Oleh: Burhanuddin Mujtaba

Kita ini aneh. Sedikit-sedikit mengeluh.

Katanya, generasi sekarang ini generasi rebahan. Generasi instan. Generasi yang maunya menuntut, bukan menuruti. Kalau ada kenakalan remaja, kita kompak menuding: “Moralnya ambruk! Kurang didikan!”

Tudingan itu, ternyata, tidak sepenuhnya benar.

Coba kita lihat dua kasus ini. Dua-duanya bikin shock. Jauh, dari Kendal sampai Serang. Tapi intinya sama: ketaatan anak kepada orang tua sudah melebihi batas warranty produk apa pun.

Kisah Kendal itu tragedi tanpa suara.

Dua kakak beradik, 23 dan 19 tahun. Ditemukan lemas. Hampir saja lewat. Kenapa? Mereka puasa ekstrem. Bukan karena diet. Bukan karena ritual. Tapi karena wasiat lisan ibu mereka.

Ibu meninggal. Pesannya singkat: “Jangan merepotkan tetangga.”

Anak-anak ini menafsirkan wasiat itu seperti bug fatal dalam sistem operasi internet. Error 404: Merepotkan.

Melaporkan kematian? Merepotkan. Keluar rumah beli makan? Ini yang paling logis. Entah karena dianggap merepotkan tetangga (jika harus pinjam) atau karena memang tidak ada lagi uang pesangon yang tersisa—tapi intinya, mereka tidak keluar.

Akhirnya, mereka mengunci diri. Jenazah ibu mereka temani di rumah. Hanya minum air putih. Dua puluh delapan hari. Mereka memilih hampir mati karena lapar, demi tidak melanggar perintah ibu. Ketaatan macam apa ini? Ini bukan lagi bakti. Ini sudah over-commitment.

Seperempat Kilo Emas

Kisah kedua, walau tidak se-tragis Kendal, sama-sama menohok. Ini urusan duit, urusan warisan. Jauh lebih complicated karena melibatkan emosi dan pengadilan. Cerita ini saya dapatkan dari seorang mediator bersertifikat. Tugas mediator bersertifikat adalah membantu pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan. Damai secara netral tanpa memaksakan penyelesaian.

Sang mediator sedang menengahi sengketa warisan. Terjadi di Kabupaten Serang. Keputusan hukum sudah jelas: tanah yang tadinya dikuasai anak sulung harus dibagi. Si sulung punya hak bagian. Nilainya? Rp 600 juta. Rp 600 juta itu uang besar. Bukan receh. Kalau dikonversikan ke emas murni sekarang, jumlahnya lebih dari seperempat kilogram (sekitar 260 gram). Itu bukan sekadar perhiasan, itu adalah aset benteng ekonomi keluarga yang mestinya dipegang teguh.

Tapi, istri si sulung—ibu dari anak ini—emosi. Ia merasa hak suaminya direbut. Maka, keluarlah perintah emosional itu: “Jangan kamu terima warisan itu! Itu uang merebut dari bapak kamu! Saya tidak ridho!”

Lihat dilemanya. Anak ini dipaksa memilih. Menerima hak Rp 600 juta berarti melanggar perintah ibu, melukai hati orang tua. Menolak berarti taat, tapi mengorbankan aset ratusan juta yang sah di mata hukum agama dan negara.

Dilema ini seperti perang batin antara hard disk (logika) dan software (emosi ketaatan).

Di tengah kebuntuan, ada usulan Hilah Syar’iyyah—semacam workaround atau rekayasa hukum syar’i—yang diajukan kepada mediator. Simulasinya begini: Uang hak waris Rp 600 juta itu tidak diserahkan langsung kepada anak. Pihak yang wajib membayar (saudara-saudara lain) akan menyalurkannya ke lembaga amil atau yayasan tertentu. Setelah dana itu menjadi milik lembaga, barulah lembaga tersebut melakukan Hibah (pemberian sukarela) kepada keluarga si sulung.

Rencana ini masih dalam tahap pengkajian mendalam oleh mediator. Upaya terakhir untuk menyelamatkan hak anak. Tanpa melukai ketaatannya.

Ini menunjukkan betapa kuatnya tali ketaatan itu. Anak-anak ini, yang kita tuding nakal, ternyata begitu patuh. Mereka rela mengorbankan nyawa, dan hampir mengorbankan aset besar, hanya demi menjaga marwah (harga diri) atau menunaikan wasiat lisan orang tua.

Ekstremisme Ketaatan

Apakah anak-anak ini salah? Ajaran Birrul Walidain itu perintah Allah. Mungkin masalahnya ada pada ekstremisme ketaatan yang tidak dibarengi dengan ilmu dan nalar.

Dalam ilmu Islam, ada yang namanya Maqashid Syariah (Tujuan Hukum). Di papan peringkat teratas, ada Hifzh An-Nafs (Menjaga Nyawa). Kewajiban menjaga nyawa sendiri, untuk makan, untuk selamat, itu lebih tinggi daripada semua ketaatan lain yang bersifat duniawi.

Jika perintah orang tua menyuruh anak merusak dirinya (seperti tidak makan hingga mati), anak wajib menolak.

Di Kendal, ketaatan anak kepada pesan lisan ibu telah mengalahkan Hifzh An-Nafs. Di Serang, ketaatan anak kepada emosi ibu hampir mengalahkan Hifzhul Maal (menjaga harta yang sah).

Inilah koreksi besar yang harus kita lakukan dalam pendidikan agama dan keluarga. Kita sudah bagus mengajarkan anak untuk taat, tapi kita lupa mengajarkan mereka batas-batas ketaatan dan hierarki hukum.

Anak-anak bukanlah malaikat tanpa nalar. Mereka dituntut menjadi mukallaf (orang yang dibebani hukum), dan menjadi mukallaf berarti harus mampu membedakan mana yang wajib didahulukan, mana yang boleh dikesampingkan.

Kita, sebagai orang tua dan pendidik, sering kali membuat pemahaman agama menjadi hitam-putih saja. Taat berarti mutlak. Padahal, dunia ini penuh warna abu-abu. Dunia ini penuh prioritas.

 

Tanggung Jawab Lidah

Kasus-kasus ini harus menjadi lonceng peringatan bagi kita semua. Solusi tidak cukup hanya mengajarkan anak untuk “melawan” jika perintah orang tua melanggar syariat. Itu terlalu kasar.

Solusi harus dimulai dari hulu, yaitu Orang Tua.

Pesan “jangan merepotkan” di Kendal, atau perintah emosional di Serang, adalah pemicu utama. Kedua perintah itu dikeluarkan dalam keadaan emosi, panik, dan tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi jiwa anak.

Maka, sudah saatnya kita sadar. Ketaatan anak adalah aset. Jangan sampai ketulusan anak kita, yang kita banggakan itu, justru menjadi bumerang.

Kita yang dewasa ini harus lebih berhati-hati. Jangan mudah melepaskan perintah emosi hanya karena sedang panik atau marah.

Sebab, begini. Anak-anak kita ini, mereka sudah di-setting untuk berbakti. Mereka sudah default patuh. Kalau Anda, dengan emosi, mengucapkan perintah yang ngawur, jangan kaget. Karena di ujung sana, ada anak Anda yang saking tulusnya, ia siap mengorbankan logika, hak warisan Rp 600 juta, bahkan nyawanya selama 28 hari—hanya untuk menjaga kehormatan sepatah kata yang kita lontarkan saat sedang kalut. Tanggung jawab itu ada di lidah kita.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *