Ocit Abdurrosyid Siddiq

Dengan akalnya, manusia melakukan penelitian, yang melahirkan ilmu pengetahuan atau sains. Produk sains adalah teknologi. Dengan ditemukannya teknologi, hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih praktis. Misalnya penelitian dan penemuan manusia dalam bidang teknologi komunikasi.

Dulu, untuk melakukan komunikasi jarak jauh, kita menggunakan telepon dengan cara diengkol. Kemudian berkembang menjadi PSTN. Lalu berganti seluler tanpa kabel. Kini, komunikasi bukan hanya dalam bentuk audio, tetapi bisa disertai video. Kita mengenalnya dengan istilah video call.

Contoh lainnya adalah perangkat untuk menulis. Dulu menggunakan mesin tik. Lalu ditemukan komputer desktop, yang bila akan dioperasikan mesti menggunakan disket. Kemudian berkembang penemuan laptop, perangkat menulis yang bisa dijinjing dan dibawa kemana saja.

Setelahnya, diciptakan tablet yang bentuknya lebih praktis. Kini, membuat tulisan tidak seperti zaman dulu yang masih menggunakan mesin tik yang berisik kala dipakai. Dengan layar sentuh, bahkan dengan rekaman suara, kita bisa membuat tulisan. Pastinya, lebih praktis.

Perkembangan teknologi sangat membantu manusia. Namun kadang penemuan teknologi ini bisa menjadi bumerang dan menimbulkan persoalan baru. Yang terbaru adalah polemik royalti lagu yang melibatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN.

Belakangan ini kita dibuat riuh oleh perkara royalti. Royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak cipta atas penggunaan karyanya oleh pihak lain. Hak cipta ini bisa berupa musik, buku, film, paten, atau merek dagang.

Yang saat ini lagi ramai adalah royalti musik. LMKN menagih pembayaran royalti pada para pelaku usaha yang menggunakan musik untuk kepentingan komersil. Dalam hal ini adalah pengusaha hotel, restoran, dan kafe.

Terbaru, sebuah perusahaan waralaba yang memiliki jaringan luas dikenakan denda, yang berujung damai dengan kompensasi lebih dari 2 miliar rupiah gegara menggunakan lagu orang lain tanpa diawali dengan izin dan atau komitmen untuk bayar royalti.

Akibatnya, banyak pelaku usaha yang saat ini tidak lagi memutar lagu untuk menghindari kewajiban bayar royalti. Mereka menyiasatinya dengan cara memperdengarkan suara alam, misalnya rekaman suara burung, yang belakangan ternyata dikenakan royalti juga.

Perkara royalti musik ini begitu pelik. Hingga seorang hakim Mahkamah Konstitusi atau MK menyampaikan bahwa bila setiap musik mesti dikenakan royalti maka yang paling besar menerima pembayaran adalah keluarga WR. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya. Sebuah sentilan yang makjleb!

Polemik royalti ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Dulu, musik hanya bisa diperdengarkan lewat kaset. Kemudian berkembang dalam bentuk compac disc atau CD berupa MP3, bisa digandakan menggunakan CD writer, flash disc, dan kini bisa diunduh dalam bentuk file digital.

Waktu masih menggunakan kaset, royalti musik dihitung dari seberapa banyak jumlah kaset yang diproduksi. Keuntungannya dibagi dengan prosentase tertentu antara pencipta lagu, penyanyi, pengiring musik, dan perusahaan rekaman. Semakin banyak kaset terjual, semakin besar royalti yang diterima.

Bila ada kaset yang tidak memiliki label resmi maka bisa dipastikan itu merupakan barang bajakan. Karenanya, baik pemerintah maupun stakeholders lainnya bisa dengan mudah menemukan dan melakukan penindakan atas pelaku pembajakan.

Karena perkembangan teknologi, kaset yang masih berupa pita yang kadang kusut itu, kini berganti dalam format file digital. Pastinya, format ini lebih mudah dan lebih leluasa untuk digandakan, yang adalah bentuk pembajakan yang terlarang.

Ketika hak cipta lagu masih dalam bentuk kaset, lebih mudah untuk dikontrol. Kini dengan teknologi digital yang memungkinkan siapa saja bisa menggandakan dan memperbanyaknya, maka perkara royalti ini sulit untuk dikendalikan.

Fenomena ini menjadi bukti bahwa perkembangan teknologi tidak serta merta menjadi berkah bagi kalangan tertentu, dalam hal ini adalah pencipta lagu dan penyanyi. Malah bisa menjadi tulah. Buktinya, kini mereka mengeluh karena pendapatan tidak sebesar ketika karya cipta mereka masih dalam bentuk kaset.

LMKN sebagai Lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengelola royalti ini, juga berada pada situasi dilematis, karena mesti berhadapan dengan pihak pencipta lagu dan penyanyi, juga berhadapan dengan para pengguna jasa. Dalam hal ini para pengusaha hotel, resto, dan kafe.

Para pencipta lagu dan penyanyi banyak yang mengeluh karena pendapatan mereka dari royalti tidak jelas skemanya. Di sisi lain, para pengguna jasa juga mempertanyakan apakah biaya royalti yang mereka bayarkan ke LMKN itu sampai atau tidak kepada mereka yang berhak menerimanya.

Dalam situasi seperti ini, mesti ada aturan main yang jelas sehingga seluruh pihak dapat menerimanya. Pencipta lagu dan penyanyi mendapatkan haknya, para pengguna jasa tidak merasa keberatan dengan tarif yang dikenakan, dan masyarakat umum pun masih bisa menikmatinya tanpa harus masuk pada daftar tagihan dalam kertas billing yang disodorkan kasir.

Jangan karena gegara mesti bayar royalti, hotel, resto, dan kafe suasananya berubah seperti kuburan yang sepi tanpa musik. Atau seperti kebun binatang karena hanya memperdengarkan suara-suara hewan. Atau bisa jadi ini ada hikmahnya, bahwa daripada manyun dan melamun lebih baik memperbanyak dzikir? Wallahualam.
*

Tangerang, Rabu, 20 Agustus 2025
๐˜—๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ช๐˜ด ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜—๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต ๐˜”๐˜ฆ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜’๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ซ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜—๐˜ถ๐˜ฃ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฌ

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *