Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Mungkin kita sudah faham betul dengan sebuah slogan “Jangan sekali-sekali melupakan Sejarah”. Slogan itu awalnya diutarakan oleh Presiden Soekarno, dan tentunya bukan tanpa alasan. Karena, berkat sejarah-lah yang akhirnya kita memahami masa lalu. Sejarah juga mengajarkan kita untuk lebih dewasa dan bisa banyak belajar bagaimana orang-orang (masyarakat zaman dulu) itu, dan termasuk di zaman kesultanan Banten, yakni sejak lima abad yang lalu, mereka juga sudah pasti banyak menghadapi masalah, lalu terus mencari alternatif penyelesaian masalah tersebut. Sehingga kita yang berada di era milenial saat ini, dan sekaligus sebagai penafsir sejarah masa lalu itu, jangan sampai terjebak pada kesalahan yang sama. Lebih dari itu, sejarah juga telah mengajarkan kepada kita untuk tetap mengenang orang-orang yang telah berjasa sehingga hidup kita bisa seperti ini. Oleh karena itu, dalam konteks untuk menarasikan atau menafsir ulang kembali sejarah, memang diperlukan cara berpikir sejarah juga, agar kita bisa menghasilkan berbagai informasi (kisah sejarah/buku sejarah) yang menarik, edukatif dan bisa menjadi “Ibroh” untuk kemudian kita sajikan kepada masyarakat. Dan diharapkan, agar kisah sejarah yang kita tulis itu bisa dijadikan sebagai “pelajaran yang berharga atau Ibroh hasaniyah”, baik untuk masa kini maupun dimasa yang akan datang.

Secara teoritis, bahwa sejarah adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi dimasa lampau yang terkait dengan dinamika kehidupan manusia dan termasuk ketika di zaman kesultanan Banten dulu, yakni sejak kesultanan Banten didirikan di tahun 1625 M. Sedangkan ilmu yang mempelejari kejadian-kejadian dimasa lalu itu disebut ilmu sejarah. Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, maka sejarah memerlukan cara berpikir atau konsep berpikir untuk menganalisis berbagai peristiwa dimasa lalu itu. Namun pada umumnya, konsep berpikir sejarah itu meliputi : (1). Konsep Diakronis. Diakronis adalah konsep yang menggunakan sifat sejarah sebagai sesuatu yang memanjang dalam waktu, tetapi memiliki batasan ruang. Contohnya, ketika kuta menjelaskan siapa saja Presiden Indonesia dari sejak zaman kemerdekaan (1945) hingga saat ini. (2). Konsep Kronologis. Kronologis adalah konsep berpikir sejarah dengan cara menyusun peristiwa sejarah dengan teratur, yakni sesuai urut-urutan waktu. Contohnya ialah peristiwa proklamasi Indonesia diawali dengan dibawanya Bung Karno dan Bung Hatta ke wilayah Rengasdengklok, Karawang. (3). Konsep Periodisasi. Periodisasi adalah cara berpikir sejarah dengan mencoba mengelompokkan peristiwa-peristiwa sejarah ke suatu periode tertentu atau zaman tentu, yaitu sesuai dengan ciri-ciri yang ada. Contohnya adalah seperti periodisasi dinasti di Turki. (4). Konsep Sinkronis. Sinkronis ialah cara berpikir sejarah dengan mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah dalam sebuah waktu, namun dengan ruang lingkup yang lebih luas. Sementara dengan cara berpikir seperti itu, maka sejarawan harus mengkaji peristiwa tersebut bersama aspek sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang mengitarinya. Contohnya ketika menganalisis pengaruh masuknya kolonial Belanda terhadap aspek-aspek sosial ekonomi, sosial politik, maupun proses penguasaan teritorial wilayah nusantara dan lain sebagainya. Dan itulah cara berpikir dalam kosep sejarah. Dan tentunya sejarawan bisa memilih salah satu dari cara berpikir sebagaimana telah dikemukakan diatas. Hal itu juga tergantung apa yang ingin diungkap dari sebuah peristiwa sejarah itu.

Dengan kata lain, proses penulisan sejarah memang memilki periodisasi yang diciptakan oleh sejarawan, yakni setelah melakukan penelitian untuk memberikan kemudahan dalam menjelaskan proses perjalanan sejarah suatu bangsa atau suatu kesultanan/kerajaan dan lain sebagainya. Misalnya perjalanan sejarah di kesultanan Banten, apakah kita akan mengambil seting sejarahnya sejak berdirinya kesultanan Banten, yakni sejak tahun 1625 M, atau mau mangambil seting sejarah kesultanan Banten itu, yakni ketika dimasa kejayaannya, yang berlangsung di abad ke 16-17 M ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.

Atau kita ingin mencoba mengambil seting sejarahnya pada serpihan sejarah babad kesultanan Banten, yaitu ketika mulai tetjadinya “intrik-politik”, akibat ulah dari Sultan Haji yang bekerjasama dengan pihak VOC (Belanda) yang akhirnya menelingkung ayahnya sendiri, yakni Sultan Ageng Tirtayasa, akhirnya ia tangkap oleh kolonial Belanda, dan lalu dijebloskan ke penjara Batavia sampai beliau wafat di penjara tersebut. Atau mungkin juga kita ingin mengambil serpihan sejarah (seting sejarah) dari kesultan Banten, yaitu ketika terjadi “persekongkolan” antara Ratu Syarifah Fatimah dengan pihak VOC (Belanda) yang demikian ambisinya sang permaisuri Ratu Syarifah Fatimah itu, ia ingin berkuasa dan menguasai wilayah kesultanan Banten, yang fakta sejarahnya, ia demikian “dholim dan kejinya”, hingga terus mempitnah sang suaminya sendiri, yakni Sultan Zaenal Arifin, kemudian ia menuduh bahwa sang suaminya itu (Sultan Zaenal) dan sekaligus sultan Banten yang kesepuluh itu, ketika itu sudah mengidap penyakit jiwa (sudah gila). Dan akhirnya Sultan Zaenal Arifin ditangkap oleh VOC (Belanda), kemudian diasingkan ke Ambon, hingga ia wafat di tempat pengasingannya itu. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini, penulis mencoba ingin mengungkapkan soal “penelingkungan” dari Sultan Haji terhadap ayahnya sendiri, yakni Sultan Ageng Tirtayasa, dan sekaligus ingin mengungkapkan soal “persekongkolan” antara Ratu Syarifah Fatimah dengan pihak VOC (Belanda), sehingga Sultan Zaenal Arifin, yakni sultan Banten yang kesepuluh, akhirnya ditangkap oleh kolonial Belanda, dan kemudian diasingkan ke Ambon.

Lebih dari itu, menurut tinjauan penulis, hingga saat ini memang masih sangat minimnya referensi buku-buku sejarah Banten ataupun tentang “Babad” Banten. Maka tidak ada salahnya para sejarawan Banten, untuk terus menulis tentang dinamika di kesultan Banten zaman dulu, maupun dimasa kepemimpinan di kesultanan Banten, dan tentunya dengan perspektif pemikiran kesejarahan sebagaimana telah penulis ungkapkan diatas, yakni melalui pendekatan atau konsep Diakronis, Kronologis, Priodisasi, dan Singkronisasi. Mengingat bahan kajian maupun bahan-bahan penelitian sejarah tentang kesultanan Banten memang demikian kaya, dan apalagi kalau berbagai artefak sejarah kesultan Banten, terutama artefak sejarah yang berbentuk fisik, maupun naskah-naskah kuno atau ribuan buku-buku manuskrip, kemudian bisa diboyong dari Denhag (Belanda) dan dibawa ke negeri ini dan kemudian kita kajian sama-sama secara serius berbagai manuskrip dan fakta-fakta arkeologis tersebut.

Lebih dari itu, menurut tinjauan penulis, bahwa berbagai kompilasi sejarah bangsa ini, yakni mulai dari periode prasejarah hingga zaman kontemporer yang memang berlangsung ribuan tahun lalu itu, seyogyanya dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode prasejarah (hingga abad ke-5 M), periode klasik Hindu-Buddha (abad ke-5 hingga abad ke-13), periode modern Islam (abad ke-13 M hingga abad ke-20). Sementara di priode modern Islam itulah, salah satunya adalah soal eksistensi kesultanan Banten, yang memang berdiri di abad ke 16 M (1625 M). Sementara periode pergerakan nasional, yaitu terjadi pada tahun 1900-1945, kemudian disusul dengan periode kemerdekaan RI, hingga pada priode kontemporer (1945-1998). Bahkan, menurut tinjauan penulis, dalam proses penulisan sejarah bangsa ini, masih ada juga yang terlupakan, yaitu periode perang kemerdekaan yang berlangsung selama empat tahun (1945-1949), atau priode dimasa Agresi Belanda kedua, yang pada tahun 1948-1949. Mengingat, saat itu tidak kalah dahsyatnya karena kolonial Belanda saat itu terus membombardir bangsa ini.

Oleh karena itu, pada tulisan kali penulis akan mencoba mengungkapkan priode sejarah di abad modern Islam, yakni mulai dari abad ke 15 -20 M, dan salah satunya adalah soal “titik temu sejarah”, yakni bertemunya sumbu sejarah masa kejayaan kesultanan Banten (abad 16-17 M) ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Dan ketika dimasa Sultan Ageng Tirtaya juga, akhirnya titik temu munculnya atau sudah ada bintik-bintik serta “intrik-politik” yang dilakukan oleh Sultan Haji yang saat itu bekerjasama dengan VOC (Belanda). Akibat ulah dari Sultan Haji itu, akhirnya kesultanan Banten terus meredup, dan kemudian mengalami kehancuran demikian tragisnya, yakni ketika Istana kesultanan Banten (Istana Surosowan) saat itu dihancurkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willisme Deandles, tepatnya pada tahun 1808 M.

Namun sejatinya, bahwa sejak kesultanan Banten didirikan pada tahun 1625 M, faktanya kesultanan Banten saat itu sangat kharismatik dan terus merangkak mengalami kemajuan dan sampai pada masa puncak kejayaannya (masa superioritasnya), yaitu di abad 16 – 17 M. Bahkan, saat itu wilayah kesultan Banten sudah disebut-disebut sebagai negara Banten oleh masyarakat dunia. Tapi, akibat adanya “intrik-politik” dan proses “penelikungan” di internal kesultanan Banten itu sendiri, akhirnya eksistensi kesultanan Banten terus meredup dan bahkan mengalami kehancuran secara tragis, yakni sebagaimana sedikit banyak telah dikemukakan diatas, yakni kesultanan Banten dibombardir oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman William Daendles, pada tahun 1808 M.

II. Mengenal Masa Kejayaan Kesultanan Banten Dan Berbagai Artefak Sejarah Peninggalannya

Kesultanan Banten merupakan salah satu kesultanan Islam yang cukup berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Banten dan Jawa Barat. Pada masa kejayaan Kesultanan Banten, secara teritorial wilayah kekuasaannya-pun terus bertambah hingga ke wilayah Lampung. Menurut seorang penulis buku berjudul “Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Banten Periode 1552-1935”. Sang penulis buku itu (Raya) bahwa keberadaan agama Islam di Kesultanan Banten dibawa oleh Sunan Gunung Djati beserta sang putranya, Maulana Hasanudin (raja pertama di kesultanan Banten), memang sejak didirikan kesultanan Banten terus mengalami kemajuan bahkan mencapai puncak kejayaannya, yaitu ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.

A. Masa Kejayaan Kesultanan Banten

Secara geografis, letak kesultanan Banten berada di ujung barat Pulau Jawa. Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1526 Masehi. Sedangkan masa kejayaan Kesultanan Banten berlangsung pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu pada tahun 1651-1692 M. Sedangkan puncak kejayaan tersebut, ditunjukkan dengan berbagai prestasi yang ditorehkan oleh sultan-sulatan Banten terdahulu dan termasuk ketika dimasa Sultan Ageng Tirtayasa diantaranya :

  1. Perluasan Wilayah.
    Salah satu proses pencapaian pada masa kejayaan Kesultanan Banten adalah dilakukannya perluasan wilayah untuk tujuan perdagangan. Perluasan wilayah perdagangan itu bukan hanya di sekitar Pulau Jawa saja, tetapi mencapai wilayah Sumatra bagian Selatan hingga Maluku dan Kalimantan.
  2. Melawan VOC.
    Pada masa kepemimpinan di kesultanan Banten (terutama sejak sultan Banten yang keempat) saat itu VOC/Belanda sudah ada di nusantara dan termasuk sudah ada di wilayah Banten, namun pada perjalanan sejarahnya, akhirnya VOC dibubarkan pada tahun 1799 M, dan pasca pembubaran VOC di tahun 1799 itu, yang ada murni adalah pihak koloni Belanda yang akhirnya terus melakukan penjajahan di wilayah kesultanan Banten pada khususnya dan di seluruh wilatah nusantara pada umumnya. Kehadiran VOC sejak awal memang ingin memonopoli sistem perdagangan dan akhirnya kerapkali terjadi perselisihan faham dengan sesama negara kolonialis-imprialis, seperti dengan kolonial Portugis, Prancis dan Inggeris. Situasi itu tentu saja ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh karena itu, maka terjadilah perlawanan dari Kesultanan Banten terhadap VOC yang pada akhirnya VOC juga bisa mengalahkan negara-negara kolonialis lainnya seperti kolonial Portugis dan Inggeris dan akhirnya kolonial Belanda-lah yang terus bercokol di negeri ini. Sementara proses perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, ia tidak mau diatur dan tunduk kepada kompeni Belanda, dan sekaligus juga saat itu Sultan Ageng Tirtayasa, ia sedang kosentratif untuk memperbaiki sistem perdagangan yang lebih bebas dengan negara manapun dan tentunya bisa menguntungkan bagi kesultanan Banten dan rakyat Banten.
  3. Kemajuan di Bidang Perdagangan.
    Pada masa kejayaan Kesultanan Banten, bidang perdagangan juga memiliki kemajuan yang cukup pesat. Bahkan, dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan Karangantu-Banten sudah menjadi terbesar, sekaligus Banten sudah menjadi wilayah perdagangan Internasional dan saling membantu kerja sama antara pedagang lokal, pedagan yang datang dari wilayah Asia, Timur Tengah maupun para pedagang yang dari dunia Eropa. Dengan perkembangan bidang perdagangan ini, maka Armada Laut Banten saat itu mengalami kemajuan yang cukup pesat, apalagi wilayah Banten memang sangat strategis.
  4. Peninggalan Kesultanan Banten.
    Selain pernah mencapai masa kejayaan, Kesultanan Banten juga memiliki sejumlah peninggalan yang masih dapat ditemukan hingga saat ini. Adapun beberapa peninggalannya adalah seperti keberadaan Masjid Agung Banten, Istana Kesultanan Banten (Istana Surosowan), Benteng Speelwijk, serta berbagai artefak peninggalan sejarah lainnya. Demikian sejumlah informasi mengenai masa kejayaan Kesultanan Banten beserta berbagai peninggalannya, hingga saat ini masih bisa dijumpai, terutama yang ada dan tersimpan di musium yang berada di kompleks bekas Kesultanan Banten, yang hingga saat ini sudah menjadi destinasi sejarah (cagar budaya), tempat riset sejarah Banten sekaligus bagian dari destinasi wisata sejarah religi juga.

Dengan kata lain, masa kejayaan kesultanan Banten dalam fakta sejarahnya memang sangat kharismatik dan mercusuar, yakni sejak didirikannya pada tahun 1625 M, dan terus merangkak mengalami kemajuan hingga ke pase puncak kejayaannya, yaitu ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu kesultanan Banten menjadi pusat perdagangan maritim terkuat di wilayah Asia Tenggara. Sedangkan raja pertama di kesultanan Banten, yaitu Sultan Maulana Hasanuddin (putra dari Sunan Gunung Jati). Berkat dukungan para ulama, para pejuang Banten dan rakyat Banten, akhirnya kesultanan Banten terus berkembang menjadi kesultanan maritim yang makmur, dan betul-betul terlihat superioritasmya, terutama ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kesultanan Banten saat itu terus menjalin hubungan perdagangan secara intensif dengan berbagai negara di wilayah Asia Tenggara, wilayah Timur Tengah, beserta masyarakat Eropa. Sedangkan volume/neraca perdagangan di kesultanan Banten ketika itu terus meningkat secara signifikan. Lebih dari itu, kesultanan Banten saat itu juga menjadi pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa.

Meskipun kuat dan pernah mengalami masa kejayaan, namun, ketika di akhir abad ke 17 M, eksistensi kesultanan Banten saat itu menghadapi berbagai tekanan dan perlawanan dari pihak VOC (Belanda). Karena, kongsi dagang Belanda (VOC) yang nota bene kehadirannya di wilayah Banten, ingin menguasai atau memonopoli perdagangan yang seutuhnya. Akhirnya kerapkali juga terjadi perselisihan fahan antara VOC dengan pihak kesultanan Banten, bahkan berujung pada kles bersenjata (pertempuran sengit), terutama ketika dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, yang nota bene beliu anti betul terhadap kolonial Belanda, dan ia kerapkali juga memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda. Yang lebih tragisnya, saat sedang sengit-sengitnya terjadi perselisihan faham antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak kompeni Belanda (VOC), ketika itu malah terjadi “penelingkungan” atau Sultan Ageng Tirtayasa “tertelingkung” dari internal kesultanan Banten itu sendiri, yakni akibat ulah Sultan Haji, yang nota bene ia malah bekerjasama dengan pihak VOC, yang rentetan akibat buruk selanjutnya, akhirnya kesultanan Banten terus meredup dan kemudian mengalami kehancuran, terutama setelah Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh VOC (Belanda), kemudian dijebloskan ke penjara Batavia, hingga akhirnya beliau wafat di penjara tersebut.

III. Konflik Internal Yang Berujung Pada Kehancuran Kesultanan Banten

Akibat ulah dari Sultan Haji yang terkesan ingin segera menjadi sultan, meskipun harus menentang serta menelingkung ayahnya sendiri, akhirnya pihak kompeni Belanda menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan kemudian menjebliskannya ke penjara Batavia, hingga akhirnya beliau wafat di penjara tersebut. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa berada di penjara, Sultan Haji hanya menjadi raja Banten di bawah intervensi, tekanan serta cengkraman dari kekuatan VOC Belanda. Karenanya, Sultan Haji saat itu dicap oleh rakyat dan masyarakat Banten sebagai penjilat, pengkhianat, dan lain sebagainya. Karena merasa tertekan oleh pihak VOC maupun oleh seluruh rakyat Banten sendiri, Sultan Haji akhirnya jatuh sakit dan tak lama kemudian ia wafat, yaitu pada tahun 1687. Sultan Haji akhirnya digantikan oleh putranya, yaitu Sultan Abu al Fadhal Muhammad Yahya, sebagai sultan Banten kedelapan, yang memerintah hanya tiga tahun, yaitu dari tahun 1687-1690, kemudian dilanjutkan oleh Sultan Abul Mahasin Muhsmmad Zainul Abiddin, yakni sebagai sultan kesembilan, dan ia menjadi Sultan Banten dari tahun 1690 – 1733 M. Ketika dimasa sultan Abul Mahasin Muhammad Zaenul Abidin, saat itu kake beliau, Sultan Ageng Tirtayasa, wafat (tahun 1692), sementara jenazahnya bisa dibawa pulang dan kemudian makamkan di wilayah Tirtayasa, Serang, Banten. Tapi secara umum, ketika itu dinamika di kesultanan Banten tidak banyak mengalami kemajuan dibidang apapun. Karena terlalu banyak intervensi (campur tangan) VOC. Bahkan, intervensi Belanda saat itu sudah terlalu jauh terhadap kekuasaan di kesultanan Banten. Dampak negatifnya sangat dirasakan oleh para pemimpin di Kesultanan Banten, maupun oleh seluruh rakyat dan masyarakat Banten. Misalnya, adanya kerja rodi (kerja paksa) serta berbagai monopoli perdagangan dan pertanian, yang akhirnya merugikan rakyat Banten. Ketika Banten dipimpin oleh Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul al Arifin (sultan Banten kesepuluh), barulah Banten mengalami perubahan. Ia menjadi sultan Banten tahun 1733-1747. Tapi, dimasa kepemimpinannya, seringkali terjadi pemberontakan, yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah diluar batas kemanusiaan.

Sementara di internal kesultanan Banten sendiri, ketika itu terjadi priksi dan intrik politik, alias terjadi perebutan kekuasaan. Karena, Sultan Zaenal Arifin, saat itu ia sudah tidak mampu lagi menghadapi intervensi dari permaisurinya, Ratu Syarifah Fatimah (seorang janda bekas istri letnan Melayu di Batavia) yang akhirnya dikawin oleh sultan Zaenal Arifin. Ketidak berdayan itu terlihat dari keputusan Sultan Zaenal Arifin yang membatalkan penunjukan sang putra mahkota (Pangeran Gusti), hal itu atas desakan dari permaisuri Ratu Syarifah Fatimah, yang nyatanya sang permaisuri saat itu ia telah bersengkongkol dengan pihak VOC. Saat itu sultan Zaenal Arifin, malah mengangkat pangeran Syarif Abdullah, yaitu menantu dari Ratu Syarifah Fatimah (dari suaminya yang terdahulu) diangkat menjadi raja yang kesebelas, dan membuang Pangeran Gusti ke pengasingan. Saat itu Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia, namun ketika diperjalanan ia malah ditangkap oleh VOC (Belanda), dan kemudian diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Yang lebih tragis lagi, saat itu Sultan Zaenal Arifin menobatkan Pangeran Syarif Abdullah sebagai sultan Banten kesebelas (tahun 1750-1752) dengan gelar Sultan Syarifudin Ratu Wakil, tapi yang berkuasa sepenuhnya saat itu adalah Ratu Syarifah Fatimah.

Sementara menurut catatan sejarah, terutama dalam beberapa penulisan sejarah kesultanan Banten, sultan Syarifudin Ratu Wakil, bisa ditulis sebagai sultan Banten ke sebelas, sedangkan bagi keluarga besar kesultanan Banten tidak mengakui beliau sebagai sultan Banten yang syah, dan apalagi dinobatkan menjadi Sultan Banten yang kesebelas. Akhirnya memang menimbulkan perbedaan dalam penulisan pengurutan para sultan Banten. Oleh karena itu, untuk membedakan antara sultan Banten penuh dan sultan Wakil, maka dalam tulisan ini, sultan yang syah digunakan penulisan sultan penuh.

Lebih dari itu, dimasa kepemimpinan Sultan Muhammad Syifa Zainul al Arifin, terus terjadi pemberontakan, hal itu merupakan upaya perlawanan dari rakyat dan para pejuang Banten di bawah pimpinan Kiyai Tb. Tapa atau Kiyai Tubagus Musthafa, yaitu salah seorang ulama yang berasal dari Gunung Muara. Rakyat Banten saat itu menyaksikan langsung bagaimana penguasa Banten saat itu telah dikuasai (didikte) oleh Belanda. Bahkan, kesultanan Banten saat itu dijadikan alat oleh kompeni Belanda untuk memeras keringat rakyat. Terlebih lagi ketika Sultan Zainul Arifin ditangkap dan dibuang ke Ambon atas hasutan dari sang permaisurinya sendiri, yakni dari Ratu Syarifah Fatimah, akhirnya rakyat dan para pejuang Banten semakin murka dan terus melakukan pemberontakan secara sporadis. Dan apalagi setelah Ratu Syarifah Fatimah, ia diakui sebagai wakil sultan dan memakai gelar ratu. Hal itu dianggapnya sebagai penghinaan dan penghianatan terhadap penguasa dan rakyat Banten. Saat itu para pejuang dan rakyat Banten, terutama yang masih setia kepada Sultan Ageng Tirtayasa, mendapatkan angin segar sekaligus kesempatan untuk melakukan perlawanan kembali terhadap kolonial Belanda. Kiyai Tapa, yang dibantu oleh bangsawan Banten, yaitu Tubagus Buang, dengan penuh semangat mereka terus menyerang kedudukan kesultanan Banten dan pihak VOC (Belanda) hingga bisa merebut beberapa daerah Banten bagian Barat. Mereka berusaha melumpuhkan kekuatan Belanda dan Ratu Syarifah Fatimah.

Sementara bantuan pasukan Belanda yang datang dari Batavia saat itu bisa dipukul mundur di tengah perjalanan. Namun Belanda sadar betul bahwa pemberontakan yang terjadi saat itu merupakan perlawanan seluruh rakyat Banten untuk mengusir penjajah. Sedangkan sultan Banten kesebelas (yang ilegal), yaitu Syarif Abdullah, ia merupakan menantu dari Ratu Syarifah Fatimah, ia duduk manis di kesultanan Banten, sementara pada saat yang sama, pihak Belanda telah berhasil menangkap dan mengasingkan Pangeran Gusti (putra Mahkota yang asli). Ia kemudian diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Atas keberhasil kompeni Belanda itu, yakni mengasingkan Pangeran Gusti, maka Ratu Syarifah Fatimah menghadiahkan daerah Cisadane serta separuh dari penghasilan tambang emas di Tulang Bawang (Lampung). Lebih dari itu, Ratu Syatifah Fatimah juga terus memfitnah bahwa Sultan Zainu al Arifin sudah gila, dan akhirnya sultan Banten kesepuluh itu ditangkap VOC (Belanda) kemudian diasingkan ke Ambon hingga menemui ajalnya. Sebagai gantinya, saat itu juga diangkat sultan kesebelas (ilegal), yaitu Syarif Abdullah dengan gelar Syarifuddin Ratu Wakil pada tahun 1750.

Menyaksikan kenyataan tersebut, Gubernur Jenderal yang baru, yaitu Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin. Akhirnya Ratu Fatimah diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Saat itu VOC (Belanda) mengangkat Pangeran Arya Adi Santika, yaitu adik Sultan Zainu al Arifin, untuk menjadi wakil raja dan juga mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya (Sailan). Hal itu dimaksudkan agar hati rakyat Banten bisa terobati dan tidak lagi mengadakan pemberontakan.

Tapi pada faktanya, semua itu tidak menyurutkan semangat perlawanan dari para pejuang dan rakyat Banten, karena yang mereka tuntut bukan sekedar itu, tetapi yang terpenting bagi mereka bisa mengusir para kompeni Belabda dari bumi Banten, agar kompeni Belanda tidak lagi mencampuri urusan kesultan Banten dan perdagangan di wilayah Banten. Oleh karena itu, rakyat yang dipimpin oleh Ki Tb. Bangun Tapa serta Ratu Bagus Buang selalu mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota. Namun, ketika dilakukan serangan balik dari pasukan Belanda, akhirnya pasukan pejuang Banten saat itu dapat dipukul mundur hingga ke daerah Banten Selatan (Sajira) serta ke wilayah pegunungan di Pandeglang. Mereka berusaha bertahan disana, terus bergeser ke Gunung Munara di Ciampea (Bogor). Melalui serangan yang berkali-kali, barulah Gunung Munara dapat dikuasai Kompeni Belanda, hingga Ki Tapa dan pasukannya menyingkir ke Bogor dan Banten Selatan.

Sementara itu di Surasowan, pada tahun 1752, Kompeni Belanda mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi sultan Banten yang kesebelas, dengan gelar Sultan Abu al Ma’ali Muhammad Wasi’ Zainu al Alimin. Ia ditempatkan sebagai sultan Banten dengan berbagai syarat serta perjanjian yang merugikan kesultanan Banten dan sangat menguntungkan pihak kompeni Belanda, yang isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut : (1). Banten berada di bawah kekuasaan penuh Kompeni, walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan. (2). Sultan akan mengirimkan utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti lada yang jumlahnya ditetapkan Kompeni. (3). Hanya Kompeni yang boleh mendirikan benteng di Banten. (4). Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada Kompeni. (5). Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan oleh Kompeni. Demikian dengan adanya perjanjian tersebut, akhirnya para pangeran dan punggawa di kesultanan Banten semakin marah, termasuk juga Pangeran Gusti. Rakyat Banten akhirnya terus bergolak kembali, yakni untuk mengangkat senjata serta mengadakan perlawanan kembali. Mereka kembali melakukan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman (di Sajira-Leubak). Pada akhirnya dilakukan kembali serangan serentak dari dalam dan luar kota. Pasukan dari kedua tokoh tersebut mengadakan penyerangan dari luar, sementara itu rakyat yang dipimpin oleh para pangeran dan punggawa terus menentang Kompeni dengan melakukan kekacauan dari dalam kota. Akhirnya terjadilah pertempuran sengit di daerah Caringin dan kota Surasowan. Dengan susah payah, akhirnya Kompeni berhasil juga melumpuhkan serangan. Ki Tapa menyingkir ke daerah Priangan. Namun setelah terjadi perang di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikutnya, Ki Tb. Tapa pergi ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pejuang di sana. Sementara Ratu Bagus Buang hingga tahun 1753, ia masih tetap konsisten melakukan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan dan tekanan dari rakyat, akhirnya Sultan Abu al Ma’ali Muhammad Wasi Zainu al Alimin, menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Gusti yang sekaligus dinobatkan menjadi sultan Banten kedua belas dengan gelar Sultan Abu al Nasr Muhammad Zainu al Asyikin. Demikian teguh dan tegar, Tb. Buang untuk mempertahankan Banten dari intervensi dan campur tangan dari pihal kolonial Belanda, hingga namanya begitu kharismatik di kalangan rakyat Banten.

Bahkan, karena tidak diketahui wafatnya, akhirnya sebagian masyarakat Banten masih percaya bahwa Ki Ratu Bagus Buang, hingga saat ini masih hidup. Pangeran Gusti kemudian memegang kepemimoinan di kesultanan Banten selama 20 tahun, yakni dari 1753-1773, hingga digantikan oleh puteranya, yaitu Sultan Abu al Mafakir Muhammad Aliyudin I, sebagai sultan Banten ketiga belas, yang memegang kekuasan selama 26 tahun, 1773-1799. Namun, akibat tidak mempunyai anak laki-laki, setelah ia wafat, Sultan Abu al Mafakir Muhammad Aliyudin I digantikan oleh adiknya sendiri, yaitu Pangeran Muhidin, dengan gelar Sultan Abu al Fath Muhammad Muhidin Zaina al Shalilih sebagai sultan keempat belas, yang memerintah pada tahun 1799-1801. Sultan Abu al Fath Muhammad Muhidin Zaina al Shalilih wafat, dan akhirnya digantikan oleh sultan Banten yang kelima belas, yaitu Sultan Aliyudin II, dengan gelar Sultan Abu al Nasr Muhammad Ishaq Zainu al Muttaqin, dan ia hanya berkuasa selama satu tahun, 1801- 1802. Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Wakil Pangeran Natawijaya sebagai sultan Banten yang berkuasa pada tahun 1802-1803 M.

IV. Awal Terjadi Pemberontakan Yang Dilakulan Oleh Ki Bangun Tapa Dan Ki Tubagus Buang di Kesultanan Banten

Sebagaimana telah dikemukakan dibagian atas, bahwa awal terjadinya pemberontakan di wilayah Banten, disebabkan oleh dibuangnya Sultan Zainul Arifin ke Ambon oleh VOC, hal itu atas persekongkolan permaisuri Ratu Syarifah Fatimah, yang bekerjasama dengan VOC, terutama di akhir abad ke-17 M. Bahkan saat itu, VOC juga telah berhasil menanamkan pengaruhnya di internal Kesultanan Banten. Misalnya, ketika Sultan Zainul Arifin naik takhta pada 1733, saat itu di kesultanan Banten sudah terjadi persekongkolan. Pasalnya, istrinya demikian bernafsu untuk merancang konflik antara Sultan Zainul Arifin dengan putranya (Pangeran Gusti). Akhirnya, putra Sultan Zainul Arifin dibuang ke pengasingan, sementara sang menantu dari Ratu Syarifah Fatimah malah diangkat menjadi putra mahkota pada tahun 1747 M. Tidak hanya itu, atas sekenario dari Ratu Fatimah, Sultan Zainul Arifin juga dibuang oleh VOC ke Ambon pada tahun 1748. Sedangkan Ratu Fatimah semakin berkuasa dan semakin memancing emosi dari para oposisi di Kesultanan Banten. Lebih dari itu, kebijakan yang diterapkan terus menuai protes dari kalangan rakyat Banten. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya muncul berbagai pemberontakan, karena dipicu oleh pesekongkolan jahat dari Ratu Syarifah Fatimah (istri Sultan Zainul Arifin). Sementara pemberontakan yang dahsyat dipimpin langsung oleh Kiyai Tb. Bangun Tapa, yaitu pada bulan Oktober 1750, yang sasaran utamanya adalah pihak VOC dan Ratu Syarifah Fatimah.

A. Bersekongkol Dengan Kompeni, Siasat Licik Ratu Syarifah Fatimah, Tapi Berujung di Pengasingan

Kisah konflik internal Kesultanan Banten tidak terlepas dari skenario kompeni Belanda. “Siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai”. Pepatah itu mungkin cocok disematkan pada sosok Ratu Syarifah Fatimah. Permaisuri Sultan Zaenul Arifin, yang ingin meraih kekuasaan dengan cara bersekongkol dengan pihak VOC (Belanda). Namun, alih-alih mendapatkan kekuasaan di Kesultanan Banten, malah Ratu Syarifah Fatimah dan menantunya (Syarif Abdullah) akhirnya mereka dibuang ke pengasingan oleh kompeni Belanda. Bahkan, kisah konflik di internal Kesultanan Banten saat itu, tentu saja tidak lepas dari skenario besar namun dijalankan secara halus oleh VOC. Karena VOC saat itu betul-betul bernafsu untuk mendapatkan semua yang mereka perlukan. Saat itu mereka terus melemahkan para punggawa di kesultanan Banten. Sementara proses pelemahan kesultanan Banten itu sendiri dimulai sejak Pangeran Rajamangala menjadi Sultan yang bergelar Sultan Syifa Zaenal Arifin, dan ia memerintah dari 1690 hingga 1733. Bahkan, jauh sebelum menjadi sultan, Pangeran Rajamangala sudah mempunyai putera yang nantinya akan dipersiapakan untuk menjadi sultan berikutnya, yaitu Pangeran Gusti atau Pangeran Arif. Namun, setelah ibu dari Pangeran Gusti itu wafat, akhirnya ayahnya menikahi lagi dengan seorang perempuan bernama Syarifah Fatimah dan menjadikannya sebagai permaisuri di kesultanan Banten.

Namun, sang permaisuri itu memiliki ambisi besar untuk menjadi penguasa Banten. Setidaknya kalau bukan dirinya, ia minimal sang menantunya sendiri yang harus menjadi sultan Banten. Dan niat itu menjadi awal petaka, yakni ketika kita bicara suksesi kepemimpinan pasca Sultan Zaenul Arfin. Jelas, permaisuri menginginkan betul sang menantunya itu (Syarif Abdullah) untuk dijadikan sultan Banten. Sedangkan untuk memuluskan niatnya, ratu fatimah melancarkan siasat dengan memohon bantuan VOC di Batavia, akhirnya gayung bersambut. Gubernur Jenderal VOC Gustaff Williem Van Imhoff menyanggupi permintaan Ratu Syarifah. Skenario pertama, Sultan Zaenul Arifin dibenturkan dengan putranya, Pangeran Gusti. Sang putra berhasil terprovokasi oleh Ratu Syarifah, dan ia berontak terhadap ayahnya. Skenario itu berhasil, karena sang ayahnya kemudian menghukum Pangeran Gusti dengan cara membuangnya ke Sri Langka.

B. Ratu Banten Ditahan di Pulau Edam

Ratu Syarifah Fatimah berambisi menguasai Kesultanan Banten, dan VOC mendukungnya, tapi VOC kemudian membuangnya ke Pulau Edam. Menurut MC Ricklefs di dalam bukunya berjudul “Sejarah Indonesia Modern”, putra mahkota yang baru (Pangeran Gusti) terlalu muda untuk memerintah, dan bahkan akhirnya malah ia diasingkan ke Srilangka. Sementara Zainul Arifin saat itu ia telah berhasil difitnah oleh sang permaisuri (Ratu Syarifah Fatimah) bahwa Sultan Zaenah Arifin, saat itu ia dituduh mengidap penyakit jiwa. Karenanya, atas persetujuan Ratu Syarifah, VOC menangkap dan membuang Sultan Zainul Arifin ke Ambon.

Dan atas restu VOC juga, akhirnya Ratu Syarifah Fatimah menjadi “wali Sultan”. Namun kalangan elite Banten saat itu sangat geram dan terus menentang keras sekenario keji yang dilakukan oleh Ratu Syarifah Fatimah yang bersekongkol dengan piha VOC itu. Bahkan, setelah Ratu Syarifah merasa amat berkuasa di kesultanan Banten, saat itu ia malah banyak menindas. Seperti ; “Proyek-proyek pembangunannya di Istana yang akhirnya meletakkan beban anggaran (kepada) rakyat dan kaum bangsawan Banten,” tulis Ricklefs di dalam bukunya sebagaimana judul diatas.

Penentangan memuncak dengan pemberontakan besar pada bulan Oktober tahun 1750, yaitu di bawah pimpinan seorang guru agama bernama (Kiai Tb. Bangun Tapa). Dan pertempuran tidak bisa terelakan dan terjadi secara seporadis. Bahkan, sebagian besar wilayah Banten jatuh ke tangan para pemberontak. Sementara VOC hanya mampu mempertahankan dua bentengnya di dalam kota. Namun tak ingin menderita kekalahan cukup besar di Banten dan Mataram, akhirnya VOC mengambil langkah strategis dengan menangkap Ratu Syarifah dan menantunya (Syarif Abdullah), karena keduanya dianggap sebagai biang kerok atau sumber kekacauan yang berujung pada pemberontakan yang dilakukan oleh para pejuang dan rakyat Banten saat itu, yang realitanya terjadi secara sporadis. Akhirnya VOC menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan sang menantunya itu (Syarif Abdullah) kemudian pihak VOC menahannya di Pulau Edam (Kepulauan Seribu). Tapi niat awalnya, mereka akan diasingkan ke Saparua, Maluku. Namun, Ratu Syarifah Fatimah, malah ia keburu meninggal dan akhirnya dimakamkan di Pulau Edam (Pulau Seribu). Sementara “Pangeran Syarif Abdullah, ia selanjutnya dibuang ke Banda dan hidup mewah di sana atas biaya VOC selama 39 tahun,” tulis MC Ricklefs di dalam bukunya berjudul “Sejarah Indonesia Modern”. Sementara VOC saat itu menyerahkan tahta Kesultanan Banten kepada Arya Adi Santika, yaitu saudara lelaki dari Sultan Zainul Arifin. Dia menjadi “wali Sultan” sampai kembalinya putra mahkota (Pangeran Gusti) yang diasingkan ke Ambom.

Namun faktanya, pengangkatan Arya Adi Santika tak menghentikan perlawanan dari para pemberontak kepada VOC, akhirnya pihak VOC saat itu mengerahkan lebih dari seribu pasukan (Eropa dan pribumi) untuk memukul mundur para pasukan pemberontak. Sementara Kiai Tapa, ia mengubah cara melawan VOC nya, yaitu dengan melakukan sabotase (pembakaran), dan perampokan di Batavia. Menurut Ricklefs, Kiai Tapa dan pewaris tahta yang didukungnya, Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin, berhasil menyelamatkan diri. Yakni Ki Bagus Buang kemudian menghilang. Untuk beberapa waktu lamanya, sementara Kiai Tapa, ia terus melancarkan berbagai serangan yang tidak teratur terhadap VOC terutama di Selat Sunda, di dekat Bandung, dan Bogor. Sesudah itu, dia pergi ke arah timur untuk melibatkan diri dalam Perang Suksesi Jawa III (1746-1757), yaitu perang antara Paku Buwono II dan III yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang dibantu Raden Mas Said, dan perang itu berakhir dengan Perjanjian Giyanti yang membagi kekuasaan menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dan, Kiai Tapa pun akhirnya menghilang. Sementara Pangeran Gusti, putra Sultan Zainul Arifin, yang diasingkan akhirnya dibawa kembali dari Sri Lanka pada 1753 dan diangkat menjadi sultan Banten dengan gelar Sultan Zainul Asyikin (1753-1777). Setelah itu, tulis Ricklefs, “Banten secara resmi menjadi suatu wilayah jajahan VOC. Suasana Banten saat itu kembali damai, tetapi perdamaian itu tercapai bersama-sama dengan tunduknya kepada kekuasaan VOC saat itu.”

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *