Oleh: Yhannu Setyawan
Wakil Ketua ICMI Wilayah Banten

Membaca artikel menarik yang ditulis oleh Kang Rohman, yang ditampilkan pada laman ICMI Banten terkait “Problem Pembelajaran Coding dan AI di Sekolah Dasar dan Menengah” menyentuh isu penting yang patut direnungkan bersama secara lebih mendasar, bahkan mendalam.

Integrasi coding dan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan memang terasa keren, futuristik, dan seolah menjadi simbol kemajuan. Tapi, di balik gemerlap jargon digitalisasi, tersimpan risiko besar berupa reduksi atas nalar pembelajaran serta bias akademis jika teknologi tidak dibarengi kemampuan literasi yang memadai.

Kita memaklumi, semangat pemerintah untuk memperkenalkan metode coding dan penggunaan AI di lingkungan pendidikan dan sekolah adalah langkah berani. Namun, di banyak daerah, termasuk Banten, tantangannya nampak akan semakin ekstrem. Akses internet yang belum merata, laboratorium komputer yangminim, dan kemampuan guru serta instruktur dalam literasi digital masih terbatas bisa fideretksn sebagai faktor yang akan melingkupi reduksian pandangan Kang Rohman.

Merujuk Data yang pernah dilansir BPS Banten tahun 2024 yang menunjukkan, bahwa sekitar 37 persen sekolah di Indonesia belum memiliki fasilitas komputer yang memadai, dan tentunya sebagaimana dimaklumi, bagi Banten angkanya bahkan sedikit lebih tinggi. Artinya, program yang dirancang untuk mencerdaskan bisa justru menciptakan kesenjangan baru antara sekolah yang “siap digital” dan yang masih “berjuang analog”. Dalam bahasa Banten, situasi semacam ini layaknya pepatah, “nteu sadayana bisa ngagugulung samak bari jalan,” tidak semua bisa berjalan sambil membawa beban berat sekaligus.

Dari sisi akademis, penggunaan AI tanpa pemahaman yang baik bisa membuat siswa bergantung pada jawaban instan. Mereka jadi terbiasa menyalin hasil dari mesin tanpa berpikir kritis. Di sini bahaya reduksi nalar muncul. Kemampuan analisis, penalaran logis, dan kreativitas potensial menjadi melemah. Banyak guru mulai mengeluh bahwa mereka sulit membedakan mana tugas asli siswa dan mana hasil AI. Situasi yang mengingatkan kita pada pesan Ki Hadjar Dewantara, bahwa “Tujuan pendidikan bukan sekadar membuat manusia pintar, tapi memanusiakan manusia.”

Bila pembelajaran dikuasai teknologi tanpa sentuhan etika dan kesadaran, maka sejatinya, kita sedang mencetak generasi yang cerdas secara teknis tapi rapuh secara moral dan intelektual serta kering pemahaman atas spirit perjuangan akademisnya.

Aspek sosialnya juga menjadi sudut penting lainnya. Di banyak sekolah, di Banten, budaya belajar masih bersandar pada interaksi langsung antara guru dan murid. Ada nilai-nilai lokal seperti silih asah, silih asih, silih asuh—saling mengasah, mengasihi, dan mengasuh—yang menjadi fondasi pendidikan karakter. Jika AI dan coding diterapkan tanpa memperhatikan konteks budaya ini, maka pendidikan bisa kehilangan ruhnya. Murid belajar dari layar, bukan dari dialog. Mereka mengenal algoritma, tapi kehilangan rasa, menguasai pengetahuan yang tak dipelajari maknanya. Padahal, teknologi seharusnya menjadi alat bantu berpikir, bukan pengganti aktor (pelajar) yang berpikir.

Dari sisi kebijakan publik, penanaman AI pada dunia pendidikan seharusnya berbasis kesiapan ekosistem, bukan sekadar trend. Pemerintah perlu memastikan kesiapan infrastruktur, pelatihan guru, serta perlindungan data siswa yang kini banyak bersentuhan dengan platform daring. Banten yang memiliki jumlah pelajar lebih dari 2,1 juta jiwa, membutuhkan kebijakan yang berpihak pada pemerataan literasi digital, bukan sekedar adopsi teknologi. Karena kalau tidak, pendidikan kita bisa seperti pepatah, “kasakit teu pati karasa, tapi nyeri panjangna,” yang secara umum dapat dimaknai, tidak terasa sekarang, tapi menyakitkan dalam jangka panjang.

Tentu saja, sebagai masyarakat akademis dan cendekiawan, kita tidak sedang bertahan untuk menolak teknologi. Justru sebaliknya, kita tengah menuntut agar teknologi berpihak pada kemanusiaan dan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

AI dan coding sepatutnya diposisikan sebagai wahana yang terbatas pada ikhtiar memperluas wawasan, bukan memendekkan proses berpikir. Pendidikan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat mengakses informasi, tapi siapa yang paling bijak memaknainya. Seperti yang diungkapkan Paulo Freire, “Pendidikan sejati adalah praktik kebebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan.”
Maka, ketika dunia pendidikan kita berlari menuju era digital, Banten perlu memastikan langkahnya tidak terburu-buru.

Pada akhirnya, tradisi pendidikan berbasis literasi harus didahulukan sebelum menata barisan data algoritmik. Nalar budi harus lebih dikokohkan sebelum deretan kode diperkenalkan. Sebab, AI yang bijak hanya bisa tumbuh dari manusia yang juga bijak. Dan itu, tak mungkin bisa dibangun oleh mesin, tetapi oleh kesadaran.

Wallahu’alam bishowab

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *