Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq

Untuk lebih mengetahui dan memahami komunisme, saya baca kembali bukunya Karl Mark, di antaranya “Das Kapital”, dan bukunya Lenin, di antaranya “Materialisme dan Empiriokritisisme.”

Dua buku ini sejatinya pernah saya pelajari saat kuliah di Program Studi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung, hampir 30 tahun lalu. Mengulang bacaan sebagai cara saya untuk menyegarkan kembali ingatan atas isme komunis.

Mantan Presiden Amerika, Ronald Reagan mengatakan bahwa para pendukung komunisme adalah mereka yang baca buku Mark dan Lenin. Dia menambahkan, para penentang komunisme adalah mereka yang paham atas buku Mark dan Lenin.

Bagi saya, orang yang takut pada komunisme adalah mereka yang tahu tentang komunis, walau tidak baca buku Mark dan Lenin. Phobia itu muncul karena mendapatkan info komunis sebagai hantu dengan dua cara.

Pertama, bisa jadi sebagian besar dari kita tahu komunis itu dari cerita lisan para orangtua. Kakek menceritakan pada bapak, lalu bapak cerita pada anak. Cerita tentang jahatnya komunis dalam wujud Partai Komunis Indonesia (PKI), saat mereka melakukan kudeta, menculik para jenderal, dan membantai tokoh agama.

Kedua, phobia itu juga terbentuk oleh narasi yang dikonstruksi oleh penguasa Orde Baru, baik dalam buku pelajaran di sekolah, juga dengan tayangan film Pemberontakan G30S/PKI. Film yang rutin diputar setiap tanggal 30 September itu berhasil menyampaikan pesan kepada rakyat bahwa PKI adalah organisasi antagonis.

Saya sepakat bahwa kita tidak bersepakat dengan komunisme, termasuk di dalamnya adalah PKI. Ketidak-sepakatan ini bukan semata karena faktor tragedi tahun 1965 dan perilaku kejam mereka jauh sebelumnya. Tapi ketidak-sepakatan ini karena konsepsi komunisme sangat bertentangan dengan manusia yang beragama, khususnya Islam.

Phobia atas PKI ini demikian merasuk pada relung terdalam rakyat Indonesia, apalagi umat Islam. Ambil contoh misalnya apabila terjadi sebuah tindak kekerasan yang tidak berprikemanusiaan, kerap dicap sebagai perbuatan PKI. Setiap tindakan biadab, selalu dialamatkan pada PKI. Pun misalnya tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang sejatinya tidak ada hubungannya dengan PKI.

Bila ada yang mengatakan bahwa membicarakan PKI itu sensitif, ada benarnya. Saking sensitifnya, jangankan perilaku biadab yang dialamatkan pada PKI, narasi yang mencoba untuk mendiskusikan PKI saja, juga rentan distigma sebagai pembelaan atas PKI. Apalagi memiliki cara pandang yang berbeda. Beda, dianggap membela.

Padahal, kita sebagai umat beragama telah diajarkan bahwa “jangan karena engkau tidak suka atasnya, lantas tidak bisa berlaku adil atasnya”. Mengajak diskusi dan mendudukkan suatu perkara pada tempatnya secara jujur dan objektif, itu adalah cara bijak dibanding terus memupuk amarah dan dendam.

Komunisme dan PKI mesti kita lawan dengan cerdas, dengan argumentasi, berbasis referensi. Bukan hanya berdasar cerita yang kadang dibumbui, atau tayangan film di televisi. Sensitivitas atasnya tetap kita pelihara, tapi jangan sampai menjadi phobia.

Jangan sampai kita latah dan terjebak dengan stigma PKI ini. Karena banyak bukti ketika terjadi sebuah peristiwa tragis, padahal tidak ada hubungannya dengan komunis, juga PKI, tapi langsung jadi kambing hitam. Dikit-dikit PKI, dikit-dikit PKI. PKI koq dikit-dikit?
*

Penulis adalah pengurus ICMI Orwil Banten, alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *