
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik
Saat ini, sekolah-sekolah di bawah binaan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA, dan SKh lagi berbunga-bunga. Sedang bahagia. Mereka dapat bantuan dari pemerintah, berupa “tipi gede jasa”.
Setiap sekolah, dapat 1 buah unit televisi ukuran besar, 75 inchi, merk Hisense, yang dirakit dan diproduksi pabriknya yang di Karawang. Konon harganya 26 juta rupiah per unit. Televisi ini akan digunakan untuk proses belajar mengajar di sekolah.
Menurut Presiden RI, Prabowo Subianto, tahun ini pemerintah baru bisa ngasih 1 unit untuk 1 sekolah. Ke depan direncanakan akan ditambah. Masih menurutnya, idealnya 1 unit untuk satu kelas. Jika ada 12 kelas, maka 12 buah televisi. Semoga saja terealisasi.
Dengan adanya televisi ini, yang katanya dilengkapi dengan berbagai aplikasi pembelajaran, maka diharapkan seluruh murid se Nusantara bisa mengakses materi pembelajaran dengan lebih mudah. Termasuk mereka yang berada di wilayah terluar dan terdepan.
Sayangnya, bantuan ini baru terbatas bagi sekolah-sekolah. Belum termasuk madrasah. Madrasah merupakan satuan pendidikan yang berada di bawah binaan Kementerian Agama RI. Madrasah terdiri dari RA, MI, MTs, dan MA. Madrasah sama dengan sekolah.
Padahal, madrasah juga merupakan bagian dari penyelenggara pendidikan formal. Seperti halnya sekolah, madrasah juga ada yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh masyarakat lewat yayasan.
Bahkan, jumlah madrasah yang dikekola oleh yayasan jauh lebih banyak dibanding dengan madarasah negeri milik pemerintah. Keberadaan madrasah yang dikelola oleh masyarakat ini, ada dan berdiri bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sebelumnya, madrasah juga sudah mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah. Hanya karena berada di bawah binaan Kementerian Agama RI, bukan di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Hal ini gegara pemaknaan atas terminology “agama” dalam undang-undang. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, perkara agama masuk dalam kategori urusan pusat. Bukan urusan daerah. Bukan urusan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga jenis yaitu; urusan pemerintahan absolut, dibuat dan dijalankan pemerintah pusat; urusan pemerintahan konkruen, dibagi antara pemerintah pusat dan daerah; dan urusan pemerintahan umum, dibuat pemerintah pusat dan dijalankan pemerintah daerah.
Untuk urusan pemerintah absolut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Karena agama menjadi urusan pemerintah pusat, maka yang berkaitan dengan agama bukan menjadi kewenangan daerah.
Lewat Kementerian Agama RI, maka perkara agama dari pusat hingga ke level terbawah, menjadi urusan pemerintah pusat. Termasuk perkara pendidikan bercirikan agama yang kita kenal dengan madrasah tersebut.
Gegara regulasinya demikian, maka kerap dijadikan dasar dan alasan oleh pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, bahwa perkara madrasah mah urusan agama. Karenanya menjadi urusan pemerintah pusat.
Padahal, kalau madrasah ditinjau dari perspektif dan dalam konteks pendidikan, maka pemerintah daerah mesti dan wajib memperlakuan secara sama, adil, dan merata, seperti halnya pemerintah daerah memperlakukan sekolah-sekolah.
Mengapa harus sama? Karena warga madrasah juga merupakan warga kabupaten atau kota tertentu, warga provinsi tertentu, yang sama-sama dikenakan aturan yang sama. Misalnya kewajiban membayar pajak; pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, dan pajak-pajak lainnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah atau PAD.
Sama-sama bayar pajak bagi pemasukan PAD tapi diperlakukan berbeda, kan tidak adil. PAD itu kan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan, juga dalam bentuk santunan, bantuan, hibah, dan semacamnya.
Ketika warga madrasah menjadi bagian dari penyumbang PAD, lalu karena atas nama regulasi yang menyebutkan bahwa agama mah, madrasah mah, menjadi urusan pusat dan karenanya tidak dibantu dan bukan target penerima manfaat, ini kan perlakuan diskriminatif.
Hal yang sama terjadi pada Program Sekolah Gratis atau PSG di Provinsi Banten. PSG sebagai program unggulan Gubernur Banten Andra Soni, baru diperuntukkan bagi sekolah-sekolah swasta di bawah binaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.
Sementara madrasah -dalam hal ini adalah Madrasah Aliyah Swasta- belum mendapatkan kejelasan apakah mereka akan menerima PSG atau kah tidak. Bila pun dapat, konon katanya dengan skema yang berbeda seperti halnya PSG untuk sekolah-sekolah. Pastinya juga beda jumlahnya.
Perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap madrasah ini, bukan hanya pada bantuan tipi gede jasa dan PSG saja. Masih ada sederet diskriminasi lainnya. Kondisi seperti ini, seolah memposisikan madrasah sebagai anak sambung pemerintah. Yang mendapat perlakuan berbeda dengan anak kandung.
Atas perlakuan yang diskriminatif ini, Penulis menawarkan 2 skema solusi. Pertama, mesti ada political will dan keberanian dari pemerintah daerah untuk melakukan terobosan regulasi sehingga madrasah tidak semata dimaknai sebagai agama, tetapi ditinjau dari perspektif dan dalam konteks pendidikan.
Kedua, bila regulasi menegaskan bahwa agama merupakan urusan pusat, dan karenanya pemerintah daerah tidak melirik madrasah, Penulis mengusulkan agar urusan pendidikan, termasuk madrasah, tidak lagi diurus oleh Kementerian Agama RI. Tapi di bawah satu pengelolaan, bersama dengan sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Paling pejabat Kementerian Agama RI menggerutu. “Sudah mah urusan haji lepas dari kita, kini madrasah”. Iya kan? Enggak apa apa sih. Kan mengurangi pekerjaan. Iya sih, tapi juga mengurangi proyek. Emang madrasah proyek? Hehe..
*