Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

“Ketajaman sejarah” merujuk pada kemampuan berpikir kritis dan analitis untuk memahami masa lalu secara mendalam, bukan sekadar menghafal fakta. Hal itu melibatkan analisis bukti-bukti sejarah untuk memahami asal-usul, perkembangan, dan identitas kolektif, serta mampu menarik pelajaran yang berharga dari sejarah tersebut, yakni demi kebaikan masa kini dan masa depan. Ketajaman itu juga mencakup kesadaran akan beragam perspektif dan kemampuan untuk melihat bagaimana sejarah itu bisa dibentuk dan diinterpretasikan.

Sedangkan komponen ketajaman sejarah meliputi ; pemahaman konteks historis, yakni kemampuan untuk menempatkan suatu peristiwa dalam konteks waktu, ruang, dan sosialnya agar dapat dipahami secara utuh. Kemudian mampu menganalisis sumber, yakni mampu menganalisis berbagai sumber-sumber sejarah seperti artefak, prasasti, buku manuskrip, dan tradisi lisan serta bisa membedakan antara sumber primer dan sekunder untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat. Lebih dari itu, bagi kita yang menggeluti kepenulisan sejarah, tentunya harus lebih reflektif lagi pada pemikiran yang bersifat sebab-akibat, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan sebab dan akibat dari suatu peristiwa, serta melihat bobot kesinambungan dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.

Bahkan, kita juga harus punya perspektif ganda, yaitu mengakui dan memahami bahwa sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari perspektif pemenang atau narasi dominan. Lebih dari itu, kita juga harus pandai mengambil i’tibar (pelajaran berharga) dari masa lalu, yaitu mampu menarik insfirasi (pelajaran) dan kebijaksanaan dari peristiwa masa lalu itu untuk kemudian diterapkan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan, serta membentuk identitas dan karakter. Oleh karena itu, mari kita untuk sama-sama bersemangat untuk menulis buku sejarah dan berliterasi sejarah, baik sejarah lokal maupun nasional. Bahkan, sejarah telah membuktikan bahwa menulis (ketajaman pena) lebih tajam dari sebilah pedang. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pameo : “Satu Peluru Hanya Bisa Menembus Satu Kepala Tapi Satu Tulisan Bisa Menembus Jutaan Kepala”

Oleh karena itu, untuk menggeluti dunia sejarah dan berliterasi sejarah, kita harus membarengi diri kita juga dengan hobi menulis, karena menulis (termasuk menulis naskah buku sejarah) pada prinsipnya adalah upaya untuk mengungkapkan perspektif kita terhadap sesuatu, kemudian mempertajam artikulasi atas sebuah keadaan. Lebih dari itu, aktivitas menulis juga memberikan gambaran tentang kelemahan bahkan kekuatan diri kita dalam menulis itu sendiri. Sedangkan narasi menulis, harus mencerminkan isi dalam pikiran kita. Menulis juga bagian dari ekspresi dalam upaya untuk memperbaiki keadaan, sedangkan sang penulisnya adalah sebagai pahlawan, sementara penanya adalah sebagai pedangnya.

Lebih dari itu, menulis merupakan bagian dari “Narcis Literation”. Dia tidak sekedar gambar (Selfi-selfi), namun lebih dari itu, karena menulis merupakan bentuk bantahan terhadap anggapan bahwa menulis itu sulit, dan itu anggapan sesat yang menyebabkan banyak orang yang akhirnya tidak jadi dan tidak mau menulis. Jadi dapat disimpulkan bahwa menulis adalah komunikasi melalui tulisan, dan itu merupakan alat ukur, yakni sejauhmana kita bisa menguasai sebuah persoalan. Sebagai bagian dari literasi, kita bebas menulis apa saja asalkan sesuai dengan data dan fakta yang “shohih” dan ilmiah. Oleh karena itu, menulis-lah, karena pena lebih tajam dari sebilah pedang. Bahkan, sejarah telah membuktikan, dengan menulis apa yang kita fikirkan, dan mengatakan apa yang tertulis. Maka ketika zaman dulu, yakni ketika belenggu penjajahan yang beratus-ratus tahun lamanya memenjarakan bangsa dan negara ini, akhirnya meleleh karena ketajaman oleh menulis atau oleh tulisan. Hal itu sebagaimana kisah di jalan pengangsaan timur No. 56 Jakarta, yakni pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, yaitu tempat dimana “Tulisan Proklamasi Dibacakan”.

II. Menguasai Dan Menseriusi Sejarah

Sejarah bagaikan gerbang ajaib yang membawa kita kembali ke masa lampau. Di sana, kita dapat menapaki jejak para leluhur, memahami asal-usul peradaban, dan belajar dari kebijaksanaan masa lalu. Namun, mempelajari sejarah bukan hanya tentang menghafal tanggal dan peristiwa. Tapi diperlukan teknik yang tepat untuk membuka gerbang pengetahuan itu dan memaksimalkan manfaatnya. Bahkan, kesalah-pahaman umum tentang sejarah seringkali membuatnya terkesan membosankan dan monoton. Banyak orang terjebak dalam metode menghafal mati-matian, tanpa memahami konteks dan makna di baliknya. Padahal, sejarah menyimpan kekayaan pengetahuan yang bisa membantu kita memahami dunia dan diri kita sendiri.

A. Membuka Gerbang Pengetahuan : Teknik Berpikir Kritis

Mempelajari sejarah dengan benar memang membutuhkan pemikiran kritis. Karena, kita perlu melampaui hafalan dan menyelami kompleksitas masa lalu dengan menggunakan berbagai teknik diantaranya :

  1. Diakronis vs Sinkronis.
    Yaitu memahami peristiwa dalam kronologi waktu (diakronis) dan membandingkannya dengan periode lain (sinkronis), hal itu membantu kita untuk melihat pola dan hubungan antar peristiwa.
  2. Kausalitas.
    Mencari hubungan sebab-akibat antar peristiwa dan memahami konteks serta faktor-faktor yang berkontribusi, serta melatih kemampuan analisis kita. Lebih dari itu, mendalami sejarah juga memaksa kita untuk melakukan interpretasi. Yakni, membangun kesadaran bahwa sumber sejarah memiliki perspektif berbeda, dan hal itu mendorong kita untuk menganalisisnya secara kritis dan mengembangkan interpretasi yang seimbang.

B. Menjelajahi Beragam Sumber Sejarah.
Sejarah tidak hanya terdokumentasi dalam buku teks. Karena, berbagai sumber sejarah juga dapat memperkaya pemahaman kita, seperti yang suda ada di buku teks dan monograf. Karena, di sumber sejarah tersebut (buku) bisa memberikan informasi terperinci dan analisis mendalam. Kemudian sumber sejarah juga bisa melalui artikel ilmiah dan jurnal, karena sumber itu (artikel) menyajikan informasi terkini dan perspektif akademis. Kemudian sumber sejarah juga ada yang bersifat primer, seperti melalui dokumen, surat, diaries, dan catatan harian, yang tentunya menawarkan perspektif langsung dari pelaku sejarah. Lebih dari itu, sumber sejarah juga ada yang bersifat sekunder, yaitu berupa analisis dan interpretasi sejarah oleh para ahli, hal itu akan membantu kita untuk memahami berbagai sudut pandang. Kemudian sumber sejarah juga ada di media visual seperti ; di film, foto, lukisan, dan artefak, yang kerapkali menghadirkan konteks dan pemahaman visual yang lebih menarik.

C. Menghidupkan Sejarah (Aktivitas Menyenangkan Dan Interaktif).
Belajar sejarah tidak harus selalu terpaku pada buku dan teori. Bahkan, aktivitas interaktif dapat membuat sejarah menjadi lebih hidup dan menarik seperti : Diskusi kelompok, yaitu berdiskusi dan berbagi perspektif dan belajar dari teman, demi melatih kemampuan komunikasi dan berpikir kritis. Kemudian simulasi dan role-playing, yaitu menjiwai tokoh dan peristiwa sejarah, hal itu membantu kita untuk bisa memahami motivasi dan konteks secara mendalam. Kemudian melakukan kunjungan ke museum dan situs-situs sejarah. Hal itu memberikan pengalaman langsung dan visual tentang masa lalu. Kemudian menonton film dan dokumenter sejarah, yaitu upaya untuk menggabungkan hiburan dan edukasi demi membangkitkan minat dan membuka wawasan baru.

D. Membuka Cakrawala (Manfaat Mempelajari Sejarah Dengan Benar).
Mempelajari sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Dengan memahami masa lalu, maka kita dapat memahami dunia dan diri sendiri. Karena, sejarah memberikan konteks tentang asal-usul budaya, politik, dan sosial.

E. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis.
Menganalisis sumber-sumber sejarah, menginterpretasi sejarah, dan melatih kemampuan berpikir kritis dan analitis.

F. Belajar Dari Masa Lalu.
Memahami kesalahan dan kebijaksanaan masa lampau, hal itu membantu kita untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan. Bahkan, sejarah membantu kita memahami kompleksitas masyarakat dan mendorong toleransi serta pemahaman antar budaya.

III. Perlunya Penulisan Sejarah Lokal

Kekayaan nasional berangkat dari kekayaan lokal. Tapi, aset yang berskala nasional seolah olah dipandang lebih superior dari yang bersifat lokal. Seseorang boleh saja mengenal sesuatu yang bersifat nasional, tapi mereka sudah saatnya didorong untuk lebih mengenal apa yang ada di lingkungannya, dan aset itu adalah sejarah. Sejarah adalah penting karena sejarah bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi. Yaitu insfirasi untuk meraih masa depan. Banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah yang dapat dijadikan pelajaran untuk mengambil keputusan di masa depan. Sejarah bukan sekedar media untuk melihat masa lalu yang bersifat kelangenan. Tapi sejarah bisa menjadi pijakan untuk menatap masa depan. Dengan memahi sejarah, seseorang akan mengenal arah ke masa depan.

Setiap bangsa pasti menuliskan sejarahnya, hal itu sebagai perwujudan dari identitas diri yang sarat dengan berbagai dinamika dalam mendirikan maupun membangun bangsa yang bersangkutan, maka sejarah nasional menjadi sangat penting sebagai identitas kebangsaan. Meskipun begitu, dalam perjalanan waktu, kemudian disadari bahwa kecenderungan penulisan sejarah yang nasional sentris ternyata berpotensi mengabaikan realitas dinamika sosial yang majemuk, yang ada di masing-masing bagian wilayah (daerah) Indonesia yang bersifat lokal dan kedaerahan.
Hal itu dikhawatirkan seseorang malah tidak akan bangga dengan daerahya, di bumi yang ia pijak dan dilahirkan. Padahal ada peristiwa penting di daerah itu. Dari alasan itulah, kiranya perlu ada dorongan untuk menggali sejarah lokal dan mendokumentasikan melalui karya tulis atau menulis sejarah lokal.

Untuk lingkup daerah (lokal) misalnya, maka penulisan sejarah lokal dapat dimanfaatkan antara lain sebagai sumber kreativitas atau pandangan optimis masyarakat lokal, muatan lokal (mulok) kurikulum sekolah, dan media untuk membangkitkan pembangunan daerah. Karenanya, sejarah lokal memiliki potensi penting, dan hanya dengan sejarahlah kepribadian daerah dapat ditemukan. Oleh karena itu, betapa pentingnya penulisan sejarah daerah (lokal) dalam rangka ikut memberikan sumbangan demi memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh daerah.

A. Pelatihan Penulisan Sejarah Lokal

Agar setiap kita bisa menulis naskah sejarah lokal, maka perlu pelatihan penulisan sejarah lokal (terutama bagi para guru sejarah tingkat SMA, SMK, MA). Namun saat ini, kegiatan tersebut (pelatihan penulisan sejarah lokal) kerapkali digelar dalam bentuk laporan penelitian dosen, dan penelitian mahasiswa yang meliputi : sekripsi, tesis, maupun disertasi. Bahkan, sebagain besar hasil penulisan itu masih tersimpan di perpustakaan masing-masing perguruang tinggi yang bersangkutan dan jarang yang kemudian diterbitkan agar hasil penelitian tersebut bisa dibaca secara luas oleh siapa saja. Sementara di lingkungan sekolah misalnya SMA, SMK dan MA dalam proses pembelajaran sejarah, ternyata penggunaan sumber belajar sejarah masih terbatas pada penggunaan buku teks, baik oleh guru maupun siswa, bahkan sebagai satu-satunya yang dipandang paling tepat dapat memenuhi tuntutan kurikulum.

Dengan kata lain, masih jarang dijumpai (terutama di sekolah-sekolaj) adanya tulisan tentang sejarah lokal (dari sumber lokal) yang disusun sebagai bahan bacaan bagi para siswa setempat. Oleh karena itu, dalam pelatihan penulisan sejarah lokal itulah, seyogyanya guru-guru sekolah bisa menulis sejarah, yakni berdasarkan sumber-sumber sejarah lokal yang ada di lingkungannya, yang selama ini tidak pernah diangkat. Lebih dari itu, menurut hemat penulis, ada empat klasifikasi sumber-sumber sejarah lokal. Pertama, jejak material seperti artefak dan benda-benda yang dianggap memiliki nilai sejarah. Kedua, jejak non material seperti cerita, dongeng, adat, tradisi, ritual dan teknologi. Ketiga, jejak tertulis seperti naskah, manuskrip, prasasti. Keempat, representasional seperti potret, lukisan dan litografi.

Sedangkan cerita-cerita lokal (tak benda) dan benda atau artefak dapat ditemui di suatu tempat yang dimaksud dengan lokal. Dan itu harus terus diungkap dalam pelatihan penulisan sejarah lokal. Sedangkan yang dimaksud lokal adalah meliputi lingkup Desa (Kelurahan), Kecamatan, Kota atau Kabupaten. Bahkan bisa berupa unit keluarga jika di dalam keluarga itu memiliki potensi kesejarahan. Sebagai sebuah contoh sejarah lokal dari lingkungan sekolahan seperti di sekolah SDN Alun Alun Cobton I – 87 di Surabaya misalnya. Disana terdapat gedung sekolah dari awal abad ke 19 M, dimana orang tua Soekarno, yakni Raden Soekeni Sosrodihardjo, ia pernah mengajar di sekolah tersebut. Bahkan, di gedung sekolah itu masih tersimpan seperangkat bangku-bangku kuno, papan tulis kuno, buku-buku induk sekolah dan lebih dari itu, ada nilai-nilai sejarah yang amat berharga, karena Soekeni Sosrodihardjo, yakni orang tua pa Karno pernah mengajar di sekolah tersebut.

Dengan kata lain, cerita dan kisah sekolah di SDN Alun-Alun I-87 itu, baik dari sisi sumber material dan non material sudah layak digali, ditulis dan bahkan dijadikan materi pembelajaran muatan lokal. Karena nilai-nilai sejarahnya yang sangat besar, maka meteri pembelajaran sejarah lokalnya, seyogyanya dari sejarah sekolah itu sendiri. Bahkan, materi sejarah lokal yang ada di sekolah tersebut bisa lebih meluas, dan bisa dijadikan materi sejarah lokal setingkat Kota Surabaya, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dalam kasus potensi muatan lokal (mulok) di SDN Alun Alun Contong I-87 Surabaya itu, seyogyanya menjadi contoh yang kongkrit dan patut ditulis keberadaan SDN Alun-Alun I-87 itu. Namun nyatanya hingga saat ini seorang guru sejarah di sekolah itu, ia malah tidak bisa memberikan materi pengajaran kepada siswa secara formal melalui kurikulum lokal sekolahnya, karena konon katanya dinas terkait (Dispendik) kurang pati mendukung. Dan akhirnya, potensi sejarah lokal di SD itu tidak bisa berjalan karena kurang di dukung oleh dinas terkait. Artinya, untuk mendukung pelaksanaan kegiatan penulisan dan pemanfaatan hasil penulisan sejarah lokal belum diapresiasi secara positif dan belum diberlakukan. Namun yang berlaku hingga saat ini, yaitu harus melalui kurikulum formal.

Sementara sejarah juga harus terud ditulis, hal itu untuk menjadikan “kebakuan” dan agar tidak menguap. Lebih dari itu, penulisan sejarah harus terus menerus dan berkelanjutan, khususnya, jika ditemukan temuan baru atas sejarah yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, sejarah itu dinamis dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Tapi seyogyanya, melalui penulisan oleh berbagai pihak (khusuanya oleh guru-guru sejarah), maka hasil temuan di lapangan bisa saja langsung diajarkan ke siswa siswanya. Untuk itu, guru sejarah harus aktif, tidak sekedar menggunakan buku-buku acuan atau pelajaran sejarah yang sudah ada. Bahkan, topik-topik yang bisa diangkat dalam penulisan sejarah lokal sangat banyak. Seperti ada topik pribadi, keluarga, komunitas, transportasi, perdagangan, sosial, ekonomi, perumahan dan lain sebagainya yang tentunya sangat konteks untuk bahan penulisan sejarah lokal.

B. Sejarah Dan Sumber Kebudayaan

Sejarah merupakan unsur kebudayaan. Sedangkan budaya Indonesia mempunyai banyak substansi sejarah yang bersifat lokal kedaerahan, yang sangat menarik untuk digali. Penulisan sejarah lokal diharapkan mampu melestarikan warisan budaya bangsa, terutama yang bersumber dari daerah yang hingga kini belum sepenuhnya diteliti atau dikembangkan. Oleh karena itu, pihak Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) seyogyanya harus terus berkolaborasi dengan pihak Tim Ahli Cagar Budaya yang ada di daerah masing-masing, untuk melakukan pengembangan sejarah lokal agar bisa dituangkan dalam buku sejarah lokal.

Intinya saat ini adalah bagaimana kita untuk bisa memasyarakatkan sejarah dengan bahasa dan sajian yang lebih mudah diterima semua kalangan. Melalui sejarah lokal (yang up-to-date), pada akhirnya akan menjadi penanda tentang bergeliatnya semangat sejarah publik di daerah. Dengan kata lain, perhatian terhadap sejarah tidak lagi didominasi oleh kalangan tertentu saja, tetapi semakin meluas. Semakin menguatnya kesadaran sejarah dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, hal itu akan menjadi sinyalemen yang baik, yakni terwujudnya masyarakat yang tidak hanya dewasa dalam kebudayaan, tetapi juga berperadaban. Karena, sejarah tidak dipahami semata-mata berdasarkan angka tahun dan peristiwa masa lampau saja, namun dapat dikontekskan dalam kehidupan masa kini. Oleh karena itu, dengan banyak diterbitkannya buku sejarah lokal, maka masyarakat di daerah tentu saja bisa mendapatkan manfaat yang besar dari hasil membaca buku sejarah lokal tersebut, dan mereka bisa terus bergotong-royong untuk membangkitkan kisah-kisah sejarahnya dan melestarikan peninggalan budayanya. Karena, masyarakat yang besar dan maju adalah masyarakat yang tidak kehilangan budayanya dan menjadikan budaya itu sebagai identitas dan jati diri mereka.

Lebih dari itu, semakin produktifnya penerbitan buku sejarah lokal, maka akan semakin memperkaya sumber literasi kesejarahan, bisa menyemarakkan kembali penulisan sejarah lokal, membuka peluang pariwisata kesejarahan, dan bisa mengembalikan sejarah ke masyarakat untuk pelibatan masyarakat sebagai pelaku dan produsen sejarah itu sendiri. Dengan kata lain, sejarah bagi publik menjadi penting, karena mereka juga merasa berperan dalam menumbuhkan empati sejarah di kalangan masyarakat. Sementara empati sejarah merupakan keterkaitan batin yang terbangun antara seseorang dengan masa lalunya. Bahkan, empati sejarah sangat bermanfaat untuk membangun pemahaman bahwa kehidupan sekarang adalah keberlanjutan dari masa lalu, karena peninggalannya akan senantiasa terjaga dalam ruang ingatan masyarakat terutama kemanfaatan untuk kehidupan.

Sementara bentuk keterlibatan masyarakat dalam rangka memproduksi dan mengomunikasikan sejarah melalui tulisan, yaitu dengan mengangkat isu atau topik berkenaan dengan bangunan bersejarah, sejarah lokal, wisata sejarah, dan pembelajaran sejarah. Para penulis sejarah lokal, mereka harus terus mencoba memperpendek jarak antara masa lalu dengan masa kini dan berusaha menjadikan tetap relevan dan signifikan dengan situasi yang kini sedang berjalan. Sebagaimana kita ketahui, sejak dulu di seluruh daerah di negara kita ini, kenyataannya memiliki potensi besar dengan corak kebudayaan dan sejarahnya masing-masing. Maka hasil riset, kajian dan penulisan sejarah lokal, bisa mengangkat keunikan, keberagaman dan nilai-nilai sejarah yang ada di daerah masing-masing.

IV. Mengapa Sejarah Lokal Itu Penting ?

Sejarah lokal menurut Taufik Abdullah adalah sejarah dari suatu tempat, suatu locality, yang batasannya bisa ditentukan oleh perjanjian penulis sejarah. Penulis mempunyai kebebasan untuk menentukan batasan penulisannya, apakah dengan skope geografis, etnis, yang luas atau sempit. Sejarah lokal bersifat elastis, bisa berbicara mulai hanya mengenai suatu Desa, Kecamatan, Kabupaten, tempat tinggal suatu etnis, suku bangsa, yang ada dalam satu daerah yang menjadi pusat risetnya.

Sementara penulisan sejarah lokal memiliki makna penting baik untuk kepentingan akademis maupun pembangunan masyarakat. Terutama kepentingan masyarakat dalam memelajari pengalaman masa lalu nenek moyangnya. Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Allan J Ligthman (1978:169) “… local history conducted for their own sake, local history conduct to test hypotheses about broader jurisdictions, usually nation states, and local history that focus on understanding the process by which communities grow and develop. Although analytically distinct, in actual practise these lines frequently crisscross and run together”.

Bahkan hasil seminar tentang sejarah lokal, yakni pada tanggal 17-20 September 1984 di Medan, telah dikemukakan lima tema pokok sebagai acuan penulisan sejarah lokal, yaitu sebagaimana yang ditegaskan oleh Dr. Kuntowijoyo juga diantaranya : (1). Dinamika masyarakat pedesaan. (2). Pendidikan sebagai faktor dinamisasi dan interaksi sosial. (3). Interaksi antar suku bangsa dalam Masyarakat Majemuk. (4). Revolusi nasional di tingkat lokal. (5). Biografi tokoh lokal. Sementara menurut Taufik Abdullah, bahwa penulisan sejarah lokal begitu besar artinya dalam upaya pembahasan yang lebih detail tentang fenomena dan peristiwa nasional yang bersifat fragmentaris. Karena, sejarah lokal diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa kesadaran sebagai bangsa yang multibudaya, hal itu harus ditunjukan juga dengan sebuah pengakuan akan kelemahan masing-masing, yakni dengan membangun kesederajatan diantara kebhinekaan. Sementara bagi kepentingan sejarah nasional, maka sejarah lokal tidaklah bersifat antagonis, justru akan memberi kontribusi positif.

Lebih dari itu, menurutTaufik Abdullah, sejarah lokal dengan pendekatannya yang tidak bersifat involusi, yang hanya berkisar pada dirinya, makin memberi kemungkinan untuk merintis permasalahan baru dalam sejarah nasional. Sementara menurut Gde Widja, betapa pentingnya penulisan sejarah lokal bagi keberlangsungan sebuah entitas budaya, karena berkaitan dengan transmisi nilai-nilai budaya. Yaitu, sebuah pewarisan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan dasar pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya tersebut biasanya melekat pada berbagai warisan sejarah (materiil maupun non materiil.

Dari uraian sejarawan di atas, kita dapat disimpulkan, betapa pentingnya pembelajaran sejarah lokal khususnya bagi para siswa, antara lain : Karena, dalam sejarah lokal tersimpan kearifan lokal (local genius), hal itu sebagai upaya pewarisan dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya (character building) yang penting bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat setempat. Lebih dari itu, keberadaan buku sejarah lokal, merupakan sebuah strategi budaya untuk membekali siswa dengan perilaku adaptif-selektif ketika berhadapan dengan arus budaya global. Lebih dari itu, kehadiran buku sejarah lokal maupun budaya lokal, hal itu akan menumbuhkan kesadaran kebhinekaan dan toleransi budaya dalam entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejarah lokal diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa kesadaran sebagai bangsa yang multibudaya, dan itu ditunjukan dengan pengakuan akan kelemahan masing-masing dengan membangun kesederajatan diantara kebhinekaan. Sementara bagi kepentingan sejarah nasional, maka sejarah lokal tidaklah bersifat antagonis, justru akan memberi kontribusi positif. Karena, dalam sejarah lokal tersimpan kearifan lokal (local genius), hal itu sebagai upaya pewarisan dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya (character building) yang penting bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat setempat. Bahkan, sejarah lokal memiliki kedudukan penting sebagai bagian dari sejarah nasional. Sejarah lokal bukan sekadar cerita daerah kecil, tetapi bisa menjadi pintu masuk memahami sejarah nasional secara lebih detail. Sedangkan kelebihan dari sejarah lokal adalah sifatnya yang elastis, bisa membahas desa kecil hingga wilayah etnis yang lebih luas. Dengan fleksibilitas itu, maka sejarah lokal mampu merekam pengalaman yang sering luput dari sejarah besar.

Hal itu, lebih diperkuat lagi dengan hasil seminar sejarah lokal tahun 1984 di Medan, yang memberikan landasan tematik yang lebih kuat bagi pengembangan kajian sejarah lokal. Sedangkan tema sejarah lokal seperti dinamika pedesaan dan biografi tokoh lokal, menjadi sangat relevan untuk membumikan sejarah di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, sejarah lokal bisa berdiri sendiri sekaligus menguji teori dalam konteks yang lebih luas. Hal itu menunjukkan bahwa sejarah lokal bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga alat analisis ilmiah.

Sementara menurut Gde Widja, betapa pentingnya sejarah lokal sebagai sarana transmisi nilai-nilai budaya antar generasi. Pandangan tersebut bisa memperkaya bahwa sejarah lokal tidak hanya menyangkut masa lalu, tapi juga masa depan. Bahkan, nilai-nilai budaya yang ditransmisikan menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan global. Karena, kearifan lokal yang terkandung dalam sejarah lokal adalah identitas yang memperkuat karakter masyarakat. Misalnya dalam konteks pendidikan, sejarah lokal bisa membantu para siswa untuk memahami akar budayanya. Selain itu, sejarah lokal juga melatih siswa bersikap adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan jati diri. Sejarah lokal mengajarkan toleransi dengan menampilkan interaksi antar suku dan budaya dalam masyarakat majemuk. Sementara kesadaran kebhinekaan yang muncul dari sejarah lokal, pada akhirnya akan mendukung semangat persatuan bangsa. Oleh karena itu, sejarah lokal tidak bersifat antagonis terhadap sejarah nasional, justru memperkuatnya. Dan penulisan sejarah lokal bisa mencegah terjadinya dominasi perspektif tunggal dalam historiografi. Dengan kata lain, sejarah lokal memberi kontribusi nyata dalam membangun masyarakat yang sadar sejarah dan budaya.

Alhasil, sejarah lokal tidak hanya menyangkut masa lalu, tapi juga masa depan. Karena, nilai-nilai budaya yang ditransmisikan menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan global. Sementara kearifan lokal yang terkandung dalam sejarah lokal merupakan identitas yang memperkuat karakter masyarakat. Misalnya dalam konteks pendidikan, sejarah lokal bisa membantu para siswa untuk lebih mecintai akar budaya daerahnya. Lebih dari itu, sejarah lokal juga mengajarkan toleransi dengan menampilkan interaksi antar suku dan budaya dalam konteks masyarakat majemuk. Bahkan, kesadaran kebhinekaan yang muncul dari sejarah lokal pada akhirnya akan mendukung semangat persatuan bangsa. Oleh karena itu, sejarah lokal tidak bersifat antagonis terhadap sejarah nasional, justru malah memperkuatnya. Lebih dari itu, penulisan sejarah lokal juga bisa mencegah terjadinya dominasi perspektif tunggal dalam historiografi. Dengan kata lain, sejarah lokal memberi kontribusi nyata dalam konteks membangun masyarakat yang sadar akan sejarah dan budaya.

fyp #edukasi #sejarah

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *