Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik

Pada awal pekan kedua bulan Juli ini, kita diriuhkan oleh aksi unjukrasa masyarakat di berbagai tempat. Mereka yang melakukan aksi, merupakan para orangtua calon murid yang merasa kecewa karena anaknya tidak diterima di sekolah negeri.

Unjukrasa tersebut, ada yang dilakukan di depan sekolah, juga digelar di kantor pemerintahan yang membidangi pendidikan. Dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

Proses pendaftaran murid baru, telah diatur dalam sebuah petunjuk teknis yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI. Juknis itu bernama SPMB atau Sistem Pendaftaran Murid Baru. Sebelumnya bernama PPDB atau Pendaftaran Peserta Didik Baru.

Baik PPDB maupun SPMB keduanya sudah bagus. Bahkan SPMB lebih bagus. Dalam SPMB, ada kolaborasi antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Sebelumnya dalam PPDB, sekolah swasta sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pendaftaran calon murid.

Dalam SPMB, sekolah swasta disertakan sebagai sekolah pilihan alternatif, manakala seorang calon murid yang mendaftar di sekolah negeri, tidak bisa diterima karena tidak lulus, tersebab tidak mencukupi syarat.

Bagi mereka yang dinyatakan tidak diterima tersebut, panitia setempat berkewajiban mengarahkan kepada calon murid untuk melanjutkan proses pendaftaran ke sekolah swasta yang berada di sekitar di mana sekolah negeri itu berada.

Dengan mekanisme seperti ini, maka secara tidak langsung, model SPMB ini membantu sekolah swasta dalam rangka mendapatkan calon murid baru. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi sekolah swasta yang minim pendaftar atau sama sekali tidak ada yang mendaftar.

Dalam SPMB, terdapat rincian kategorisasi calon murid yang bisa diterima sebagai murid di sekolah negeri itu. Kategorisasi itu adalah jalur domisili, jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur mutasi.

Jalur domisili diperuntukkan bagi calon murid yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya, dengan prinsip mendekatkan domisili murid dengan satuan pendidikan.

Jalur afirmasi diperuntukkan bagi calon murid yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan calon murid penyandang disabilitas.

Jalur prestasi diperuntukkan bagi calon murid yang memiliki prestasi di bidang akademik (sains, teknologi, riset, inovasi, atau bidang akademik lainnya) dan/atau non akademik (seni, budaya, bahasa, olahraga, atau bidang non akademik lainnya).

Sementara jalur mutasi diperuntukkan bagi calon murid yang berpindah domisili karena perpindahan tugas dari orang tua atau wali dan anak guru yang merupakan calon murid pada satuan pendidikan tempat orang tua mengajar.

Tiap jalur ditetapkan jumlah kuota atau prosentasenya. Contoh untuk tingkat SMA. Masing-masing jalur paling sedikit 30%. Kecuali untuk jalur mutasi paling banyak 5%. Jadi, seluruh pendaftar akan dimasukkan ke dalam salah satu jalur tersebut.

Ketentuan lainnya, untuk calon murid baru di satuan pendidikan SMA Negeri, jumlah kuotanya dibatasi. Terdiri dari 12 rombongan belajar, dan tiap rombongan belajar terdiri dari maksimal 36 murid. Itu artinya, satu sekolah negeri bisa menampung 432 murid.

Lebih dari itu, tidak bisa dipaksakan untuk tetap diterima. Satuan pendidikan bersangkutan tidak boleh menambah jumlah murid dengan cara menambah rombongan belajar dan atau menaikkan batas jumlah maksimal murid dalam tiap kelas.

Seluruh pendaftar dimasukkan pada salah satu jalur dari 4 jalur yang ada. Karena keragaman kondisi calon murid, maka memungkinkan pada jalur tertentu pendaftarnya sangat banyak dan melebihi kapasitas. Sebaliknya, pada jalur lain minim pendaftar.

Misalnya, jalur domisili telah ditetapkan sebanyak paling sedikit 30%. Namun pendaftar di jalur ini sangat banyak. Maka, mereka yang sama-sama masuk dalam kategori jalur ini, mesti “bersaing”. Akibatnya, pada saat pengumuman hasil seleksi, ada yang tidak lolos.

Sementara pada saat yang sama, pada jalur lain, misalnya jalur afirmasi atau mutasi, jumlah pendaftar sedikit dan karenanya belum memenuhi kuota. Bisa dipastikan, calon murid yang mendaftar pada jalur yang kuotanya belum terpenuhi bisa langsung lolos.

Ketika pengumuman hasil seleksi itu dilakukan secara serentak, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima sebagai murid di sekolah negeri. Mereka yang tidak diterima ini kemudian diarahkan untuk melanjutkan pendaftaran di sekolah swasta sesuai dengan pilihannya.

Saat calon murid mendaftar di sekolah swasta yang dituju, sekolah negeri melakukan “penyesuaian” untuk memenuhi keterpenuhan kuota. Karena masih ada “kursi kosong” di jalur lain, maka calon murid yang sudah kadung diumumkan tidak bisa diterima di jalur tertentu, dan sudah mendaftar di sekolah swasta, “dipanggil” kembali dan dinyatakan diterima lewat jalur lain itu.

Mekanisme dalam SPMB yang mengatur demikian, bisa merugikan dan membuat sekolah swasta kecewa. Di tengah minimnya calon murid pendaftar ke sekolah swasta, calon murid yang sudah “sempat” terdaftar saja, mesti kembali ke sekolah negeri.

Saat Penulis menyampaikan perihal ini dalam sebuah forum yang dihadiri oleh para kepala sekolah swasta, pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Banten, serta Anggota DPRD Provinsi Banten, seorang kepala sekolah menimpali “sakitnya tuh sampai disini” sembari menyentuh dadanya.

Peluang untuk diterima di sekolah negeri dengan cara pindah jalur itu, secara logika saja tidak bisa diterima. Misalnya, sangat jelas bahwa sejak awal pendaftar masuk kategori jalur domisili. Lalu dinyatakan tidak lulus. Tetapi bisa diterima lewat jalur lain. Misalnya jalur prestasi.

Bukankah calon murid itu sejak awal sudah diketahui prestasinya dan karenanya dia tidak bisa diterima di jalur prestasi? Atau ketika tidak bisa diterima lewat jalur domisili namun bisa masuk lewat jalur afirmasi, padahal calon murid bersangkutan tidak miskin dan atau bukan penyandang disabilitas.

Kuota yang masih kosong pada jalur tertentu ini juga yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memasukkan nama-nama calon murid lain di luar nama-nama pendaftar yang sudah memenuhi syarat secara administrasi.

Praktik yang kemudian dikenal dengan istilah titip menitip ini juga mewarnai proses SPMB tahun ini. Ironinya, kalangan yang melakukan praktik curang ini justru merupakan orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mengawasi ketidakberesan tersebut.

Adanya surat “permohonan” dari salah satu wakil rakyat tingkat provinsi kepada pihak sekolah negeri dengan stempel basah institusinya, semakin mencoreng proses SPMB tahun ini. Semoga menjadi pembelajaran bagi semua, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Wallahualam.
*

Tangerang, Rabu, 9 Juli 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Banten, Ketua FORDISKA LIBAS, Sekretaris Umum Asosiasi Kepala SMA Swasta Provinsi Banten, Sekretaris II MKKS SMA Kabupaten Tangerang

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *