuat kolaborasi dalam aksi pelestarian alam. Bahkan, manakala umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha bersatu dalam gerakan hijau, maka pesan moral yang disampaikan akan lebih kuat dan menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas.

Oleh karena itu, kesadaran kolektif tersebut penting untuk terus ditanamkan sejak dini, terutama di lembaga pendidikan keagamaan dan pondok pesantren. Generasi muda perlu dibekali tidak hanya dengan doktrin keagamaan, tetapi juga pemahaman ekologis yang dilandasi oleh nilsi-nilai spiritual. Dengan begitu, mereka akan tumbuh sebagai individu yang sadar terhadap lingkungan dan berintegritas. Secara teoritis, bahwa ekoteologi adalah jalan spiritual (mengandung nilai-nilai moralitas agama) yang membawa manusia untuk kembali berdampingan dengan alam. Ia mengajarkan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tanggung jawab ekologis, tetapi ekspresi dari nilai-nilai keimanan dan kasih sayang terhada alam. Bahkan, nilai-nilai keagamaan yang luhur dapat menjadi fondasi kuat dalam membangun etika lingkungan yang lestari dan berkelanjutan.

Dalam konteks Indonesia, yang kaya akan tradisi keagamaan dan kebudayaan, maka pendekatan ekoteologis sangat relevan dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Melalui sinergi antara ajaran agama, etika spiritual, dan aksi hijau, tidak menutup-kemungkinan dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya religius secara ritual, tetapi juga ekologis secara praktis. Oleh karena itu, saatnya kita untuk meneguhkan kembali semangat dan keyakinan kita, yaitu melalui kepedulian terhadap alam jagat raya ini, yakni sebagai simbol rumah kita bersama. Dalam konteks menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, maka ekoteologi dapat menjadi pendekatan yang solutif dan inspiratif. Salah satu cara untuk memperkuat ekoteologi adalah dengan integrasi kurikulum pendidikan yang memadukan nilai spiritual dan kepedulian ekologis.

Sekolah-sekolah, baik umum maupun berbasis agama, dapat mengajarkan materi tentang pentingnya pelestarian lingkungan dalam perspektif agama yang dianut oleh peserta didik. Misalnya, dalam pelajaran agama dapat dimasukkan tema tanggung jawab terhadap alam, pentingnya tidak membuang sampah sembarangan, dan makna spiritual dari hidup harmonis dengan lingkungan sekitar. Selain itu, media sosial dan platform digital juga dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan ekoteologi secara lebih luas. Ceramah-ceramah singkat, video edukatif, hingga kampanye digital dapat menyentuh generasi muda yang akrab dengan teknologi.
Konten-konten tersebut harus dikemas secara menarik dan menyentuh hati, bukan sekadar memberikan informasi tetapi juga membangun empati dan keterikatan emosional dengan alam. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam konteks mendukung gerakan ekoteologi. Kemudian adanya kebijakan yang mendorong pelestarian lingkungan berbasis komunitas, serta pemberian insentif bagi rumah ibadah yang menjalankan program ramah lingkungan, dapat mendorong lebih banyak partisipasi. Program semacam “Rumah Ibadah Ramah Lingkungan” bisa menjadi gerakan nasional yang melibatkan seluruh umat beragama di Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan ekoteologi dapat dimulai dari hal-hal kecil namun berdampak besar. Misalnya, mengurangi penggunaan bahan plastik, memilih bahan makanan lokal dan organik, menggunakan transportasi ramah lingkungan, dan mempraktikkan gaya hidup hemat energi. Semua tindakan itu jika dilakukan secara konsisten dan kolektif, hal itu dapat membawa perubahan besar dalam upaya menjaga alam dan pelestarian lingkungan di negeri ini. Dengan demikian, ekoteologi bukan hanya sekadar wacana teoretis atau konsep religius, tetapi sebuah panggilan hidup yang nyata. Ia mengajarkan manusia untuk memandang alam bukan sebagai objek untuk dieksploitasi semata, melainkan sebagai mitra yang harus dihormati dan dilindungi. Ketika manusia kembali berdampingan dengan alam, maka akan tercipta harmonisasi yang membawa keberkahan bagi seluruh ciptaan Tuhan, yakni akan munculnya yang disebut “rahmatan lil-alamin”.

VI. Epilog

Ekoteologi merupakan perpaduan antara pendekatan-pendekatan agama dengan isu-isu lingkungan, atau dengan bahasa lain, bagaimana agar kita bisa menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan hidup dengan pendekatan agama. Oleh karena itu, penerapan ekoteologi sangat penting karena agama sejatinya mengajarkan umatnya untuk menghargai dan merawat alam dan lingkungan. “Sayangilah apa yang ada di muka bumi ini, maka kasih sayang Allah akan tercurah kepada kita”. Dengan kata lain, konsep ekoteologi mengajak kita untuk tidak hanya menjaga hubungan dengan Tuhan, tetapi juga harus menjaga kelestarian bumi sebagai bagian dari tanggung jawab iman. Dalam menghadapi krisis lingkungan global yang semakin akut saat ini, maka kita harus menyadari sepenuhnya, bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya masalah alam, tetapi juga masalah moral dan sosial.

Sebagai umat beragama, maka kita dituntut untuk memiliki kesadaran untuk menjaga alam sebagai bagian dari tanggung jawab kita terhadap ciptaan Tuhan. Sejalan dengan pentingnya isu tersebut, saat ini pihak Kementerian Agama RI (yang punya liding sektor dibidang pemahaman keagamaan di negeri ini) pihak Kemenag telah mengeluarkan kebijakan baru yang mendorong penerapan prinsip-prinsip ekoteologi di lingkungan di seantero negeri ini, dan terutama di lingkungan kerja Kementerian agama RI. Kebijakan tersebut menekankan integrasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pelestarian lingkungan, termasuk anjuran untuk melakukan penanaman pohon, pengelolaan sampah berbasis lingkungan, serta penggunaan sumber daya secara bijaksana.

Ekoteologi memberikan dasar bagi umat beragama untuk aktif terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan. Ekoteologi bukan sekadar teori, tetapi tindakan nyata yang harus dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengurangi penggunaan barang-barang konsumtif, beralih ke pola hidup hemat, serta ramah lingkungan. Jika setiap individu berkomitmen untuk bertindak, dampaknya akan terasa tidak hanya di level pribadi, tetapi juga di levelitad masyarakat yang lebih luas, dan bahkan bisa mengglobal. Sebagai contoh, akhir-akhir ini pihak Pemprov di masing masing daerah, nyatanya telah melakukan gerakan untuk menanam pohon matoa, yang mencerminkan implementasi nyata dari konsep ekoteologi dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, bahwa proses penerapan ekoteologi di lingkungan kita, hal itu dapat membawa dampak positif yang lebih luas, yang tujuan intinya adalah untuk mewujudkan budaya peduli lingkungan yang lebih kuat di kalangan umat dan masyarakat.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *