Ocit Abdurrosyid Siddiq
Hari ini saya mendapat kabar duka. Prof. Tihami wafat. Almarhum merupakan seorang budayawan Banten yang pernah menjabat Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Semoga almarhum husnul khotimah dan keluarga diberikan ketabahan dan kesabaran. Aamiin.
Saya mengenal almarhum ketika kami kerap bertemu dalam acara kebudayaan. Saya mengenalnya sebagai sosok yang cerdas dan moderat. Setiap kali menyampaikan gagasan, disajikan dengan asyik dengan struktur kalimat yang tersusun rapi dan sistematis.
Yang membuat saya salut kepadanya, ketika untuk pertama kalinya kami bertemu dan masing-masing menyampaikan gagasan, pas giliran saya berpendapat, beliau mau dan berkenan menyimak dengan serius. Berselang beberapa bulan pada pertemuan berikutnya, tanpa saya duga beliau langsung mengingat nama saya.
Suatu waktu, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten menggelar bedah buku tentang Urang Banten. Kegiatan yang digelar pada Kamis, 8 Mei 2025 bertempat di aula Fakultas Adab dan Ushuluddin ini, menghadirkan 2 orang narasumber. Pertama Prof. Tihami, kedua Prof. Stephane LaCroix, peneliti dari Prancis.
Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan para pakar dalam bidang masing-masing. Ada yang menyoroti tentang Kesultanan Banten, Baduy dan Tantangannya, Lukisan Geografi Urang Banten, Jawara Magi dan Debus, Tasawuf Urang Banten, Bahasa Jawa dan Sunda Dialek Banten, hingga Peran Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah.
Dalam sesi tanya jawab, sebagai peserta biasa saya punya kesempatan untuk bertanya, merespon, dan menanggapi. Tanggapan pertama saya sampaikan kepada Prof. Stephane LaCroix yang saya sapa dengan panggilan “Mang Epen”. Saya sapa demikian karena sepertinya dia itu punya hubungan dengan Urang Sunda.
Mang Epen dalam pemaparannya menggunakan bahasa Indonesia. Menurutnya, dia belajar bahasa Indonesia baru 6 bulan. Makanya, bicaranya belum lancar apalagi fasih. Masih terbata-bata. Di antara kalimat, dia kerap terhenti dan mengatakan “eu”, seolah sedang mencari kata yang tepat.
Nah, saya menanggapi perihal itu. Saya bilang, di dunia ini, huruf vokal itu hanya ada 5, yaitu a, i, u, e, dan o. Kecuali dalam bahasa Sunda, ada 6, tambah eu. Karena Mang Epen sering menyebut eu, secara guyon saya sampaikan bahwa Mang Epen ini punya kaitan dengan orang Sunda. Hadirin terbahak.
Alasan lainnya mengapa saya punya dugaan bahwa Mang Epen punya keterkaitan dengan orang Sunda adalah karena nama aslinya Stephane LaCroix. Bukan Steven sebagaimana lazimnya. Kita tahu bahwa orang Sunda itu tidak biasa melafal huruf f atau v. Huruf f dan v dalam lidah orang Sunda berubah menjadi p.
Tapi biasanya orang Sunda suka gengsi kalau dinamai demikian. Mereka akan menukas bahwa “Siapa bilang orang Sunda tidak bisa mengucapkan hurup ep atau pi. Itu mah pitnah!”. Hadirin kembali tergelak. Pengantar yang saya coba ramu dalam suasana santai namun tetap serius.
Dalam pemaparannya, Prof. Stephane LaCroix menjelaskan bahwa antara Indonesia dengan Maroko itu ada kesamaan. Utamanya dalam hal sufisme di kalangan Islam. Sufisme di Maroko disebarluaskan oleh 7 orang tokoh agama, yang maqamnya setara dengan Wali Songo di Indonesia.
Bila di Indonesia Wali Songo merupakan orang-orang yang menyebarkan agama Islam pada periode awal Islam masuk ke Indonesia, maka “Wali Pitu” di Maroko lebih menekankan pada ajaran sufisme yang semakin memperkuat Maroko sebagai negara Islam yang maju dalam berbagai aspek.
Ada banyak hal lain yang disampaikan oleh Mang Epen ini dalam pemaparannya. Namun bagi saya yang menarik adalah pada bagian ini. Bahwa sufisme di Maroko yang diajarkan oleh Wali Pitu itu, membuat Maroko menjadi lebih berkembang dan maju dibanding dengan Indonesia, khususnya umat Islamnya.
Mengapa saya tertarik membandingkan sufisme di Indonesia dengan sufisme di Maroko? Karena bisa jadi sufisme yang berkembang di Maroko itu merupakan sufisme substantif. Sufisme yang menerapkan prinsip-prinsip takhalli, tahalli, dan tajalli, namun tetap memposisikan persoalan duniawi sebagai perkara yang penting.
Di Indonesia, sufisme itu terjerat pada organisasi tarekat yang melembaga dan menerapkan aturan rigid seperti adanya mursyid, ijazah, amalan dzikir tertentu yang mesti dilisankan secara berulang hingga jumlah tertentu bahkan mencapai ribuan, hingga ritus lainnya yang sangat menyita waktu, seolah lupa pada urusan krusial duniawi lainnya.
Itulah mengapa ketika saya menyajikan wacana lewat tulisan artikel dengan judul “Tasawuf Yes Tarekat No”, ada banyak pihak khususnya para aktivis tarekat yang menolak wacana itu. “Tasawuf tanpa tarekat itu tidak bersanad. Pelakunya bisa menjadi gila”, demikian salah satu suara penolakan tersebut.
Sayangnya, Mang Epen tidak merespon tanggapan saya karena menurut pengakuannya, dia sebagai akademisi tidak ingin terjebak pada pemodelan Islam yang lebih baik atau lebih maju, apakah Indonesia atau Maroko. Padahal saya bukan fokus pada itu. Fokus saya itu pada “dampak model sufisme terhadap perkembangan kemajuan umat Islam”.
Pertanyaan agak nakal sebetulnya saya sampaikan kepada Prof. Tihami. Disebut nakal itu karena bila dilontarkan di ruang publik akan menuai resistensi. Untung saja pertanyaan itu saya sampaikan di ruang ilmiah, yang bisa direspon secara ilmiah dan tidak baperan.
Anasir nakal itu terbukti. Buktinya, Prof. Tihami langsung merespon pertanyaan saya, padahal saya merupakan penanya terakhir. Lazimnya narasumber akan menyampaikan jawaban secara berurutan, dari penanya pertama kemudian secara berurutan hingga penanya terakhir.
Prof. Tihami memulainya dengan mengatakan, “Pertanyaan dari Kang Ocit ini nyelekit”, tentu disampaikan dalam suasana guyon. Lalu beliau menyampaikan penjelasan dari perspektif antropologi agama, yang detilnya tidak bisa saya sampaikan di sini.
Pertanyaan saya itu adalah, “Tahun 1525, Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking menaklukkan tanah Banten yang waktu itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Saat itu Banten dipimpin oleh pemimpin lokal bernama Pucuk Umun. Karena Pucuk Umun dan pasukannya kalah, mereka menyingkir ke pedalaman Banten”.
“Hasanuddin merupakan putra Sunan Gunung Djati, dari kerajaan Cirebon, yang Islam dan Jawa. Pertanyaannya, apakah sebelum invasi itu di tanah Banten sudah ada Islam? Apakah sebelum invasi itu di tanah Banten sudah ada suku Jawa Banten? Apakah keberadaan suku Jawa Banten di Banten itu bersamaan dengan invasi tersebut?”.
“Bukankah bila demikian, maka dapat disimpulkan bahwa suku Jawa Banten merupakan pendatang di tanah Banten? Bila ketika Hasanudin datang ke Banten dan saat itu Banten sedang dipimpin Pucuk Umun sebagai penguasa lokal bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran, bukankah itu bermakna bahwa suku asli Banten adalah Sunda?”.
Pertanyaan sensitif kan? Hehe. Bagaimana jawaban beliau? Insyaallah akan saya sajikan dalam tulisan berikutnya. Walaupun Prof. Tihami sudah wafat, namun pengetahuannya yang luar biasa sebagian dapat saya warisi. Semoga menjadi jariyah bagi almarhum.
Selamat jalan, Prof. Hari ini, Jumat, bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awwal, engkau dipanggil Tuhan. Saya bersaksi, engkau adalah orang baik. Maka, insyaallah tempat yang layak bagimu adalah surga. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu. Aamiin.
*
Tangerang, Jumat, 5 September 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten





