Oleh: Rohman

(Direktur Laboratorium Bantenologi dan Sekretaris ICMI Orwil Banten)

Dua situs penting di Banten, Keraton Kaibon dan Masjid Kenari, sedang menghadapi tantangan yang semakin mendesak. Keduanya bukan sekadar tinggalan masa lalu, tetapi simpul identitas, sejarah, dan spiritualitas masyarakat Banten. Dalam lanskap budaya kita yang terus berubah, pelestarian warisan ini memerlukan strategi baru yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebijakan publik. Namun hingga kini, kedua situs itu masih berada dalam situasi yang memprihatinkan, belum masuk dalam Register Nasional Cagar Budaya, dan sebagian besar narasinya masih terjebak dalam pembacaan kolonial yang membatasi pemahaman kita terhadap kedalaman sejarahnya.

Keraton Kaibon adalah simbol penting fase akhir Kesultanan Banten. Di balik reruntuhan dinding bata-karang, pintu bentar, dan candi kurungnya, tersimpan kisah tragis kehancuran politik akibat kolonialisme Belanda pada 1832. Narasi yang kerap diulang berasal dari laporan-laporan kolonial, misalnya dalam Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1932, yang menggambarkan Kaibon secara simplistis sebagai “pembangunan yang tak selesai karena kekurangan dana”. Padahal, perspektif kolonial seperti ini mengaburkan fakta bahwa Kaibon dihancurkan secara sengaja sebagai bagian dari proyek penaklukan politik atas sebuah kerajaan Islam maritim yang berpengaruh di Asia Tenggara. Narasi itulah yang perlu dikoreksi, dan itulah salah satu urgensi pelestarian yang berbasis perspektif baru.

Dari sisi arsitektur, Kaibon menghadirkan perpaduan yang khas antara tradisi Jawa-Hindu-Buddha dengan arsitektur Islam pesisir. Struktur hirarkisnya, jaba, jaba tengah, hingga dalem, mencerminkan kosmologi kekuasaan yang sudah berkembang jauh sebelum periode kolonial. Lebih dari itu, Kaibon terhubung dengan figur Ratu Asyiah, sosok perempuan bangsawan yang memiliki tempat penting dalam memori kolektif masyarakat Banten. Kehancuran Kaibon bukan sekadar runtuhnya bangunan, tetapi runtuhnya simbol keteguhan masyarakat dalam menghadapi kolonialisme.

Namun kondisi fisiknya kini makin rentan. Banjir tahunan Sungai Ci Banten menggerus fondasi, sementara rendahnya kesadaran publik membuat situs sering digunakan untuk aktivitas yang tidak sesuai. Kaibon membutuhkan konservasi teknis, mulai dari stabilisasi struktur, pembangunan drainase, hingga sistem pengelolaan risiko bencana. Tanpa langkah cepat, sisa-sisa kejayaan itu akan hilang dalam hitungan dekade.

Di sisi lain, Masjid Kenari menawarkan narasi berbeda. Ia bukan reruntuhan, tetapi living monument yang terus digunakan masyarakat sejak abad ke-17. Dibangun pada masa Sultan Abu’l Mafakhir, seorang penguasa yang dikenal sebagai Raja Sufi, masjid ini menyimpan jejak penting hubungan Banten dengan jaringan Islam internasional. Adanya nisan Batu Aceh memperlihatkan koneksi dagang dan intelektual Banten dalam jaringan Samudera Hindia. Struktur masjid yang sederhana dengan elemen arsitektur Jawa-Islam mempertegas akulturasi budaya lokal dan Islam global.

Masjid Kenari menghadapi tantangan khas situs hidup: renovasi yang tidak terarah, modernisasi yang berpotensi menghapus unsur asli, serta risiko kerusakan kompleks makam. Tanpa pedoman konservasi yang jelas, wajah asli masjid dapat hilang tanpa kita sadari. Padahal, jika ditata secara tepat, masjid ini dapat menjadi pusat edukasi sejarah Islam Banten sekaligus simpul wisata religi yang memperkuat identitas masyarakat.

Kedua situs tersebut membutuhkan strategi pelestarian yang terpadu. Pendekatan berbasis konservasi teknis saja tidak cukup. Kita membutuhkan tiga hal: pelibatan masyarakat, integrasi pendidikan, dan penguatan ekonomi kreatif. Pembentukan kelompok penjaga warisan budaya berbasis komunitas adalah langkah krusial untuk menjaga kebersihan, keamanan, dan keberlanjutan narasi situs. Masyarakat harus dilibatkan bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai aktor utama, baik lewat pengawasan, dokumentasi, maupun wisata budaya berbasis komunitas.

Integrasi edukatif juga tidak kalah penting. Kaibon dan Masjid Kenari harus menjadi laboratorium terbuka bagi sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Papan informasi sejarah, peta digital, tur virtual, hingga pemanfaatan teknologi seperti fotogrametri atau 3D scanning dapat membantu publik mengenal situs ini secara lebih mendalam.

Dari sisi ekonomi kreatif, pelestarian tidak boleh berhenti pada konservasi fisik. Narasi budaya harus dihubungkan dengan kerajinan, kuliner, batik, dan paket wisata yang memberi manfaat bagi warga sekitar. Jika ekonomi lokal tumbuh dari keberlanjutan situs budaya, maka masyarakat akan merasa memiliki dan berkeinginan menjaga.

Akhirnya, kunci utama terletak pada kebijakan. Pemerintah daerah dan pusat harus mempercepat proses registrasi Kaibon dan Masjid Kenari sebagai Cagar Budaya Nasional, menyediakan pendanaan berkelanjutan, dan menyiapkan tata ruang kawasan Banten Lama sebagai heritage district. Pelestarian bukan hanya proyek teknis, tetapi keputusan politik: apakah kita membiarkan warisan leluhur hilang perlahan, atau kita menegaskan bahwa sejarah Banten adalah bagian integral dari peradaban Indonesia yang harus dijaga.

Kaibon dan Masjid Kenari bukan sekadar situs. Mereka adalah cermin jati diri. Yang kita pertaruhkan bukan hanya bangunan, tetapi memori, identitas, dan legitimasi sejarah kita sebagai masyarakat Banten. Saatnya kita bergerak bersama sebelum warisan itu benar-benar hilang.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *