
Oleh: Indra Martha Rusmana
(Wakil Ketua ICMI Kota Serang & Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Serang)
Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional—sebuah momentum penting untuk mengenang peran besar kaum santri dan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan, sekaligus meneguhkan komitmen mereka dalam mengawal moralitas bangsa di tengah arus perubahan zaman. Tahun 2025 ini, Hari Santri mengangkat tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Tema ini bukan sekadar slogan, melainkan panggilan moral bagi santri dan dunia pesantren agar tetap menjadi benteng akhlak dan penopang peradaban global yang berkeadilan dan berkeadaban.
Santri dan Peradaban
Santri sejatinya bukan hanya sosok yang berkutat dengan kitab kuning dan masjid, tetapi juga pembelajar yang menyerap nilai-nilai universal Islam: keilmuan, kesederhanaan, keikhlasan, dan tanggung jawab sosial. Mereka dilatih untuk hidup dalam kesetaraan dan kemandirian, jauh dari glamoritas dunia. Maka tidak berlebihan jika pesantren disebut sebagai laboratorium peradaban—tempat lahirnya ulama, cendekiawan, dan pemimpin bangsa yang memiliki kedalaman spiritual dan keteguhan moral.
Namun, di era digital, wajah pesantren kini banyak disorot media. Kehidupan pondok pesantren dapat dilihat oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun, kehidupan pondok pesantren yang menampilkan kehidupan santri dari berbagai sisi: mulai dari kedisiplinan, keunikan budaya pesantren, hingga kekompakan antar-santri dalam menjalani rutinitas. Tayangan kehidupan para santri ini dapat menyuguhkan gambaran yang hangat sekaligus inspiratif, menegaskan bahwa pesantren bukan tempat terbelakang, melainkan ruang pembentukan karakter dan peradaban.
Kisah KH. Ahmad Dahlan dan Para Santrinya: Adab yang Mencerahkan
Salah satu teladan besar tentang hubungan guru dan murid dalam Islam tampak jelas dalam kisah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Suatu ketika, beliau mengajarkan surah Al-Ma’un kepada santri-santrinya. Ayat itu dibaca, ditafsirkan, dan dijelaskan maknanya berulang kali.
Namun setiap kali santri meminta ganti pelajaran baru, KH. Ahmad Dahlan menjawab,
“Kalian belum mengamalkan yang ini, bagaimana mau belajar ayat berikutnya?”
Santri-santri pun akhirnya tersadar: pelajaran sejati bukan di lidah, tetapi di tindakan. Mereka pun keluar ke jalan, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan membersihkan lingkungan sekitar.
Inilah implementasi adab dan moral dalam ilmu — bahwa guru bukan hanya tempat bertanya, melainkan teladan yang menghidupkan ajaran.
KH. Ahmad Dahlan tidak membiarkan santrinya sekadar pandai berbicara agama, tetapi menuntut mereka berakhlak sosial, peduli pada kemanusiaan, dan menebarkan kasih sayang.
Sikap beliau menegaskan bahwa santri harus menjadi bagian dari solusi bangsa, bukan sekadar penghafal ayat dan teks.
Antara Penghormatan dan Pengkultusan
Banyak tayangan video yang bisa diakses oleh orang awam tentang kehidupan para santri, ada potongan kisah santri yang mencium tangan guru, berebut sandal ustaz, bahkan menahan tangis saat bertemu kiai mereka. Sebagian warganet menilai hal itu sebagai bentuk pengkultusan. Di sini penting kita luruskan: Islam tidak mengajarkan pengkultusan manusia, bahkan Rasulullah SAW melarang umatnya untuk menyanjung beliau secara berlebihan sebagaimana kaum Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam.
Namun, adab dan etika terhadap guru justru merupakan bagian dari ajaran Islam yang luhur. Dalam hadis dan atsar para salaf, adab kepada guru lebih diutamakan daripada ilmu itu sendiri. Sebab, ilmu yang tidak diiringi adab akan melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu justru menumbuhkan kerendahan hati dan rasa hormat.
Jadi, menghormati guru, mencium tangan kiai, atau menundukkan kepala bukan bentuk perbudakan spiritual, tetapi simbol penghargaan terhadap sumber ilmu dan pembimbing jiwa. Di sinilah letak keindahan tradisi pesantren—memadukan kecerdasan intelektual dengan kehalusan moral dan kedalaman spiritual.
Santri dan Tantangan Zaman
Hari ini, santri menghadapi tantangan yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Arus globalisasi, disrupsi teknologi, dan derasnya budaya digital menuntut santri untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya tangguh secara spiritual, tetapi juga unggul secara intelektual. Santri harus melek literasi digital, aktif dalam inovasi sosial, dan menjadi pionir dalam mengembangkan Islam yang ramah, moderat, dan berkemajuan.
Santri di abad ke-21 bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga arsitek masa depan peradaban dunia. Mereka diharapkan mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan jati diri, sebagaimana pesan KH. Hasyim Asy’ari: “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Santri yang cinta tanah air berarti santri yang peduli pada kemanusiaan, menjaga persatuan, dan menebarkan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin.
Penutup
Momentum Hari Santri 2025 ini hendaknya menjadi refleksi bersama bahwa Indonesia merdeka tidak cukup hanya dijaga oleh kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga oleh kekuatan moral, spiritual, dan intelektual yang dimiliki para santri. Pesantren perlu terus menjadi ruang tumbuhnya generasi yang berilmu, beradab, dan berkarakter global.
Karena sejatinya, santri bukan hanya penjaga masjid dan kitab, tetapi penjaga nurani bangsa dan cahaya peradaban dunia yang berkemajuan.
Selamat Hari Santri 2025
“Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”