
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara melarang Menteri merangkap jabatan dengan jabatan lain. UU itu dibentuk tahun 2008. Waktu itu belum ada posisi atau jabatan Wakil Menteri.
Posisi Wakil Menteri baru ada di era Presiden Jokowi. Dalam Kabinet Indonesia periode 2019-2024 ada sekitar 12 jabatan Wakil Menteri. Sementara pada masa Presiden RI Prabowo yang dikenal dengan Kabinet Merah Putih setidaknya ada sekitar 56 jabatan atau posisi Wakil Menteri.
Karena dalam UU Kementerian Negara hanya mencantumkan Menteri dan tidak mencantumkan Wakil Menteri, maka larangan rangkap jabatan itu hanya berlaku bagi Menteri. Tidak untuk Wakil Menteri. Padahal keduanya merupakan pejabat negara.
Atas kondisi tersebut, sekelompok masyarakat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menyampaikan gugatan agar yang dilarang merangkap jabatan itu bukan hanya Menteri tetapi juga Wakil Menteri. Untuk diketahui, ada beberapa Wakil Menteri yang saat ini merangkap jabatan lain.
Tidak kurang dari 30 Wakil Menteri yang saat ini memiliki jabatan lain yang masuk larangan tersebut. Sebut saja di antaranya adalah Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian merangkap Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia (Persero). Helvy Yuni Moraza, Wakil Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merangkap Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) TTbk.
Ada juga Diana Kusumastuti, Wakil Menteri Pekerjaan Umum merangkap Komisaris Utama PT Brantas Abipraya (Persero). Giring Ganesha, Wakil Menteri Kebudayaan merangkap Komisaris PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia TTbk.
Nama lainnya, Donny Ermawan Taufanto, Wakil Menteri Pertahanan merangkap Komisaris Utama PT Dahana (Persero). Termasuk yang baru saja kena kasus hukum, Immanuel Ebenezer Gerungan, Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang merangkap Komisaris PT Pupuk Indonesia (Persero).
MK sudah mengeluarkan putusan bahwa Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Juga melarang Wakil Menteri merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
MK memberikan waktu hingga 2 tahun kepada mereka yang memiliki jabatan rangkap tersebut untuk menanggalkan salah satu jabatannya. Waktu yang sebetulnya terlalu lama. Kita lihat saja nanti siapa Wakil Menteri yang dengan sigap mematuhi putusan MK dalam tempo sesingkat-singkatnya. Juga siapa saja Wakil Menteri yang mengulur-ulur waktu.
Hal lainnya yang menarik dan ini agak luput dari perhatian publik adalah bahwa larangan rangkap jabatan itu bukan hanya sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta. Tetapi juga merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Pertanyaannya, organisasi apa saja yang masuk dalam kategori tersebut? Apakah termasuk ormas keagamaan, ormas kepemudaan, dan ormas-ormas lainnya yang menjadi penerima dana APBN atau APBD lewat skema hibah?
Pertanyaan berikutnya, makna “pimpinan” tersebut, apakah maksudnya adalah pucuk pimpinan atau Ketua Umum dalam sebuah organisasi, ataukah termasuk jajaran pengurus lainnya? Perkara ini menarik untuk diteliti karena bila hal itu masuk kategori demikian, akan menjadi yurisprudensi bagi jabatan rangkap lainnya.
Bila yang menjadi salah satu pertimbangan bagi diterapkannya larangan rangkap jabatan itu adalah antara lain agar tidak masuk pada situasi conflict of interest, maka klausul ini sebaiknya diterapkan juga pada jabatan dan atau posisi lain.
Misalnya organisasi kemasyarakatan keagamaan dan atau kepemudaan. Sebaiknya, dalam struktur kepengurusan, tidak perlu melibatkan unsur lain selain civil society. Wong namanya juga ormas. Maka tak perlu melibatkan unsur pemerintah dan unsur aparat penegak hukum, baik tentara maupun kepolisian.
Karena itu, Mathlaul Anwar tak perlu melibatkan Menteri dalam struktur Pengurus Besar. Muhammadiyah tak usah menyertakan Komisaris dalam struktur Pengurus Pusat. Juga NU apa urgensinya memasukkan Kepala Kanwil Kemenag di sebuah provinsi dalam struktur Pengurus Wilayah.
Mengapa? Karena itu tadi; menghindari konflik kepentingan. Wallahualam.
*
Pasir Putih Cihara, Jumat, 29 Agustus 2025
Penulis adalah Pengamat Media dan Kebijakan Publik