Oleh  H. Lukman Hakim, S.Pd.

(Staf Pengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMAN 6 Kab. Tangerang Mahasiswa Magister KomunikasiPendidikan UG)


Badan Kepegawaian Negara (BKN) bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) tetap melakukan pemecatan terhadap pegawai yang diklaim tak lolos TesWawasan Kebangsaan (TWK). Meski Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mewanti-wanti soal itu. Presiden Joko Widodo berpidato terkait kisruh status 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dalam pidatoitu Presiden menyatakan bahwa:

“…Hasil tes wawasan  kebangsaan  hendaknya  menjadi  masukan  langkahperbaikan KPK, baik individu maupun institusi. Tidak serta merta menjadidasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK…”

Namun pidato itu ‘diabaikan’ pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan Badan Kepegawaian Negara [BKN] dengan tetap memberhentikan 51 pegawai KPK dengan “stigma” tidak dapat lagi dibina. Nasib pidato presiden itu menambah sisikontroversial terkait TWK yang dianggap publik melanggar nilai- nilai agama, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keadaan itu menimbulkan beberapa permasalahan hukum, yaitu: Bagaimanakahsesungguhnya ketentuan hukum mengenai alih status pegawai KPK dan politik- hukumseperti apa yang sedang dijalankan dalam pemberhentian para pegawai KPK itu? Analisa ini hendak menjawab permasalahan itu secara terang menurut norma hukum.

Alih status pegawai KPK terjadi berdasarkan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang direvisi dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi [KPK]. Sebelum perubahan UU, menurut ketentuan Pasal 21 UU No. 30/2002, pegawai KPK merupakan bagian tidak terpisah dari kelembagaan. Menurutketentuan tersebut, KPK itu terdiri dari atas 3 [tiga] unsur, yaitu:

a. pimpinan KPK;

b. Tim penasihat KPK;

c. Pegawai KPK sebagaipelaksanatugas.

Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 30/2002 dinyatakan bahwa pegawaiKPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawaipada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga pegawai KPK bersifat sangat independen dan hanya bertanggungjawab kepada KPK dan ketentuan peraturanperundang-undangan.

Berbeda dengan UU Nomor 19/2019 yang dibentuk Presiden Joko Widodo dan DPR, status pegawai KPK diubah menjadi apartur sipil negara [ASN]. Pasal 1 angka 6 UU tersebut menentukan bahwa pegawai KPK adalah ASN sebagaimana diatur dalam UU ASN.

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) secara organisasi memang masih berkibar. Tetapijiwa dan kehormatannya di masyarakat kian sirna. Menguap seiring dengan dipretelinyakewenangannya. Yang diberikan oleh perwakilan masyarakat di MPR (MajelisPermusyawaratan Rakyat), melalui TAP MPR No XI Tahun 1998 tentangPenyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

TAP MPR No XI/1998 menghasilkan dua undang-undang (UU). Yang pertama UUtentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ((UU No 28/1999). Kedua UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atauUU Tipikor (UU No 31/1999).

Pasal 43 UU Tipikor memerintahkan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi, yang kemudian dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Yang dibentuk berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi. KPK adalah sebuah institusi yang independen, sejalan dengankebanyakan bentuk institusi pemberantasan korupsi di dunia yang mempunyai masalahkorupsi yang kronis. KPK yang independen diperlukan karena institusi normal yang menangani masalah korupsi sedang tidak efektif. Bahkan mungkin ikut terlibat di dalamnya. KPK yang independen diharapkan dapat memberantas korupsi secara objektif. Tidak tebang pilih. Tidak terafiliasi kekuatan politik. Tidak dijadikan alat politik untukmembabat habis lawan politik.

Hasilnya luar biasa. KPK menjadi pujaan masyarakat di tengah mental bangsa yang sedang rusak. KPK banyak mengungkap kasus korupsi yang melibatkan pejabat tingginegara, anggota DPR, dan pengusaha. Memang “tiga serangkai” ini merupakan aktorutama korupsi.

Kini masyarakat Indonesia berduka. Dan siap-siap menghadapi penyelenggaraan negara yang amburadul dan seenaknya. Seolah-olah kekayaan negara merupakan milik pribadi. milik kakek dan bapaknya, yang diwariskan kepadanya. Seluruh rakyat Indonesia menanggung beban korupsi ini. Rakyat miskin menanggung derita paling mengenaskan.

Indonesia berduka. Umur KPK yang gagah dan terhormat hanya sekitar 15 tahun saja. Masyarakat gundah memikirkan masa depan Indonesia. Ketika KPK mempunyai gigitaring yang tajam saja, kasus korupsi merajalela. Bagaimana kalau KPK hanya sebagai“zombie”?

Masyarakat sekarang pun sudah merasakan ada yang tidak selaras dengan penanganankorupsi. Karena, ada tersangka, atau calon tersangka, yang sudah jelas namanya, tetapitidak tersentuh hukum, bahkan menghilang tanpa rimba. Padahal tersangka Nazaruddinyang sempat menghilang, akhirnya ketangkap juga di Kolombia. Hanya dalam waktutidak sampai 3 bulan. Padahal Kolombia jauh sekali dari Indonesia. Tetapi KPK yang jaya ketika itu mampu menangkapnya. Memang hebat, KPK yang independen.

Sekarang, ada nama yang sudah jadi tersangka, sampai sekarang masih belum dapatketemu. Konon, sudah lebih dari 500 hari menghilang “tanpa jejak”. Ada juga yang namanya disebut di dalam persidangan, terindikasi terlibat korupsi, tetapi kemudian juga menghilang. Atau mungkin perkaranya juga sudah menghilang?

Indonesia patut berduka. Umur KPK yang terhormat sangat singkat, hanya sekitar 15 tahun saja. Beberapa pihak mengusulkan KPK sebaiknya dibubarkan. Atau setidak-tidaknya taringnya dicabut, alias wewenangnya dipreteli. Alasannya, KPK membuattakut para investor untuk investasi di Indonesia. KPK membahayakan investasi.

Tentu saja alasan ini mengada-ada. Alasan yang tidak mempunyai landasan sama sekali. Alasan yang dicari-cari oleh pihak yang mempunyai kepentingan untuk melakukankorupsi. Pihak-pihak yang tidak suka dengan keberadaan KPK tentu saja bukan investor. Tetapi yang berpotensi melakukan KKN. Termasuk juga pengusaha yang ingin cepatkaya. Yang memerlukan izin monopoli, oligopoli, kartel, atau hak konsesi pengelolaankekayaan negara. Intinya, investor yang perlu berkolusi dengan pajabat negara. Di mana keberadaan KPK dianggap sebagai penghalang.

“Kematian” KPK berlangsung secara sistematis. Dari propaganda negatif terhadapkeberadaan KPK bagi investor, sampai pemilihan anggota dan pimpinan KPK yang kontroversial. Berlanjut dengan revisi UU KPK yang menuai protes dan korban. Dan puncaknya pemecatan 51 (dari 75) pegawai KPK yang “tidak lulus” tes wawasankebangsaan.

Rangkaian proses ini sangat terstruktur. Hanya dalam sekejap wajah KPK berubah total. Dari KPK yang terhormat menjadi institusi antara hidup tapi tidak hidup. Ada badan tapitidak ada jiwa. Yaitu Jiwa Tap MPR No XI Tahun 1998 mengenai penyelenggaraannegara yang bersih dan bebas KKN.

Independensi KPK “diamputasi”. Dengan menjadikan KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, diawasi oleh Dewan Pengawas. Kemudian, menjadikan pegawai KPK sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagai saringan siapayang direstui menjadi pegawai KPK. Alhasil 51 dari 75 pegawai KPK tidak lulus test kepegawaian meskipun menurut informasi mereka sudah bekerja cukup lama di KPK dengan reputasi gemilang. Yang menjadi momok bagi para calon koruptor.

Pemberantasan korupsi di Indonesia kini memasuki babak baru. Apakah KPK barusebagai bagian dari pemerintah dapat menuntaskan masalah korupsi di Indonesia? Masyarakat pesimis. Melihat perkembangan beberapa kasus korupsi belakangan ini, rasanya pesimisme masyarakat dapat dimaklumi.

Kalau KPK merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif, fungsi KPK sudah tidak banyakartinya lagi. Oleh karena itu, KPK sebaiknya dibubarkan saja. Karena fungsiya samadengan institusi kepolisian yang juga di bawah Presiden. Sehingga terjadi duplikasifungsi yang hanya memboroskan keuangan negara. Karena KPK baru, tidak sesuai sertabertentangan dengan jiwa dan perintah TAP MPR No XI/1998, sebagai lembaga extra ordinary. Wassalam..!

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *