Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Peradaban adalah tingkat kemajuan suatu masyarakat yang mencakup aspek lahiriah (materiil) dan batiniah (intelektual, budaya), sedangkan keadaban merujuk pada akhlak, sopan santun, dan moralitas yang baik yang membentuk perilaku manusia. Keduanya saling berhubungan; peradaban yang maju harus didukung oleh masyarakat yang berkeadaban agar tidak runtuh dan mampu menciptakan kesejahteraan berkelanjutan.
Sedangkan peradaban, merupakan kemajuan sebuah komunitas, seringkali mencakup perkembangan teknologi, struktur sosial, dan budaya secara keseluruhan. Sementara aspek peradaban meliputi hal-hal konkret dan material, seperti kota-kota megah, sistem tulisan, dan artefak, serta inovasi teknologi. Contohnya, peradaban Mesir Kuno yang dikenal dengan piramida dan sistem hieroglifnya. Sedangkan keadaban, ia merupakan sifat baik budi, sopan santun, dan moralitas yang merupakan aspek batiniah dari peradaban. Sedangkan aspek dari keadaban yaitu berkaitan dengan perilaku individu dan kolektif, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan etika. Contohnya ; Menjaga sopan santun dalam berkomunikasi, bertanggung jawab atas tindakan, dan menghargai perbedaan. Sedangkan hubungan antara peradaban dan keadaban memang saling melengkapi. Karena, keadaban (moralitas) adalah fondasi penting bagi kelangsungan sebuah peradaban. Tanpa keadaban, maka peradaban bisa runtuh meskipun telah mencapai puncak kemajuannya.
Oleh karena itu menurut hemat penulis, bahwa pendidikan sebagai kata kuncinya (termasuk pendidikan di pondok pesantren), karena pendidikan berperan penting dalam membentuk keduanya. Bahkan, melalui pendidikan, manusia dapat memperoleh pengetahuan (peradaban) sekaligus menginternalisasi nilai-nilai moral (keadaban). Contoh praktisnya, bangsa yang maju secara teknologi (peradaban) akan lebih stabil dan sejahtera jika warganya memiliki etika yang baik dan saling menghormati (keadaban).
II. Kekeliruan Perspektif Peradaban
“Ketika nilai luar dijadikan tolok ukur universal, maka perbedaan budaya akan kehilangan konteks; bahkan kemanusiaan-pun berubah menjadi ruang penghakiman”. Kutipan tersebut, penulis mencoba refleksikan pada apa yang terjadi akhir-akhir ini. Dimana publik baru-baru ini memang dihebohkan oleh tayangan salah satu program di (“Trans7”) yang menyorot kehidupan di pesantren dengan nada miring. Dalam segmen tersebut, tradisi santri yang mengabdi kepada kiai disebut-sebut sebagai bentuk “perbudakan modern.” Klaim itu kontan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari lingkungan pesantren dan pemerhati budaya Nusantara. Padahal, menilai sebuah tradisi dengan kacamata budaya lain adalah bentuk penghakiman kultural yang keliru. Dalam khazanah pesantren, praktik khidmah bukan sekadar “bekerja tanpa upah,” melainkan bagian dari pendidikan spiritual yang menanamkan nilai keikhlasan, kesabaran, dan tanggung jawab. Di sinilah sering kali terjadi kesalahpahaman : budaya yang lahir dari spiritualitas dimaknai dengan logika ekonomi semata.
A. Benturan Nilai Dan Kekeliruan Perspektif
Apa yang terjadi sejatinya bukan sekadar perdebatan moral, melainkan benturan nilai antara dua sistem budaya. Ketika satu budaya menilai budaya lain dengan ukuran dirinya, yang muncul bukan dialog peradaban, melainkan judgement penghakiman yang kehilangan konteks. Masalahnya, penghakiman semacam itu tidak bisa dilakukan apple to apple. Setiap peradaban memiliki sejarah, fondasi nilai, dan pandangan dunianya sendiri. Peradaban Tiongkok tak bisa diukur dengan standar India; India tak dapat disamakan dengan Arab; demikian pula Nusantara dengan Barat semuanya memiliki logika kebudayaan yang unik dan tak dapat diseragamkan. Namun dalam percakapan global modern, nilai-nilai Barat dengan jargon “kesetaraan mutlak” dan “kebebasan absolut” seringkali dijadikan tolok ukur universal. Padahal, nilai-nilai tersebut lahir dari pengalaman sosial dan sejarah Barat yang berbeda jauh dengan konteks peradaban Timur, yang lebih menekankan pada harmoni, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial.
B. Islam Dan Etika Menghormati Perbedaan
Islam memandang keberagaman sebagai bagian dari sunnatullah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa serta bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia memang diciptakan berbeda baik suku, bangsa, maupun tradisinya bukan untuk diseragamkan, melainkan untuk saling mengenal (lita‘aarafuu). Maka, ketika satu budaya memaksakan ukuran tunggal atas budaya lain, sejatinya ia sedang menolak kehendak Tuhan atas keberagaman itu sendiri. Karena itu, penghakiman terhadap tradisi pesantren dengan logika Barat bukan hanya kesalahan ilmiah, tetapi juga pelanggaran etika keberagaman. Sementara peradaban yang matang justru lahir dari kesediaan untuk memahami, bukan dari keinginan untuk mengadili.
C. Tradisi Pondok Pesantren
Tradisi yang hidup di pondok pesantren tidak lahir dari ruang hampa, tetapi berakar dari nilai-nilai syariah Islam. Penghormatan kepada ahli ilmu adalah perintah agama itu sendiri. Model penghormatan bisa bermacam-macam sesuai adat budaya masing-masing. Sepanjang adat itu tidak bertentangan dengan syariat, maka ia sah dan bahkan bisa menjadi bagian dari nilai syariah. Kaidah fikih menegaskan, “al-‘adah muhakkamah” adat dapat menjadi dasar hukum. Sebagai contoh, kebiasaan mencium tangan guru, menata sandal orang tua, atau membantu Kiai adalah bagian dari nilai luhur pesantren yang berakar pada ajaran Islam.
Hal itu, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, beliau pernah memegangkan tali kendali unta Sahabat Zaid bin Tsabit RA saat Zaid hendak keluar dari pertemuan. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan, wahai Ibnu Abbas”. Namun Ibnu Abbas menjawab, “Demikian kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW memperlakukan ulama kami”. Mendengar itu, Zaid turun dari untanya, lalu berkata, “Berikan tanganmu, wahai Ibnu Abbas.” Setelah tangan itu diberikan, Zaid menciumnya seraya berkata, “Dan demikian kami diperintahkan memperlakukan keluarga Nabi Muhammad SAW”.
C. Kolonialisme Nilai Baru
Dunia hari ini seolah-olah tengah menghadapi bentuk baru dari kolonialisme: penjajahan makna. Nilai-nilai yang diklaim “universal” malah seringkali membawa misi ideologis tertentu. Dalam wacana global yang tampak modern saat ini, kecenderungannya terselip upaya dominasi kultural yang perlahan menghapus identitas lokal dan spiritualitas yang menjadi fondasi moral masyarakat Timur. Ketika Barat menjadikan dirinya ukuran tunggal bagi kemanusiaan, dunia malah terkesan kehilangan harmoni; manusia berhenti memahami, dan hanya sibuk menilai. Inilah krisis etika global, karena keberagaman yang seharusnya menjadi sumber hikmah justru malah berubah menjadi alat penghakiman.
D. Membangun Kesadaran Peradaban
Oleh karena itu, peradaban yang benar-benar beradab bukanlah yang paling seragam, melainkan yang paling mampu menghormati perbedaan. Selama manusia masih mau mengenal sebelum menilai, memahami sebelum menghakimi, maka dunia akan tetap memiliki harapan untuk hidup damai di bawah payung kemanusiaan yang sejati. Karena itu, menghormati perbedaan bukan sekadar sopan santun budaya, melainkan bentuk tertinggi dari kecerdasan spiritual.
Justru sebaliknya, tradisi di pondok pesantren malah memainkan perannya dalam membangun etika dan memberdayakan masyarakat (khususnya para santri) dan sekaligus turut serta mencerdaskan bangsa melalui pendidikan dan tradisi sosial budayanya dengan tetap menjaga kemandirian dan konsistensinya. Bahkan hingga saat ini, masyarakat mengakui bahwa keberadaan pondok pesantren melalui keunikan pendidikannya telah mendorong pesantren untuk terus menjadi katalis dan inisiatif pembangunan di segala aspek, termasuk dalam pembangunan etika dan kecerdasan moral-spiritual, hal itu dalam konteks untuk merespons perkembangan global. Bahkan, keberadaan pesantren dibangun melalui internalisasi “panca jiwa” pesantren, yaitu : kesederhanaan, ketulusan, kemandirian, kebebasan, dan persaudaraan Islam. Tradisi dan nilai-nilai tersebut telah membentuk eksistensi pesantren dalam perubahan dan dinamika globalisasi industri dan teknologi. Ideologi, peradaban modern, tradisi, dan nilai-nilai moral yang sublimatik.
Lebih dari itu, pondok pesantren terus bergerak nyata lewat penyelenggaraan pendidikan, baik yang bersifat (formal, non formal dan bahkan informal). Sementara penyelenggaraan pendidikan yang bersifat formal hingga saat ini, ada yang mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (MI) sampai perguruan tinggi. Bahkan, pondok pesantren terus memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat luas, tujuannya tentu saja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara dalam perspektif keislaman, pendidikan di pesantren sudah pasti bermisikan mencerdaskan akal-budi manusia (akhlaqul karimah). Sementara mencerdaskan akal-budi itu pekerjaan yang tidak pernah kenal lelah dan tidak boleh terputus. Karena mendidik manusia memang harus terus-menerus.
Untuk itu, kebijakan pemerintah saat ini juga, terutama dibidang pendidikan terlepas dari apapun orientasi dan jurusan keilmuan yang digeluti serta ditempuh di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (Kemendikbu maupun Kemenag) pada intinya bermuara pada upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban. Namun proses penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren memang tidak hanya sekadar fokus pada kulit luarnya saja (membangun kecerdasan intelektual). Namun, pondok pesantren juga terus membangun berlandaskan ruhaniah mencakup spiritualitas, moral, etika, pengetahuan, dan keadaban (membangun kecerdasan spiritual) dan itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Lebih-lebih saat ini, yakni realitas pendidikan dalam perjalanan bangsa kita, yang terkesan masih abai soal ini (membangun kecerdasan spiritual). Bahkan, saat ini kita kerapkali terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik semata (fisik-hedonistik), dan itu dihawatirkan akan melahirkan generasi yang lemah (secara moral-spiritual). Sementara dalam teori sosiologi disebut “Cultural Lag”. Menurut William F Ogburn, ketika sukses membangun yang serba fisik sampai digdaya dan menciptakan pesona luar biasa, tapi dibalik itu semua tentunya jangan lupa hal yang sangat substansial, yaitu ada nilai-nilai rohani yang harus menjadi fondasi dalam membangun bangsa.
Hal itu merupakan pelajaran bagi bangsa kita saat ini, dan lebih-lebih dalam konteks sekarang sedang gencar-gencaranya membangun fisik yang serba ragawi, indrawi, tapi pada saat yang sama jangan lupa isinya, yakni hal-hal yang rohaniah, moral, etika, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Bahkan, generasi muda saat ini (Gen-Z) sudah dihadapkan pada tantangan yang luar biasa. Genersi saat ini (generasi Z) bahkan generasi setelahnya, telah dihadapkan pada realitas sosial yang serba cepat berubah. Semua itu akibat globalisasi maupun dinamika lokal, nasional, bahkan regional yang menciptakan ketidakpastian dan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut beberapa survei telah menunjukkan, kalangan generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alfa, mereka terkesan sudah mulai ragu terhadap agama, ragu tentang Tuhan, dan kehidupan setelah wafat. Mungkin mereka banyak input dari berbagai entah medsos, film, yutube, atau disebabkan olehbbacaan yang salah kaprah. Maka, perlu proses pembimbingan dalam memahami segala hal yang ada di dalam kehidupan, terutama di internal generasi milenial saat ini. Dengan kata lain, generasi saat ini harus dibimbing cara membaca buku (harus pakai ilmu juga). Sementara untuk menjadi bangsa yang unggul dan berkemajuan, sudah barang tentu diperlukan ilmu, selain nilai spiritual, moral, dan akhlak. Di sinilah pendidikan formal maupun pendidikan non formah dan informa (lembaga pesantren) memainkan peranan penting. Dan kita harus terus memproduksi dan menciptakan budaya orang berpengetahuan dan berilmu. Karena, dengan membaca, maka kita akan menjadi kaya pengetahuan (menjadi individu yang literat). Bahkan kita harus terus meningkat lagi, yakni menjadi sainstifik, agar cara berpikir kita semakin sistematik.
III. Peradaban Dan Keadaban Ada di Tangan Kita
Keruntuhan suatu peradaban di dunia ini, tak harus mendokumentasikan keberadaannya secara sekilas. Bisa saja perlahan-lahan, tapi kirim ke sendi kehidupan yang awalnya kokoh, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit akan menjadi keropos. Kisah kehancuran yang demikian, ternyata bukan lagi masa lalu, atau legenda di era kuno. Apa yang membuat Jared Diamond, berani memprediksikan kemungkinan tumbangnya sejumlah peradaban. Dan kita semua tentunya ingin tahu? Ternyata, Indonesia adalah salah satu negara yang ia sebut berada di tubir kehancuran itu, seperti ia tulis dalam bukunya bertajuk “Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed.”
Selain negara kita, guru besar Geografi di University of California, Los Angeles (AS) itu mencolek juga nama Kolombia dan Nepal. Mungkin kita agak kurang beruntung, tapi tetap perlu mawas dan waspada, karena negara-negara seperti Somalia, Rwanda, dan Zimbabwe, ia sebut sebagai peradaban yang tumbang di era modern sekarang. Sedangkan faktor perusak peradaban itu sangat beragam, dan mungkin kompleks. Satu sama lain saling berkaitan. Diamond menyebut ada lima faktor. Kelima-limanya itu Merujuk pengalaman Norse Greenland, Eropa yang pernah berjaya dari tahun 984 M hingga akhirnya tumbang pada tahun 1450 M. Perilaku yang bermuara pada akhlak, ikut bersumbangsih pada keruntuhan Greendland. Seperti tampak dari penggundulan tanah yang dilakukan oleh Viking, yang menyebabkan erosi dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka. Menurut Diamond, secara umum, sebuah peradaban runtuh setelah mencapai puncak kejayaannya. Begitulah siklus peradaban. Dalam beberapa kasus, ada pula peradaban yang runtuh dengan begitu cepat, setelah kejayaan berhasil diraih selama beberapa dekade, tetapi dalam tempo yang begitu cepat, malah peradaban itu tumbang, seperti peradaban Maya Klasik di Yucatan.
Secara teori, sebetulnya paparan Diamond sebagaimana dikemukakan diatas, memang tak begitu mengagetkan. Ia tidak berangkat dari kesimpulan nol. Teori yang sama tentang siklus peradaban yang melemah akibat merosotnya moralitas pernah disampaikan, antara lain oleh para cendekiawan Muslim.
Dalam “Muqaddimah”-nya, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan sejauh mana konsistensi dan komitmen memegang nilai-nilai serta moralitas tersebut di saat kemaksiatan merebak di mana-mana. “Inilah yang terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol,” tulis Ibnu Khaldun. Wajar bila kekhawatiran Diamond muncul terkait nasib Indonesia, demikian pula dengan saya dan mungkin saja kita semua. Menyaksikan dengan saksama betapa nihilitas nilai serasa sayup dan kini semakin terang-terangan, mulai tampak dalam tatanan masyarakat kita.
Intrik politik para elite yang sarat ambisi dan oportunisme, inkonsistensi tradisi bangsa ini, kerakusan, eksplorasi alam yang tak bertanggung jawab, dan perilaku Barbar di level akar rumput (anak tega membunuh orang tua dan begitu pula sebaliknya). Oknum para euntertemen (di stasiun tv trans 7) seolah-olah mendiskriditkan santri dan kiyai, yanf akhirnya muncul ke ranah publik, pencari keadilan diasingkan. Bila peradaban dianggap pula sebagai tatanan nilai, sejatinya bangunan tersebut telah rapuh. Jika peradaban dinyatakan sebagai batas-batas kesopanan, tentulah mulai memudar. Dan seandainya peradaban itu dipandang sebagai sistem akumulasi, peradaban bangsa kita sekarang tengah melepuh. Bagi Diamond, permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat global saat ini sebenarnya ada dalam kendali diri. Ancaman terbesar adalah ancaman yang dibuat oleh manusia itu sendiri. “Maka itu berarti penyelesaian masalah ini semua yang ada dalam kemampuan kita. Khususnya, apa yang bisa kita lakukan?,” katanya.
Peradaban dan akhlak, tak bisa dipisahkan. Baik ibarat jasad dan roh, bila roh itu sirna, sirna pula jasad yang fana itu. Di sisi lain, keresahan dan serbaguna muncul dari para sastrawan yang disebut-sebut kerap melihat dunia dengan mata hati mereka, seandainya kita tak segera sadar dan memperbaiki akhlak itu, kekhawatiran tersebut bukan sekadar teori dan isapan jempol. “Moral selama masih bertahan pada suatu kaum, ia akan bertahan. Bila sirna, lenyap sudah eksistensi kaum itu. Solusinya adalah kembali ke moralitas. Perkuat jiwa dengan akhlak maka akan kokoh.
Dengan kata lain, peradaban tumbang dan runtuh ketika akhlak nihil. Tipu daya, dusta, dan kerusakan merajalela,” demikian keresahan Ahmad Syauqi, sastrawan dan budayawan terkemuka asal Mesir. Anda, saya, dan kita semua pelestari peradaban itu. Berkaca pada tragedi Bagdad menyisakan kisah pilu bagi dunia Islam. Ujian yang teramat berat. Kesedihan dan duka mendalam dirasakan oleh umat Islam di berbagai wilayah saat itu. Luka dan lara di relung hati yang paling dalam tergoreskan lewat susunan kata dan frase. Tak sedikit sastrawan yang meluapkan kesedihan menggunakan cara mereka, berpuisi dan berprosa. Lewat gubahan syairnya yang terkumpul dalam kasidah yang bertajuk “Fi Ratsai Baghdad”, Syamsuddin al-Kufi (1226-1276 M), ia meluapkan betapa sangat terpukul dengan peristiwa tragis tersebut. Dalam kepiluannya, al-Kufi menulis puisi :
Rumah..rumah..di mana mereka tinggal
Kemana keagungan dan kebesaran itu
Wahai rumah kemana kemuliaanmu
Dan panjimu yang terhormat dan agung itu
Wahai orang yang telah pergi dalam hati dan rusukku…..
Terdapat cahaya yang tak akan pernah padam karena kepergian kalian…..
Meski al-Kufi teramat larut dalam kesedihan, ia harus berbuat sesuatu. Jasanya tercatat sejarah, ia membeli anak-anak yang ditawan oleh Mongol dan merawat mereka…..
Keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad memang tinggal sejarah. Tetapi, sejarah adalah cermin bagi generasi mendatang. Pelajaran yang berharga tentunya adalah bagaimana umat Islam tetap waspada terhadap konspirasi musuh yang terkadang kasat mata, tetapi kadang pula senyap. Agama kita mengajarkan untuk menguasai dunia, bukan “mempertuhankanya”. Berbangga dengan kejayaan masa lalu dan melupakan masa depan, bukanlah ajaran agama. Islam adalah agama masa lalu, sekarang, dan esok. “Faidza faraghta fanshab”, tak ada kata lengah dan jaga konsistensi selalu.
IV. Manusia Beradab Dan Keadaban
Tujuan kehidupan adalah menjaga keadaban. Mengapa? Karena, lentera dan cahaya keadaban dapat memandu nurani kita, serta mengutamakan kebenaran dan keadilan lintas ruang waktu, menuju Sang Kholik. Kita tahu, bahwa usia hidup kita di alam jagat raya ini sangat singkat, yang panjang adalah kehidupannya. Dengan penyadaran kependean itu, maka perilaku harus menembus samudra batas sekat panjang itu, melalui percikan isian perilaku kebaikan. Jangan sampai hidup yang pendek ini membunuh kehidupan yang panjang. Kehidupan yang pendek harus mewujudkan kebaikan. Prinsip itu wajib ditegakkan. Karena, tak ada kemuliaan selain dapat menghidupi kebahagian yang panjang. Untuk mencapainya, kita butuh apa yang namanya adab kemanusiaan. Tak ada kemajuan tanpa bangsa yang berkeadaban. Barang siapa yang tak menanam benih keadaban, ia tak akan bisa memanen kebahagiaan dan peradaban. Keadaban yang kita rumuskan atau yang kita butuhkan adalah meniscayakan persatuan-kedamaian di atas perbedaan pandangan, serta keramahan yang luhur. Ia yang menghayati realitas subyektifnya, yang melandasi perilaku kehidupan manusia. Lebih dari itu, adab diejawantahkan oleh warga yang koheren jiwanya. Menghargai yang lain dan memantapkan mitra kerja kemanusiaan, saling melengkapi untuk hidup yang lebih utuh, dan lebih mendamaikan.
A. Dua Faktor Kemanusiaan
Sekurang-kurangnya ada dua faktor untuk menuju kemantapan diri atau koheren jiwa. Faktor pertama adalah pengamalan menjadi hidup terus menerus dalam solidaritas kemanusiaan, yang oleh para pelopor psikoanalisis intersubyektif itu diperinci dalam “keterhubungan serasi perasaan antar-insan” (affact attunement), dan “pengakuan empatik atas pengamalan subyektif liyan” (empathic validation). Sementara faktor kedua untuk bertumbuh kembangnya koherensi diri ialah pengalaman tentram yang panjang karena berdampingan oleh tokoh yang disegani dan dihormati. Sikap gotong-royong misalnya, menjadi bukti berlansungnya tumbuh kembangnya yang pertama. Sekaligus fenomena itu membuktikan kehendak manusia Indonesia untuk menghidupi kemantapan diri di tengah solidaritas kemanusiaan. Sebagaimana disebutkan posisi adab orang Indonesia, bisa menyatupadukan banyak orang dalam keterhubungan setara.
Misalnya, berlaku lemah lembut kepada sesamanya dan menghindari kekerasan, ekstremisme. Sebisa mungkin jika ada kesalahan saling berembuk mencari jalan keluar. Ketika menemukan jalan keluar (jawaban), semampu-mampunya diserahkan kepada Sang Pemilik Keputusan. Hal itu mendapat pernyataan yang nyata dari firmannya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka mejauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudia ketika kamu telah membulatkan tekad maka bertaqwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS Ali ‘Imran: 159).
Berdasarkan ayat tersebut, manakala kita ingin menyampaikan pendapat dan berbagai hal, seyogyanya dengan cara-cara beradab. Yakni, dengan cara-cara berkeadaban yang mengedepankan akhlakul karimah. Bahkan, untuk berdakwah kepada Tuhan, karena firman Tuhan menyuruh berdakwah dengan cara-cara sholeh yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Apa itu? tidak radikal, ekstrem, keras, dan mematikan umat lain. Dengan kata lain, perspektif ajaran Islam kita harus moderat (washatiyah), karena Nabi juga mengajak berislam dengan cinta dan rahmatan lil-alamin.


