
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Presiden RI Prabowo Subianto memanggil para ketua umum partai politik, untuk mengambil langkah-langkah penting pascaaksi masa.
Usai pertemuan, beberapa partai politik menyampaikan siaran pers. Di antaranya adalah partai Nasdem, PAN, dan partai Golkar.
Ketiga partai politik tersebut menyampaikan siaran pers yang isinya menonaktifkan kader mereka yang duduk di DPR RI. Kader yang diduga sebagai pemantik masalah.
Mereka adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari partai Nasdem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, dan Adies Kadir dari partai Golkar.
Dalam siaran pers tersebut, ketiga partai politik menggunakan terminologi “menonaktifkan” yang kemudian menuai pertanyaan publik.
Maunya publik, mereka tidak hanya dinonaktifkan. Tapi dipecat atau diberhentikan. Hal ini bisa jadi karena ada beda makna antara keduanya.
Mafhumnya, kalau hanya dinonaktifkan yang dimaknai sebagai pemberhentian sementara, maka sewaktu-waktu bisa kembali diaktifkan. Berbeda dengan bila dipecat atau diberhentikan.
Apalagi ada ketentuan bahwa anggota DPR RI yang hanya dinonaktifkan atau diberhentikan sementara tidak sepenuhnya putus urusan dengan lembaganya.
Menurut ketentuan dimaksud, anggota DPR RI yang hanya dinonaktifkan atau diberhentikan sementara masih tetap mendapatkan hak keuangan.
Sejatinya, tidak ada kata “nonaktif” dalam tiga aturan terkait anggota DPR. Aturan ini adalah UU MD3, Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, dan Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik.
Dalam UU MD3 ada Pasal 244 terkait pemberhentian sementara. Namun tidak dijelaskan rinci. Ayat 4 berisi “Anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan tertentu”. Hanya disebutkan bahwa aturan lebih lanjut bisa mengacu pada peraturan DPR tentang tata tertib.
Kalau prediksi saya sih walau disebutkan bahwa mereka dinonaktifkan, itu maksud berikutnya adalah diberhentikan. Ya dipecat. Kita buktikan -sekaligus kawal- untuk tiga bulan ke depan.
Mengapa demikian? Karena sebuah siaran pers yang tersurat mencantumkan kata “dipecat” atau “diberhentikan” itu malah akan menuai persoalan baru.
Jadi, “dinonaktifkan”, walau sebetulnya yang tepat adalah “pemberhentian sementara” merupakan diksi elegan untuk memenuhi tuntutan para pendemo, tanpa meninggalkan luka dan sakit hati kader partai politik sendiri.
Mengapa memilih diksi “dinonaktifkan”? Ya karena itu tadi; bisa menjadi jalan tengah. Sebab kalau selaras dengan aturan yaitu “pemberhentian sementara”, ini akan menuai reaksi kembali. Kalau hanya sementara, itu tidak akan memuaskan publik.
Bisa kita bayangkan. Ketika rumah dijebol, harta dijarah, lalu mendapat sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI dan pemecatan sebagai kader partai politik. Karunya pan?
Sudah jatuh tertimpa tangga, kan. Tapi ya itulah resiko yang mesti ditanggung akibat ulah mereka sendiri yang sembarangan dan serampangan bertindak dan mengeluarkan statemen yang melukai rakyat.
Yang kasihan itu Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI. Rumahnya juga turut dijebol. Hartanya dijarah. Pendemo menjadikan dia sebagai salah satu target sasaran karena merasa muak dengan kebijakannya, khususnya perihal pajak.
Yang membuat pendemo bertambah murka kepadanya, karena belakangan beredar potongan video pendek yang seolah-olah dia menyatakan bahwa “guru itu beban negara”.
Pastinya statemen ini menuai reaksi keras dari rakyat, terutama para guru. Emosi rakyat tersulut. Walau belakangan terbukti, pernyataan itu merupakan rekayasa produk kecerdasan buatan. Kasihan, Sri Mulyani jadi korban.
Beberapa waktu lalu saya pernah berpendapat bahwa yang namanya artis mah tak perlu terjun ke dunia politik. Karena, apa lagi yang mereka cari?
Uang ada, harta berlimpah, ketenaran sudah di dapat. Mereka tidak sadar bahwa ketika masuk ke dunia politik, justeru akan menjadi bumerang.
Menjadi anggota DPR RI bagi artis, tidak selalu akan menambah ketenaran atau kekayaan. Karena bila tidak amanah, kekuasaan akan menyilaukan dan menjadi tangga awal masuk pada masalah.
Dan kekhawatiran itu terbukti sekarang. Ceuk aing geh naon!
*
Tangerang, Minggu, 31 Agustus 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten