Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Hasil karya (menulis buku) adalah manifestasi fisik atau konseptual dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Dan hal itu hubungannya dengan “keabadian diri”. Dan terletak pada cara karya tersebut bisa melampaui usia fisik sang penciptanya, memungkinkan ide, pemikiran, emosi, dan pengaruh seorang penulisnya untuk terus hidup dan dikenang oleh generasi mendatang. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci mengenai hubungan antara hasil karya dan keabadian diri diantaranya berupa keabadian melalui karya, serta melampaui batas waktu. Karena, meskipun penciptanya telah tiada, namun nilai dan esensi dari sebuah karya (baik itu buku non fiksi, seni, sastra/fikso, sains, atau bentuk dedikasi lainnya), ia akan tetap memiliki nilai keabadian. Karya menjadi “abadi” dalam ingatan kolektif dan sejarah manusia. Lebih dari itu, menulis juga merupakan “ekspresi dan refleksi diri”. Karena, karya adalah cerminan dari pengalaman batin, kepribadian, dan pemikiran terdalam sang penulis buku, seniman atau pencipta. Melalui karya, maka seseorang dapat mengabadikan jati dirinya, dan memungkinkan orang lain untuk “bertemu” dan memahami esensi dirinya bahkan setelah kematian. Menulis buku juga merupakan “sumber Inspirasi dan pengaruh”. Karena, karya yang bermakna dapat menginspirasi dan memengaruhi banyak orang dimasa depan. Pengaruh itulah yang menciptakan bentuk keabadian fungsional, dimana ide-ide dan nilai-nilai terus bergema dan membentuk kehidupan orang lain. Menulis juga merupakan “dokumentasi zaman”, karena, hasil karya seringkali mendokumentasikan konteks zaman saat karya itu diciptakan, dan menjadikannya rekaman jejak sejarah yang amat berharga. Hal itu turut mengabadikan tidak hanya penciptanya, tetapi juga eranya. Contoh hasil karya yang mencapai keabadian diri, yaitu karya sastra/tulisan : Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Karena, tulisan, buku, dan esai mengabadikan pemikiran dan ide penulisnya.
Menulis juga bagian dari proses “penemuan ilmiah”, karena, teori dan penemuan para ilmuwan akan tetap relevan dan digunakan berabad-abad setelah kematian sang penulisnya. Menulis juga mengabadikan nama dan kontribusi mereka (para ilmuan) dalam sejarah sains. Secara singkat, hasil karya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan eksistensi individu dengan masa depan, menjadikannya salah satu cara manusia untuk mencapai semacam “keabadian” dalam warisan yang ditinggalkan.
II. Obsesi Manusia Akan Keabadian
Keabadian sejati yang akan terus kekal dan dikenang hingga akhir zaman salah satunya adalah menulis (meninggalkan hasil karya). Lalu, keabadian macam apa itu? Menurut hemat penulis adalah keabadian hakiki, yakni yang bisa menginsfirstif generasi berikutnya melalui tulisan. Karena tulisan merupakan satu contoh karya manusia yang abadi dan akan terus dikenang sepanjang kehidupan manusia selama isi dari tulisan itu masih bisa dibaca oleh manusia-manusia lain, baik pada masa penulisnya masih hidup ataupun beribu tahun setelahnya. Karyanya akan tetap abadi dikenang dalam sejarah. Tentu masih lekat dalam ingatan ketika mempelajari sejarah di bangku sekolah dasar, bahwa ide pokok dari rumusan Pancasila merupakan hasil dari tulisan dalam kitab negarakertagama yang ditulis ribuan tahun sebelum Pancasila diikrarkan sebagai falsafah negara. Pengetahuan dan cerita bahkan karya sastra dari ratusan dan ribuan tahun lalu pun masih bisa dinikmati hingga saat ini. Lalu bagaimana karya-karya tersebut bisa dinikmati? Lewat tulisan, semua karya-karya itu bisa diketahui dan dipelajari karena pengetahuan yang ditulis. Dengan kata lain, tulisan merupakan hal yang menajubkan, karena lewat tulisan seluruh manusia di zaman yang berbeda bisa sama-sama mempelajarinya, dan tulisan yang membuat keabadian.
A. Dengan Karya Untuk Hidup Abadi
Siapa yang tidak menginginkan kehidupan abadi. Setiap orang pasti menginginkannya. Tapi sayang usia manusia telah dibatasi oleh sang Pencipta. Mungkin kita banyak membaca ataupun menonton kisah-kisah zaman dulu yang menceritakan tentang pencarian manusia untuk sesuatu yang akan membuatnya hidup abadi, dan mungkin saja hal itu masih terjadi sampai saat ini. Mencari hal-hal gaib untuk mendapatkan keabadian dan mencoba berbagai obat yang katanya bisa memanjangkan umur hingga puluhan tahun. Tapi tetap saja tidak ada yang pernah bisa menemukannya dan tidak seorang manusia pun yang berhasil untuk hidup ratusan bahkan ribuan tahun. Tetap saja kita akan wafat pada waktu yang telah digariskan oleh Tuhan. Bahkan, dari awal kita masih didalam kandungan (sudah ditulus takdirnya).
Bahkan, ada pepatah yang mengatakan “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”, begitulah pepatah yang hingga saat ini masih terngiang diingatan kita. Dengan kata lain, gajah dan harimau walaupun mati mereka masih meninggalkan bekas, sehingga mereka tetap abadi dengan apa yang mereka tinggalkan. Sebagai seorang manusia, kita jangan sampai kalah dengan dua binatang itu, jangan sampai kita mati hanya sekedar bisa meninggalkan batu nisan. Kalau sampai hal itu terjadi betapa menyedihkan, karena hidup hanya untuk sekedar hidu (lalu mati dan dikuburkan). Bahkan, nama kita setelah wafat, akan segera menghilang dari ingatan manusia yang lain, yakni seiring berjalannya waktu. Siapa yang tidak kenal Syaikh Nawawi Al-Bantani, Tanara-Banten, Moh. Hatta, Soekarno, Syahrir, Hamka, Robert Enstein, dan lalin sebagainya. Bukan kah mereka telah lama meninggalkan dunia ini (wafat) dan tidak ada lagi saat ini. Dan mungkin tulang belulang mereka sudah tidak bisa lagi ditemukan. Walaupun demikian mereka tetap hidup sampai hari ini bersama kita semua. Di dalam keseharian kita masih sering menyebut nama mereka. Dan sudah dipastikan mereka tidak akan hanya disebut dan dikenal oleh orang-orang yang hidup hari ini saja, tapi juga oleh orang-orang yang akan hadir setelah kita hingga akhir dunia ini.
Bahkan, hingga saat ini karya dari Syaikh Nawawi Al-Bantani, Tanara-Banten, dalam bentuk (kitab kuning) hingga saat ini masih tetap menjadi rujukan (referensi) bagi umat Islam di seluruh dunia. Dengan memberikan karyanya, mereka (termasuk Syaikh Nawawi Al-Bantani) telah mendapatkan keabadian yang diidam-idamkan setiap manusia sejak dulu kala. Dan didalam karya-karya yang telah mereka berikan, mereka hidup abadi dan tidak akan pernah dilupakan oleh manusia lain sepanjang masa. Tak akan lapuk oleh hujan dan tak lekang dimakan oleh waktu, disitulah kebadian. Mereka yang mendapatkan keabadian itu tidak hanya bekerja untuk sekedar bertahan hidup, tapi juga berusaha untul melakukan yang terbaik untuk dunianya. Dan mungkin saja mereka tidak meninggalkan banyak harta benda untuk anak cucunya disaat ajal menjemput. Tapi mereka meninggalkan seseuatu yang lebih besar dan berharga dari harta benda serta emas permata. Mereka meninggalakan karya-karya yang bisa bermanfaat dan berguna bagi banyak manusia lainnya.
Harta benda dan kedudukan bukan jamainan seseorang akan bisa menemukan keabadian. Karena dengan bekerja kita bisa mendapatkan sesuap nasi dan juga harta benda. Karena memang itulah tujuan dari bekerja dan berusaha. Tapi alangkah malunya kita kalau kita mau melihat indahnya dunia ini dan mau belajar dari yang kita lihat dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Bukankah binatang juga melakukan hal yang sama untuk bertahan hidup, mereka juga bekerja dan berusaha untuk bisa bertahan hidup dialamnya. Tapi apa yang mereka dapat dari semua yang mereka lakukan? Mereka hanya bisa bertahan hidup sampai akhirnya mati. Dan setelah mereka mati, tidak ada lagi cerita dari binatang tersebut. Semuanya tentang hidupnya telah dibawa pergi kealam lain.
Sekarang, disaat kita masih muda cobalah untuk melakukan semua hal terbaik bagi kehidupan ini. Jangan hanya hidup untuk bekerja saja, tapi juga harus bisa memberikan karya kita untuk kehidupan. Karya itu tidak harus sesuatu yang besar, cukup dengan sesuatu hal yang sesuai dengan kemapuan sendiri. selalu mencoba untuk bangkit mandiri demi sesama. Karena dulunya, nama-nama orang mati yang masih dikenal itu pun tidak pernah memikirkan sesuatu hal yang besar dari apa yang mereka lakukan. Tapi mencoba memberikan yang terbaik dan yang bisa mereka lakukan untuk umat manusia. Karya mereka pun beragam sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing. Karena untuk melakukan sesuatu yang besar tidak perlu harus dimulai dengan langkah awal yang besar pula. Cukup dengan menjadi diri sendiri melakukan semua yang bisa kita lakukan untuk sesama. Selain untuk terus bekerja dan berusaha bertahan hidup agar bisa membeli dan menikmati semua yang disediakan oleh dunia, kita juga harus bisa melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan kita. dan itu akan menjadi sebuah karya yang akan memberikan kita keabadian. Jadi tidak perlu harus bertapa dan melakukan hal-hal aneh untuk mendapatkan keabadian, cukup dengan memberikan karya kita bagi dunia. Karena, dengan karya, maka kita akan mendapat hidup abadi sampai hari kiamat.
III. Menulis Adalah Suatu Kerja Keabadian
Menulis, adalah salah satu cara mengabadikan pikiran kita, jejak kita, inspirasi yang ada di dalam diri kita, tidak ada cara yang terbaik untuk mengabadikan pikiran kita kecuali dengan menulis, menulis membuat kita abadi. Oleh karena itu, betapa pentingnya kemampuan untuk bisa menulis (yang harus dimiliki setiap kalangan). Sementara karya yang dihasilkan sebuah pena itu akan meninggalkan jejak yang abadi, sementara produk dari lisan itu seperti orang yang mengigau. Bahkan, tentang pentingnya menulis juga dapat menjadi media pengobatan pikiran yang terkontaminasi dengan emosi-emosi yang buruk. Maka dalam hal ini, menulis juga kerapkali bisa menjadu sebagai alat pelampiasan akan tindakan pikiran yang buruk untuk diekspresikan dalam coretan-coretan tinta yang sudah bakal pasti, keberadaanya membuahkan manfaat. Kalau diri kura ingin sehat, ingin sembuh dari penyakit stress, dari penyakit gak kerasan, penyakit-penyakit diri yang lahir dari emosi kita, maka tuangkan apa yang menjadi kegelisahan kita itu dalam sebuah tulisan. Seorang teknolog dan juga cendikiawan muslim ternama, seperti Prof. Dr. Bacharudin Jusuf Habibie. Mememang perjalanan hidup BJ. Habibie sangat menuai banyak inspirasi bagi masa depan, terutama dengan keberadaan coretan hidupnya yang tertuang dalam sebuah buku yang sangat fenomenal dan hingga saat ini telah dibaca dan sangat menginspirasi banyak kalangan, yakni sebuah buku novel berjudul “Habibie & Ainun”.
BJ. Habibie, beliau punya satu karya yang luar biasa, yakni sebagaimana judul diatas. Suatu hari ketika Ibu Ainun Habibie dipanggil oleh Allah (wafat), seorang Habibie yang dikenal sebaga teknolog atau cendikiawan, sepanjang tujuh hari pertama meninggalnya Ibu Ainun, beliau sering memanggil nama Ibu Ainun. Kemudian beliau melanjutkan, dan itu konon katanya dilakukan hampir setiap malam. Kemudian apa yang dikerjakan oleh seorang Habibie? Pada akhirnya diketahui terutama oleh dokter pribadinya, setelah itu Habibie dikentahui mengidap penyakit “Psikosomatik” (penyakit jiwa), dan kalau hal itu tidak ditangani dengan benar, maka akan berefek negatif, dan akhirnya BJ. Habibie lebih memilih jalan menulis sebagai alternatif untuk mengobati penyakit “Psikomatik” yang diidapnya, kemudian setiap waktu BJ. Habibie berdiam diri di kamar, dan terus menulis setiap episode hidupnya bersama Ibu Ainun Habibie, yakni mulai dari perkenalan, perjalanan pendidikan di Jerman termasuk lika-liku hidupnya yang penuh dengan romatika itu, yang akhirnya menghasilkan sebuah novel yang fenomenal dan sekaligus bisa menyembuhkan beliau dari penyakit “Psikomatik”.
IV. Menulis Tanda Adanya Kehidupan Dan Keabadian Diri
Kelebihan dari menulis adalah keabadian. Keabadian dimaknai karena tulisan itu memiliki jangka waktu berada di permukaan bumi, yaitu melebihi usia si penulis itu sendiri. Menulis adalah kegiatan yang menyenangkan. Karena, ada tanda kehidupan tertera dan terpatri dalam diri kita seandainya kita mengutarakan ide-ide dalam bentuk tulisan. Tulisan melebihi segalanya bahkan penyampaian secara lisan bisa dikalahkan karena keunggulan tulisan adalah keabadian. Ketika kita berbicara maka dengan seseorang atau kita menyampaikan pidato ke area publik misalnya, maka isi pembicaraan kita itu hanya sampai disitu. Maksud penulus, pendengar hanya terkesan pada saat kita berbicara namun setelah itu semua lenyap. Semua inspirasi dan ide kita lenyap ditelan waktu karena tidak terekam.
Kelebihan dari menulis adalah keabadian. Keabadian dimaknai karena tulisan itu memiliki jangka waktu berada di permukaan bumi melebihi usia si penulis. Apalagi seandainya tulisan-tulisan kita itu dikumpulkan dalam satu rangkaian sistematis dan tercetak. Itulah yang dinamakan buku. Nama kita sudah pasti akan tertera disampul buku sebagai satu promosi bahwa sesungguhnya kita pernah bermukim di dunia fana ini. Buku adalah karya fantastis seorang penulis. Buku melambangkan kecerdasan intelektual seseorang dimana dia mampu mendeskripsikan ide-ide cemerlangnya dalam satu rangakain kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi satu paragraf. Himpunan paragraf itu kemudian menjadi satu artikel. Kemudian kumpulan artikel itu akhirnya tetdokumentasikan (dijilid) maka jadilah ia sebuah Buku. Banyak teman-teman saya bertanya, “bagaimana saya bisa menghasilkan beberapa karya tulis (khususnya buku sejarah lokal)?” Secara sederhana dan praktis saya menjawab : “Menulislah setiap hari”, apapun kesibukaan kita, luangkan waktu duduk 1-2 jam di depan personal computer untuk menuangkan ide-ide yang ada di ingatan kita. Pertanyaan selanjutnya dari teman-teman saya, “bagaimana bisa menulis setiap hari sedangkan inspirasi itu terkadang tidak selalu ada dalam kehidupan kita? “Jawaban saya berdasarkan beberapa tahun terakhir ini, terasa produktif menulis dan telah berhasil pula mempublikasi lebih dari 100 artikel (yang terpublisir di jurnal maupun di media sosial). Oleh karrna itu menurut hemat penulus : “inspirasi menulis jangan ditunggu, tetapi carilah” Apa saja yang ada di sekitar kita adalah bahan tulisan. Apa saja yang terjadi di lingkungan kita adalah materi yang bisa di kembangkan menjadi satu tulisan. Kemudian setelah itu teman-teman saya berhenti bertanya. Saya kemudian berpikir apakah memang terlalu sulit untuk menuangkan ide kreatif itu dalam bentuk tulisan? Faktanya nemang, penulis juga mengakui bahwa menulis itu memang memerlukan proses dan dimensi waktu yang cukup panjang sehingga ruh menulis itu hinggap di kehidupan keseharian kita. Itulah yang dinamakan motivasi menulis. Sementara motivasi merupakan penggerak utama dalam proses memulai mengerjakan dan mengakhir satu artikel sehingga tulisan itu siap di publikasi.
Bahkan, motivasi itu akan semakin terbangun ketika kita merasakan bahwa karya kita itu mendapat apresiasi dari pembaca. Apresiasi itu tidak selalu positif, terkadang ada juga pembaca yang memberikan tanggapan atau komentar yang kurang menyenangkan. Anggap saja semua komentar yang kita terima itu berupa masukan berharga guna meningkatkan dan mengembangkan kualitas tulisan. Lambat laun kita juga akan semakin terbiasa karena mampu menerima dengan lapang ada apapun komentar para pembaca.
Jadi mulailah menulis dan menuangkan apa-apa yang ada dalam pikiran kita. Sesungguhnya ketika seseorang mampu menyampaikan ide kreatifnya dalam bentuk lisan (berbicara) maka secara otomatis dia bisa menulis. Artinya apa-apa yang dikatakan tinggal di tuangkan dalam bentuk tulisan melalui proses menulis di papan ketik (key board) personal computer kemudian simpan tulisan itu. Selanjutnya, harus ada keberanian juga untuk mempublikasi karya kita di media mas (termasuk di media sosial). Kareba, keberanian itu harus di buktikan bahwa karya kita bermanfaat bagi para pembaca, karena kita yakin bahwa tulisan kita bebas dari unsur SARA dan lain sebagainya. Selain itu ada baiknya selalu objektif dalam menuangkan inspirasi serta ingat pula jangan sampai merendahkan atau melecehkan orang lai atau kelompok lain, agar kita tetap merasa aman dan nyaman. Ada kepuasan bathin disana. kita akan merasakan dan mengakui melalui tulisan suatu petanda “Bahwa Kita Hidup”.


