Ocit Abdurrosyid Siddiq

Pekan kemarin, demo terjadi di berbagai kota. Pemantiknya, kebijakan pemerintah, baik eksekutif maupun eksekutif, yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Misalnya tentang kenaikan pajak dan berbagai penerapan pajak lainnya.

Pada saat yang bersamaan, rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Lapangan kerja nyaris tidak ada, penghasilan berkurang, sementara kebutuhan biaya hidup tidak bisa ditunda dan mesti terpenuhi.

Selain regulasi pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat itu, ditambah perilaku ironi yang dipertontonkan oleh para pejabat, yang tidak menunjukkan empati kepada rakyat yang sedang mengalami kesulitan hidup.

Keputusan untuk memberikan dan menaikkan tunjangan bagi para wakil rakyat dengan angka yang fantastis, menjadi penyulut reaksi rakyat untuk bersama-sama bergerak melakukan perlawanan.

Perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang diwarnai dengan aksi joget-joget, tak luput dari perasaan muak rakyat terhadap pemerintah dan wakil rakyat. Aksi yang sebetulnya sudah berjalan tahun-tahun belakangan ini.

Peristiwa yang sejatinya sudah hampir dianggap lazim tersebut, digarap oleh tangan-tangan kreatif, seolah-olah menjadi satu peristiwa yang bersamaan dalam satu waktu dan satu tempat. Ini juga yang turut berkontribusi terhadap amarah rakyat.

Adegan wakil rakyat yang melakukan aksi joget-joget di gedung DPR RI usai Sidang Paripurna DPR RI yang diselingi dengan tampilan lagu dari paduan suara dengan nada ritmis itu, diedit dan direkayasa dengan caption yang kurang tepat.

Dua adegan yang berbeda -antara keputusan menaikkan tunjangan pada waktu yang berbeda dengan adegan joget-joget itu- digabung menjadi satu tayangan disertai dengan caption bahwa joget itu merupakan ekspresi kebahagiaan karena tunjangan mereka naik. Padahal konteksnya berbeda.

Atas ketidakbijakan pemerintah dan aksi wakil rakyat yang tidak menunjukkan empati tersebut, rakyat melakukan perlawanan dengan tuntutan berupa pembubaran DPR RI. Karenanya, belakangan video Gusdur yang pernah membubarkan DPR RI kembali viral.

Ketika menjabat Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gusdur pernah mengeluarkan Dekrit Presiden RI tentang pembubaran DPR RI. Video yang viral itu seolah menjadi penyemangat bagi rakyat bahwa Gusdur yang sendirian saja bisa melawan DPR RI, masa kita tidak bisa!

Sayangnya, tuntutan rakyat itu direspon oleh wakil rakyat secara tidak bijak, tidak elok, bahkan lebih dari itu, terkesan menantang dan menyalahkan niat dan keinginan rakyat, dengan cara menuduhnya sebagai orang tolol.

Kalimat itu keluar dari mulut Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dari Partai Nasdem. Tidak tanggung-tanggung, dia menuduh rakyat yang menginginkan pembubaran DPR RI merupakan manusia paling tolol. Tololnya sedunia.

Tak menunggu lama, amarah rakyat semakin memuncak. Rakyat yang murka tidak hanya yang berada di dalam negeri. Para diaspora Indonesia yang berada di luar negeri dan di berbagai negara mengecam tindakan Sahroni. Beberapa di antaranya ada yang mengajak berdebat.

Partai Nasdem menyadari akan hal ini. Lalu mengeluarkan keputusan yang terasa hanya sebagai pelipur lara untuk meredam amarah publik. Sahroni ditarik posisinya dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI menjadi anggota Komisi I DPR RI.

Pada saat yang bersamaan, rakyat sudah kadung murka. Bukan hanya oleh ulah Sahroni, tetapi juga oleh tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan konyol anggota DPR RI lainnya. Seperti Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan Adies Kadir.

Presiden mengambil langkah tegas dengan cara mengundang seluruh pimpinan partai politik yang memiliki wakilnya di DPR RI. Para pimpinan partai politik mematuhi “teguran” Prabowo dalam bentuk penonaktifan anggotanya yang dinilai bermasalah tersebut.

Cara ini pun belum mampu membuat amarah rakyat mereda. Klimaksnya, sebagian pelaku ujukrasa melakukan pengepungan, penyerbuan, penjebolan rumah, sekaligus penjarahan harta milik wakil rakyat yang dinilai mereka layak untuk menanggungnya.

Rumah kediaman Sahroni, Eko, dan Uya, dijarah masa. Pagar didobrak, pintu dijebol, dan barang-barang seisi rumah dijarah. Mulai dari barang kecil yang bisa dijinjing, hingga benda menyerupai brankas yang butuh sampai belasan orang untuk menggotongnya.

Puncak kemarahan masa pecah ketika menyaksikan insiden meninggalnya seorang pengemudi ojek karena terlindas oleh kendaraan taktis petugas saat demo sedang berlangsung. Kejadiannya amat sangat tragis. Videonya beredar dan menjadi viral. Tragedi ini bak api tersiram bensin. Amarah rakyat menyala, membara!

Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI juga kena sasaran amuk masa. Rumahnya juga turut dijarah. Masa menjadikan rumahnya sebagai salah satu target sasaran karena dia dianggap sebagai pejabat pembuat masalah dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak bijak dalam hal pajak.

Kemarahan masa terhadap dia diperparah dengan potongan video dirinya yang sedang pidato, yang menyebutkan bahwa “guru itu beban negara”. Pastinya, statemen ini menuai reaksi keras dari publik, khususnya para guru. Mereka tidak terima distigma sebagai beban negara.

Belakangan, muncul klarifikasi dari Kementerian Keuangan RI bahwa video itu hoax karena itu merupakan produk kecerdasan buatan atau artificial intelligence atau AI. Muncul juga tayangan utuh ketika Sri Mulyani berpidato. Tidak ditemukan statemen sebagaimana yang dituduhkan.

Bahkan beberapa ahli digital forensik melakukan penelitian dan hasilnya menyimpulkan bahwa potongan video yang menyulut kemarahan itu merupakan deepfake. Tapi karena sebagian publik sudah kadung memaknainya demikian, Sri Mulyani jadi sasaran. Dia turut jadi korban. Korban karena fitnah!

Pascaaksi demo, gruduk rumah, dan penjarahan isi rumah yang hampir mirip kejadian Reformasi 1998 tersebut, muncul beragam analisis. Baik dari para pakar sungguhan maupun dari pakar dadakan. Mereka tampil di televisi, di acara siniar, atau pendapatnya termuat dalam portal media online.

Ada juga analisis dari para followers atau pengikut yang latah, yang analisisnya kadang lebih tajam bahkan lebih ekstrem dibanding pendapat ilmiah berbasis data dari para pakar. Enggak usah tungak tengok ke kiri dan ke kanan. Yang masuk kategori itu adalah kita, yang ada di grup ini. Termasuk saya. Hehe..

Bukti bahwa analisis kita lebih tajam dan lebih ekstrem itu adalah adanya narasi keterkaitan antara aksi demo, penjarahan, dan dalang dibalik semua kekacauan ini, serta kemungkinan rencana kudeta. Yang menarik, rerata telunjuk mengarah ke Solo.

Analisis seperti ini dihadapkan pada situasi ambigu. Di satu sisi, memberikan dukungan kepada para pendemo, karena mereka dianggap sangat mewakili perasaan sebagian dari kita hari ini. Namun di sisi lain, menuduh Geng Solo sebagai biangkeroknya. 𝐿𝑒𝑏𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑛𝑦𝑎, 𝑘𝑢𝑙𝑎 𝑟𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑜𝑘, 𝐾𝑎 𝑅𝑜𝑗𝑎𝑘! 𝐻𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑎𝑔𝑎𝑟𝑜 ℎ𝑢𝑙𝑢 𝑛𝑎𝑗𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑢 𝑎𝑡𝑒𝑢𝑙!
*

Tangerang, Selasa, 2 September 2025
Penulis adalah Pengamat Media dan Kebijakan Publik, Pengurus ICMI Orwil Banten

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *