Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP UNTIRTA

Pengantar

Ingat nasihat nenek di kampung: “Perbanyaklah kuah sayur agar berkat bisa berlipat.” Kalimat sederhana yang akrab di dapur Nusantara, tapi menyimpan kearifan sosial yang dalam. Dalam keseharian, kata berkah sering terdengar berubah menjadi berk(u)ah. Tambahan bunyi (u) itu bukan sekadar selingan lidah, tetapi penanda rasa yang melimpah. Secara linguistik, perubahan fonetik ini menunjukkan proses budaya—bunyi yang meluas seiring keinginan hati untuk berbagi lebih banyak. Seperti kata banyak yang dalam percakapan hangat menjadi buanyak, bahasa kita memberi ruang bagi keintiman dan keluasan makna.

Makna berk(u)ah tak berhenti di tataran bunyi. Ia mencerminkan semangat kolektif masyarakat yang ingin meluaskan keberkahan. Dari rasa yang terbatas menjadi rasa yang mengalir, dari milik pribadi menjadi milik bersama. Dalam kuah yang ditambah air agar cukup untuk semua, ada pelajaran sederhana tentang kemurahan hati. Bahwa kebahagiaan tidak berkurang ketika dibagi, justru bertambah seiring setiap sendok yang berpindah tangan.

Gerakan Berbagi

Di dapur, tempat pertama manusia belajar berbagi, nilai-nilai sosial sering terhidang tanpa harus diajarkan. Seorang ibu menambah sedikit air pada panci sayur asemnya bukan karena kekurangan bahan, melainkan karena ia ingin setiap tamu yang datang bisa menikmati. Dalam setiap gerakan sendok, ada niat untuk memperluas rasa syukur. Ia tak sedang mengencerkan cita rasa, tetapi menegaskan makna kasih: bahwa nikmat sejati bukan milik satu orang, melainkan milik semua yang hadir di meja.

Tradisi itu hidup dalam kenduri, tahlilan, dan pesta panen. Makanan dibungkus dan diantarkan ke rumah tetangga tanpa pamrih. Bagi yang menerima, itu bukan sekadar lauk pauk, melainkan tanda bahwa ia masih bagian dari lingkaran kasih. Dalam budaya kuliner kita, sedekah bukan hanya memberi nasi atau lauk, tapi juga membagi rasa aman, rasa dilibatkan, dan rasa disayangi. Makanan menjadi bahasa cinta paling universal yang tak memerlukan terjemahan.

Budaya “berkuah” adalah metafora sosial yang kuat. Kuah yang ditambah air menggambarkan keikhlasan menunda kenikmatan pribadi demi kebersamaan. Di tengah zaman yang kian individualistik, nilai ini menjadi cermin yang menyejukkan. Kuah yang mengalir di piring orang lain mengingatkan kita bahwa kebaikan sejati bukan pada kekayaan rasa, melainkan pada luasnya kasih. Di sanalah kuliner menjadi pendidikan moral yang mengalir lewat sendok dan panci.

Dari semangat itulah lahir gagasan Dapur Sedekah — bukan sekadar tempat memasak, melainkan ruang sosial tempat rasa, ilmu, dan kepedulian bertemu. Bayangkan sebuah dapur yang pintunya terbuka bagi siapa pun. Mahasiswa, dosen, pedagang, dan masyarakat duduk di satu meja, menyendok kuah yang sama. Tidak ada kasta di sana; hanya ada aroma solidaritas. Dapur Sedekah mengajarkan bahwa memasak pun bisa menjadi ibadah sosial, dan sendok bisa lebih bermakna daripada pena ketika digunakan untuk berbagi.

Setiap panci yang mendidih di Dapur Sedekah bukan sekadar tempat merebus bahan makanan, melainkan tempat mendidihkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sana, pendidikan berlangsung dalam bentuk paling hangat: bukan lewat teori, tapi lewat empati. Satu centong nasi menjadi latihan tentang keadilan; satu sendok kuah menjadi simbol cinta yang terus diperbarui. Seperti pesan nenek, menambah kuah berarti membuka ruang bagi lebih banyak orang untuk ikut kenyang—dan di situlah keberkahan sejati menemukan wujudnya.

Penutup

Melipatgandakan berkah berarti memperluas manfaat dan rasa syukur, bukan menumpuk harta. Seperti semangkuk sayur berkuah yang bisa dibagi ke banyak piring, hidup menjadi lebih bermakna ketika kita bersedia berbagi. Dapur Sedekah menjadi cermin dunia yang kita rindukan: dunia di mana keberkahan tidak berhenti di tangan, melainkan terus mengalir di antara manusia.

Dari dapur kampus hingga dapur masyarakat, aroma masakan menjadi doa yang tidak diucapkan—agar tak ada yang lapar, baik di perut maupun di hati. Dalam setiap tetes berk(u)ah yang dibagikan dengan tulus, kita belajar satu hal yang paling manusiawi: bahwa hidup akan lebih hangat bila dijalani dengan kuah kasih yang tak pernah habis.***

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *