Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Buku adalah jendela dunia, begitu kata pepatah lama. Hanya orang-orang yang hidup dizaman lama saja yang masih memegang teguh pepatah tersebut (termasuk penulis), dan apalagi saat ini kita sudah berada di zaman baru (zaman milenial). Bahkan, saat ini muncul pula pepatah baru, “Internet adalah pintu kemana saja”. Yakni, mana yang kita pilih dan mana yang kita sukai yang ada di internet itu. “Jendela Dunia” atau “Pintu Dunia Kemana Saja”? Sementara pase usia remaja saya dan masa-masa pembelajaran di perguruan tingg, saat itu yang saya alami, yaitu ketika di era tahun 1990-an. Zaman itu handphone masih menjadi barang langka, apalagi internet. Sementara “Jendela Dunia” yang saya benar-benar tahu saat itu adalah buku, surat kabar (harian maupun mingguan), radio, dan dunia dalam berita (di Stasiun TVRI). Para pemuda dan mahasiswa di era itu, realitasnya selalu mengandalkan surat kabar sebagai sumber informasi, sementara buku adalah pegangan yang wajib. Bahkan, para aktifis muda di kampus saat itu, mereka gemar sekali untuk menulis, mereka mendokumentasikan idealusme maupun apa yang mereka lihat, mereka rasakan, dan sekaligus apa yang mereka alami. Kerapkali abstraksi pemikiran maupun idealisme para aktivis mahasiswa pada saat itu, teraktualisasikan melalui tulisan. Namun saat ini keadaan zaman sudah berubah, yakni dari dunia analog ke dunia digital, terutama ketika memasuki tahun 2000-an, dimana saat itu masa-masa dimana teknologi digital mulai menguasai peradaban manusia. Realitanya, internet tumbuh sangat cepat, yang acapkali memberi kemudahan untuk mengakses berbagai informasi dari belahan dunia. Akhirnya, surat kabar berubah menjadi berita online, radio berubah menjadi iTunes, Dunia Dalam Berita berubah menjadi Youtube, bahkan buku berubah menjadi “e-book”.

Bahkan, keinginan untuk membaca buku perlahan-lahan mulai meredup dan bahkan terus menghilang dan kemudian tergantikan oleh membaca status, mengkomentari, atau membuat status. Perilaku berubah dari yang tadinya kritis menjadi terkesan “alay” dan “ngacologi”. Masyarakat modern, seakan-akan hampir tidak punya waktu untuk membaca buku, hal itu yang saya alami, terutama di internal teman-teman saya sendiri. Sebagian dari mereka memiliki koleksi buku yang berderet di rak bukunya, tetapi saya hampir tidak pernah melihat buku-buku itu terpengaruh oleh pemiliknya. Mereka sibuk menatap layar gadget mereka masing-masing, sementara buku dihadapan mereka terus berderet menanti untuk dibaca, “Ironi” memang.

Manusia memang bisa belajar banyak hal dari internet, karena berbagai informasi dengan bebas untuk diakses, dibagikan dan dikonsumsi tanpa ada batasan. Hanya cukup mengetik apa yang kita cari, dan dalam sekejap semuanya tersaji di depan layar gadget. Tapi apakah kita benar-benar bisa belajar tentang kehidupan dari internet? Atau hanya belajar sebatas hal-hal yang kita sukai saja? Tapi dalam sebuah buku yang bagus, kita belajar banyak hal tentang kehidupan. Novel Laskar Pelangi, Karya Andrea Hirata memberikan pelajaran yang sangat berharga mengenai perjuangan, pendidikan, kemanusiaan, semua tersaji dalam satu buku. Atau Tentralogi Pulau Buru Karya PA Toer, buku yang membuka mata dunia mengenai sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan masih banyak lagi buku yang akan membuka mata kita mengenai kehidupan dan mengenai dunia yang sebenarnya. Bagi beberapa orang (termasuk saya), buku bukan hanya jendela dunia, tapi juga jendela kehidupan.

II. Di Era Digital, Buku Harus Tetaplah Menjadi Jendela Dunia

Buku masih sering disebut sebagai “jendela dunia” karena buku telah mampu mengajak pembacanya untuk memahami dunia dari berbagai sisi. Seperti kisah hidup, pengetahuan, dan sudut pandang dari berbagai budaya dan waktu. Meskipun informasi teknologi berbasis digital saat ini terus menawarkan cara baru untuk memperoleh informasi, tetapi buku masih dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk memperluas wawasan dan pemahaman seseorang tentang dunia.

Riset dari Australian National University yang bersumber dari “The Guardian”, hal itu telah menunjukan bahwa ketika seseorang tumbuh di rumah yang penuh dengan buku, maka diyakini akan berdampak besar terhadap tingkat literasi dan numerasi seseorang. Meskipun era digital saat ini telah mengubah banyak aspek kehidupan kita, yakni dengan informasinya yang melimpah, namun buku menurut pendapat penulis, masih tetap relevan dan berharga di era milenial ini. Karena, buku mampu menyediakan pengalaman membaca yang unik, dan memungkinkan para pembaca untuk mengeksplorasi pikiran, perasaan, dan gagasan dengan cara yang berbeda dari konsumsi informasi digital.

Buku juga menurut hemat penulus, masih memiliki keunggulan dalam hal kedalaman dan ketahanan. Buku sering kali menjadi referensi yang lebih handal dan mendalam ketimbang dengan informasi yang dapat ditemukan secara online. Selain itu, membaca buku secara aktif dapat membantu memperbaiki kemampuan konsentrasi dan analisis, yang merupakan keterampilan kritis di era digital yang penuh dengan ketidak-pastian, penuh gangguan dan “kagetologi” (terkaget-kaget) yang begitu akut dan masif. Dengan demikian, buku tetap berharga di era digital saat ini dan masih dianggap sebagai jendela dunia yang penting.

Sementara pepatah yang mengatakan bahwa buku adalah “jendela dunia”, karena ketika zaman dulu orang yang rajin membaca buku itu seringkali dijuluki seorang “kutu buku”. Sedangka efek positifnya dari seorang “kutu buku”, ia acapkali mempunyai ilmu dan wawasan yang lebih luas alias wawasan yang modial maupun menggelobal. Karena buku merupakan sumber ilmu yang menyimpan berjuta pengetahuan. Orang yang rajin membaca buku sering terlihat lebih maju (intelek) baik dari segi pola pikir maupun perilakunya. Namun di era digital saat ini, apakah hanya buku yang bisa dianggap sebagai jendela dunia? Mengingat saat ini sudah ada (tersedia) berbagai perkembangan teknologi informasi, yang nota bene kini kemajuan dunia digital menjadi salah satu sumber informasi tak hanya di dapat dari buku atau media serupa. Realitanya saat ini sudah tersedia banyak platform informasi yang kini jauh lebih mudah dijangkau. Sedangkan salah satu platform yang menjadi rujukan informasi masyarakat saat ini adalah internet, yaitu tempat segala jenis informasi dapat dijangkau.

Bahkan saat ini, sudah terjadi pergeseran pola pikir dan pola perilaku di kalangan masyarakat kita, yang dulu harus membaca buku guna mendapat ilmu, sekarang tinggal mengakses internet rasanya seluruh dunia dapat dijangkau. Lebih ironi lagi, sedari dulu memang minat baca masyarakat kita (Indonesia) masih dikategorikan rendah. Bahkan menurut hasil penelitian UNESCO pada tahun 2016, telah menunjukkan bahwa kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi “The World’s Most Literate Nations” menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Namun hal sebaliknya, justru terjadi pada minat literasi digital yang konon katanya, kian hari kian menunjukkan peningkatan secara signifikan. Panel Ahli Katadata Insight Center, yaitu menurut Mulya Amri mengatakan, bahwa di tahun 2022, Indeks Literasi Digital Indonesia berada pada skor 3,49 atau pada tahap sedang dan mendekati baik. Oleh karena itu, dengan terus meningkatnya literasi digital tentu saja akan berdampak positif pada masyarakat kita. Artinya, kemauan membaca bagi masyarakat kita sedikit meningkat meskipun dengan media yang berbeda.

Bahkan, pada setiap peringatan Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang kerapkali digelar setiap tahun, tidak ada salahnya kampanye literasi digital untuk menjadi isu juga. Karena buku kini tak hanya tersedia dalam bentuk cetak, bahkan banyak buku beralih menjadi “e-book”, hal itu agar tetap bisa dinikmati masyarakat di era digital saat ini. Guna untuk menghadapi hal itu, sebaiknya sejak bangku sekolah jangan dulu dibiasakan untuk menggunakan buku dengan versi digital, tapi alangkah eloknya melalui buku manual terlebih dahulu.

Namun, buku digital (e-book) selain lebih mudah untuk di akses, bahkan mudah juga untuk beradaptasi dengan generasi Z saat semuanya serba digital.

Selain itu, pada realitasnya saat ini, membaca buku pada sebagian golongan masyarakat kita konon katanya dianggap tak lagi sesuai dengan gaya hidup di era sekarang (era milenial). Semua yang serba instan menjadikan membaca buku terlalu menyita waktu katanya. Kendatipun demikian, bahwa membaca buku pada sebagian orang (termasuk menurut yang penulis alami) masih tetap menjadi salah satu cara paling ampuh untuk mendapat ilmu dan informasi. Namun, buku yang tak lagi menjadi satu satunya jendela dunia saat ini, tentunya harus beradaptasi dengan kondisi masyarakat yang tak lagi menyukai hal terlalu ribet. Karena, keberadaan internet sudah dianggap sebagai hal yang benar-benar jendela dunia, mengingat kecepatan informasi dari penjuru dunia dapat fiakses dan dilihat dengan mudah. Di samping itu, perlu untuk memahami cara yang paling tepat untuk setiap kita dalam konteks untuk menyerap informasi. Kalau lebih menyukai buku fisik, tentu hal itu jauh lebih baik. Sebaliknya, ketika kita lebih nyaman dengan format digital, hal itu juga bukan masalah. Intinya, bagaimana agar setiap kita terus beraktivitas, melakukan literasi dan harus getol pula untuk melakukan intelektualisasi diri.

III. Harbuknas Dalam Upaya Meretas Cara Membaca

“Buku adalah jendela dunia” kalimat itu sudah sering kita dengar, namun terkesan hanya menjadi sebuah pameo belaka, ketika semua orang saat ini terus asyik dengan hiruk-pikuk di dunia maya dengan segala pesona yang ditawarkan oleh gadget, sehingga jendela dunia yang terbentang luas melalui buku itu malah terus terabaikan. Tahun ini, yakni sekitar 22 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2002, merupakan pertama kalinya diperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang sebelumnya juga diperingati hari buku dunia, yaitu pada setiap tanggal 23 April. Momentum perayaan hari buku nasional, pada kenyataannya sangat kontradiktif dengan gebyar yang diantar dengan seremoni perayaan-perayaan lain semisal hari valentin (valentine’s day) yang diwarnai dengan bertukar kado dan gemerlap selebrasi yang didesain sedimikian rupa oleh kaula muda. Namun, diacara harbuknas kerapkali sepi dan terus menepi dari kaula muda. Bertukar buku kesayangan, menghadiahkan buku pada sahabat dan terkasih, pameran dan big sale dengan buku discount besar, membagikan buku gratis, parade tantangan buku kesayangan di sosial media, dan beberapa momen yang mungkin potensi untuk digandrungi oleh warganet, nampaknya hal-hal tersebut nyaris tidak terekspos secara masif di media sosial, yakni untuk menggaungkan Hari Buku Nasional (Harbuknas) itu.

Lalu, bagaimana kabarnya pecinta buku di belahan dunia lain? Tapi kalau kita mencoba untuk menelisik ke negara 1000 danau Finlandia misalnya, negara yang tidak pernah bergeser dari indeks peringkat atas negara paling literat (terpelajar) di bidang literasi di seluruh dunia. Hal itu menurut riset yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain, dan yang secara resmi dirilis oleh “The World’s Most Literate Nations (WMLN)” pada tahun 2016 lalu. Bahwa, negara Finlandia yang 70 persen daratannya adalah hutan dengan jumlah penduduk 5,5 juta oleh “World Happines Report” sebagai negara paling bahagia, dan terdata 68 juta buku perpustakaan terpinjam dalam setahun.

Bahkan di Finlandia, semua hari adalah hari buku, bahkan untuk sekedar memberi surprise berupa paket parsel disitu juga terselip buku. Masyarakat Firlandia sudah terbiasa dengan membaca meski tayangan televisi tidak akan kita temui sulih suara atau dubbing, mereka tetap menikmati tayangan dengan subtitel (teks terjemahan). Hal itu sebagai metode yang terus diterapkan agar anak-anak di negara Finlandia itu cepat bisa membaca dan menerapkan membaca cepat (speed reading).

Subjektivitas dari ucapan “Selamat Hari Buku” sebagai bentuk apresiasi seakan-akan menohok kesadaran kita, yakni betapa pentingnya membaca buku di negeri itu (Firlsndia), yaitu negara yang telah dinobatkan sebagai negara maju dan paling bahagia di dunia. Karena, salah satu karekter yang disebut negara maju itu adalah masifnya budaya membaca buku dari sebuah negara itu.

Sementara hari buku nasional yang diprakarsai oleh momentum berdirinya perpustakaan nasional Republik Indonesia Tahun 1980, saat itu Menteri Pendidikan Nasionsl, Abdul Malik Fajar, menetapkan Hari Buku Nasional (Harbuknas), yaitu pada setiap tanggal 17 Mei. Rutinitas Harbuknas, seharusnya terus mampu memberi spirit baru terhadap keterpurukan bangsa ini dalam hal budaya baca (literasi).
Data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan masih redahnya minat baca bagi masyarakat kita. Yang pertama, hasil penelitian “Program for International Student Assessment (PISA)” rilisan “Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD)” tahun 2015. Yang kedua, peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada bulan Maret tahun 2016, produk dari “Central Connecticut State University (CCSU)”. Yang menempatkan Indonesia di peringkat terendah, dan bahkan masih banyak data terbaru yang memang tidak jauh beda.

IV. Nicholas Carr Dan Kedangkalan Cara Berpikir

Munculnya kedangkalan cara berpikir, apakah dampak negatif dari demikian masifnya dunia maya (internet) saat ini? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada seorang Nicholas Carr, maka ia akan menjawab dengan satu kata : “Shallowness”, kedangkalan. Karena Nicholas Carr, sebagaimana ia di dalam bukunya yang berjudul “The Shallows”, ia melukiskan bagaimana dunia internet saat ini telah merampas kemampuan sebagian besar orang untuk berpikir secara konsentratif, reflektif, dan kontemplatif. Yang cukup mengkhawatirkan menurutnya, yaitu hilangnya kemampuan membaca dan berpikir secara kontemplatif itu bukan hanya bagi orang kebanyakan atau bagi kalangan masyarakat biasa (awam), tapi juga tnerus melanda orang-orang berpendidikan tinggi. Yakni, menimpa para cendekia dan para ilmuwan yang sudah mempunyai jam terbang tinggi dalam pengalaman membaca. Bahkan dengan jujur Nicholas Carr mengakui kedangkalan berpikir itu juga sudah mulai merasuk ke dalam dirinya. “Dulu…”, tulis Nicholas Carr, “saya adalah penyelam di lautan kata-kata, kini saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang sedang mengendarai jet ski. Karena yang dilakukan internet adalah mengikis kemampuan saya untuk berkonsentrasi dan merenung”. Tegas Nicholas Carr di dalam bukunya itu. Tapi ada juga sebagian diantara para kritikus yang membantah tesis dari Nicholas Carr itu, dengan argumen klasiknya, “Dunia internet saat ini bersifat netral, maka para pengguna-nyalah yang bisa menentukan nilainya. Dan kita-lah yang mengendalikannya dan sekaligus yang menggunakannya agar digunakan secara baik, bijak, dan kreatif sehingga menjadikan hidup kita semakin berkualitas, atau kita yang dikendalikan (oleh dunia maya/internet) sehingga akan merusak wajah kehidupan kita.”

Sampai di sini, barangkali sebagian besar diantara kita masih bisa mengajukan keberatan terhadap tesis Nicholas Carr. Namun satu hal, yang kita sepakati dari temuan-temuan faktual yang disuguhkan oleh Nicholas Carr, karena secara langsung dunia internet memang telah mengurangi kemampuan kita dalam membaca secara serius dan berpikir mendalam “reading deeply, thinking deeply”. Dengan begitu seringnya kita larut dalam dunia maya (internet), apakah melalui WhatsApp, Line, Youtube, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya, yang hanya berada dalam satu genggaman smartphone di tangan kita, ternyata tanpa kita sadari semua itu pada akhirnya telah mengikis kemampuan membaca mendalam dan berpikir secara reflektif, kritis, dan kontemplatif dalam diri kita.

Kita akan menjadi, seperti yang diisyaratkan pada judul buku Nicholas Carr tersebut diatas (“The Shallows”), yaitu menjadi orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh dunia internet. Salah satu hal yang juga disoroti dengan tajam oleh Nicholas Carr adalah terkikisnya kenikmatan dan keseriusan membaca buku pada orang-orang yang sebelumnya amat menikmati kegiatan membaca buku. Namun dengan terus sibuk berselancar di dunia maya, kebanyakan mereka justru terperangkap dalam hanya memindai atau hanya membaca secara sekilas beragam informasi yang membanjir dunia internet itu.

A. Buku Adalah Pusaka Kemanusiaan

Sebagaimana diakui langsung oleh Nicholas Carr, bahwa sebagian besar diantara kita malah kehilangan kenikmatan membaca buku tekstual secara manual dengan serius dan kontemplatif hingga tuntas. Efeknya sangat dahsyat, karena kita menjadi “the shallows” (berpikir dangkal). Sementara orang-orang yang dangkal cara berpikirnya, maka ekses negatif dari dunia maya, kita akan terus kecanduan (lupa membaca buku) dan terus berselancar di dunia maya, meskipun kebanyakan tidak menyadarinya. Sementara buku adalah jendela dunia, merupakan pusaka kemanusiaanyang membuat peradaban berlangsung hingga hari ini. Di dalam buku terkandung jiwa zaman di sepanjang waktu. Ia adalah jendela dunia yang mengandung hikmah masa lalu. Penghargaan terhadapnya adalah pengagungan pada kemajuan bangsa.

Buku adalah memori peradaban manusia. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Thomas Carlyle, “In book lies the soul of the whole past time”. Hanya dengan membaca buku kita dapat mengenggam dunia, menjelajahi seluruh pemikiran dan imajinasi yang terhampar di jagat raya. Buku bagaikan dunia yang dijilid: seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Di dalam buku, tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru. Bukankah setiap penemuan suatu teori baru itu selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Hal itu, sebagaimana yang dimaklumatkan oleh Isaac Newton beberapa abad silam, “If I have seen further, it is because I stood on the shoulders of giants”, “Jika saya mampu melihat lebih jauh, hal itu disebabkan karena saya berdiri di puncak para jenius terdahulu”.

Buku adalah guru yang paling baik karena buku tidak pernah jemu menggurui kita. Ia dengan sabar membimbing dan melayani pembacanya baik yang berkecepatan lamban maupun supercepat. Ia bisa menghampiri kita kapan pun karena tidak terikat waktu dan tempat, dan yang pasti menjadikan orang lebih bijaksana. Buku merupakan salah satu sarana untuk mempelajari kekayaan peninggalan budaya dan peradaban yang ber-abad-abad yang sudah lewat. Oleh karena itu, buku menjadi salah satu kunci terbaik untuk memahami bangsa-bangsa lain yang belum pernah kita kunjungi. Namun, kini jendela dunia itu (buku) telah terkoyak di negeri kita. Maka rakyat pun tidak sanggup memandangi indahnya wajah dunia yang penuh pesona. Tapi, dunia yang dapat dilihat saat ini adalah dunia yang telah terkoyak dan compang-camping. Belum cukup sampai di situ, bahkan kekaburan melihat dunia juga terus diperparah oleh tingkat kerabunan bangsa kita karena dilanda oleh gejala buta aksara dimana-mana. Buta aksara itu menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat kita, yakni sebuah gejala yang bersifat masif. Sebagian besar masyarakat saat ini terperangkap oleh pesona budaya instan dunia maya (internet).

Dalam salah satu tulisannya, Budayawan tersohor kita, yakni Dr. Taufik Ismail, ia pernah mengungkapkan tentang kegelisahannya terhadap rendahnya minat baca masyarakat kita (Indonesia) dengan segelintir pertanyaan impresif: Mengapa para penumpang di gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan terus tertidur miring? Mengapa di dalam angkutan kota di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi menghisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang, para mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Mengapa di dalam kapal jurusan Makasar-Banda Naira, para penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main

domino? Mengapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado, pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 250 juta lebih?

Padahal jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan yang menerpa sebagian rakyat kita adalah karena masih tingginya tingkat buta aksara dan sangat lemahnya minat baca sebagian besar masyarakat kita. Padahal kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi mana pun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidupnya sendiri.

Namun kenyataan saat ini telah menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama pembangunan bangsa kita. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita menciptakan budaya membaca. Yang berkembang bukanlah “reading society”, melainkan “watching society”, “chatting society”. Malah saat ini kita sudah mengalami sebuah “lompatan budaya”, yaitu melompat dari keadaan pra-literer ke masa pasca-literer, namun sayangnya tanpa melalui masa literer. Sedangkan masyarakat pra-literer adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan sulit untuk mengakses sumber informasi. Kalaupun mudah, mereka tidak bisa mencernanya dengan baik. Kendala utamanya, tentu saja pendidikan. Sedangkan masyarakat literasi, ia mewakili masyarakat terdidik. Walaupun memiliki akses terhadap bacaan, tidak berarti tradisi baca-tulis itu terus tumbuh subur di kalangan ini. Karena, sebagian mereka terkadang masih memiliki tradisi baca yang baik, namun lemah dalam tradisi menulis. Sedangkan masyarakat pasca-literasi atau pos-literasi mewakili segmentasi penduduk yang ada di kota-kota besar, terutama mereka yang memiliki akses pada teknologi informasi dan audio-visual seperti internet, TV kabel, multimedia, sarana telekomunikasi yang bisa bergerak, dan lain sebagainya.

Ironisnya, saat ini kita telah melakukan lompatan kebiasaan kurang baik, karena melompat dengan senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Kita lebih senang bercengkrama melalui WhatsApp, Line, Youtube, Facebook, Twitter, dan lainnya di layar smartphone di tangan kita, ketimbang membaca buku sampai selesai. Padahal dalam penelitian Nicholas Carr, sebagaimana telah diungkapkan diatas, ditemukan bahwa dengan menghabiskan banyak waktu yang digunakan untuk membaca buku, maka kita akan terlatih berpikir secara lebih intuitif, yang tidak akan kita dapatkan dengan berselancar di dunia maya. Bahkan, dalam proses perkembangan selanjutnya, menurut para ahli mereka mengatakan, “by reading seriously in the long-term, we not only can think deeply, but finally we can also write deeply”. Dengan membaca secara serius dalam waktu jangka panjang, maka kita bukan hanya mampu berpikir secara mendalam, tapi juga kita akan mampu menulis secara mendalam pula, dan menulis secara reflektif-filosofis. Namun lagi-lagi ironisnya, saat ini kebanyakan kita lebih memilih untuk terus tenggelam di dunia maya tanpa melewati dunia literasi, khususnya tanpa melewati pengalaman kenikmatan membaca. Sebuah pengalaman tenggelam dalam belantara dunia teks yang tak bertepi. Padahal sebagaimana ditunjukkan oleh Paul Ricoeur, justru sebagai pembaca yang intens, “by losing our selves in the jungle of text”, dengan menenggelamkan diri kita di tengah-tengah belantara teks, maka kita akan berjumpa dengan keunikan eksistensi diri kita sendiri. “As reader”, tulis Ricoeur, “I find my self only by losing my self. Reading introduces me into the imaginative variations of the ego.” Dengan membaca secara mendalam, maka kita akan berkenalan dengan beragam lapisan eksistensi diri kita yang selama ini belum kita kenali. Lapisan demi lapisan ego diri autentik kita akan tersibak tatkala kita tenggelam dalam pusaran labirin teks sebuah buku yang mencerahkan.

Dalam hal ini, tidak berlebihan juga manakala tesis yang digulirkan oleh Neil Postman bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membacanya yang masih lemah.

Bahkan, menurut hasil penelitian dari beberapa institusi, bahwa budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih sangat lemah. Hal itu sebagaimana hasil data dari UNESCO, bahwa presentase minat baca di Indonesia sebesar 0,01 presen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius. Kondisi itu sangat menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Rendahnya minat baca masyarakat kita, makin menyebabkan kualitas dan mutu pendidikan di negara kita juga hanya jalan di tempat (stagnan) dan cenderung mundur. Berdasarkan beberapa penelitian, penyebab rendahnya budaya baca itu karena masyarakat kita lebih suka menonton televisi (TV), mendengarkan radio, dan bergelut dengan dunia maya (internet dan media sosial) dibandingkan fokus membaca buku.

B. Terjebak di Dunia Maya, Dan Terus Berselancar Untuk Bermedsos Riya

Istilah yang ngetren alias buming di negara kita saat ini adalah “bermedsos riya”, yakni masyarakat kita saat ini lebih suka mengirim SMS atau BBM-an, Facebook-an, WhatsApp-an, atau Twitter-an dibandingkan membaca buku. Apalagi begitu banyak yang terprovokasi oleh kontek-konten hoax dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang dishare secara massif. Kondisi tersebut lebih diperparah lagi oleh rendahnya produksi buku di Indonesia. Karena, setiap tahun di negara kita hanya menerbitkan buku sekitar 7.000-8.000 judul buku. Fakta itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Malaysia, yang memproduksi hingga 10 ribu judul buku setiap tahunnya. Angka itu akan semakin memprihatinkan lagi bila dibandingkan dengan negara Jepang yang menerbitkan 44 ribu judul buku per tahun, negara Inggris 61 ribu judul, dan Amerika Serikat 100 ribu judul buku per tahun. Artinya, jumlah ketersediaan buku bacaan yang ada, belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara umum masyarakat kita (Indonesia) untuk gemar membaca bagi masyarakatnya.

Jika diakumulasikan, bahwa satu buku dibaca oleh tujuh orang warga negara kita (Indonesia). Padahal pada negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku. Bila kondisi itu terus berlangsung dan tak diantisipasi sejak dini, maka kita tidak bisa berharap banyak pada mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) kita. Bagaimana kita bisa mencerdaskan masyarakat dan bangsa kita bila budaya baca saja sangat rendah? Bagaimana masyarakat bisa mau membaca bila perpustakaann dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) belum banyak tersedia di disebagian besar wilayah Indonesia, apalagi di wilayah-wilayah terpencil? Oleh karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentinganbdi negeri ini (pemerintah) untuk terus mendorong dan lebih maksimal lagi dalam konteks untuk menumbuh-kembangkan soal budaya baca masyarakat bagi masyarakat kita. Yaitu, mulai dari memperbanyak kegiatan membaca, baik di sekolah maupun di rumah, hingga pengadaan sarana dan prasarana, seperti penyediaan buku-buku bacaan dan pelajaran, baik di perpustakaan sekolah, perpustakaan daerah, maupun memperbanyak taman-taman bacaan masyarakat (TBM) demi masifnya aktivitas berliterasi bagi masyarakat, agar masyarakat menjadi masyarakat yang literat.

Namun penulus juga menyadari sepenuhnya, bahwa kita memang tidak mungkin menghindar ataupun menolak keberadaan dunua internet, yakni dengan berbagai ragam terobosan fasilitas praktisnya. Namun keberadaan internet itu, seyogyanya tetap bisa kita nikmati dalam batas-batas yang bersifat proporsional. Karena, internet juga kenyataanya memang dapat mempermudah aktivitas kehidupan kita. Tapi tidak seharusnya kita meninggalkan dunia buku dalam kegiatan literasi kita.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita untuk mengindahkan peringatan Nicholas Carr itu, yakni sebagaimana telah diungkapkan diatas dengan begitu panjang lebar, yakni untuk tetap menghargai buku dan sekaligus rajin membacanya, menelaah, dan mendiskusikannya secara masif. Karena kalau tidak, maka kita akan terus terjebak dalam dunia maya dan sekaligus mengantarkan kita untuk menjelma menjadi “The Shallows” atau orang-orang yang berpikiran dangkal, walaupun kita tidak menyadarinya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *