Oleh Najullah
Pengajar Di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan

Akhir-akhir ini saya punya kebiasaan memanjangkan kuku di salah satu jari, bukan buat gaya, tapi untuk keperluan sehari-hari. Seperti mengganti baterai remote TV, tapi yang paling sering untuk mengambil sisa makanan di sela gigi (selilit). He.. he.. jangan ditiru yah.

Suatu hari, saat saya asyik mengumpulkan tanah untuk menanam cabai di pot, saya melihat kuku saya tampak hitam. Pikiran pertama saya, tentu saja, ada tanah hitam masuk ke sana. Tapi, setelah saya periksa lebih teliti, ternyata isinya sepotong rumput hijau kecil dan kerikil pasir yang warnanya bukan hitam. Ini memicu sebuah perenungan menarik: kenapa semua kotoran di bawah kuku terlihat hitam, padahal aslinya tidak?

Akhirnya, Sayapun menemukan jawabannya: ternyata Saya melihatnya dari sudut pandang atas, dengan telapak tangan tertutup. Ketika telapak tangan dibuka dan saya korek-korek kotorannya sampai keluar, barulah terlihat warna aslinya.

Pengalaman sederhana ini sebenarnya mengandung filosofi yang mendalam tentang bagaimana kita melihat dunia:
Sudut Pandang Menentukan Realitas: Apa yang kita lihat sebagai “hitam” itu adalah hasil dari sudut pandang terbatas. Kegelapan di bawah kuku saat telapak tangan tertutup menyembunyikan warna aslinya. Ini mengajarkan kita bahwa persepsi kita seringkali tidak lengkap atau bias. Apa yang kita yakini sebagai kebenaran bisa jadi hanya sebagian kecil dari gambaran yang lebih besar, atau bahkan salah sama sekali, karena kita melihatnya dari posisi yang terbatas.

Pentingnya Keterbukaan: Tindakan membuka telapak tangan adalah metafora kuat untuk keterbukaan pikiran. Untuk melihat kebenaran sejati, kita perlu membuka diri terhadap informasi baru, mempertanyakan asumsi lama, dan melihat segala sesuatu dari berbagai perspektif. Jika tidak membuka telapak tangan, kita akan terus percaya bahwa kotoran itu hitam.

Jangan Menilai dari Penampilan Luar: Kita awalnya menilai kotoran itu hitam dari penampakannya. Namun, penampilan bisa menipu. Ini adalah pengingat penting agar tidak terburu-buru menghakimi atau membuat kesimpulan berdasarkan apa yang terlihat di permukaan saja. Seringkali ada lebih banyak hal di balik kesan pertama.

Proses Menemukan Kebenaran: Pengalaman dari melihat “hitam” hingga menemukan rumput hijau dan kerikil adalah cerminan dari pencarian kebenaran. Kita seringkali harus menggali lebih dalam, memeriksa dengan lebih saksama, dan bahkan mengubah cara kita melihat sesuatu untuk menemukan apa yang sebenarnya ada di sana.

Filosofi dari “kotoran hitam” di bawah kuku ini memiliki relevansi yang sangat kuat dalam cara kita memandang dan berinteraksi dengan orang lain:

Hindari Penghakiman Cepat: Sama seperti saya yang awalnya mengira kotoran itu hitam, kita seringkali cepat menghakimi orang lain berdasarkan informasi yang terbatas atau penampilan luar. Mungkin seseorang tampak “buruk” atau “negatif” dari sudut pandang kita yang sempit. Kita melihat “hitam” tanpa mengetahui “rumput hijau” atau “kerikil pasir”

Cari Tahu Latar Belakang dan Perspektif: Ketika saya membuka telapak tangan, saya melihat warna asli. Demikian pula, untuk memahami orang lain, kita perlu berusaha “membuka telapak tangan”. Ini berarti berusaha memahami latar belakang mereka, pengalaman hidup yang membentuk mereka, dan perspektif dari mana mereka melihat dunia. Mungkin ada rasa sakit, ketakutan, atau perjuangan yang tersembunyi di balik “kotoran hitam” yang kita lihat.

Berikan Ruang untuk Kesalahan dan Pertumbuhan: Manusia itu kompleks dan dinamis. Sama seperti kotoran yang bukan hanya satu warna, karakter seseorang juga bukan hitam atau putih mutlak. Memberikan ruang bagi orang lain untuk berbuat salah, belajar, dan tumbuh adalah bagian penting dari pemahaman ini. Kita perlu menyadari bahwa persepsi awal kita bisa jadi tidak lengkap, dan setiap orang memiliki kapasitas untuk berubah dan mengungkapkan sisi lain dari diri mereka.

Empati dan Rasa Ingin Tahu: Filosofi ini mendorong kita untuk mengembangkan empati dan rasa ingin tahu terhadap sesama. Daripada langsung melabeli seseorang, cobalah bertanya: “Apa yang membuat mereka bertindak seperti itu?” atau “Dari sudut pandang mana mereka melihat situasi ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini membuka jalan menuju pemahaman yang lebih dalam.

Pada akhirnya, pengalaman ini -kuku dan kotoran- mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga: bahwa kebenaran seringkali lebih bernuansa dan beragam daripada yang terlihat pertama kali, baik itu tentang sebuah objek fisik maupun tentang seorang individu. Dengan menerapkan keterbukaan dan keinginan untuk melihat melampaui apa yang nampak di permukaan, kita bisa membangun pemahaman yang lebih kaya dan hubungan yang lebih baik dengan orang-orang di sekitar kita.
Baik, saya sudahi sampai di sini, mudah-mudahan kita menjadi orang yang rajin memotong kuku agar tidak selalu membuat persepsi hitam terhadap kotoran.

Graha Rinjani-Walantaka 6 Muharram 1446 H./2 Juli 2025 M

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *