Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, pasca militer Iran meluluh-lantakan Isrerl, akhirnya memuji serangan rudal Iran pada hari Selasa (24/6/2025), termasuk serangan yang mematikan di Ibukota Israel. Hal itu dianggap sebagai kemenangan strategis bagi perlawanan dan balasan atas pihak Israel sendiri, yakni yang lebih duluan menyerang negara Iran. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran menegaskan serangan Iran baru-baru ini menunjukkan keberanian angkatan bersenjata Republik Islam Iran dan kemampuan mereka untuk mencegah dan menanggapi dengan tegas. Dewan tersebut mencatat pangkalan Amerika dan Israel, dari Asia Barat hingga jauh di dalam wilayah pendudukan, telah menjadi target potensial untuk serangan di masa mendatang.

Pernyataan tersebut, dikeluarkan setelah pengumuman gencatan senjata sepihak oleh Donal Trum, dan tanggapan dari Dewan Tertinggi Iran itu, dilakukan di bawah arahan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dewan tersebut menambahkan, “Tanggapan militer Iran merupakan pukulan menyakitkan bagi musuh dan sekaligus menunjukkan bahwa kewaspadaan dan persatuan rakyat Iran untuk menggagalkan rencana musuh dan mengubah ancaman menjadi peluang yang menguntungkan perlawanan.”

Bahkan, serangan balasan Iran sejak beberapa hari yang lalu telah menyebabkan kerugian besar bagi Israel. Menurut laporan harian ekonomi “The Marker”, nilai kerugian langsung yang dialami Israel telah melampaui 5 miliar shekel, setara dengan sekitar USD1,3 miliar (Rp21,2 triliun). Bahkan, pada hari Selasa, 24 Juni 2025, laporan tersebut juga mencatat bahwa pemerintah Israel telah menghabiskan miliaran dolar untuk membiayai operasi militernya terhadap Iran. Biaya itu mencakup serangan udara ke berbagai fasilitas Iran, serta sistem pertahanan udara untuk menghadapi rentetan rudal dan pesawat nirawak yang diluncurkan Iran ke wilayahnya. Namun, konflik dengan Iran bukan satu-satunya beban finansial bagi Tel Aviv, karena perang berkepanjangan di Gaza sejak tahun 2023 juga disebut telah menghabiskan anggaran Israel hingga 2,5 miliar shekel atau sekitar USD650 juta. Sedangkan serangan Israel ke Iran dimulai pada tanggal 13 Juni 2025, menargetkan sejumlah tokoh penting, termasuk komandan militer dan ilmuwan nuklir Iran. Namun, beberapa warga sipil juga akhirnya menjadi korban dalam serangan tersebut. Sebagai balasannya, akhirnya Iran membombardir Tel Aviv dengan rentetan rudal, memicu eskalasi yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda hingga saat ini.

Dampak ekonomi tidak hanya terlihat dari sisi anggaran militer. Serangan rudal Iran dilaporkan mengganggu distribusi bahan bakar dan energi di berbagai wilayah Israel. Salah satu serangan yang akhirnya menghantam gedung Bursa Efek Tel Aviv, memicu kekacauan di pasar modal domestik. Sejumlah ekonom Israel kini khawatir bahwa perang berkepanjangan ini dapat membawa perekonomian nasional ke ambang kehancuran total, jika tidak segera dihentikan.

II. Damai Versi Trump : Bom, Bakar, Bungkam, Beres

Ketika Donald Trump menyebut bahwa serangan terhadap tiga situs nuklir di Iran beberapa minggu yang lalu, hal itu sebagai “misi damai”. Akhirnya,
dunia-pun terperangah, bahkan rasa sinis-pun menggema dari segala penjuru dunia. Sejak kapan ya…!! bahwa ledakan bom dianggap pesan kasih? Ataukah di era politik modern ini, bom telah menjelma menjadi diplomat berjubah api, dan “perdamaian” hanya bisa dicapai lewat deru rudal? Pernyataan Donald Trump itu, kerapksli mengklaim bahwa serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran itu adalah demi “tujuan damai”. Dan hal itu bagaikan sebuah penggalan puisi distopia. Dimana logika dibengkokkan, dan moralitas dipermak hingga absurd. Lalu, sejak kapan pula menghancurkan infrastruktur vital milik negara Iran yang berdaulat itu, di waktu tengah malam bisa dibungkus dengan kata “damai”? Nampaknya, Donal Trum kembali memainkan kartu lama dengan wajah baru, wajah oranye legendaris yang entah belajar diplomasi dari drama TV atau “game Call of Duty”. Karena, retorikanya selalu sama: mereka membom demi mencegah konflik. Mereka menghancurkan agar tidak hancur. Mereka menyerang agar damai. Ironis? Tapi, ironi itulah mungkin bagian dari mata uang utama dalam diplomasi kekerasan modern. Trump, dalam pidatonya yang disiarkan langsung oleh berbagai media, menyebut serangan itu sebagai “tekanan damai yang tegas”. Narasi seperti itu seolah lahir dari biro periklanan yang terlalu lama menghirup napas propaganda. Membom Fordow situs nuklir strategis yang berada di jantung pertahanan Iran itu bukan saja tindakan provokatif, tapi juga penghinaan terhadap nalar publik internasional. Lantas, apakah Iran akan diam? Tidak, karena Iran bukan pelanduk yang sabar menanti giliran dipotong. Malah tak lama kemudia Iran-pun membombardir Israel, sekaligus sebagai respons dengan cara yang sama, yakni seperti apa yang telah dilakukan Israel, ketika melakukan pengeboman fasilitas nuklir Iran. Presiden Iran menegaskan, “kami akan segera melakukan balasan yang setimpal, yakni sebagaimana yang telah dilakukan oleh Israel untuk menghancurkan negara kami”. Kata-kata, dan tindakan tegas dan terukur dari Presiden Iran itu, bukan kata-kata yang keluar dari mulut politisi kampus, melainkan dari negara dengan sejarah perlawanan panjang terhadap hegemoni Barat.

Di sinilah absurditas global terpantul : dua negara dengan ego sekeras uranium yang diperkaya, bermain-main di tepi jurang, lalu menuduh satu sama lain sebagai penebar api. AS menyebut Iran ancaman bagi perdamaian dunia. Iran menyebut AS provokator utama Timur Tengah. Siapa yang benar? Mungkin bukan soal benar, tapi soal siapa yang paling dulu menyulut bensin. Dan jangan lupa ini bukan hanya soal AS dan Iran. Israel berada dalam sorotan karena seringkali menghancurkan negara Palestina. Maka lengkaplah panggung kekacauan: AS membombardir Iran, Israel menggempur Lebanon, mengobrak-abrik Palestina, dan dunia-pun terkesan terus menonton sambil menggigit jari atau menulis thread Twitter. Ada yang bilang, inilah babak baru Perang Dunia Parsial. Perang yang tak dideklarasikan, tapi dirayakan lewat breaking news dan siaran langsung. Perang yang tak memanggil tentara ke parit, tapi memanggil algoritma ke layar ponsel. Dunia berubah: perang kini disajikan dengan komentar real-time dan emoji marah. Trump tahu itu, maka ia memoles serangan ini dengan kata “sukses”. Sebuah istilah bisnis yang absurd jika digunakan untuk menjelaskan jatuhnya korban, kehancuran struktur, dan runtuhnya harapan pada diplomasi. Tapi begitulah Trump: menghitung skor dari serangan rudal seperti menghitung margin keuntungan dari hotel-hotel miliknya.
Pertanyaannya kini: bagaimana reaksi dunia? PBB bungkam, Uni Eropa limbung, dan NATO seperti sedang memesan kopi ketiga sebelum memberikan komentar. Dunia internasional seolah-olsh lumpuh oleh beban sejarah dan kalkulasi kepentingan. Siapa berani mengecam terang-terangan jika risiko embargo dan tekanan ekonomi mengintai? Dalam situasi pusaran itu, akhirnya rakyatlah yang menjadi puing.

Anak-anak yang tak mengerti geopolitik, wanita yang tak peduli pada negosiasi nuklir, dan lelaki tua yang hanya ingin hidup tenang di sisa usia mereka semua menjadi angka statistik, korban dari “perdamaian gaya Trump”.

Betapa konyolnya dunia saat ini, yakni ketika petir dianggap pelukan, dan ketika ledakan dianggap pelantun perdamaian. Ketika retorika menjadi senjata, dan propaganda diperlakukan lebih suci dari naskah suci. Ironi ini memang begitu menyayat: dunia tidak sedang menuju damai, tapi sedang dipaksa masuk ke bentuk damai versi tirani damai yang tercapai jika lawan sudah binasa, jika semua perlawanan sudah lenyap, jika suara-suara kritis sudah dibungkam, dan hanya satu suara yang boleh terdengar: suara pemenang yang mengaku pahlawan, padahal tangan mereka berlumur abu dan darah.
Trump mungkin menyebut ini “pesan damai”, tapi dunia tak bodoh. Dunia tahu bau mesiu lebih tajam dari kata-kata manis. Dan dunia sedang mencatat, bahwa dalam kamus kekuasaan, ‘damai’ bisa berarti apapun asal menguntungkan yang punya senjata.

Catatan Kritis :
Ketika propaganda politik bertabrakan dengan kenyataan, yang hancur bukan hanya gedung reaktor, tapi juga akal sehat. Kita hidup dimasa ketika narasi lebih kuat dari fakta, dan seorang pemimpin bisa mengubah agresi menjadi diplomasi dengan satu kalimat retoris. Ini bukan zaman keemasan peradaban, tapi saat ini zaman keemasan kebohongan yang disulap jadi legitimasi. Dan kita semua terpaksa harus terus penonton opera dunia atau pentas panggung sandiwara dunia yang terjadi saat ini yang penuh ironi dan memilukan.

III. Hubungan Iran-Israel Sebelum Dan Sesudah Berdiri Republik Islam Iran

Perseteruan antara Iran dan Israel semakin memanas. Bahkan pemicunya, diawali dari ledakan pada kantor kedutaan besar Iran di Damaskus, Suriah pada tanggal 1 April 2024, yang diklaim dilakukan oleh pihak Israel. Konflik berlanjut hingga hari ini, yakni hingga saling membombardir diantara kedua negara itu (Iran VS Israel). Sementara akar perseteruan Iran-Israel, memang bermula pada tahun 1979, ketika Republik Islam Iran diproklamirkan Ayatullah Ruhullah Khomeini, yaitu melalui Revolusi Islam Iran. Sementara aktor Intelektual revolusi itu adalah pemikir Islam ‘kiri’, Ali Syari’ati.

Namun, sebelum Republik Islam Iran berdiri, Iran-Israel, saat itu mereka pernah menjalin hubungan yang sangat mesra. Bahkan hubungan saat itu saling saling menguntungkan diantara kedua belah pihak, terumanya soal minyak. Iran ingin minyaknya di ekspor ke Israel bahkan ke Eropa, pada saat yang sama, Israel juga memang perlu sumber daya alam Iran. Oleh karena itu, pada sub judul tulisan kali ini, penulis mencoba merangkum dari berbagai sumber terkait, terutama dari hasil studi dari Marta Furlan, yaitu seorang doktor di Sekolah Hubungan Internasional Universitas St. Andrews, Inggris. Marta Fulan, ia menulis hasil studi ilmiahnya itu berjudul “Israeli-Iranian relation: past friendship, current hostility (2022)”. Bahkan di karya ilmianya itu, Marta Fulan banyak juga mengutip dari (Harian Britannica).

A. Mohammad Reza Shah Pahlavi

Menurut Mara Fulan, bahwa Mohammad Reza Shah Pahlavi (1919-1980) ia adalah anak dari pendiri rezim Pahlavi di Iran, yaitu Reza Shah. Sementara ayah Mohammad Reza yang berlatar militer itu menjadi raja di Iran pada tahun 1925. Sedangkan Mohammad Reza sendiri, ia merupakan anak yang tertua, ia mengenyam pendidikan di Switzerland. Dan akhirnya Mohammad Reza kembali ke Iran pada tahun 1935. Sedangksn pada tahun 1941, pihak Uni Soviet dan Britania Raya (Inggeris) mereka khawatir raja Iran yang sedang berkuasa bersekutu dengan Nazi di Jerman yang akibatnya akan meloloskan raja dari pengawasan kedua negara itu dan memaksanya ke pengasingan. Sementata pada tahun yang sama, Mohammad Reza Shah Pahlavi, saat itu ia menggantikan ayahnya, yakni sebagai raja Iran, dan Reza Shah Pahlavi memimpin Iran mulai tahun 1941 hingga tahun 1979.

Sedangkan pada tahun 1948, melalui doktrin Ben Gurion, saat itu berdirilah negara Israel di Palestina, yang pendirian ini mendapat serangan dari berbagai negara Arab yang berkomitmen untuk kehancuran negara Yahudi itu. Namun, kerja sama saat itu terus dijalin oleh pihak Israel, baik dengan negara-negara Arab maupun negara non-Arab. Dan diantara negara-negara yang dijalin kerja sama yang sangat erat itu adalah dengan negara Iran. Menurut Marta Furlan, hal itu karena adanya tumpang-tindih kepentingan antara Iran-Israel ketika itu.

Sementara David Ben Gurion, yakni sang Perdana Menteri Israel yang pertama saay itu, ia mengatakan di hadapan Kenisah (perhimpunan) pada bulan Oktober tahun 1960, hal itu juga sebagaimana dikutip oleh Marta Furlan dari Harian Beritania Raya : “Pertemanan ini (antara Israel dan Iran), ada dan stabil, karena ini berdasar pada hubungan saling menguntungkan antara kedua negara dan saling menikmatinya”.

B. Kerja Sama Apa Saja?

Marta Furlan menyebutkan, saat awal berdirinya negara Israel, saat itu Israel kena boikot negara-negara Arab yang merupakan sumber-sumber minyak bumi. Sedangkan, Israel sangat perlu sumber energi untuk perkembangan negaranya yang baru seumur jagung itu. Energi itu akhirnya didapatkan dari Iran. Setali tiga uang, akhirnya Iran juga, yakni di bawah rezin Reza Shah Pahlavi, merasa perlu sumber daya minyaknya terekspor ke Israel. Hubungan dibidang ini terjalin pada 1950-an. Sementara pada tahun 1967-an, Israel meyakinkan Iran untuk bersama-sama membangun pipa Eilat-Ashkelon yang menghubungkan Laut Merah dan Mediterania, yang tidak hanya akan memfasilitasi pembangunan jalur pipa Eilat-Ashkelon sebagai jalur ekspor minyak Iran ke Israel tetapi juga akan memberi Teheran akses ke pasar

minyak Eropa, dan langkah tersebut akhirnya berhasil.

Bahksn, hubungan Iran-Israel semakin mesra dengan kerja sama yang dijalin bukan hanya soal minyak bumi. Pasca-perang 1948, Iran memberi izin wilayahnya untuk menjadi jalur masuk kaum Yahudi yang terusir dari Irak ke Israel. Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, kata Marta Furlan, Teheran memungkinkan Israel menggunakan wilayahnya untuk memperluas dukungan kepada pemberontakan Kurdi di Irak Utara, yang saat itu memang dimaksudkan Mohammad Reza Shah Pahlavi untuk melemahkan Baghdad. Hubungan dengan Israel tersebut dinilai kondusif oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi dan dimanfaatkan untuk memperkokoh posisi Iran di Washington juga sebagai batu loncatan agar Iran menjadi negara modern yang maju secara teknologi.

Kecondongan Mohammad Reza Shah Pahlavi ke Israel ini mengizinkan datangnya para ahli Israel ke Iran sebagai penasihat, instruktur, dan kontraktor Israel di berbagai bidang, tak terkecuali militer dan pertanian. Bahkan didirikan pula sekolah bahasa Ibrani di Teheran saat itu.

Sementsra Ayatullah Ruhullah Khomeini (di Britannica menulis namanya) dengan ejaan Rohullah Khomeini (1902-1989). Lahir di Khomeyn, Iran, Khomeini merupakan keturunan dari para Mullah (pemuka agama). Ketika dia berumur lima bulan, ayahnya dibunuh oleh kaki tangan seorang tuan tanah lokal di sana. Dia lalu hidup dengan ibu dan bibinya, lalu sepeninggal keduanya, dia tinggal bersama kakaknya, Murtaza. Oleh kakaknya itu, Khomeini disekolahkan ke berbagai lembaga pendidikan Islam. Pada 1922, Ayatullah Khomeini bermukim di Qum, yaitu sebuah kota yang menjadi pusat kaum intelektual di Iran. Dia lalu menjadi seorang intelektual yang menonjol di kota itu, hingga pada 1930-an, dia terkenal dengan nama Khomeini, nama tanah kelahirannya.

Ayatullah Khomeini (menurut Britannica), produktif dalam menulis berbagai tema terutama Filsafat Islam, hukum, dan etnik. Oleh karema itu, melalui tulisan-tulisan itulah, dia sekaligus berterus terang atas sikap oposisinya kepada pemimpin Iran saat itu, yakni rezim Mohammad Reza Shah Pahlavi. Khomenei juga mengutarakan “pengaduannya” melalui tulisan-tulisannya atas pengaruh Barat kepada Iran.

Pada 1950, dia masyhur dengan gelar Ayatullah, sebuah gelar kehormatan untuk pemuka agama di Iran waktu itu. Lalu pada 1960-an, dia ditahbiskan sebagai Grand Ayatollah, pemimpin tertinggi keagamaan dalam komunitas Syiah di Iran. Sementara oposisi Khomeini kepada Mohammad Reza Shah Pahlevi, semakin memuncak ketika raja Iran itu memberikan skorsing pada parlemen lalu melakukan modernisasi secara bertubi-tubi di Iran. Britannica menyebutkan, keputusan itu menumbuhkan di antaranya emansipasi bagi perempuan, penghentian pendidikan agama, dan reformasi agraria yang cenderung memihak kaum aristokrat. Dan akhirnya, Khomeini terlibat dalam demonstrasi untuk menentang aturan-aturan tersebut yang menyebabkan pada 1963 dia dipenjara. Setahun dipenjara, dia dipaksa mengasingkan diri. Dia pergi ke Irak. Namun, upayanya untuk menjadi oposisi tak kendur. Karena, Saddam Hussein, pemimpin Irak saat itu mengusir Khomenei. Dia lalu pindah ke Neauple-le-Chateau, sebuah daerah pinggiran di Paris, Prancis pada 1978. Dari sini, gemanya tak terhenti. Karena, rekaman ceramahnya terus memicu demonstrasi besar-besaran di Iran yang mengarah pada penggulingan Mohammad Reza Shah Pahlavi, dan akhirnya Reza Shah Pahlavi tumbang pada tanggal 16 Januari tahun 1979. Sementara pada tanggal 1 Februari 1979, Khomeini tiba di tengah-tengah kemenangan di Iran dan kemudian segera dinobatkan sebagai pemimpin revolusi Iran.

C. Setelah Republik Islam Iran Berdiri

Semangat dari perlawanan Ayatullah Ruhullah Khomeini kepada pemimpin Iran, Mohammad Reza Shah Pahlavi, yaitu komunitas “Khomeinisme”. Bahkan para “Khomeinisme” saat itu terus menggelorakan antisemitisme dan antizionisme. Hal itu berdasar pada tindakan Mohammad Reza Shah Pahlavi yang kemudian menjadi bumerang bagi raja Iran itu.

Marta Furlan menyebutkan, akhirnya Khomeini menjadikan hubungan antara Iran-Israel yang dikembangkan dan dibangun oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi itu, kemudian sebagai kartu trup untuk menggulingkan raja tersebut. Khomenei menjadi pemimpin di Iran pada 1979, dan ia mengganti sistem pemerintahan Iran menjadi Republik Islam Iran.

D. Perang Iran Vs Israel

Pada minggu-minggu pertama revolusi Islam di Iran tersebut, Teheran memutuskan semua hubungan formal dengan Israel dan memulai era baru hubungan Iran-Israel dengan karakter permusuhan yang sengit. Permusuhan itu berlangsung hingga saat ini dan bahkan sudah saling memboardir kembali antar kedua negara itu.

IV. Ali Syari’ati Dan Revolusi Iran

‘’Saya memberontak maka saya ada” (Ali Syariati). Pada tanggal 12 Februari 2014 yang lalu, masyarakat Iran di beberapa kota besar, termasuk Teheran, turun ke jalan memasang spanduk, banner dan meneriakkan yel-yel anti Amerika dan Israel. Ratusan ribu warga turun ke jalan hampir di seluruh Iran untuk memperingati Revolusi Iran yang terjadi 36 tahun lalu. Revolusi besar Iran terjadi pada tahun 1979 yang berujung pada tumbangnya diktator Syah Reza pahlevi yang menjadi boneka Amerika Serikat (AS) dan Israel saat itu. Revolusi Iran sangat penting menjadi pembahasan dan khazanah pergerakan kaum revolusioner. Seorang pemikir Marxis bernama fred Halliday mengatakan bahwa kaum marxis dunia merasa iri dengan revolusi Iran 1979, karena revolusi massal Iran mampu menarik berjuta-juta rakyat Iran turun ke jalan menumbangkan rezim Syah yang sedang berkuasa dengan otoriter. Padahal, secara “revolution en massre”, yaitu revolusi yang benar-benar diledakkan oleh massa seperti Iran itulah, yaitu suatu revolusi yang didorong oleh ide-ide Islam revolusioner, yakni suatu revolusi yang diimpi-impikan oleh Karl Marx dan Engels selama ini. Mengenang Revolusi Iran tentunya tak bisa dilepaskan dari sosok pejuang pemikir Fr. Ali Syari’ati. Walaupun masa hidupnya sangat singkat yakni 43 tahun, tetapi kontribusi Dr. Ali Syariati pada Revolusi Iran sangat besar. Bahkan dia sering dijuluki sebagai salah seorang Ideolog Revolusi Iran. Karena ketajaman tulisan dan pidato-pidatonya yang mempengaruhi sebagian besar murid dan mahasiswanya serta menyebar luas di kalangan kelas menengah. Namun ia harus membayar mahal, karena harus bolak-balik ke penjara oleh rejim Syah Iran dan “konon katanya” dibunuh oleh intelijen rejim Syah Iran, SAVAK.

A. Riwayat Hidup Ali Syariati

Lahir di Mazinan, di pinggiran Kota Masyad, Provinsi Sabvezar, di timur laut Khurasan, Iran. Tepatnya pada tanggal 24 November 1933 dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinanin. Ia adalah putra sulung dari pasangan Sayyid Taqi’ Syariati dan Zahra. Sayyid muhammad Taqi’ Syariati adalah seorang guru spiritual yang disegani di desa tersebut. Pada 1947 dia mendirikan Pusat Penyebaran Kebenaran Islam dan mencetuskan gerakan pengambilalihan semua kilang minyak yang dikelola pihak asing di Iran pada 1950. Itulah kenapa darah pemberontak mengalir dalam diri Ali Syari’ati.
Kecintaan dan penghormatan kepada sang ayah yang menjadi guru sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya dituangkan dalam sebuah tulisan: “Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajariku seni berfikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita-cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakaannya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajar kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang dan harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah tetapi jauh”.

Setelah menyelesaikan sekolah, Ali Syariati masuk sekolah Guru. Pada tahun 1952, Ali Syariati mulai mengajar di Sekolah Menengah Umum sembari kuliah di Universitas Mashdad dan ketemu jodohnya. Adalah Pouran Syariat Razavi, yang kemudian dinikahi oleh Ali Syariati, dan mereka dikaruniai empat anak, yakni Ehsan, Susan, Sara dan Mona. Untuk menyalurkan semangat pergerakannya dia membentuk Persatuan Pelajar Islam yang menyebabkan dia harus ditangkap karena melakukan unjuk rasa menentang kemiskinan. Tahun berikutnya dia mendaftar menjadi anggota Front Nasional.

Lulus kuliah pada tahun 1955, dan dua tahun kemudian, ia kembali ditangkap bersama 16 anggota Gerakan perlawanan nasional lantaran dianggap berbuat makar.
Pada April 1959, Syariati mendapat beasiswa di Universitas Sorbonne, Ibukota Paris, Perancis, karena prestasi akademiknya. Awalnya dia berangkat seorang diri, tetapi setahun kemudian Istri dan anaknya menyusul. Selama di Paris dia berkenalan dengan ide-ide baru dari banyak tokoh intelektual barat, seperti Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque dll. Dari sinilah Ali Syariati mengambil ide-ide tentang kemapanan, kesetaraan, kejujuran dari barat yang kemudian dipadukan dengan nilai-nilai Islam. Pada tahun 1959, setahun setelah dia mendapat gelar mahasiswa terbaik, dia bergabung dengan Barisan Nasional Pembebasan Aljazair. Dan kembali ditangkap di paris pada tahun 1961 saat menghadiri aksi solidaritas terbunuhnya pemimpin pembebasan Kongo, Patrice Lulumba. Ali Syariati kembali ke Iran tahun 1964 setelah menyelesaikan studi strata tiga. Sewaktu tiba di bandara, dia sempat ditahan atas kegiatan politiknya semasa kuliah di perancis. Tetapi beberapa minggu kemudian dibebaskan.
Dengan gaya orasinya yang menggugah semangat serta tema-tema kritis dalam setiap perkuliahan membuat Ali Syariati dicintai mahasiswa dan kalangan kelas menengah. Hal itu membuat ketar-ketir Rejim Syah Iran, sehingga setiap perkuliahan Ali Syariati diawasi oleh dinas rahasia Iran (SAVAK).
Setelah kegiatannya dibatasi sedemikian rupa, Ali Syariati memilih meninggalkan Iran dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian Ali Syariati ditemukan meninggal di Southampton, hal itu sebagaimana menhadi bahan pemberitaan di harian Britania Raya, yakni pada tanggal 19 Juni 1977. Sementara spekulasi yang berkembang saat itu bahwa Ali syariati mati dibunuh oleh agen SAVAK. Jenazahnya dikebumikan di Damaskus, Siria.

B. Pemikiran Sang Raushanfikr

Meski Ali Syariati tidak mengalami jalannya revolusi, akan tetapi sumbangan pemikiran dan perannya sangat menentukan. Bahkan Ali Syariati dikenal sebagai arsitek dan ideolog Revolusi Iran. Ali Syariati terlibat dalam gerakan revolusioner bukanlah tiba-tiba, tetapi jiwa pemberontaknya diwariskan dari sang ayah. Pada usia yang sangat belia, yakni tujuh tahun, Ali Syariati telah bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan dan Pusat Penyebaran Islam yang didirikan oleh ayahnya. Di tahun 1950, dia aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk menasionalisasi industri minyak Iran bersama sang ayah. Keprihatinannya muncul ketika melihat mayoritas masyarakat Iran yang miskin di tengah industri minyak yang begitu berlimpah. Sebagai negara penghasil minyak yang besar, Iran hanya memberikan keuntungannya yang besar kepada dunia barat. Tidak hanya menyedot keuntungan minyak Iran, barat juga mengendalikan ekonomi politik Iran. Sementara rakyat Iran hanyalah menjadi buruh dan kelas pekerja yang miskin dan ditindas. Demikianlah Iran di bawah Syah Reza Pahlevi saat itu; hanya menjadi negara boneka yang dikendalikan oleh Amerika Serikat dan Israel. Ali Syariati sangat menentang perbudakan dan penindasan yang dilakukan atas nama pembangunan monumen-monumen sejarah peradaban yang ditebus dengan kematian dan kuburan para budak atau yang dia sebut dengan mengorbankan darah dan daging nenek moyangku.
Sebagai negara dunia ketiga yang mayoritas penduduknya adalah Islam Syiah, Iran dan negara dunia ketiga lainnya sedang menderita penyakit “westruckness” (mabuk kepayang terhadap Barat dan materialisme syndrom). Kapitalisme yang rakus dan selalu memproduksi dan menjadikan negara dunia ketiga sebagai pasarnya, membentuk sikap konsumerisme di masyarakat. Sikap menghamba pada kebendaan, budaya dan gaya hidup ala barat serta sikap konsumerisme ini pada akhirnya membuat masyarakat menjadi teralienasi (terasing) dari budaya bangsanya sendiri. Padahal, senyatanya gaya hidup modernisme barat tidaklah selamanya mengantarkan kebahagiaan dan ketentraman hidup.

Menghadapi syndrom yang serba kebarat-baratan itu, Ali Syariati ingin membuktikan bahwa Islam tidaklah reaksioner, pasif, dan status quo. Islam justru menggerakkan manusia melawan berhala-berhala peradaban duniawi. Islam adalah revolusioner, yaitu menata perubahan hidup dari sistem jahiliyyah menuju sistem yang berkeadaban dan berkemanusiaan. Islam, menurut Ali Syariati, mempunyai pandangan Tauhid, yakni menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan. selain Tuhan, yang lain hanyalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.

Berikut adalah cuplikan kalimat dalam teologi pembebasan Ali Syariati : “Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas”.
Ali Syariati mendefinisikan bahwa bila merindukan perubahan, maka dibutuhkan “Raushanfikr” (orang-orang yang tercerahkan), yakni individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab untuk membangkitkan karunia Tuhan Yang Mulia, yaitu “kesadaran diri” masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Sosialisme dalam perspektif Ali Syariati adalah paham yang berpihak pada kaum tertindas (mustadzafin) dan meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kelompok tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang yang berada di jalan Tuhan.  Dari sinilah, revolusi Iran mendapatkan insfirasi serta tempat dan mulai, yakni adanya kesadaran untuk perubahan yang lebih baik, keberanian untuk bergerak dan kesadaran kelas terus mulai menggeliat.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *