Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Interaksi yang intensif antara sejarawan dengan berbagai fakta sejarah, atau dialog tanpa akhir antara zaman “now” dengan zaman “old” merupakan suatu keharusan bagi terciptanya obyektivitas sejarah. Mengingat sejarah sebagai peristiwa tentu saja tidak berbarengan dengan sejarah sebagai rekaman peristiwa. Bahkan secara diakronis, disparitas antara keduanya bias dalam rentang waktu yang sangat panjang, bahkan bisa berabad-abad lamanya. Itulah mengapa, wilayah Banten sebagai locus utama kesultanan Banten yang pernah mengalami masa “kejayaan” itu, terutama ketika dizaman Sultan Ageng Tirtayasa (16-17 M), saat itu faktanya pernah mengalami superioritas, dinamika intelektualisme (terutama munculnya sosok ulama asal Banten yang berkaliber internasiolal seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani hingga saat ini masih menjadi insfirasi bagi masyarakat Banten). Kedua hal itu, harus terus didialogkan, mengingat jejak-jejak inkubasi sejarah masa superipritas, kejayaan serta dinamika intelektualusme di Banten, hal itu sebagai peristiwa dan rekaman peristiwa sejarah yang benang merah sejarahnya adalah tentang masa kejayaan kesultanan Banten yang memang sangat menonjol terutama di abad ke 16-17 M.
Oleh karena itu, goresan qalam penulis kali ini, merupakan sebuah ikhtiar untuk melakukan elaborasi dan reinterpretasi atas berbagai historiografi yang telah secara mapan dilakukan oleh sejarawan Banten dan termasuk setelah penulis membaca dua judul buku yang berkatan dengan latar belakang sejarah Banten. Pertama, buku berjudul “Legasi Sultan Maulana Hasanuddin Banten”, buku tersebut ditulis oleh Prof. Dr. Mufti Ali dan kawan kawan. Kedua, buku berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam”. Buku tersebut ditulis oleh Claude Guillot dan kawan-kawan. Kedua buku tersebut hingga saat ini memang sudah beredar di masyarakat dan diyakini faliditas dan kebenaran ilmiahnya, terutama oleh kalangan penikmat sejarah. Tentu saja, dari kedua buku itu ada kesamaan interpretasi atas peristiwa yang sama, yakni soal latar belakang sejarah Banten. Oleh karena itu, pada tulisan kali ini penulis juga ingin ikut-ikutan untuk mencoba untuk bersumbangsih (menyuguhkan) reinterpretasi terhadap peristiwa sejarah masa lalu Banten. Namun, sudah barang tentu sumbangsih dari penulis sangat mungkin mengandung kelemahan dan kekurangan.
II. Dua Buku Tentang Kajian Sejarah Banten
Buku pertama berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten”. Buku tersebut ditulis oleh Pfof. Dr. Mufti Ali dan kawan-kawan. Sementara buku kedua berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam”, buku tersebut ditulis oleh seorang peneliti asal Prancis, Claude Guillot dan kawan-kawan. Sementara Prof. Dr. Mufti Ali, menurut pandangan penulis, beliau memang sangat konsentratif terhadap berbagai kajian buku-buku manuskrip (naskah-naskah kuno) terutama tentang sejarah Banten. Namun, hingga saat ini berbagai buku manuskrip itu (naskah kuno) tentang sejarah Banten, pada faktanya sebagian besar masih berada di Belanda.
Bahkan, beberapa kali penulis bertemu dengan Prof. Dr. Mufti Ali, dab sekaligus penulis mendengar langsung inisiatif positif beliau, yakni soal bagaimana untuk bisa memboyong ribuan buku manuskrip (naskah-naskah kuno) serta surat-surat berharga ketika di zaman keemasan kesultanan Banten, yang realitanya hingga saat ini warisan yang amat sangat berharga bagi masyarakat Banten itu, hingga saat ini kenyataannya sebagian besar masih berada di Musium Belanda. Bahkan, berkali-kali Prif. Dr. Mufti Ali mengungkapkan, bagaimana caranya agar berbagai buku manuskrip itu (naskah-naskah kuno tentang Banten yang sangat berharga itu) untuk bisa dibawa pulang ke Banten dan sekaligus bisa dilakukan pengkajian secara mendalam naskah-naskah kuno tersebut. Namun ada yang melegakan saat ini, konon katanya, terutama menurut keterangan dari Menteri Kebudayaan Indonesia (Fadli Zon), bahwa buku-buku manuskrip atau naskah-naskah kuno itu, konon katanya dalam waktu dekat akan segera dipulangkan ke Indonesia.
Bahkan, dalam suasana pendidikan tinggi keislaman di Banten yang terus bergerak mengikuti arus zaman, penulis berpendapat, bahwa kehadiran sosok Prof. Dr. H. Mufti Ali, Ph.D, sangat penting. Karena, belau adalah figur akademik yang konsisten untuk menjaga jati diri kampus sebagai rumah ilmu dan nilai, sekaligus juga jebolan S3, dari Universitas Leiden, Belanda, yang sudah pasti mafhum betul untuk mengkaji dan mereaktualisasikan isi dari berbagai buku manuskrip dan naskah-naskah kuno yang hingga saat ini masih berada di Musium Belanda itu. Lebih dari itu, beliau bukan hanya seorang cendekiawan, melainkan seorang penggerak perubahan yang tenang namun berdampak besar. Sementara rekam jejak Prof. Dr. Mufti Ali, memang demikian panjang terutama dalam khasanah keilmuan, namun pada akhirnya dimensi keilmuannya telah teruji dan terbukti, yakni dari mulai ruang kuliah, ruang riset, hingga forum-forum pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), baik di tingkat daerah maupun nasional.
Lebih dari itu, komitmen ilmu dan integritas dengan jejak keilmuan yang konsisten sangat kentara di diri Prof. Dr. Mufti Ali. Ia lahir dan dibesarkan di Banten, dan tumbuh dalam lingkungan yang menekankan pada “betapa pentingnya ilmu dan adab”. Oleh karena itu, setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Syariah IAIN Serang, ia kemudian menempuh pendidikan lanjut hingga S3 di Universitas Leiden, Belanda, dengan konsentrasi pada studi Islam klasik dan manuskrip Nusantara. Ia bukan sekadar menuntut ilmu, tetapi juga menyumbangkan pemikiran penting dalam khazanah keilmuan Islam. Karyanya, baik dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah, mengukuhkan posisinya sebagai cendekiawan Muslim putra asli Banten yang tidak tercerabut dari akar lokal, tetapi mampu menyampaikan nilai-nilai Islam ke dalam diskursus global. Sementara salah satu buku terbarunya berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten”, yaitu sebuah karya yang memperlihatkan kemampuan beliau untuk mengaitkan sejarah lokal Banten dengan konstruksi keilmuan Islam yang mendalam.
Lebih dari itu, Prof. Dr. Mufti Ali juga selalu mendorong SDM Banten untuk terus naik kelas, yakni mulai dari lingkungan kampus hingga ke lintasan strategis daerah. Mengingat, Prof. Dr. Mufti Ali tidak hanya membangun atmosfer akademik di kampus, tetapi terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan pendidikan tingkat Provinsi Banten. Salah satu bentuk konkret peran itu adalah keterlibatannya sebagai Ketua Forum Kajian Gedung Negara (FKGN) Provinsi Banten, yang diinisiasi bersama Gubernur Banten, Andra Soni. Forum itu menjadi ruang strategis untuk menghimpun ide, masukan, dan sinergi dari pimpinan perguruan tinggi, ormas keagamaan, dan pemangku kepentingan lainnya, terutama dalam konteks untuk mendorong partisipasi generasi muda Banten agar terus maju dan berprestasi.
Dalam konteks kepemimpinan akademik misaknya, menurut tinjauan penulis, ia kerapkali menunjukan visioner dan humanisnya, dan seringkali pula menghadirkan pendekatan kepemimpinan yang berbasis keilmuan, kolaborasi, dan pembinaan SDM. Ia tidak membangun jarak dengan sivitas akademika, tetapi hadir sebagai mitra dialog, pembangun riset, dan pembina moral keilmuan. Sementara visinya untuk menjadikan SDM di Banten bisa berkelas nasional atau internasional, hal itu tidak hanya dalam formalitas semata, tetapi ia juga terus mewujudkan kampus yang dikemudian hari bisa melahirkan para pemikir unggul dan insan akademik yang berintegritas. Lebih dari itu, kecenderungannya, ia juga ingin memperkuat kultur akademik, memperluas akses riset, serta menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang lebih berkualitas.
Lebih dari itu, Prof. Dr. Mufti Ali juga selalu optimistis untuk menyambut masa depan Banten dengan ketenangan ilmu. Dan bahkan, wilayah Banten saat ini membutuhkan sosok yang mampu menjaga keseimbangan antara modernitas dan moralitas, antara transformasi dan tradisi, antara kemajuan dan kebijaksanaan. Maka Prof. Mufti Ali menurut pandangan penulis, beliau punya bobot dan bebet untuk membawa semua itu dalam potensialitas dirinya : akademisi, organisator, peneliti, dan penggerak nilai. Lebih dari itu, Prof. Dr. Mufti Ali menurut hemat menulis, beliau sebagai orang yang sangat visioner dan punya arah. Yakni, punya arah dunia akademis yang lebih kokoh dalam ilmu, lebih kuat dalam SDM, dan lebih ingin membawa suara di tingkat nasional dan global tanpa kehilangan akar lokalnya.
III. Lintasan Sejarah Banten Dalam Buku Berjulul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten”
Sebagai salah satu kerajaan Islam yang berpengaruh di Nusantara, Kesultanan Banten menyimpan kisah kejayaan maritim, diplomasi, dan dakwah Islam. Buku karya Prof Mufti Ali, Dr M Ali Fadilah, dan Brigjen TNI Fierman S Agustus, secara substantif mengajak kita (para pembaca) untuk menelusuri jejak sejarah Banten yang merentang sejak abad ke-16 Masehi hingga masa keruntuhannya. Berbeda dengan buku-buku lainnya yang mengenai sejarah Banten, karena buku yang berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten” ini, menyuguhkan narasi dari berbagai sisi. Mengingat para penulisnya memang menyoroti kerajaan Islam ini dari perspektif geohistoris, arkeologis, hingga filosofis. Uraian di buku itu, akhirnya ditutup dengan sketsa biografi tentang Sulatan Maulana Hasanuddin, yakni sang pendiri Kesultanan Banten.
Buku berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten” dibuka dengan pembahasan tentang bentang natural Banten. Karena, wilayah Banten saat ini telah menjadi sebuah Provinsi yang ada di Indonesia, dan memiliki kekayaan alam yang variatif, baik flora maupun faunanya. Wilayah Banten juga mengandung mineral yang bernilai tinggi, termasuk emas dan perak. Bahkan, pada bab pertama, di buku tersebut memaparkan upaya-upaya menyelidiki jejak manusia pertama di Banten. Dalam hal ini, dilengkapi juga dengan hasil riset di situs arkeologis yang paling terkenal ialah Punden Berundak (terraced pyramid) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kampung Cibedug, Desa Citorek Barat, Kabupaten Lebak. Sementara masyarakat setempat menganggapnya sebagai tempat keramat (hlm 18).
Berlanjut ke narasi tentang zaman kuno. Pada bab kedua di buku itu, para penulisnya menegaskan, sejak dua ribu tahun yang lalu, Banten telah menjadi wilayah yang kaya akan sumber alam. Karena itu, bagian paling Barat Pulau Jawa ini kerapkali menjadi objek eksploitasi, yang ditransformasikan sebagai komoditas ekonomi penduduk. Tumbuhnya permukiman di hulu dan di hilir wilayah Banten, adalah efek dari pengelolaan sumber daya yang tersedia. Pada gilirannya, hal itu berdampak pada pertanian dan perdagangan pada jaringan maritim di Asia Tenggara. Sementara lokasi strategis dan kekayaan sumber daya alam menjadikan wilayah Banten berperan strategis dalam konteks ekonomi internasional, khususnya di jalur laut yang menghubungkan antara India dan China. Penguasa lokal Banten pada saat itu (Kerajaan Sunda), mereka memanfaatkan aktivitas perdagangan lintas benua yang singgah di pesisir wilayahnya. Hal itu sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, tetapi lebih pesat terjadi, yaitu pada abad ke-10 M, yakni dimasa Kerajaan Sunda (Kerajaan Pajajaran).
Penguasa Sunda membangun kota di Banten Girang dan pelabuhannya di muara Ci Banten. Sedangkan “Jejak” dan “Tapak” perdagangan maritim di awal zaman dagang, akhirnya semakin menguat setelah kedatangan Islam ke Banten (hlm 31). Sunan Gunung Jati, salah seorang wali sanga, ia meyakinkan putranya, yakni Maulana Hasanuddin, agar memindahkan Ibu Kota ke muara Ci Banten. Hal itu mengisyaratkan, kemajuan hanya akan dicapai bila pusat pemerintahannya berada di pesisir Utara, hal itu sebagaimana yang terjadi pada Kesultanan Demak. Sementara kemunduran Kerajaan Majapahit sejak abad ke-15 M, membuka jalan bagi muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Demak menjadi yang pertama di Pulau Jawa. Pada tahun 1526 M, Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin, dan seorang punggawa Banten Girang yang telah memihak Demak, akhirnya melancarkan serangan penuh ke wilayah Sunda. Dan misinya pada saat itu akhirnya bisa berhasil, dan sejak saat itulah Banten menjadi daerah taklukan Demak.
Bab ketiga di buku berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten”, membahas tentang kebangkitan Banten sebagai sebuah kerajaan Islam. Kemenangan Demak atas Sunda, hal itu menandakan tertutupnya kemungkinan ekspansi pengaruh Portugis di Jawa. Sebelumnya, pada tahun 1511 M, Armada Alfonso de Albuquerque, dengan ambisinya, yakni untuk memonopoli perniagaan rempah-rempah di seluruh Nusantara, telah menaklukkan Bandar Malaka dan Pasai. Setelah itu, Kerajaan Sunda mengadakan Perjanjian Padrong dengan pihak Portugis, sehingga entitas Eropa itu pada akhirnya dibolehkan untuk mendirikan Benteng di Sunda Kelapa.
Imbas dari kesepakatan itu, akhirnya memicu pihak Demak untuk bergerak. Hingga akhirnya, Kerajaan Sunda terpaksa melepas Banten dari genggaman. Tidak hanya mengusir Portugis dari Jawa, penaklukan Banten oleh Demak juga membuka jalan terang bagi meluasnya syiar Islam di Banten. Hal itu, seperti dicatat di dalam naskah “Carita Purwaka Caruban Nagari” (1720), dan sekaligus dikutip juga di dalam buku berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin”. “Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan Jati pergi menyiarkan ajaran Islam ke Banten. Di sana, ia memperistri Nyai Kawunganten, yakni adik Bupati Banten. Melalui perkawinan tersebut, Bupati Banten dan sebagian dari para pembesar serta warga masyarakat Banten menjadi penganut agama Islam” (hlm 62-63).
Sementara di bab terakhir buku tersebut berjudul “Tapak Karya.” Dalam bagian ini, para penulisnya menguraikan perihal peninggalan Banten dan juga catatan tekstual tentang kerajaan Islam Banten. Dokumen-dokumen Eropa, terutama kesaksian langsung maupun tidak langsung dari orang-orang Portugis, telah menjelaskan situasi Banten dan sekitarnya pada awal abad ke-16 M, belasan tahun sebelum kelompok elite Islam berkuasa di Banten. Berdasarkan catatan yang ada, Banten telah menunjukkan karakter kosmopolitan. Ciri itu semakin kentara ketika wilayah Banten dalam masa kekuasaan Islam. Buku berjudul “Legasi Maulana Hasanuddin Banten” itu, memang menampilkan bukti-bukti arkeologis maupun tekstual tentang reputasi Banten sebagai kerajaan dengan reputasi dunia. Secara keseluruhan buku berjudul, “Legasi Maulana Hasanuddin” itu, kurang lebih sekitar 138 halaman. Buku tersebut bisa membuka cakrawala yang lebih luas tentang riwayat Kerajaan Banten dan pengaruh sang putra wali songo (Sultan Maulana Hasanuddin). Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama, dan sangat unggul dalam hal tampilan, karena kertasnya yang terkesan sangat “lux” sehingga cenderung berbeda dengan kebanyakan buku lainnya.
IV. Claude Guillot Dan Buku Berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam”
Claude Guillot adalah salah seorang pengkaji yang berasal dari Perancis. Ia sekaligus bertugas sebagai pengarah penyelidikan di “Centre National de la Recherche Scientifique, Paris”. Sedangkan sejarah Indonesia merupakan bidang utama kajian Claude Guillot. Di dalam bidang itu, ia terus menyelidiki terutamanya aspek-aspek sejarah agama, baik agama Kristian maupun agama Islam, dan aspek-aspek sejarah kota dam kesultanan lama seperti kesultanan Banten di Jawa Barat dan Barus di Sumatera Utara. Selain itu, Claude Guillot, saat itu juga ia menjadi ketua redaksi majalah “Archipel”. Sementara karya-karya yang telah Claude Guillot hasilkan salah satunya adalah “L’Affaire Sadrach : Un essai de christianisation a’ Java au XIX rsircle (EFEO, 1981)” dan buku sebagaimana yang akan dibahas di sub judul di bawah ini :
A. Banten Sebelum Islam : Ibukota Kerajaan Kuno Sebelum Pajajaran
Naskah Sajarah Banten, yakni sebagaimana secara detail diuraikan di dalam buku berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam”. Buku tersebut merupakan karya dari Claude Guillot dan kawan-kawan. Buku yang diterbitkan pada tahun 1996/1997 itu, telah memberi banyak petunjuk tentang sebuah ibukota kerajaan kuno yang telah ada sebelum zaman kerajaan Pajajaran. Petunjuk itu pada akhirnya, sangat terlihat pada cerita tentang hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Hasanudin, yakni ketika datang ke Banten. Dia melakukan sejumlah upacara di tiga gunung yakni Gunung Karang, Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar. Untuk nama yang terakhir peneliti sejarah menyimpulkan bahwa itu adalah nama kuno dari Gunung Aseupan yang ada sekarang.
Sultan Hasanudin sangat memperhatikan satu Gunung yakni Gunung Pulasari. Di Gunung Pulasari itu tinggal keturunan penguasa lama yakni Brahmana Kandali. Sajarah Banten menceritakan bahwa Hasanudin tinggal bersama delapan ratus ajar atau cantrik kalau istilah di Jawa, yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Hasanudin tinggal dengan mereka selama lebih dari sepuluh tahun. Para ahli menyimpulkan bahwa selama itu pula proses konversi ke Islam terjadi di Banten. Ciri khas proses konversi ke Islam pada kurun transisi terlihat pada riwayat Hasanudin yang mengharuskan para Ajar itu untuk tetap menempati Gunung Pulasari walaupun mereka sudah Islam. Sebab menurut Hasanudin, jika tempat itu kosong tanpa pendeta maka tanah Jawa akan berakhir. Kisah itu menemukan data kesejarahannya dalam penelitian yang dilakukan oleh Rouffaer dan Ijzermann di tahun 1915 M. Penelitian itu menunjukkan bahwa pada akhir abad 16 M, terdapat sebuah Desa bernama Sura yang ada di kaki Gunung Karang. Di sana tinggal sekelompok pendeta beragama Hindu yang atas izin raja Banten, ia tinggal di sana. Konon mereka adalah para pendeta yang mengungsi ke barat akibat konflik yang terjadi di Pasuruan.
B. Arca Bongkok
Di Desa Sanghyang Dengdek, Kecamatan Pulasari, sekarang bernama Saketi, Kabupaten Pandeglang, terdapat satu arca purba yang dinamakan “Sanghyang Dengdek”. Arca tersebut bentuknya menyerupai sosok laki-laki dengan bentuk kepala yang dipahat kasar menyerupai patung zaman megalitik dalam bentuk pendek dan gemuk. Sedangkan Balai Arkeologi Nasional menyebutnya sebagai batu menhir yang berbentuk manusia. Sementara tinggi arca tersebut kurang lebih sekitar 95 cm dengan keliling badan 120 cm dan diameter kepala 20 cm. Nama “dengdek” menurut balai arkeologi menunjukkan bentuk bahu yang tidak datar atau tidak rata, alias satu sisi bahu lebih rendah. Banyak dugaan bahwa bentuk bulat, agak pendek, tubuh tidak simetris, sangat sesuai dengan kepercayaan orang Jawa kuno yang mengenal sosok mistik dengan ciri-ciri badan yang mengalami deformasi. Orang Jawa mengenalnya sebagai Semar, Punta, atau Sabdapalon. Lebih dari itu, di Gunung Pulasari juga terdapat arca “bongkok yang terpuja” dalam bentuk batu yang agak membungkuk.
C. Raja Bahujaya
Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917) atau disingkat CM Pleyte adalah peneliti sejarah sekaligus kurator Museum Royal Batavian Society of Arts and Science, yang sekarang menjadi Museum Nasional Jakarta. Semasa hidupnya, ia mengajar sejarah dan etnologi di Administration School in Batavia yang letaknya juga berada di sekitar Gambir. Pleyte mempunyai sebuah naskah tentang sejarah Banten sebelum Islam, naskah itu bernama “Wawacan Banten Girang”. Para ahli memperkirakan bahwa naskah tersebut dibuat pada sekitar abad 18 atau 19 M. Walaupun dibuat dimasa yang cukup baru, namun naskah koleksi Pleyste itu telah menunjukkan beberapa ciri kalau sumbernya memang berasal pada kisaran abad 16 atau 17 M. Naskah itu mempunyai dua bagian. Yang pertama adalah kisah tentang perang antara Banten dengan Lampung.
Sedangkan bagian kedua di buku berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam” menceritakan dukungan militer Banten Girang kepada kerajaan Majapahit saat menghadapi kesulitan besar. Kedua kisah itu mempunyai keterkaitan karena tokoh yang ada di dalamnya sama, yakni Hariang Banga dan Ciung Wanara. Raja Banten Girang bernama Bahujaya dia berperang dengan raja Lampung yang bernama Sukarma. Dalam naskah itu dikisahkan bahwa raja Lampung mendapat dukungan dari Palembang, Bangkahulu, Padang dan Batak. Sedangkan raja Bahujaya mempunyai dua panglima yang hebat, yaitu Hariang Banga dan Ciung Wanara. Penelusuran De Graff dan Pigeaud beberapa kali menyebutkan, bahwa Arya Bangah yang mungkin sama dengan Hariang Banga sebagai anak dari perempuan ratu dari Cirebon. Sedangkan Ciung Wanara merupakan simbol kebangsawanan Sunda yang mungkin berumur lebih lama dari periode kerajaan Banten Girang.
D. Banten Kuno Dalam Catatan Keramik
Penggalian yang dilakukan Claude Guillot pada paruh awal tahin 90-an, ternyata mampu menggambarkan kronologi kerajaan kuno di hulu teluk Banten yang diperkirakan sudah ada sejak zaman kebesaran Sriwijaya. Temuan terbanyak berupa tembikar kuno memuncak dalam kurun abad 12 hingga abad 14 M. Periode tersebut merupakan transisi ketika kerajaan Sriwijaya perlahan-lahan akhirnya memudar kejayaan lautnya dan digantikan oleh Majapahit dari timur.
Setelah melalui berbagai metode perbandingan yang cukup rumit, para ahli memperkirakan, bahwa Banten Girang memang telah dihuni setidaknya sejak abad 10 M. Karena, kuantitas temuan keramik perlahan semakin banyak dan mencapai puncaknya di abad 13 dan 14 M. Setidaknya hal itu menjelaskan tentang kemajuan ekonomi Banten Girang. Bahkan, banyaknya keramik dari Cina, hal itu juga memperlihatkan kedekatan khusus Banten Girang dengan Cina yang oleh para ahli diperkirakan tidak hanya berupa hubungan dagang semata, tetapi juga sudah menjadi hubungan kekerabatan. Sedangkan asal-usul keramik yang ditemukan di Banten Girang, bahkan menunjukkan sumber pembuatan sejak zaman dinasti Tang, Song, dan Yuan. Uniknya, pada perkiraan umur abad 15 M terjadi pengurangan jumlah keramik yang sangat drastis. Claude Guillot dan kawan kawan, akhirnya menduga bahwa itu terjadi karena penaklukan Banten Girang oleh Pakuan. Pada masa itulah mulai terjadi perpindahan bandar-bandar perdagangan ke kawasan lain seperti ke muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum.
E. Ibukota Kerajaan
Sumber-sumber Portugis menguatkan dugaan bahwa Banten Girang sebenarnya adalah ibukota kerajaan tua. Gambaran Diogo Couto yang ditulis di abad 18 M, menjelaskan tentang kota di tengah-tengah teluk yang amat besar, panjangnya kurang lebih empat ratu depa di sisi laut dan lebih panjang lagi di sisi daratan. Di salah satu bagian kota ada benteng dengan tembok bata setebal tujuh jengkal. Bagian atasnya terbuat dari dinding kayu dan bertingkat dua. Catatan Couto ternyata mampu menjelaskan mengapa Banten sejak abad 15 M, telah menjadi poros pelayaran yang sangat penting. Sementsra sumber Cina Shunfeng Xiangsong, tempat ini (Banten saat itu) dinamakan “Wan-tan” dan “shun-t’a” yang menjadi tempat pelayaran dari Aru-Banten, Aceh-Banten, Banten-Banjar, Banten-Demak, dan Banten-Timor. Sementara sumber Arab di akhir abad 15 M yang ditulis oleh Sulaiman al-Mahri menjelaskan tentang keberadaan pelabuhan di dekat “Djebel Sunda” atau Gunung Gende. Satu hal lagi yang menguatkan kondisi Banten Girang sebagai ibukota kerajaan adalah adanya jejak Sungai Cibanten sebagai sungai besar yang dulunya bisa dilayari kapal-kapal dagang. Bahkan, sebuah peta Banten bertahun 1635 M, menjelaskan tentang sungai Cibanten lengkap dengan dua jalan penghubung ke ibukota kerajaan di kiri dan kanannya. Sementara catatan orang Denmark pada tahun 1637 M, memperlihatkan kalau dia masih bisa menggunakan perahu dari Banten menuju Serang. Bahkan, jalan di sebelah kiri kanan sungai Cibanten menurut penduduk sekitar dinamakan “jalan sultan”, yang menyusuri sungai menuju tiga gunung api.
V. Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Pulau Jawa, Dan Pandangan Claude Guillot Pada Inkripsi Batu Nisan “Fatimah Binti Maimun” di Leran, Gresik-Jawa Timur
Sebagaimana telah diungkapkan di kedua isi buku diatas, yakni datangnya Islam ke wilayah Banten, yaitu di akhir abad ke 15 M dan diawal abad ke 16 M, yaitu atas prakarsa dari Sunan Gunung Jati dan sang putranya, yaitu Maulana Hasanuddin. Lalu muncul pertanyaan, sejak kapan adanya Islam di Pulau Jawa? Jawabannya menurut para arkeolog, bahwa keberadaan batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur, dianggap sebagai bukti tertua kehadiran Islam di Pulau Jawa. Meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur. Karena, masyarakat setempat menciptakan legenda bahwa nisan itu adalah kuburan seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang berperan dalam Islamisasi Pulau Jawa. Tidak jauh dari Leran, terdapat juga nisan Maulana Malik Ibrahim, yaitu seorang mubaligh dan penguasa Islam pertama yang menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa, yang meninggal pada tahun 822 Hijriyah (1419 M). Karena itu, legenda lokal menghubungan Dewi Suwari dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai murid atau istri sehingga Dewi Suwari menjadi pribumi pertama yang memeluk Islam.
Sementara sajarah Banten yang ditulis pada tahun 1662 atau 1663, sebagai sumber tertulis tertua yang menyebut situs Leran, menyebutkan masa islamisasi Tanah Jawa dimana tokoh Leran, Putri Dewi Suwari ditunangkan dengan raja terakhir Majapahit. Menurut arkeolog Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, “Nisan Leran (Jawa) Berangka Tahun 475 H/1082 M dan Nisan-nisan Terkait”, hal itu termuat dalam inskripsi Islam Tertua di Indonesia, nisan Leran sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat, tetapi tidak terdapat dalam teks tertulis, legenda, ataupun peninggalan purbakala, serta unsur apa pun yang mengaitkannya dengan konteks sejarahnya yang benar di abad ke-11M. Segala data cenderung menempatkannya dalam satu periode yang kira-kira sama dengan abad ke-15 M, yaitu masa islamisasi awal Pulau Jawa atau bahkan abad setelahnya.
Sementara batu nisan Leran baru diteliti secara ilmiah pada 1920-an oleh peneliti Belanda J.P Moquette dan peneliti Prancis, Paul Ravaisse. Dari hasil inskripsi oleh Moquette dan Pau Ravaisse menyajikan beberapa perbaikan, dan terbaca bahwa nisan itu bukan milik Putri Dewi Suwari, tetapi “ini makam orang perempuan yang tidak berdosa, tidak menyimpang, binti Maymun bin Hibat Allah. Dia meninggal hari Jumat delapan Rajab, tahun empat ratus tujuh puluh lima.” Paul Ravaisse membaca tahun meninggalnya, yaitu tahun 475 H (1082 M) yang lebih banyak diterima, sedangkan J.P Moquette membacanya tahun 495 Hijriyah (1102 M). Jelas, tahun kematian Fatimah jauh sekali dengan Maulana Malik Ibrahim.
Lalu, siapakah Fatimah binti Maimun itu? Ada peneliti, seperti N.A. Baloch dari Pakistan, yang beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran yang dibangun pada abad ke-10 M. Anggapannya didasari oleh keindahan tulisan kaligrafi berjenis kufi pada nisannya. “Saya tidak sependapat dengan J.P. Baloch dan Paul Ravaisse, karena tidak ditemukan kata sultanat sebelum namanya,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita di dalam bukunya berjudul “Arkeologi Islam Nusantara”. “Oleh karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Timur.” Sependapat dengan Uka Tjandrasasmita, Kalus dan Claude Guillot menyatakan bahwa “bint Maymun bin Hibat Allah rupanya berasal dari golongan sosial sederhana (dia tidak memiliki gelar apa pun!).”
Selain nisan Fatimah sebagai nisan utama yang disimpan di Museum Trowulan hingga saat ini, ternyata ada empat nisan lain. “Karena bentuk dan jenis batunya, yakni nisan-nisan itu ternyata berkaitan erat dengan nisan utama. Tetapi inskripsinya jauh lebih rusak dan karena itu dikesampingkan selama ini,” tulis Kalus dan Claude Guillot, yang meneliti nisan-nisan itu pada tahun 1999 dan 2000. Dengan demikian, kelima nisan itu harus dibahas satu kesatuan dan disebut “nisan-nisan Leran.”
Berangkat dari sinilah, Kalus dan Claude Guillot, mereka mengemukakan pendapat yang mencengangkan. Menurut mereka, andaikata nisan-nisan itu dibuat di tempat, maka harus dianggap adanya sebuah bengkel di Leran. Namun, tidak mungkin tokoh sederhana itu (Fatimah) menyebabkan adanya sebuah bengkel di daerah yang begitu terpencil. Tidak hanya itu, satu nisan memiliki takik (torehan yang agak dalam). Kalus dan Clsude Guillot membandingkan nisan bertakik itu dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode yang sama (abad ke-11 M) dari daerah sekeliling Laut Kaspia, yang diubah menjadi jangkar oleh tukang batu. “Kelima nisan Leran itu rupanya diambil dari pekuburan aslinya untuk dipakai sebagai tolak bara (pemberat), pada sebuah kapal, sementara salah satunya digunakan sebagai jangkar. Menurut kami, itulah caranya batu-batu itu sampai ke Jawa,” tulis Kalus dan Claude Guillot. Batu-batu itu sampai di Jawa kemungkinan besar antara abad ke-12 dan ke-14 M, karena pelabuhan Leran berhenti berfungsi pada abad ke-14 M. Dan di Nusantara, produksi lokal nisan baru muncul pada abad ke-14 M di Trowulan, tempat yang tidak jauh dari Leran. Kalau demikian, apakah daerah asal batu-batu itu dapat dikenali? Kalus dan Claude Guillot mengakui cukup sulit: “tulisannya bersifat unik meskipun beberapa unsurnya mengarah ke lingkungan Iran; teks inskripsinya mengingatkan pada Mesir namun bukan negeri itu saja; bingkai bersulur gelung menghasilkan kesimpulan yang sama; akhirnya jenis batunya sama sekali tidak mengarah kepada suatu sumber saja.”
Kalus dan Clsude Guillot-pun menyimpulkan “kehadiran Islam di Pulau Jawa tidak dibuktikan oleh nisan-nisan Leran; nisan tersebut terbawa ke sana secara kebetulan saja setelah diangkat dari tempat asalnya dan dipergunakan sebagai jangkar dan tolak bara (pemberat kapal) dalam sebuah kapal asing”. Bahkan, menurut Kalus dan Clau Guillot bahwa “meninjau (baru atau ulang) prasasti kuno yang ada dapat mengguncang berbagai gagasan yang telah diterima sebagai kenyataan. Maka sejarah sebagaimana telah dituli, maka perlu dipertanyakan keabsahannya.”


