Oleh: Burhanuddin Mujtaba
Presiden datang di Kejaksaan Agung beserta sejumlah menteri. Bukan untuk diperiksa, tentu saja. Presiden di sana menyaksikan tumpukan uang.
Dan—ini bagian terbaiknya—itu uang tunai asli. Gepokan. Bukan tumpukan duaribuan buat parkir. Dari warnanya mestilah uang seratusan. Uang dengan nilai paling tinggi saat ini di Indonesia.
Memang, total yang disita dari kejahatan ini Rp 13 triliun. Tapi yang dipamerkan di depan Pak Presiden “hanya” Rp 2,3 triliun. Kenapa tidak semua?
“Kalau Rp 13 triliun kami hadirkan semua,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, “mungkin tempatnya yang tidak memungkinkan.” Masuk akal. Rp 2,3 triliun saja sudah setinggi itu. Apalagi Rp 13 triliun. Bisa jadi tingginya sampai plafon. Presiden dan menteri tidak bisa masuk ruangan itu.
Itu uang sitaan. Hasil kejahatan. Melihat duit sebanyak itu, Presiden langsung dapat ilham. Menteri Keuangan Purbaya dicolek. “Uang ini,” titah presiden, “alokasikan. Masukkan sebagian ke LPDP. Sisanya buat bagikan buku.”
Ide cemerlang. Kenapa? Karena ini bukan uang anggaran (APBN) yang pos-posnya sudah di-ketok palu dan diributkan di DPR. Ini uang sitaan. Uang ‘nemu’ dari koruptor. Jadi, bisa langsung dipakai untuk yang darurat: mencerdaskan bangsa.
Uang haram dicuci. Dipakai untuk beasiswa anak rakyat dan ngasih buku. Sebuah konsep taharah (bersuci) anggaran yang, terus terang, revolusioner. Saya suka ide ini.
Tapi, mari kita jeda sejenak. Ini uang kejahatan apa ya sebanyak Rp 13 triliun itu. Ini bukan rampok bank biasa. Bukan begal motor yang ketangkap warga.
Ini kejahatan kelas kakap. Kejahatan orang-orang berdasi licin. Yang kantornya dingin, pakai AC. Pulang pergi dijemput sopir plus ajudan. Dan bisa jadi bunyi tetot-tetot.
Inilah lakon korupsi minyak sawit. Ah, Anda pasti belum lupa. Baru kemarin sore rasanya. Tahun 2021. Juga tahun 2022. Emak-emak di penjuru Republik ini geger. Berburu minyak goreng antriannya mengular. Kalaupun ada, harganya bikin istighfar.
Sebuah ironi yang getir. Sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia tapi krisis minyak goreng. Bila saja Negara Belanda bisa diperluas empat kali, itu masih kurang untuk memindahkan kebun sawit kita.
Logika anak SD saja bilang: kita harusnya banjir minyak goreng. Ini kok malah kering kerontang. Nah, disinilah babak “kucing-kucingan” itu dimulai.
Syahdan, harga CPO di pasar dunia sedang tidak waras. Mahal pol. Bagi para juragan sawit kita—tiga grup raksasa, bukan kaleng-kaleng—ini adalah jackpot. Duit di depan mata.
Caranya gampangnya tinggal lempar semua CPO ke luar negeri. Rakyat sendiri? Emang gue pikirin. Namanya juga pengusaha. Pikirannya cuan. Kalau rakyat itu bukan urusannya.
Pemerintah, untungnya, tidak kadung tidur. Dibuatlah pagar. Namanya DMO, Domestic Market Obligation. Bahasa gampangnya: “Kalian boleh ekspor. Silakan untung besar. Tapi penuhi dulu perut rakyat di sini. Setor jatah CPO ke dalam negeri. Harganya harus murah, sesuai aturan.” Wong ini negara kita sendiri, ya adil geh.
Tapi, apa lacur pengusaha-usaha raksasa ini nakal. DMO ini dianggap bikin kere. Mengganggu pesta. “Wah, repot ini urusan,” pikir mereka di ruang rapat ber-AC yang terasa panas.
Dipakailah akal bulus. Bagaimana caranya mengekspor tanpa memenuhi jatah rakyat? Gampang. Selalu ada “pintu belakang”. Cari “orang dalam”.
Di sinilah babak kedua lakon drama ini dimulai. Perusahaan-perusahaan ini—Wilmar Group, Musim Mas Group, Permata Hijau Group—mulai merapat. Ke mana? Ke markas birokrasi. Kementerian Perdagangan. Di sana, ada oknum pejabat yang tugasnya menjaga gawang rakyat. Tapi dia malah ganti baju, ikut bermain di kesebelasan lawan. Terjadilah kongkalikong. Singkat cerita, si pejabat tetap mengeluarkan izin ekspor. Surat sakti itu diteken dengan enteng.
Padahal, jatah DMO untuk emak-emak di pasar belum juga cair. Malah kapal-kapal tanker yang sekali angkut bisa menguras 30 kolam renang ukuran olimpiade itu pun angkat sauh. Membawa CPO kita ke seberang lautan.
Para juragan tertawa ngakak. Pejabat tentu dapat bagian. Rakyat ya itu tadi: stres. Antre di bawah terik matahari. Marah-marah pada pemerintah, tidak tahu kalau minyaknya sedang dipakai pesta di luar negeri. Kejaksaan Agung akhirnya turun gunung. Mungkin mereka heran, kok rakyat ribut terus soal minyak.
Pejabat pemerintahnya ditangkap. Divonis. Tapi Jaksa Agung, Pak ST Burhanuddin, rupanya berpikir out of the box. “Tunggu,” pikirnya, “Yang pesta pora ini siapa? Si pejabat? Ah, dia cuma kacung. Yang paling untung itu korporasinya!”
Jaksa tidak mau disebut cuma bisa memburu tikus kecil. Tapi sarang tikusnya, akhirnya digugat. Bukan cuma kerugian keuangan negara. Tapi dihitung juga kerugian perekonomian negara. Kerugian penjual gorengan yang ngos-ngosan. Kerugian ibu rumah tangga yang pusing tujuh keliling.
Totalnya ketemu: Rp 17,7 triliun! Angka yang bikin kalkulator hang. Mahkamah Agung pun ketok palu. Setuju. Para juragan itu wajib balik modal ke negara.
Nah, uang Rp 13 triliun yang kemarin diserahkan itu, adalah cicilan pertamanya. Baru dari satu grup. Wilmar Group. Masih ada sisa tagihan Rp 4,4 triliun dari dua kawannya yang lain.
Uang itu, sejatinya, adalah uang kita. Uang yang diperas dari antrian minyak goreng emak-emak. Sekarang, uang itu kembali. Kata Presiden, mau dipakai buat LPDP dan beli buku.
Kejagung sudah berhasil menagih. Presiden Prabowo sudah memberi titah. Uang haram jadi beasiswa dan buku. Tapi, ini baru satu titah. Sebuah kebetulan yang baik hati dari seorang Presiden.
Coba bayangkan seandainya ini bisa menjadi sistem. Seandainya setiap rupiah uang sitaan—uang yang diciduk dari koruptor—tidak perlu nyasar dulu ke brankas Kas Negara. Tidak perlu tenggelam lagi di lautan APBN yang penuh birokrasi alot.
Seandainya uang itu bisa langsung lompat. Sita uang CPO, langsung jadi beasiswa LPDP. Sita uang tambang ilegal, langsung bangun Puskesmas di pelosok. Sita korupsi haji, langsung beri insentif ke guru ngaji. Uang yang dicuri dari rakyat, kembali ke rakyat. Saat itu juga. Tanpa perantara. Tanpa rapat-rapat ba-bi-bu. Kalau itu bisa terjadi, barulah kita bukan cuma memenjarakan koruptor. Kita mengambil untung dari kejahatan mereka. Itu namanya keadilan sosial yang sat-set. Keadilan yang tidak pakai delay.




