Oleh: Rohman, M.A.
Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936, dalam keluarga yang menempatkan ilmu dan iman sebagai fondasi kehidupan. Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie, adalah seorang ahli pertanian asal Gorontalo yang terlibat dalam pembangunan pertanian kolonial pada masa Hindia Belanda, sedangkan ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardojo, adalah seorang spesialis mata (ophthalmologist) asal Yogyakarta. Dari delapan bersaudara, Habibie adalah anak keempat yang tumbuh dalam keluarga religius. Masa kecilnya sangat dekat dengan Al-Qur’an sehingga diceritakan bahwa pada usia 3 tahun ia sudah lancar membaca Al-Qur’an.
Kecerdasan Habibie terlihat sejak dini; ia tumbuh sebagai anak yang tekun, pendiam, menyukai buku, dan memiliki rasa ingin tahu luar biasa pada sains dan teknologi. Ketika ayahnya wafat saat ia berusia 14 tahun, Habibie memilih untuk menjadikan ilmu sebagai jalan pengabdian. Pada tahun 1955, di usia 18 tahun, ia berangkat ke Jerman dan memilih jurusan Teknik Penerbangan, spesialis Konstruksi Pesawat Terbang di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH Aachen), Jerman.
Hidupnya penuh kesederhanaan—tinggal di kamar kecil, bekerja sambilan mencuci gerbong kereta dan di pabrik, sambil belajar hingga dini hari. Pada usia 26 tahun, ia meraih gelar doktor summa cum laude, kemudian bekerja sebagai ahli konstruksi pesawat di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) dan dikenal internasional melalui crack propagation theory (teori dalam teknik penerbangan yang menghitung secara presisi bagaimana retakan mikro pada struktur pesawat muncul, bergerak, dan membesar, sehingga insinyur dapat mencegah kerusakan fatal dan merancang pesawat yang lebih aman serta efisien). Dari temuan inilah Habibie dijuluki “Mr. Crack” (ahli keretakan pesawat). Sejak awal, Habibie percaya bahawa ilmu bukan untuk kemegahan pribadi, tetapi untuk kemajuan bangsa.
Warisan Habibie
Warisan terbesar Habibie bagi Indonesia bukan hanya teknologi, industri pesawat, atau nilai-nilai keilmuan yang ia tanamkan. Dalam Decisive Moments: Indonesia’s Long Road to Democracy (2006), Habibie menuliskan detik-detik kritis ketika ia menggantikan Soeharto pada 21 Mei 1998. Saat itu, Indonesia terperosok dalam krisis multidimensi: ekonomi runtuh, konflik horizontal membara, dan kepercayaan rakyat terhadap negara menghilang. Habibie berada pada posisi yang mudah dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan dengan dalih stabilitas. Tetapi ia memilih arah yang berlawanan: mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dan membuka jalan demokrasi.
Keberanian Habibie tercermin melalui tiga keputusan fundamental. Pertama, ia membuka sistem politik Indonesia. Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu disusun untuk mendorong multipartai. Komisi Pemilihan Umum dibentuk sebagai lembaga independen. Pemilu 7 Juni 1999 menjadi pemilu paling demokratis sejak 1955. Habibie mempercepat pemilu bukan untuk kepentingannya, tetapi agar pemerintahan kembali memperoleh legitimasi rakyat.
Kedua, ia membebaskan ruang publik dan menghentikan kontrol negara atas kebebasan berbicara. Melalui UU Pers 1999, pembredelan dihapus, izin SIUPP tidak lagi menjadi alat represif, dan media memperoleh kebebasan penuh. Habibie juga mencabut UU Subversi, undang-undang yang selama Orde Baru digunakan untuk membungkam oposisi. Kebebasan pers, ruang kritik, hingga kebebasan akademik yang kita nikmati hari ini adalah buah dari keberaniannya.
Ketiga, ia memperkuat demokrasi melalui desentralisasi. Dengan UU Otonomi Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, daerah mendapat kewenangan mengelola anggaran, pendidikan, kesihatan, dan pembangunan ekonomi. Habibie ingin demokrasi tumbuh dari bawah—bukan hanya demokrasi prosedural, tetapi demokrasi yang memberikan ruang partisipasi warga.
Ujian kenegarawanan Habibie mencapai puncaknya dalam persoalan Timor Timur. Ia memberikan rakyat Timor Timur hak menentukan nasib melalui popular consultation (referendum). Secara politik, keputusan itu penuh risiko. Tetapi Habibie memegang prinsip: pilihan rakyat adalah kehendak demokrasi. Dengan keputusan itu, Indonesia menunjukkan dirinya sebagai negara yang menghormati hak politik rakyat—bukan mengekang.
Habibie adalah contoh langka pemimpin yang memiliki kekuasaan, tetapi memilih untuk membatasi kekuasaan itu. Ketika Sidang Umum MPR menolak laporan pertanggungjawabannya pada 1999, ia tidak memaksa diri untuk maju kembali sebagai presiden. Ia menundukkan kepala, mengucapkan terima kasih, dan memilih untuk tidak mencalonkan diri. Ia datang dengan martabat, pergi dengan kehormatan.
ICMI dan Habibie
Selain warisan demokrasi, Habibie juga meninggalkan warisan intelektual strategis melalui pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990. Habibie tidak ingin umat Islam hanya menjadi objek politik, tetapi menjadi subjek kemajuan. ICMI menjadi ruang kaderisasi akademisi, birokrat, teknokrat, dan profesional Muslim Indonesia yang berperan dalam transformasi bangsa. Sejak itu Habibie dan ICMI ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh sebab itu, seluruh kader ICMI di pusat maupun daerah, di kampus, birokrasi, dan seluruh lapiran masyarakt memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk BJ Habibie.
Pengakuan negara terhadap Habibie sebagai Pahlawan Nasional sejatinya merupakan pengakuan terhadap tiga warisan besar yang ia tinggalkan bagi republik: pertama, ilmu sebagai fondasi kemajuan bangsa, yang ia wujudkan melalui dedikasinya pada teknologi dan pembangunan sumber daya manusia lewat etos ilmu untuk pengabdian, bukan kemewahan pribadi; kedua, kebebasan politik sebagai hak rakyat, yang ia buktikan dengan membebaskan pers, mencabut regulasi represif, serta membuka ruang publik agar kritik, perbedaan pendapat, dan aspirasi masyarakat dapat disuarakan tanpa rasa takut; dan ketiga, demokrasi sebagai sistem yang harus terus dijaga bersama, yang ia kuatkan lewat pemilu bebas, pembentukan KPU independen, dan desentralisasi kekuasaan sehingga rakyat menjadi pemegang kedaulatan yang sesungguhnya, warisan historis yang menjadikan Indonesia tidak sekadar merdeka, tetapi benar-benar berdaulat secara politik.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan tetapi bangsa yang menghargai mereka yang rela melepaskan kekuasaan demi memberikan ruang kepada rakyat. Habibie melakukan itu. Dan itulah kepahlawanan sejati yang wajib dicontoh oleh generasi selanjutnya.

