H. Lukman Hakim, S.Pd., M.I.Kom.

Penyuluh Antikorupsi ForPAK Banten, Staf Pengajar Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan SMAN 6 KabTa

Ketika Megawati Soekarno Puteri berani melawan rezim penguasa Orde Baru beliau selaku Ketua Umum PDIP menggantikan PDI pimpinan Suryadi (peristiwa kelam 27 Juli Jl. Diponegoro) kemudian berdasarkan keberuntungan sejarah Ibu Megawati sempat menjadi Presiden RI setelah Gus Dur dilengserkan oleh MPR karena keterbatasan fisik dan inkonstitusinalitas.

Jadi, Kepresidenan Megawati bukanlah hasil pemilihan langsung, melainkan sebagai ‘ban serep’ yang naik pangkat karena MPR meng’impeach’ terhadap sang orang nomor satu republik yaitu Abdurahman Wahid alias Gus Dur.

Sebagai Presiden, Megawati mencoba untuk mempertahankan kekuasaan keberlanjutannya sebagai “incumbent” melalui pemilihan langsung : ‘pilpres’, dialah, tetapi dia dikalahkan oleh anak buahnya sendiri kala itu sebagai Menkopolhukam: Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.

Ada kesan bahwa PDIP yang menganggap dirinya ‘paling nasionalistis’ mesti dipimpin oleh keturunan ‘sang bapak nasionalis’ : keluarga Bung Karno, jika perlu seperti kepala daerah alias Gubernur ‘Daerah Istimewa Yogyakarta’ untuk pimpinan utama PDIP, syukur jika menjadi orang nomor satu di Republik ini.

Sampai sekarang Megawati tetap menjadi Ketua Umum PDIP, mencoba sang puteri sulungnya menjadi kandidat presiden, tapi kalkulasinya tidak cukup signifikan dan respons minimalis dari partainya sendiri, juga rakyat kebanyakan, kemudian ditampilkanlah Jokowi sebagai sosok yang mencuat ke’wong-cilik’annya.

Eh, karena menyandang gelar ‘petugas partai’ meskipun telah 2 periode sebagai Presiden RI : Jokowi, kemudian ‘Moelyono’ sang nama awal Jokowi itu membelot terhadap partai pengusungnya PDIP, bahkan berkoloborasi dengan pihak seteru menjadi sekutu : Prabowo Subianto yang di’cawe-cawe’kannya itu menjadi pelanjut orang nomor satu republik, yang satu paket dengan putera sulung Jokowi : Gibran RBR, menjadi ‘ban serep’nya sang jenderal bintang empat kehormatan : Prabowo Subianto.

Sebelum setahun terakhir ‘lengser keprabon’nya Jokowi, saya adalah salah satu penggemar biasa ‘sang wong cilik zaman now’, bahkan sungguh saya berharap kelak Jokowi pasca atau selesai menjadi penguasa Republik Indonesia terkuat dan terbesar, yang dibatasi konstitusi menjadi Ketua Umum PDIP untuk menghapus kesan partainya keluarga Bung Karno.

Sang kala, ‘waktu, ‘moment’ atau zaman berubah, sunguh mengejutkan perilaku ‘Jokowi dan kawanannya’ dominan menguasai republik bahkan ditengarai pasca ‘lengser keprabon’nyapun dicurigai masih ikut cawe-cawe demi keberlangsungan program yang pernah diusungnya : Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas 2045.

Partai-partai pendukungnya yang “non PDIP’pun dikondisikan Jokowi menjadi poros ‘Koalisi Indonesia Maju’ bahkan diinisiasikan menjadi “KIMplus”

Akhir-akhir ini, seolah-olah PDIP sedang ‘diobok-obok’ oleh ‘orang kuat’ dengan basis pengelolaan akses dan aset negara serta koloborasi koalisi, ditengarai juga keterlibatan aparatur negara untuk memporakporandakan dan menguasai PDIP, baik oleh mantan pengurus maupun ‘orang dalam’ sendiri, lebih-lebih mendekati kongres PDIP.

Sebagai bukan anggota ‘banteng ketaton’, saya sungguh berharap PDIP kelak akan dipimpin bukan oleh Megawati, juga bukan oleh Jokowi, masak sih, partai yang begitu besar dan memiliki nilai historistik fenomenal, tidak memiliki kader selain Megawati yang sepuh dan Jokowi sang penyelikung konstitusi.? Wallahuwa’lam bissawaab…

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *