Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Imam Al-Ghazali dan Syekh Nawawi al-Bantani, mereka sama-sama dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis karya-karya monumental yang berpengaruh luas dalam dunia Islam, meskipun keduanya hidup di zamam yang berbeda. Karena, Imam Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). Beliau, yang dijuluki sang “Hujjatul Islam” (Argumen Islam), adalah seorang intelektual, pendidik, ahli pikir, dan pengarang yang luar biasa produktif. Sementara karyanya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman, termasuk fikih, teologi (tauhid), filsafat, dan tasawuf.
A. Jumlah Karya Imal Al-Ghazali
Meskipun angka pastinya bervariasi dalam catatan sejarah, jumlah karya Imam Al-Ghazali diperkirakan mencapai ratusan judul, banyak diantaranya merupakan risalah singkat. Salah satu karyanya yang paling terkenal dan berpengaruh adalah kitab “Ihya’ Ulum ad-Din” (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), sebuah ensiklopedia komprehensif tentang etika dan spiritualitas Islam yang masih dipelajari hingga kini.
B. Fokus Tulisannya
Tulisan-tulisannya dicirikan oleh pemikiran yang mendalam, analisis yang terperinci, dan kemampuan sintesis yang mengagumkan antara hukum Islam formal dan pengalaman spiritual yang ia jalani.
Sementara Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H / 1896 M). Beliau yang dikenal sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia, juga merupakan salah seorang ulama yang sangat produktif menulis (kitab kuning). Beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya di Mekkah untuk mengajar, menulis, dan melayani kebutuhan komunitas Muslim dari Asia Tenggara (Jawi).
A. Jumlah Karya
Jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang mencakup bidang fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Keistimewaannya terletak pada kemampuannya merinci dan menerangkan pembahasan yang rumit menjadi lebih mudah dipahami oleh para santri di pesantren.
B. Fokus Tulisannya
Banyak dari karya-karyanya berupa syarah (komentar/penjelasan) terhadap kitab-kitab klasik sebelumnya, termasuk kitab karya Imam Al-Ghazali, seperti kitab Muraqil Ubudiyah syarah Bidayatil Hidayah. Sementara karyanya yang paling monumental dalam bidang tafsir adalah “Marah Labid” (kitab tersebut juga dikenal sebagai Tafsir al-Munir).
Kesimpulan perbandingan antara kedua ulama tersebut, telah menunjukkan tentang tingkat produktivitas menulis yang luar biasa, hal itu sebagai bentuk kontribusi intelektual mereka terhadap peradaban Islam. Imam Al-Ghazali menonjol dalam menghasilkan karya-karya orisinal dan inovatif yang merestrukturisasi pemikiran Islam di masanya, terutama dalam menyelaraskan rasio dan wahyu, serta fikih dan tasawuf. Sementara Syekh Nawawi al-Bantani, ia unggul dalam mengomentari dan mensistematisasikan ilmu-ilmu yang telah ada dalam bentuk kitab kuning yang menjadi rujukan utama di pesantren-pesantren, hal itu menunjukkan keistimewaan mereka dalam bidang pena (menulis). Dengan kata lain, baik Imam Al-Ghazali maupun Syekh Nawawi Al-Bantani, mereka menggunakan tulisan atau melakukan “Jihad Intelektual” sebagai sarana yang efektif untuk menyebarkan ilmu dan pengaruh mereka untuk menjangkau lintas generasi dan geografis.
II. Menulis AdalahTradisi Ulama Zaman Dulu
“Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah”. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al Ghazali, yakni “Sang Hujjatul Islam”. Lalu, siapa yang tidak kenal dengan ulama lainnya seperti dengan Imam An-Nawawi? Pemilik nama lengkapnya, yaitu Yahya bin Syarof bin Murriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam An Nawawi lahir pada tahun 1223 M/631 H dan wafat tahun 1277 M/676 H, merupakan salah seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis khasanah Islam.
Sementara jumlah kitab yang terkenal yang pernah ditulis oleh Imam Nawawi sebanyak 40 kitab. Bahkan, kitab yang ditulis beliau banyak dikaji di pesantren-pesantren Indonesia, seperti kitab Riyadhus Sholihin, Arbain An-Nawawi, dan Fathul Mubin. Sementara sang Hujjatul Islam, yakni Imam Al Ghazali, merupakan ulama teolog dan filsuf terkenal di era zaman keemasan Islam di Baghdad. Beliau ada penulis produktif. Ini terbukti dengan karya-karya beliau yang jumlahnya sangat banyak. Ali al-Jumbulati menyebutkan karya Imam Al-Ghazali sebanyak 70 buah, sementara Abdurrahman Badawi menyebutkan karya al-Ghazali mencapai 457 judul. Sedangkan Al-Washiti menyebutkan 98 judul karangan. Musthofa Ghollab menyebut angka 228 judul buku. Al-Subki menyebut 58 judul buku. Thasy Kubro Zadah menyebut angka 80 judul. Michael Allard, seorang orientalis Barat menyebutkan angka 404 judul. Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli menyebut kurang lebih 200 judul buku. Karya “masterpiece” dari pemilik nama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i adalah kitab “Ihya Ulumuddin” yang menjadi rujukan kitab tasawuf dan dikaji di Indonesia.
Sementara Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, atau lebih dikenal dengan Imam As Syafi’i adalah ulama besar yang banyak menjadi panutan umat Islam di Indonesia. Beliau adalah peletak dasar ilmu Usul Fiqh dalam khasanah Islam. Beliau juga banyak menulis kitab (buku). Sedangkan karya-karya beliau menurut Abu Muhammad Al-Husain Al-Marwazy, secara keseluruhan mencapai 113 kitab, yang terdiri dari kitab tafsir, fiqh, sastra dan lainnya. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Sementara buku atau kitab yang sangat terkenal adalah “Ar Risalah dan Al Umm” yang menjadi rujukan utama dalam konteks Madzhab Syafi’i.
Tidak kalah dengan ulama Timur Tengah, ternyata Syekh Nawawi Al Bantani, yaitu salah seorang ulama asal Banten Imdonesia, ia juga sangat produktif menulis buku (kitab kuning) dalam khasanah keilmuan Islam. Perihal jumlah karya yang di hasilkan oleh Sayyid Ulama Hijaz, yaitu julukan Syekh Nawawi Al-Bantani itu, memang terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berjumlah 99 buah dan ada pula yang mengatakan keseluruhan karyanya mencapai 115. Naum, terlepas dari pendapat mana yang lebih benar dan valid perihal jumlah karya dari Syeikh Nawawi Al-Bantani itu, yang jelas Syeikh Nawawi Al-Bantani adalah tokoh dan ulama yang produktif. Bahkan, masih banyak lagi ulama-ulama yang produktif lainnya dalam konteks melahirkan karya-karya untuk melengkapi khasanah Islam, antara lain: Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, Imam Bukhori, Imam Malik, Imam Hanafi, dan ulama-ulama lainnya. Menulis bukanlah aktivitas tanpa tujuan, tetapi lebih dari itu, sebagai ladang amal jariyah bagi penulis.
A. Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi Dan Imam al-Ghazali Tentang Karakter Religius Dalam Kitab “Muroqil Ubudiyah ‘ala Matni Bidayatil Hidayah”
Sebagaimana sekilas telah disitir di sub judul diatas, bahwa pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dan Imam al-Ghazali, yaitu tentang karakter religius di dalam Kitab “Muroqil Ubudiyah ‘ala Matni Bidayatil Hidayah”. Hal itu, sebagaimana dijelaskan secara detail oleh salah seorang penulis Tesis, yaitu bernama Alfianto. Bahkan, saat ini penulis juga sangat serius untuk membaca Tesis karya dari Alfianto itu. Menurut Alfianto di dalam Tesis yang ia tulisnya, terutama dalam konteka persyaratan (gelar) akademis di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, ia menjelaskan dan sekaligus mengabstraksi pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Menurut Alfianyo, yakni sebagaimana hasil refleksinya terhadap pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani, bahwa pendidikan karakter di Indonesia saat ini sudah menjadi perhatian setiap kalangan, hal itu disebabkan oleh banyaknya kemerosotan karakter yang terjadi pada (oknum) masyarakat kita saat ini, seperti tauran di internal (oknum) kaum milenial, ilegalitas kekuasaan, koruptif, dan lain sebagainya. Namun, menurut Alfianto, bahwa Indonesia bukanlah negara yang kekurangan karakter pendidikan. Karena menurutnya, pada abad 19 M, banyak orang Indonesia menjadi ulama besar dan berpengaruh di Kota Mekah dan Madinah, seperti; Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah salah satu dari sosok ulama asal Banten yang mempuni dan sangat produktif menulis.
Beliau memiliki ratusan murid, dan menulis 155 karya dalam bentuk arab gundul (kitab kuning) yang sampai sekarang ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia maupun di dunia. Baliau diberi gelar oleh negara Mesir dengan Sayyid Ulama al Hijaz (Penghulu Ulama Tanah Hijaz ) karena kedalaman dan keluasan pemikirannya yang dituangkan dalam Tafsir al-Munir yang dikagumi oleh orang Timur Tengah. Syekh Nawawi Al-Bantani, telah mengajarkan pendidikan karakter dan akhlak dalam bentuk majelis ilmu dan karya tulis, salah satu karya tulisnya berjudul “Muroqil Ubudiyah ‘ala Matni Bidayatil Hidayah”. Menurut analusia dari Alfianto, terutama yang telah ia tuangkan di dalam Tesisnya, dia mencoba ingin mengetahui konsep, macam-macam dan relevansi karakter pendidikan menurut Syekh Nawawi al-Bantani, terutama secara substantif dari isi kitab “Muroqil Ubudiyah”.
Sementara metode penelitian yang digunakan oleh Alfianto itu sendiri adalah bersofat deskriptif kualitatif, yakni dengan pendekatan analisis wacana dan menganalisis data dengan langkah-langkah : pertama menentukan tema, kedua menetapkan masalah, ketiga memecahkan masalah sesuai tema, keempat mengumpulkan data, dan yang kelima menyimpulkan. Sementara sumber data primer dari proses penelitian yang dilakulan oleh Alfianto adalah kitab “Muraqil Ubudiyah ‘ala Matni Bidayatil Hidayah”. Sedangkan sumber sekundernya berupa jurnal, buku, artikel dan semua yang ada kaitannya dengan proses penelitian demi pengkayaan materi penyusunan Tesisnya itu. Lebih dari itu menurut Alfianto, yakni ketika ia mengabstrasi konsep pendidikan karakter religius menurut pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani, ternyata ada tiga konsep. Pertama, ibadah. Kedua, akhlak. Ketiga, perilaku. Sementara karakter religius yang terdapat dalam kitab “Muraqil Ubudiyah” adalah: adab bergaul dengan Tuhan, perilaku orang alim, adab murid kepada guru, adab anak kepada orang tua, adab kepada sahabat, bersemangat, bersyukur-kasih, rendah hati, memuliakan makhluk Tuhan, memuliakan azan, jujur, iklas, larangan berdusta, menepatu janji, larangan berghibah, jangan berdebat dan berbantahan, jangan berbangga diri, jangan melaknat sesuatu, larangan mendoakan orang supaya binasa, larangan bergurau secara berlebihan. Bahkan menurut Alfianto, bahwa karakter pendidikan menurut perspektif Syekh Nawawi Al-Bantani, hingga saat ini masih relevan jika diterapkan dalam pendidikan di Indonesia.
III. Tradisi Menulis Untuk Membangun Peradaban Islam
Sejarah pendidikan dan peradaban Islam telah menunjukkan bahwa tradisi literasi senantiasa memainkan peran penting dalam membentuk arah perkembangan masyarakat. Para tokoh Islam memberikan teladan bahwa aktivitas dakwah tidak hanya dilakukan melalui lisan (bil qaul) melainkan juga melalui tulisan (bil qolam) yang keduanya memiliki kekuatan dalam menyebarkan ajaran Islam. Bahkan, berbagai ragam karya ilmiah para ulama dan intelektual muslim menjadi bukti nyata bahwa budaya literasi berkembang pesat dan menjadi fondasi penting dalam sistem pendidikan dan kebudayaan Islam. Bahkan sejak masa Rasulullah SAW, antara tahun 611–632 M atau 12 SH–11 H, praktik literasi telah dikenal dan diaplikasikan secara aktif. Tradisi itu kemudian diteruskan oleh para sahabat Nabi selama masa Khulafa al-Rasyidin (632–661 M / 12–41 H), yang melanjutkan pengembangan literasi dan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari misi keislaman. Perkembangan literasi semakin signifikan pada masa Dinasti Umayyah (661–750 M / 41–132 H), ketika Masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dikembangkan menjadi pusat kegiatan ilmiah yang menyerupai perguruan tinggi. Konsep masjid sebagai lembaga keilmuan itu, telah menunjukkan komitmen masyarakat Islam terhadap pendidikan yang terstruktur dan berkelanjutan.
Dengan adanya penekanan terhadap fungsi ilmiah masjid, berbagai disiplin ilmu mulai diajarkan di lingkungan tersebut, yaitu meliputi puisi (syair), sastra, kisah-kisah historis bangsa terdahulu, serta ilmu kalam (teologi). Sementara metode pengajaran yang digunakan telah menunjukkan dinamika intelektual yang tinggi, salah satunya dengan mengadopsi teknik debat sebagai sarana pengembangan pemikiran kritis. Semua itu menegaskan bahwa tradisi literasi dalam Islam bukan sekadar aktivitas membaca dan menulis, tetapi merupakan bagian integral dari proses transformasi intelektual dan spiritual umat.
Sedangkan menulis, merupakan salah satu sarana utama bagi manusia untuk mengekspresikan pemikirannya. Karakter seseorang tak hanya tampak dari cara ia berbicara tetapi juga dari bagaimana ia merangkai kata dalam tulisan. Bahkan menulis membawa manfaat yang lebih mendalam dibandingkan sekadar membiasakan diri berbicara. Bahkan, sebuah karya tulis yang bermutu tak hanya bisa dinikmati oleh orang-orang sezaman tetapi juga dapat menjembatani pemikiran penulis kepada generasi setelahnya bahkan setelah ia tiada.
Para ulama zman dulu, mereka mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar mereka melalui tulisan yang tidak hanya menginspirasi tetapi juga mampu menggerakkan orang lain untuk bertindak tanpa harus berkomunikasi langsung. Itulah mengapa menulis menjadi media penyampaian yang sangat efektif. Dalam perspektif sejarah, kata-kata dalam tulisan mampu merekam dan menjelaskan peristiwa yang terjadi pada masa lalu secara lebih utuh. Meskipun peninggalan peradaban sering hadir dalam bentuk benda atau warisan budaya, namun pemahaman yang lebih mendalam kerapkali hadir melalui teks (dejarah tertulis). Seperti halnya para intelektual muslim di Indonesia untuk mengenal pikiran dan jati diri mereka, bacalah karya-karya tulis mereka juga.
Di masa lalu kebiasaan menulis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan para ulama dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Ribuan karya yang mereka hasilkan melalui tradisi ini (tradisi berliterasi) telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Islam sendiri sangat menekankan betapa pentingnya ilmu sebagaimana terlihat dari wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan untuk membaca. Dari perintah inilah tradisi menulis pun tumbuh. Selain itu menulis juga dianggap sebagai amal yang bernilai tinggi karena ilmu yang dituliskan dapat diwariskan dan memberikan manfaat bagi generasi-generasi selanjutnya. Bahkan, dalam ranah dunia Islam, kita mengenal tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali, yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di kota Thus, salah satu wilayah di Khurasan (sekarang bagian dari Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah (sekitar tahun 450 H/1058 M).
Imam Al-Ghazali dikenal sebagai salah satu pemikir besar dalam Islam dan mendapatkan gelar Hujjatul Islam (argumen kebenaran Islam) serta Zain ad-Din (hiasan agama). Sebagai salah satu ulama paling terkemuka dalam sejarah Islam, Imam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai sosok cendekiawan yang mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan tetapi juga sebagai figur sentral dalam pengembangan dan pematangan ajaran tasawuf dimana ia berhasil menggabungkan kedalaman spiritual dengan ketajaman intelektual. Hal itu tercermin dari beragam karyanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, yakni mulai dari filsafat, teologi, hingga etika dan tasawuf, dengan mahakaryanya yang paling monumental yaitu “Ihya’ Ulumuddin”, yang hingga saat ini tetap menjadi rujukan utama dalam kajian keislaman serta dianggap sebagai warisan pemikiran yang terus relevan dan hidup di kalangan umat Islam lintas zaman dan generasi.
Di kawasan nusantara sendiri terdapat banyak ulama besar yang telah menghasilkan karya-karya yang luar biasa dan masih terus dipelajari hingga hari ini. Salah satu tokoh penting di antaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar yang memiliki nama lengkap Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Beliau lahir di Kampung Tanara yang terletak di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, wilayah yang dahulu masuk dalam bagian Jawa Barat, pada tahun 1230 Hijriyah atau sekitar 1813 Masehi. Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sebagai seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis dan meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah pasti karyanya ada yang menyebutkan sebanyak 99 karya sementara pendapat lain menyatakan jumlahnya mencapai 115 buah tidak dapat disangkal bahwa beliau memberikan kontribusi besar dalam khazanah keilmuan Islam terutama dalam bidang akhlak dan tasawuf yang hingga saat ini masih tetap dijadikan rujukan oleh para pelajar dan pencari ilmu.
Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ dikatakan;
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يُوزَنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ وَدَمُ الشُّهَدَاءِ»
Artinya: Dari Abu al-Darda’a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Darah para ulama dan darah para syuhada akan ditimbang pada hari kiamat.” Kalimat itu mengisyaratkan bahwa kontribusi intelektual dan perjuangan ilmiah yang dilakukan para ulama memiliki nilai yang sebanding dengan pengorbanan nyawa para syuhada yang gugur di medan perang demi membela agama. Ungkapan tersebut mengandung makna mendalam tentang pentingnya ilmu dalam Islam sekaligus menunjukkan bahwa “jihad intelektual” dalam bentuk pencarian, pengajaran, dan pengamalan ilmu diakui sebagai bentuk perjuangan yang agung. Islam tidak hanya memuliakan orang-orang yang berjuang secara fisik untuk menegakkan kebenaran tetapi juga menghargai mereka yang mendedikasikan hidupnya dalam medan dakwah dan pendidikan. Penimbangan darah para ulama dan syuhada kelak di hari kiamat adalah simbol dari penilaian yang adil terhadap segala bentuk pengorbanan demi kemuliaan Islam. Alhasil pernyataan tersebut bukan sekadar retorika religius semata, melainkan sebuah bentuk pengakuan terhadap dimensi spiritual dan sosial dari peran ulama dalam masyarakat Islam.
IV. Produktivitas Para Ulama Dalam Menulis Karya
الخط يبقى زمناً بعد كاتبه * وكاتب الخط تحت الأرض مدفون
“Sebuah tulisan akan tetap ada meskipun penulisnya telah terkubur di dalam tanah”. Dengan kata lain, bahwa bergerak dalam bidang tulis menulis adalah unsur yang amat urgen di setiap peradaban manusia. Dengan menulis, para ulama turut berdedikasi dalam dunia keilmuan untuk generasi mereka dan berlanjut hingga generasi setelahnya. Dengan karya-karya itu pula, mereka akan selalu “hidup” sepanjang masa meski raga mereka sudah tak berpijak di atas tanah, dan terus menjadi guru yang menebarkan ilmu ke pelosok dunia.
Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia berkata; “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Jika sekilas saja kita menengok sejarah, maka jelas sudah bahwa kemajuan suatu peradaban ada pada kemajuannya dalam bidang literasi. Andalusia di zaman keemasan Islam misalnya. Negeri itu telah melahirkan banyak cendekiawan muslim dalam pelbagai bidang, mulai dari bidang ilmu-ilmu syariat, filsafat, hingga ilmu sains dan teknologi. Pada zaman keemasan Islam itu, cukup banyak ditemui perpustakaan-perpustakaan pribadi milik masyarakatnya yang jumlah koleksi bukunya memasuki angka yang sangat menakjubkan. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-Amid. Saking banyaknya koleksi buku di perpustakaan milik pribadinya sampai saat dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan 100 ekor unta untuk mengangkutnya. Will Durant dalam bukunya juga menyinggung tentang besarnya perpustakan-perpustakaan pribadi di era itu, salah satunya milik Shahib bin Abbad. Bahwa koleksi perpustakaan milik pribadinya pada abad ke empat hijriah itu, memang setara dengan seluruh buku yang ada di Eropa pada masa itu. Jika itu hanyalah perpustakaan milik pribadi, bagaimana dengan perpustakaan umum yang ada di zaman keemasan Islam tersebut?
Pertama, perpustakaan Baghdad. Jumlah buku yang ada di perpustakaan ini saking banyaknya hingga buku-bukunya bisa dijadikan jembatan menyeberangi sungai Tigris yang ukurannya hampir sama dengan sungau Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter). Yaitu kisah masyhur ketika tentara Tartar (Mongolia) menyerang kota Baghdad. Saat itu pimpinan tentara Tartar, Hulagu Khan, dengan biadabnya menjadikan buku-buku yang ada di perpustakaan itu tumpukan layaknya jembatan guna menyeberangi sungai Tigris. Bayangkan betapa banyaknya buku-buku yang ada di perpustakaan ini. Kedua, perpustakaan Darul Ilmi Kairo; ada lebih dari 700.000 buku di dalamnya. Ketiga, perpustakaan Tripoli.
Menurut salah seorang sejarawan, total buku yang dibakar tentara Salib dari perpustakaan ini mencapai 3.000.000 buku. Termasuk di antaranya kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali. Keempat, perpustakaan Cordoba Andalusia (saat ini: Spanyol Selatan); disana ada 44 buah katalog yang masing-masing berisi 50 halaman, disitu hanya tertulis judul-judul buku koleksi perpustakaan di dalamnya. Lubna sendiri, seorang wanita pustakawan pada zaman itu, berhasil mengumpulkan 500.000 buku untuk koleksi perpustakaan tersebut. Jadi, silahkan hitung sendiri berapa banyak buku di dalamnya. Sebagai perbandingan sederhana, mari kita tengok perpustakaan-perpustakaan yang ada pada zaman ini khususnya di Indonesia. Pertama, koleksi Perpustakaan Nasional. Perpustakaan milik pemerintah ini memiliki koleksi sekitar 2,6 juta buku. Kedua, di era modern ini mesin-mesin canggih percetakaan telah ada dan mudah didapatkan. Sedangkan pada zaman keemasan Islam saat itu masih manual menggunakan tulisan tangan manusia, sebab mesin percetakan belum ada dan baru dibuat beberapa abad kemudian. Ketiga, pada masa keemasan tersebut, jumlah penduduk Cordoba di Andalusia hanya sekitar 500.000 jiwa. Maka bandingkan dengan penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 250 juta jiwa.
Artinya, jika Andalusia yang hanya berpenduduk setengah juta jiwa saja memiliki perpustakaan yang begitu menakjubkan, maka Indonesia semestinya mampu berprestasi 500 kali lipat lebih baik dibanding Andalusia. Catatan sejarah seputar dunia perpustakaan yang begitu gemilang itu bisa dijadikan bukti, bahwa umat Islam pada zaman itu telah memiliki tingkat produktivitas yang sangat tinggi dalam dunia literasi, terutama menulis karya ilmiah.
Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya yang berjudul “Qimat az-Zaman inda al-Ulama” banyak menyebutkan kisah-kisah hidup para ulama yang waktunya dioptimalkan untuk membaca dan menulis buku. Ibnu Jarir At-Thabari misalnya. Seorang ulama tafsir dan hadits terkenal itu menulis setiap harinya 40 lembar kertas. Semua karyanya dalam bidang apapun jika dihitung dan ditotal jumlah keseluruhannya mencapai 358 ribu lembar. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilany juga demikian. Ia tidaklah tidur hingga ia telah menulis 35 lembar dari hafalannya. Ibnu Abi Dunya selama hidupnya telah menulis setidaknya 1000 karya buku. Imam Al-Baihaqi, ulama yang istiqamah berpuasa selama 30 tahun ini karyanya mencapai 1000 volume buku, dan semua karya-karyanya tersebut berkualitas tinggi, banyak faidah dan langka ditemui yang menyamainya. Imam Jalaluddin As-Suyuti, menurut Syekh Dr. Said Mamduh, mempunyai karya 725 kitab dalam banyak bidang keilmuan. Sedangkan dari kalangan ulama Nusantara, ada Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani seorang ulama produktif keturunan Sunan Gunung Jati yang telah menulis 115 kitab.
Adapun karya tulis dengan volume terbesar dalam catatan sejarah, menurut sebuah versi, adalah kitab Al-Hawi fit Tafsir karya Syekh Abdurrahman Al-Qammasy dengan ukuran 840 jilid atau lebih dari 300.000 halaman. Sedang di posisi kedua adalah kitab berjudul Funun karya Syekh Ibnu Aqil Al-Hanbali sebesar 800 jilid. Sedangkan menurut Imam As-Suyuti; penulis paling produktif dan terbesar sepanjang masa adalah Ibnu Syahin, ia telah menulis 330 judul karya. Salah satu karya agungnya adalah kitab berjudul At-Tafsir sebesar 1000 jilid dan kitab berjudul Al-Musnad sebesar 1500 jilid. Sekali lagi, pada zaman itu belum ada mesin canggih yang praktis untuk tulis menulis. Tidak ada mesin ketik, apalagi mesin percetakaan. Segala kegiatan penyalinan buku semua dilakukan secara manual dan langsung tangan manusia. Namun semangat dan produktivitas para ulama dalam dunia literasi tak pernah surut meski kondisi yang sangat jauh dari kata mudah. Dikisahkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menuliskan selawat setiap setelah nama Nabi disebut karena langkah beliau untuk menghemat kertas pada zaman itu. Lalu bagaimana dengan era modern saat ini? Era dimana peralatan canggih yang super memudahkan ada di genggaman tangan. Menulis tidak lagi di atas kertas dengan pena yang dicelupkan ke tinta hitam terlebih dahulu sebelum dipakai untuk menggoresnya. Ada komputer, laptop, tablet hingga ponsel genggam yang fiturnya mampu mewakili jutaan lembar kertas, ribuan liter tinta, bahkan seisi perpustakaan sekalipun. Untuk menyebarluaskan karya ilmiah pun tidak melulu harus melalui percetakaan dan penerbit. Bisa dengan bentuk file PDF yang dengan cepat bisa tersebar luas di dunia internet, atau sekedar tulisan singkat dengan sangat mudah dibaca khalayak hanya dengan satu klik via media sosial.
Bergerak melalui tulisan di era ini memang sangat urgen. Dengan didukung jaringan internet yang sangat berkuasa, media sosial yang mendominasikan bentuk tulisan tentu sangat banyak peran manfaatnya. Mulai dari media dakwah, portal berita, cerita inspirasi hingga kritikan untuk penguasa. Maka sudah semestinya masyarakat era digital saat ini, terlebih kaum santri terpelajar, untuk melambung tinggi dalam dunia literasi, terutama menulis karya. Karena dikatakan; tidak ada kebaikan pada sebuah umat jika kemampuan menulisnya hanya ada di tangan orang-orang munafiknya.
Bahkan, Imam Al-Ghazali berkata; “jika kau bukan anak seorang raja, juga bukan anak seorang ulama besar maka jadilah penulis”. Karena dengan tulisan, suaramu akan terdengar. Dan jika memegang gadget mewah membuatmu terlihat kaya, maka dengan memegang buku kau akan terlihat pintar. Jadilah penulis, jika tidak, jadilah pembaca.
V. Epilog (Cinta Imam al-Ghazali Untuk Seekor Lalat)
Jika disebutkan nama Imam al-Ghazali, maka gambaran yang muncul di benak kita adalah sosok seorang ulama yang penuh dengan reputasi kealiman yang tak diragukan. Ia termasuk cendekiawan muslim yang komplet. Seorang ulama bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’I ini menguasai disiplin filsafat dan menaruh prioritas pada olah rohani sebagai seorang sufi yang taat, disamping juga Wawasannya yang luas dalam menyelesaikan permasalahan agama yang tergolong rumit Para kritikus al-Ghazali bisa saja berseberangan dengan beberapa pemikiran Imam Al-Ghazali. Namun, mereka tak dapat membantah kepribadian sang hujjatul Islam itu yang sangat zuhud, wara’, serta amat tekun menjalankan ibadah. Kesungguhannya dalam beribadah tampak pula pada beberapa karyanya yang sarat anjuran untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pengabdian tulus seorang hamba.
Kitab tasawuf dasar, seperti kibab “Bidayatul Hidayah”, yang dikarangnya telah mengungkapkan kenyataan tentang sufistik-spiritualistiknya. Hanya saja, terselip kisah unik dibalik totalitas Imam al-Ghazali itu dalam beragama, terutama pasca-kewafatannya. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, terutama ia jelaskan di dalam kitab “Nashaihul ‘Ibad”. Di dalam kitab tersebut Syaikh Nawawi Al-Bantani, menceritakan seseorang yang pernah berjumpa dengan Imam al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” tanya orang tersebut. Imam al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Imam Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia. “Aku (Allah) menolak itu semua!” Ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam al-Ghazali kecuali satu kebaikannya, yaitu ketika Imam Al-Ghazali bertemu dengan seekor lalat.
Yakni, suatu saat Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab hingga seekor lalat mengusiknya barang sejenak. Lalat “usil” itu ternyata haus dan tinta di depan Imam Al-Ghazali menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan kemudian ia berhenti sejenak untuk menulis, yaitu untuk memberi kesempatan si lalat itu melepas dahaga dari tintanya itu. “Masuklah bersama hamba-Ku ke sorga,” kata Allah kepada Imam al-Ghazali dalam kisah mimpi itu. Dari kisah diatas mengandung pesan tentang betapa dahsyatnya pengaruh hati yang bersih dari egoisme, semata untuk kepentingan diri sendiri. Kasih sayang Imam al-Ghazali yang luas, bahkan kepada seekor lalat pun, akhirnya membawa sang tokoh ulama dengan jutaan pengikut pada kemuliaan.
Peristiwa itu secara samar memang telah menampar sebagian kalangan yang kerapkali membanggakan capaian-capaian keberagamaannya. Karena ternyata penilaian ibadah manusia sepenuhnya milik-Nya (Allah) dan bukan milik manusia. Tak ada ruang bagi manusia untuk menghakimi kualitas diri sendiri ataupun orang lain. Segenap prestasi ibadah dan kebenaran agama yang disombongkan bisa jadi justru berbuah kenistaan. Kemulyaan pangkat, jabatan, kedudukan, bahkan harta benda yang melimpah ternyata tak ada nilainya sedikitpun dimata Allah jika dalam diri kita ternyara mash tersimpan sifat sombong dan takabur, na`udzubillah. Imam al-Ghazali sesungguhnya hanya mempraktikkan apa yang diteladankan dan diperintahkan oleh Nabi, “ ارحمو من فى الارض يرحمكم من فى السماء ,Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu”.




